Kami pun duduk bersama di ruang tengah, aku dan Koswara duduk berdampingan, sementara ibu duduk di hadapan kami. Di antara aku dan ibu hanya tersekat meja bambu persegi panjang. “Jadi Bu, Koswara ini calon ku, kita mau menikah secepatnya, di sini."
“Loh loh loh ada apa ini Manda, gak ada angin gak ada hujan kamu tiba-tiba datang ke sini membawa lelaki lalu akan menikahnya di sini. Ibu gak mengerti ini.”
“Bu kok gak ngerti sih, kan Ibu sendiri yang selalu nanyain calon mantu. Ini aku bawa calon mantu Ibu.”
“Ya memang Ibu sengaja jengkelin kamu nanya calon mantu terus, ya itu supaya kamu cepet nikah loh Nak. Tapi ya Ibu gak terpikir akan mendadak seperti ini juga.”
“Mau nunggu sampai kapan Bu, usiaku sudah tiga puluh tahun. Jadi lebih cepat lebih baik kan?”
“Ya betul Nak. Tapi....”
“Bu, mohon maaf kalau kedatangan saya terlalu mendadak. Saya sayang sama Amanda Bu, kita berdua tak punya alasan untuk menunda kabar baik ini.” ujar Koswara yang terlihat berbeda. Ia berusaha tampil lebih dewasa di depan Ibuku. Aku pikir dia sedang memenuhi janjinya untuk terlihat seperti aktor profesional.
“Ya sudah Nak kalau kalian sudah memutuskan, Ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik, mendukungmu.”
“Terima kasih ya Bu.” lirihku mencium pungung tangan Ibuku.
“Tapi orangtua Nak Koswara bagaimana? Sudah di kabari? Kapan akan ke Yogyakarta?”
Deg....
Pertanyaan terakhir ibu membuat aku dan Koswara hening saling bertatapan. Terlihat sekali dari garis wajahnya jika Koswara sedang berpikir. Aku dan Koswara abai jika Ibu ternyata akan sedetail itu.
“Ayah saya sudah meninggal sejak saya balita, Ibu saya akan menyusul secepatnya Bu.”
“Ya wis kalau begitu Nak. Semoga semuanya lancar.”
***
Aku mulai sibuk mempersiapkan pernikahan sederhanaku akhir minggu ini. Aku sengaja membuat semua acara lebih cepat karena masa cutiku akan segera habis.
Ibunya Koswara pun akan datang besok sore.
“Nak Koswara ini usia berapa?”
“Saya dua puluh dua tahun Bu.”
“Ya ampun masih muda! Amanda sudah tiga puluh tahun.”
“Gak apa-apa Bu, usia kan cuma angka.”
“Iya juga sih. Bekerja di bidang apa?”
“Koswara pelukis Bu!” aku menyela secepat kilat agar Koswara tidak mengatakan jika ia tukang gambar serabutan.
“Beberapa hasil karyanya di jual online.” terangku lagi.
Tenonet tenonet tenonet
Nada dering handphone usang Koswara memanggilnya. Sebetulnya tidak terlalu tua karena akses internet masih bisa di jangkau di sana.
“Saya pamit dulu Bu, Emak saya menelpon.” pamit Koswara meninggalkanku dan Ibu.
“Koswara itu masih muda tapi sopan banget loh Nak. Ibu suka sama laki-laki yang sopan apalagi sama orang tua.”
“Iya Bu. Doakan semua lancar ya Bu.”
***
“Mak!”
“Jang ada apa atuh sampai-sampai Emak harus ke Yogyakarta mendadak begini. Mana Emak mabuk perjalanan ini, dari Bandung ke Yogyakarta pake kereta api meni capek.” kata Mak Edah dengan logat sunda yang khas.
“Mak, Kos mau nikah akhir minggu ini sama orang sini. Makanya Emak Kos minta ke sini.”
“Euleuh eulueh si Engkos, kapan kamu punya pacar tiba-tiba mau menikah. Baru juga kemarin kamu teh pamit sama Emak mau ngecat rumah gudang sama ngecat meja hotel. Kenapa sekarang tiba-tiba ada di Yogyakarta mau menikah minggu depan. Di ajar melet dari mana kamu?” cerocos Mak Edah memukul-mukul halus dada bidang anaknya.
“Sssssttt Mak jangan berisik dulu atuh, ini Koswara mau jelaskan sesuatu dulu sama Emak.”
“Eh calon besan sudah datang, sini Bu kita ngobrol di sini dulu. Nak Koswara tolong letakan tas Ibunya di kamar tamu.” seru Ibuku yang tiba-tiba menyela perkataan Koswara, Ibuku antusias menyambut kedatangan Mak Edah yang baru di temuinya.
“Aduh....” lirih Koswara memukul kepalanya sendiri.
“Silahkan duduk Besan! Senang sekali ya akhirnya saya punya besan. Saya gak nyangka akan sebahagia ini loh.” pinta Ibu bersemangat.
“Kita belum kenalan loh Besan, saya Puji Astuti.” lanjut Ibu mengulurkan tangannya.
Di sambut hangat Mak Edah kemudian. “Oh iya saya Edah Maemunah.”
“Senang sekali ya bisa besanan sama Jeng Edah. Oh Mau minum apa Besan?” tanya Ibu pada Mak Edah yang celingak-celinguk seperti mencari sesuatu.
“Terima kasih Besan, apa saja yang saya mah tidak mau merepotkan.”
“Loh kok merepotkan sih Jeng, enggak lah kita kan sebentar lagi akan jadi keluarga Jeng.”
“Kalau begitu saya boleh minta es teh manis saja Besan.”
“Amanda!” teriak Ibu yang masuk ke telingaku meski aku berada di kamar mandi.
Koswara sedang mondar-mandir dengan tangan yang di silang ke tengkuknya di balik pintu kamar mandi yang ku buka.
“Gawat Teh Gawat!”
“Ada apa sih Kos? Bikin takut aja deh.”
“Itu Teh, Emak saja nyelonong masuk aja ngobrol sama Ibu sementara saya belum sempat jelasin apa-apa sama Emak.”
“Jadi maksud kamu, Ibu mu belum tau kalau kita....” suara ku terputus oleh teriakan Ibu yang kembali memanggilku.
Koswara hanya mengaduh seraya mengusap-ngusap kepalanya. Wajahnya pucat menggambarkan ke khawatiran.
“Oke, tenang-tenang.” lirihku menarik nafas panjang menenagkan diri sendiri.
“Jadi apa? Maksud saya siapa nama Ibumu Kos?”
“Emak Edah Teh.”
Ku tarik nafas dalamku sekali lagi berjalan tergesa menuju ruang tamu dan menemui mereka di buntuti Koswara dari belakang.
“Emak! Mak Edah apa kabar?” sapaku meraih tangan Mak Edah lalu menciumnya. Aku berusaha sok akrab, sama seperti halnya Koswara kepada Ibuku.
“Euuuuh duuuh, ini calon mantu Emak teh Kos!?” seru Mak Edah terbelalak menatapku kemudian menatap Koswara di iringi anggukannya.
“Aduh halah aduh halah meni cantik gini, putih bersih. Ah Kos ah Kos di apain atuh ini si Neng sampai mau sama kamu.” ujar Mak Edah heboh beranjak duduk berulang kali hingga menepuk-nepuk pahanya sendiri seperti gemas padaku.
Ternyata Mak Edah jauh lebih lucu dari pada Koswara.
“Baik Neng baik. Emak teh sebenarnya kaget Neng ketika si Kos bilang ada di Yogyakarta, minta Emak nyusul ke Yogyakarta. Eh sampai di sini baru di bisikin si Kos mau nikah sama orang sini minggu ini lagi. Bagaimana Emak tidak kaget kan Neng. Aduuuh Emak senang sekali ini teh.” cerocos Mak Edah dengan logat sundanya yang kental.
Koswara hanya senyum-senyum saja mematung di atas sofa di samping Ibunya.
Obrolan pun tak terindarkan, bahkan berjam-jam lamanya. Obrolan hangat yang semakin membuatku tahu siapa Koswara begitu juga sebaliknya. Karena Ibu dan Emak saling melempar kalimat-kalimat lucu tentang kenakalan kami.
Mereka begitu polos menerima dengan bahagia kabar yang mendadak ini.
***
Pernikahan pun di gelar.
“Saudara Koswara Nataprawira bin Alm. Raden Cecep Nataprawira, saya nikahkan engkau dengan Amanda William binti Bapak Riley William yang walinya saya sendiri yang telah di angkat menjadi wali hakim, dengan maskawin uang tunai seratus ribu rupiah di bayar tunai!”
“Saya terima nikah dan kawinnya Amanda William binti Bapak Riley William dengan maskawin nya yang tersebut tunai!”
“Sah sah sah.”
Riuh kemudian Ibu dan Emak saling berpelukan bahagia. Aku jadi tidak tega jika suatu hari mereka harus tahu yang sebenarnya.
Sementara aku sedikit lega, satu persatu rencanaku berjalan dengan baik. Koswara sendiri terlihat begitu tegang menghadapi akad nikah kami meski sudah berulang kali aku memintanya untuk lebih santai toh pernikahan ini pun hanya topeng saja. Namun ia mengelak jika ini kali pertama ia menikah jadi ketegangan itu nyata ia rasakan.
Koswara bahkan keras kepala ingin memberikan maskawin dengan hasil keringat nya. Dan upah terakhirnya mengecat meja-meja kayu di Hotel itu lah yang jadi maskawin pernikahan kami.
Selepas saling bertukar cincin aku hendak mencium punggung tangan Koswara, tapi kepala kami beradu.
“Aduuuh” keluh kami kompak.
“Kamu ngapain sih Kos pake nunduk segala, kan saya yang harus cium tangan kamu.”
“Maaf Teh, saya lupa. Soalnya saya terbiasa cium tangan sama orang yang lebih tua.”
“Astaga Kos.” Koswara membuatku tak bisa menahan tawa.
Aku terpesona dengan senyuman Ibu dan Emak saat mereka dengan ramah tamahnya menyambut tamu yang semuanya adalah tetangga dan teman-teman Ibuku. Aku bahkan tak mengundang satu pun teman-teman ku. Aku mengelak jika kita tidak punya waktu.
Selepas pernikahan ini aku harus segera kembali ke Jakarta karena masa cutiku sudah habis dan aku sudah harus bekerja.
***
“Ibu yakin gak mau ikut aku ke Jakarta?”
“Nanti saja lah Nak, sekarang Ibu belum siap buat tinggal di Jakarta.”
“Ya udah kalau Ibu mau nya gitu. Aku pamit.” ku cium punggung tangan Ibuku, ku peluk erat ia yang masih sibuk menyeka air matanya.
“Sudah atuh Besan jangan nangis terus, nanti lain waktu kita bisa nginep bareng di Jakarta.”
“Iya Jeng Besan boleh kalau gitu.”
Aku tak menyangka pertemuan dadakan dan singkat mereka tetap saja menyisakan tangis saat keduanya harus berpisah.
“Nak Kos, Ibu titip Amanda ya. Nak Kos kan sekarang suaminya Manda jadi semua yang Manda lakukan sekarang itu tanggung jawabnya suami. Ingat pesan Ibu ya Nak. Kamu juga jaga diri baik-baik.” pinta Ibu yang berat untuk berpisah dengan Koswara, bahkan saat Koswara selesai mencium tangannya, Ibu kembali menarik tubuh Koswara ke pelukannya.
***
“Kos kamu yang bawa mobil ya? Saya capek banget. Nanti kita bisa gantian.” ku ulurkan kunci mobilku pada Koswara.
“Siap Teh!”
Dari belakang kursi mobilku terlihat Mak Edah sudah terlelap. Begitu pun dengan mataku yang sudah berat untuk ku buka.
“Kos, kita udah sampai mana?” tanyaku yang di sambut Koswara panik, menarik sweater tipis miliknya yang menyelimuti sebagian badanku.
“Maaf Teh, Emak yang nyuruh!” katanya yang lebih fokus pada kepanikannya dari pada pertanyaan ku.
“Biar si Kos belajar jadi suami yang perhatian sama isteri Neng!” celetuk Mak Edah yang tak ku sadari beliau sudah terjaga.
Aku dan Koswara hanya saling melirik sejenak lalu segera fokus pada perjalanan kami menuju Bandung.
***
Sesampainya di Bandung.
“Teh saya mau beresin dulu barang-barang saya yang mau di bawa ke Jakarta.”
“Neng Amanda cantik, terima kasih ya sudah mau menerima si Kos. Emak senang sekali punya mantu seperti Neng Amanda sudah cantik, pinter, sopan sama Emak padahal Emak sama si Kos orang gak punya.”
“Jangan gitu ah Mak, semua orang sama kok. Emak hebat malah bisa didik Koswara mandiri padahal dia masih muda. Koswara juga baik sopan sama Ibu saya, itu pasti berkat didikan Emak juga kan.”
“Kalau si Kos macem-macem di Jakarta langsung telpon Emak ya Neng.”
“Iya Mak. Koswara udah selesai kayaknya Mak. Saya pamit ya Mak. Emak jaga kesehatan.” tak lupa ku cium punggung tangan Mak Edah di sertai pelukan perpisahan.
“Kos, awas jangan macem-macem di Jakarta. Harus sukur kamu punya istri cantik baik gitu kayak Neng Amanda.”
“Iya Mak.”
“Sebenarnya mah Emak juga kayak mimpi ini teh, kamu tiba-tiba menikah. Tapi ya sudahlah nanti saja bercerita nya kalau ada waktu banyak ya Kos, sekarang mah kasian Neng Amanda nungguin.”
“Iya atuh Mak, Kos pamit.”
“Eh tunggu-tunggu Kos, satu lagi Kos. Kamu itu sekarang seorang suami, kamu tetap harus tanggung jawab sama Neng Amanda, meskipun Neng Amanda sudah segala punya, sudah kaya. Kamu tetap harus menafkahi Kos. Anak Emak mah harus tahu menempatkan diri ya Kos.”
“Iya Mak siap!”
Pelukan perpisahan terkahir yang akan membawa Koswara memulai hidup barunya di Jakarta bersama ku.
***
Bersambung...
Ah akhirnya aku sampai di rumah. Rumah hasil keuletanku dalam bekerja, rumah bertema industrial yang aku gambar dan ku bangun sendiri, pun rumah yang menjadi saksi betapa kacaunya aku saat berpisah dengan Arjuna dulu. Aku berlari bak hembusan angin, meninggalkan Koswara yang masih sibuk mengemas barang-barangnya dari bagasi mobilku yang tak besar. Ku banting tubuhku sembarang di atas sofa marun empuk yang membuatku sedikit terlempar di udara. “Permisi.” suara Koswara lirih sedikit membungkukkan badannya. Koswara melangkah kan kakinya perlahan, melirik ke kiri dan ke kanan seperti ingin menyebrang jalan. Entah apa maksudnya. Aku tak paham. Aku mengulum senyum melihat Koswara celangak-celinguk. “Masuk Kos sini, duduk dulu! Capek banget uuuuff.” pintaku. Ku paksa tubuhku beranjak, saat Koswara meletakan diri di atas sofa marun lainnya di sebrangku.
Baru saja ku buka pintu kamar tidurku, bau wangi yang menggugah selera menusuk hidungku. Jelas saja aku tau siapa pelakunya. Aku berjalan turun dari kamar ku di lantai dua menuju dapur, penasaran rasanya apa yang di masak Koswara hingga bau nya membuat isi perut meronta seketika. Tanganku masih sibuk mengikat arloji, "Bau nya enak banget Kos, masak apa kamu?" "Eh Teh Manda, selamat pagi Teh. Nih saya siapkan sarapan spesial." katanya mengulurkan sepiring penuh nasi goreng lengkap dengan kerupuknya. Sayangnya ada butiran-butiran sayur hijau dengan bau menyengat. Itu Pete. Dan aku tidak menyukainya. "Yah Kos, aku gak suka pete. Kamu bikin nasi goreng polos gak?" "Oh maaf Teh saya gak tau, kalau mau saya buatkan sekarang Teh." "Gak usah Kos, setengah jam lagi saya udah harus pergi ke kantor. Gak apa-apa
Aku perhatikan dengan seksama, Koswara menunjuka gelagat asing, ada perasaan yang ia sembunyikan dariku. Entahlah. Aku hanya menerka dari jemari tangannya yang panjang ia lipat satu dengan lainnya. Matanya pun terlihat kabur tak berfokus. Ada keragu-raguan yang sangat jelas ketara di setiap gerak-geriknya yang minim. “Kos kamu kenapa? Sejak saya bilang kita akan melakukannya, sikap kamu jadi aneh.” Koswara melirikku sebelum menundukan kepalanya dan telapak kaki yang tak berhenti ia gerakan. Aku yang sibuk di belakang kemudi mulai merasakan kebimbangan Koswara. “Sa-saya deg-degan Teh.” lirih Koswara yang membuatku tertawa seketika. Benar, aku tertawa jelas sekali tepat setelah Koswara mengungkapkan perasaannya, itu karena Koswara begitu polos dan lucu. Dengan tenang aku berkata, “Kan saya udah bilang sama kamu, jangan pake perasaan. Jadi kamu sebetulnya gak ada alasan untuk gugup.”
Hari ini mood bekerjaku sedang tidak baik, tumpukan kertas di meja kerjaku tak tersentuh sedikitpun. Pikiranku melayang-layang, kejadian semalam seperti menamparku akan yang ku jalani saat ini. Apakah aku sedang berada di jalan yang benar atau aku sedang tersesat? Hubunganku dengan Koswara memang hanya bertujuan untuk mencegah penyakitku mengganas karena aku tidak mungkin menyerah begitu saja dengan penyakit sialan yang datang tiba-tiba ini. Tetapi kini masalah baru muncul menyesakan kepalaku. Bagaimana jika Koswara tidak bisa ‘melakukannya' lagi? Jika itu terjadi cepat atau lambat ibu akan mengetahui semuanya dan itu yang harus aku hindari. Kenapa aku merasa ini jadi lebih sulit dari yang aku bayangkan. Argh! Rasanya kepalaku mau pecah memikirkannya. Membawa laki-laki ke dalam kehidupanku memang selalu berhasil membuat pening kepala. “Astaga Manda, kamu gak kerja? Dari tadi pagi
“Saya tunggu di atas ya Kos!” Malam ini aku dan Koswara akan mencobanya lagi. Aku benar-benar tak ada petunjuk apa yang akan terjadi nanti. Koswara tak bisa ku tebak untuk urusan ini. Aku bersiap dengan model baju tidur yang sama seperti saat pertama kami mencobanya. Ya, model chemise selutut. Hanya saja kali ini aku sedang ingin mengenakan warna putih gading. “Permisi.” Koswara membuka pintu pelan. Pelan sekali. Bola matanya segera meliar sesaat setelah melewati pintu yang sengaja tak ku tutup rapat. Aku melirik sumber suara sekilas. “Masuk Kos.” pintaku seraya menyibukan diri dengan tablet menyala di tanganku. Bukan untuk bekerja. Aku hanya sedang melepas penat dengan bermain game permen yang di silang. Meski seperti bocah, nyatanya berhasil mengusir bosan. Setelah ku matikan dan ku simpan tabletku di laci nakas, aku mulai fokus kembali pada Koswara yang berjalan ke arahku, lagi-lagi pelan.
“Aku tidak akan melepaskanmu begitu saja Koswara! Enteng sekali kamu bicara tidak bisa melakukannya setelah menyombongkan diri akan professional. Kamu sudah terlanjur masuk di kehidupanku dan ibu. Dia mungkin bisa bermain-main dengan perasaanku, tapi dengan ibuku, aku tak akan membiarkannya secepat itu." monologku tercekat. Sakit sekali saat seperti ini tiba-tiba bayangan ibu datang. Berkali-kali aku memukul kemudi hanya untuk melepaskan kesal yang bercokol di hati. "Jika bukan karena ibu, sudah ku tendang kau semalam. Hanya membuat kepalaku semakin pening saja.” kali ini aku sudah menahan emosi. Entah sejak kapan aku mulai kecanduan mengoceh sendiri, seperti membenarkan teori gila pada kitab-kitab lama. “Dasar bocah tak berguna! Impoten!” “Bagaimana bisa aku di permainkan oleh pria seperti Koswara? Sebodoh itukah aku sekarang?” Pagi ini, mobil sedan putihku sudah sesak
Matahari sudah meninggi, sinar hangatnya sudah terasa panas menyengat sejak tadi. Dan aku masih betah membenamkan wajahku di bawah bantal untuk kembali meraih alam mimpi. 'You just want attention, you don't want my heart Maybe you just hate the thought of me with someone new' Aku terpaksa beranjak saat ponselku berdendang lagu milik Charlie Puth yang baru saja ku setel sejak tiga hari lalu. “Ibu! Apa kabar, Bu?” sapaku saat layar ponsel pintarku menampilkan namanya. “Ya ampun Manda, sudah jam setengah sebelas siang ini kamu masih tidur. Keterlaluan kamu ini Man!” seru ibu mengabaikan pertanyaanku tentang kabarnya. Dahiku berkerut sementara alisku meninggi dari tempatnya. “Aku baru bangun Bu, kalau masih tidur mana bisa jawab telpon.” Ibu berdecak. “Ya apalah itu Nak. Intinya kamu ini kan sudah jadi istri orang, mana bisa bangun sesiang ini. Suamimu keman
‘Tok tok tok’ Suara pintu yang di ketuk, nyaring sekali. Aku terlempar keluar dari alam mimpi seketika, padahal saat itu aku tengah bermimpi indah khas 'orang dewasa'. Sial memang! Padahal untuk seorang jomblo sepertiku mimpi langka itu tentu sangat di nantikan. Ralat! Statusku saja yang bersuami nyatanya perasaanku masih kosong melompong persis seorang jomblo. Ku lirik jam dinding putih berdiameter satu meter yang menggantung di kamar tidurku. Jam dinding tiga dimensi yang jarum pendeknya masih di angka enam, sementara jarum panjangnya bertahan di angka dua belas. "Ternyata Koswara tepat waktu juga!" desisku menatap perputaran detik yang bergerak cepat. Ku buka tirai kamar tidurku yang sudah sedikit hangat dengan pancaran sinar matahari yang kemarin sempat aku lewatkan dengan sengaja. Kemarin suasana hatiku sedang anjlok jadi aku tak minat untuk beraktifitas. Sementara Minggu pagi ini aku sudah punya kesep