Namaku Amanda William. Tadinya aku sudah tidak ingin di pusingkan dengan urusan laki-laki, toh hidupku sudah cukup bahagia sendiri. Karir ku bagus, aku sudah memiliki rumah sendiri meski tak mewah. Kendaraan pun aku punya meski bukan kendaraan wah.
Nyatanya saat aku menikmati kesendirianku yang ke lima tahun ini, Ibuku malah terus-menerus menanyakan kabar hatiku. Berharap ada laki-laki yang menggantikan posisi Arjuna, mantan kekasih ku.
Terlebih ocehan kedua sahabat baik ku Fitria dan Jenny yang sudah mendahuluiku berkeluarga semakin membuat kepalaku sakit. Menurutnya hidupku tak normal, sebab aku memilih untuk sendiri selamanya. Mereka ingin aku hidup normal katanya.
Aku sudah melihat seorang perempuan cantik yang duduk memangku seorang bayi. “Ya ampun Jen, anakmu lucu sekali.” pujiku saat pertama kali melihat putra Jenny mengenakan kemeja rapi bak orang dewasa.
Jenny memutar bola matanya, “Makanya cepet bikin, biar kamu juga punya.” katanya ketus.
“Bikin? Emang dari tanah liat bisa bikin sendiri.” jawabku tak kalah ketus.
Jenny memicingkan matanya, menatapku dengan tatapan asing, seperti kesal yang tertahan. “Ya cari dong yang mau jadi partner buat bikinnya!”
“Aduh mulai ngelantur lagi. Mana nih si Fitria jam segini belum datang juga?” ujarku mengalihkan pembicaraan Jenny.
“Ayo Nak main sama Alex.” pinta Fitria pada anaknya agar mau bermain bersama Alex putra sulung Jenny.
Aku mulai resah saat Fitria yang kini ada di antara aku dan Jenny. Seperti obrolan-obrolan sebelumnya, pasti aku yang selalu terpojokan.
“Sorry ya, aku telat lagi. Maklum Pak Suami kalau libur maunya di kelonin terus. Hahaha.” lanjutnya di sambut tawa Jenny.
“Mulai deh.” protesku yang sudah badmood sejak tadi.
“Ye bukan salah kita lagi. Suruh siapa milih jomblo seumur hidup?” jawab Fitria di dukung anggukan Jenny.
Aku mulai menyalakan sebatang rokok Marioboro kesukaan ku, berbincang hangat dengan sahabat baik ku. Jenny dan Fitria sudah menjadi bagian dari keluargaku. Persahabatan kami sudah berjalan hampir lima belas tahun lamanya. Tepatnya saat kami masih sama-sama duduk di bangku SMA.
Jenny memang begitu, dia selalu galak pada topik-topik tertentu. Tapi karakter feminin nya lebih mendominasi saat mengambil keputusan-keputusan penting. Seperti keputusannya menggunakan dress bermotif bunga anggrek ungu di padukan bando rambut senada. Sempurna sekali membalut tubuhnya yang masih indah meski sudah memiliki dua orang putra. Selain memiliki anak-anak yang tampan, Tentu saja Jenny juga wanita bersuami. Samudera suaminya, seorang Dokter yang karirnya tak perlu diragukan lagi.
Lalu bagaimana dengan Fitria? Fitria itu mesum! Dia adalah orang yang paling ahli sepertinya dalam urusan ranjang. Kenapa begitu? Karena hanya dia yang selalu bersemangat mengangkat topik itu. Bahkan dahulu....
Saat kami masih duduk di bangku SMA dia punya koleksi beberapa dvd dewasa. Dan dia selalu antusias akan itu. Aku yang bekerja satu kantor dengannya kadang khawatir jika nanti ia akan meracuniku dengan kegilaannya itu. Beruntungnya, Fitria juga wanita bersuami dengan satu putra. Lexi nama putranya sedangkan suaminya Febri seorang yang paham sekali dengan teknologi.
Aku hampir tesedak asap rokok saat Jenny tiba-tiba menginjakan kakinya keras di bumi dan berkata, “Manda, udahan dong rokoknya! Makin ke sini aku perhatikan kecanduanmu malah semakin parah.” pinta Jenny sekilas menasehatiku dengan sebal.
“Maaf deh maaf.” pintaku seraya mematikan batang rokokku yang masih panjang.
Aku pun mulai tersedak kembali setelah berusaha menelan bakso berukuran kecil. Saat Fitria lagi, membuka topik yang membuat kupingku sakit.
“Man udah tahun kelima ini, masih aja belum move on dari Arjuna? Kamu juga berhak bahagia Man.” kata Fitria melanjutkan.
“Gak lah, Arjuna udah aku anggap mati. Tapi gak tau lah Fit, aku masih....”
“Masih takut kecewa lagi? Takut kalau kamu ketemu laki-laki berengsek kayak bapak mu?” cecar Jenny menyelaku.
Lagi, mereka mencecarku dengan pertanyaan yang sama yang sudah berulang hingga ratusan.
***
Awal pekan yang akan melelahkan, sebab aku di sambut tangung jawab pekerjaan baru yang lebih besar. Perusahaan memintaku untuk menangani projek apartemen baru di luar kota. Pekerjaan yang mewajibkanku untuk tinggal di Surabaya selama enam minggu lamanya.
“Proyek besar honor besar Man.” seru Doni bersemangat saat kami mulai menyiapkan berkas-berkas yang akan kami bawa ke Surabaya.
“Lumayan lah buat jajan anakmu Don.” jawabku datar. Doni menghentikan aktifitasnya sejenak. Dia melempar senyum bahagia. “Jajan anaknya sama jajan ibunya Man.” Aku terkekeh kemudian. “Iya.”
Sebagai seorang Arsitek utama di perusahaan, kaki tangan dan rekan kerjaku memang lebih di dominasi laki-laki dan aku sudah terbiasa dengan itu.
***
Kepalaku mulai pusing. Penglihatanku juga terasa hilang sebagian saat aku bersiap untuk kembali ke Jakarta setelah enam minggu aku bekerja di Surabaya. Badanku juga lemas sekali.
Doni yang duduk di sampingku seperti melihat gerak-gerikku hingga ia bertanya, “Man, kamu sakit ya?” Aku mengepalkan kedua tanganku tanpa sadar. “Kayaknya sih gitu Don,” "Kamu terlihat pucat Man, apa mau ku antar ke rumah sakit Man?” tawar Doni mulai panik. Telapak tangan Doni sudah berkali-kali menyentuh dahiku untuk memastikan suhu tubuhku. Kali ini ku silangkan tangan ke dada. “Tidak usah Don, nanti biar di Jakarta aku ke Dokter, kebetulan suami sahabatku seorang Dokter.” kataku menolak kebaikan yang Dini tawarkan. Aku memang terbiasa dengan Samudera. Dia sudah seperti private dokterku. “Yakin kamu Man?" “Gak apa-apa Don. Thanks ya.” balasku mencoba menenagkan Doni.
***
Ku tahan setiap sakit yang menjalar tubuhku hingga aku meninjakan kaki di Bandara Soekarno Hatta. Aku pamit mendahului Doni untuk pergi dengan memesan taxi online menuju klinik Dokter Samudera.
"Amanda! Tumben sekali tiba-tiba datang gak kasih kabar?" sapa Jenny merangkulku dengan menyilangkan tangan di balik tulang punggungku.
Aku hanya tersenyum seraya menahan kepalaku yang mulai terasa berat.
“Man, kenapa? Kamu sakit? Pucat sekali wajahmu. Yuk ke klinik!” Jenny sedikit berlari mengarahkanku ke pintu masuk klinik yang menyatu dengan kediamannya. Aku mengikutinya. “Hai Sam.” aku menyapanya lirih. Rasanya tenagaku sudah habis, tubuhku nyaris ambruk malah. Samudera sudah sejak tadi menyibukan tangannya untuk memeriksa keadaanku. “Hai Amanda, udah lama gak ketemu. Sekalinya ketemu malah minta obat.” Aku mengulum senyum dengan kata-kata Samudera.
Amanda mulai resah. Aku bisa merasakan dia tengah mengkhawatirkanku. “Gimana Mas? Amanda gak apa-apa kan?” Jenny menyela suaminya yang tengah memeriksa keadaanku. Samudera mengangguk pelan lalu berujar, “Sakit biasa aja Man, tekanan pekerjaan yang bikin stres, kurang istirahat jadi kecapekan dan kebiasaan rokok yang harus segera di hentikan.” jelasnya seraya menulis resep di secarik kertas. Jenny yang sebelumnya berdiri di samping kakiku kini meraih tanganku untuk sekedar membantuku agar bisa duduk di tepi brangkar. "Tuh kan Man, aku udah berkali-kali bilang. Buang sajalah rokokmu itu.” pinta Jenny yang di setujui suaminya.
Samudera beranjak dari tempat duduknya. Memutari meja kerjanya dan menempatkan bokongnya disana. “Rokok itu hanya merusakmu Man. Apalagi kamu perempuan, kamu akan mengandung di kemudian hari. Sebelum kamu tidak bisa lepas, kamu harus mulai terapi untuk berhenti dari sekarang.” “Tenang saja Sam, aku tidak ingin mengandung jadi aku tidak akan menyakiti siapapun.” jawabku datar seraya beranjak dari tepi brangkar.
Benar sekali! Aku memang memutuskan untuk hidup sendiri saja, aku tak ingin mencari pasangan yang akan meributkan kehamilan atau yang lainnya. Aku sudah mati rasa.
“Kamu menyakiti dirimu sendiri Man!” pekik Jenny yang mulai kesal. Aku tentu saja kaget mendengar Jenny membentakku keras, segalak-galaknya Jenny dia tidak pernah membentakku sekeras itu.
Sedetik kemudian mata Jenny sayu. Tidak seperti sebelumnya yang melotot hingga bola matanya nyaris jatuh. Jenny meraihku. Dengan suara lirih dia berkata, "Man aku minta maaf ya. Aku khawatir sama kamu jadi terbawa perasaan sampe bicara terlalu keras." Aku tersenyum. Lebih dari itu, hatiku pun tersenyum sebab aku masih memiliki mereka yang menyayangiku tanpa sebab. “Makasih banyak ya Jen.”
Kami pun saling meleburkan pelukan Di saat yang sama juga melepaskannya untuk pamit pulang. Aku bahkan tak pernah membayar jasa Samudera setiap kali aku sakit. Pun dengan obat yang aku ambil di apotik samping kliniknya.
Ah mereka memang keluargaku di tanah perantauan ini.
***
Bersambung...
Matahari pagi ini begitu hangat menerobos kaca jendelaku hingga tepat menyentuh wajahku. Untunglah pagi ini badanku sudah lebih baik. Dokter Samudera memang selalu bisa di andalkan saat tubuhku rapuh. I got new rules; I count ‘em I got new rules; I count ‘em I gotta tell them to myself I got new rules; I count ‘em I gotta tell them to myself Handphoneku berdering mendendangkan lagu New Rules milik Dua Lipa yang menjadi lagu favoritku. Nama Jenny yang nampak di layarnya. “Ya Jen, kenapa?” sapaku seraya mencecap teh manis pertamaku pagi itu. “Man ada yang mau di bicarakan sama Samudera.” jelas Jenny di sebrang telepon. Aku terdiam beberapa detik. Heran sebab tidak biasanya Samudera ingin bicara denganku. Untuk apa pikirku? Dan hal itulah yang langsung ku tanyakan pada Jenny. “Ada apa suami mu mau bicara denganku?” “Tentang kesehatan
I got new rules; I count 'emI got new rules; I count 'emI gotta tell them to myselfI got new rules; I count 'emI gotta tell them to myself Lagu favoritku berdering lagi, ada panggilan masuk dari Samudera. Ku biarkan handphoneku berdering beberapa detik. Aku masih butuh melakukan respirasi agar bisa tenang bicara dengan Samudera yang suaranya mendadak ku benci setengah mati. “Ya Sam.” “Amanda, hasil testnya sudah keluar. Kamu bisa ke klinik ku malam ini?” pinta Samudera bahkan tanpa basa-basi. Kalimat ini seperti perintah m
Aku melihat pantulan tubuhku dari cermin besar yang ku pasang di ruang fitness. Tubuh bugarku yang di basahi keringat, yang sama sekali tak menunjukan jika di dalamnya ada penyakit langka. Lagi ku putar tubuhku di depan cermin itu, ada pantulan tubuhku yang rapuh dan sakit-sakitan mengejutkanku. Aku terperanjat menghapus pikiran-pikiran negatif yang tiba-tiba menghantuiku. Bukankah sejak kecil aku gadis kuat? Bukankah aku gadis mandiri? Bukankah aku juga gadis pemberani? Aku akan melewati ini dengan mudah! Mantra-mantra positif yang coba ku jejalkan di kepala. Aku tak ingin terlena dalam duka. I got new rules; I count ‘em I got new rules; I count ‘em I gotta tell them to myself I got new rules; I count ‘em I gotta tell them to myself Handphone ku berdering en
“Eh kita belum kenalan ya, saya Amanda.” kataku mengulurkan tangan. Dia melirikku lalu mengelap telapak tangannya yang berlumuran cat terburu-buru saat melihat uluran tanganku. “Saya Koswara.” senyumnya mekar dan tulus. Koswara ini sepertinya orang baik, buktinya dia masih membantuku kemarin meski kakinya sudah ku lindas. Dia juga lucu karena selalu tersenyum. Wajahnya juga tampan, sayangnya Koswara bukan seorang pria yang peduli dengan penampilan. Buktinya, dia membiarkan permukaan wajahnya di tumbuhi berewok yang tak beraturan. Aku jadi terpikir untuk menyewanya saja. Apa dia akan setuju? Aku segera menyadarkan diri setelah memindai Koswara dari bawah hingga ke puncak kepalanya. Aku tak ingin tertangkap basah tengah memerhatikannya. “Kamu kerja di sini Kos?" “Iya Teh, untuk semingguan ini saya kerja di sini.” aku nya sekilas melirikku. jawaban Koswara sangat menggantung, aku jadi harus memperjelas pertanyaannku. “Emangnya sehari-
Kami pun duduk bersama di ruang tengah, aku dan Koswara duduk berdampingan, sementara ibu duduk di hadapan kami. Di antara aku dan ibu hanya tersekat meja bambu persegi panjang. “Jadi Bu, Koswara ini calon ku, kita mau menikah secepatnya, di sini." “Loh loh loh ada apa ini Manda, gak ada angin gak ada hujan kamu tiba-tiba datang ke sini membawa lelaki lalu akan menikahnya di sini. Ibu gak mengerti ini.” “Bu kok gak ngerti sih, kan Ibu sendiri yang selalu nanyain calon mantu. Ini aku bawa calon mantu Ibu.” “Ya memang Ibu sengaja jengkelin kamu nanya calon mantu terus, ya itu supaya kamu cepet nikah loh Nak. Tapi ya Ibu gak terpikir akan mendadak seperti ini juga.” “Mau nunggu sampai kapan Bu, usiaku sudah tiga puluh tahun. Jadi lebih cepat lebih baik kan?” “Ya betul Nak. Tapi....” “Bu, mohon maaf kalau kedatangan saya terlalu mendada
Ah akhirnya aku sampai di rumah. Rumah hasil keuletanku dalam bekerja, rumah bertema industrial yang aku gambar dan ku bangun sendiri, pun rumah yang menjadi saksi betapa kacaunya aku saat berpisah dengan Arjuna dulu. Aku berlari bak hembusan angin, meninggalkan Koswara yang masih sibuk mengemas barang-barangnya dari bagasi mobilku yang tak besar. Ku banting tubuhku sembarang di atas sofa marun empuk yang membuatku sedikit terlempar di udara. “Permisi.” suara Koswara lirih sedikit membungkukkan badannya. Koswara melangkah kan kakinya perlahan, melirik ke kiri dan ke kanan seperti ingin menyebrang jalan. Entah apa maksudnya. Aku tak paham. Aku mengulum senyum melihat Koswara celangak-celinguk. “Masuk Kos sini, duduk dulu! Capek banget uuuuff.” pintaku. Ku paksa tubuhku beranjak, saat Koswara meletakan diri di atas sofa marun lainnya di sebrangku.
Baru saja ku buka pintu kamar tidurku, bau wangi yang menggugah selera menusuk hidungku. Jelas saja aku tau siapa pelakunya. Aku berjalan turun dari kamar ku di lantai dua menuju dapur, penasaran rasanya apa yang di masak Koswara hingga bau nya membuat isi perut meronta seketika. Tanganku masih sibuk mengikat arloji, "Bau nya enak banget Kos, masak apa kamu?" "Eh Teh Manda, selamat pagi Teh. Nih saya siapkan sarapan spesial." katanya mengulurkan sepiring penuh nasi goreng lengkap dengan kerupuknya. Sayangnya ada butiran-butiran sayur hijau dengan bau menyengat. Itu Pete. Dan aku tidak menyukainya. "Yah Kos, aku gak suka pete. Kamu bikin nasi goreng polos gak?" "Oh maaf Teh saya gak tau, kalau mau saya buatkan sekarang Teh." "Gak usah Kos, setengah jam lagi saya udah harus pergi ke kantor. Gak apa-apa
Aku perhatikan dengan seksama, Koswara menunjuka gelagat asing, ada perasaan yang ia sembunyikan dariku. Entahlah. Aku hanya menerka dari jemari tangannya yang panjang ia lipat satu dengan lainnya. Matanya pun terlihat kabur tak berfokus. Ada keragu-raguan yang sangat jelas ketara di setiap gerak-geriknya yang minim. “Kos kamu kenapa? Sejak saya bilang kita akan melakukannya, sikap kamu jadi aneh.” Koswara melirikku sebelum menundukan kepalanya dan telapak kaki yang tak berhenti ia gerakan. Aku yang sibuk di belakang kemudi mulai merasakan kebimbangan Koswara. “Sa-saya deg-degan Teh.” lirih Koswara yang membuatku tertawa seketika. Benar, aku tertawa jelas sekali tepat setelah Koswara mengungkapkan perasaannya, itu karena Koswara begitu polos dan lucu. Dengan tenang aku berkata, “Kan saya udah bilang sama kamu, jangan pake perasaan. Jadi kamu sebetulnya gak ada alasan untuk gugup.”