Home / Romansa / Brondong Sewaan / Jomblo Bahagia

Share

Brondong Sewaan
Brondong Sewaan
Author: gen genafany

Jomblo Bahagia

Namaku Amanda William. Tadinya aku sudah tidak ingin di pusingkan dengan urusan laki-laki, toh hidupku sudah cukup bahagia sendiri. Karir ku bagus, aku sudah memiliki rumah sendiri meski tak mewah. Kendaraan pun aku punya meski bukan kendaraan wah.

Nyatanya saat aku menikmati kesendirianku yang ke lima tahun ini, Ibuku malah terus-menerus menanyakan kabar hatiku. Berharap ada laki-laki yang menggantikan posisi Arjuna, mantan kekasih ku.

Terlebih ocehan kedua sahabat baik ku Fitria dan Jenny yang sudah mendahuluiku berkeluarga semakin membuat kepalaku sakit. Menurutnya hidupku tak normal, sebab aku memilih untuk sendiri selamanya. Mereka ingin aku hidup normal katanya.

Aku sudah melihat seorang perempuan cantik yang duduk memangku seorang bayi. “Ya ampun Jen, anakmu lucu sekali.” pujiku saat pertama kali melihat putra Jenny mengenakan kemeja rapi bak orang dewasa.

Jenny memutar bola matanya, “Makanya cepet bikin, biar kamu juga punya.” katanya ketus. 

“Bikin? Emang dari tanah liat bisa bikin sendiri.” jawabku tak kalah ketus.

Jenny memicingkan matanya, menatapku dengan tatapan asing, seperti kesal yang tertahan. “Ya cari dong yang mau jadi partner buat bikinnya!”

“Aduh mulai ngelantur lagi. Mana nih si Fitria jam segini belum datang juga?” ujarku mengalihkan pembicaraan Jenny.

“Ayo Nak main sama Alex.” pinta Fitria pada anaknya agar mau bermain bersama Alex putra sulung Jenny.

Aku mulai resah saat Fitria yang kini ada di antara aku dan Jenny. Seperti obrolan-obrolan sebelumnya, pasti aku yang selalu terpojokan.

“Sorry ya, aku telat lagi. Maklum Pak Suami kalau libur maunya di kelonin terus. Hahaha.” lanjutnya di sambut tawa Jenny.

“Mulai deh.” protesku yang sudah badmood sejak tadi.

“Ye bukan salah kita lagi. Suruh siapa milih jomblo seumur hidup?” jawab Fitria di dukung anggukan Jenny.

Aku mulai menyalakan sebatang rokok Marioboro kesukaan ku, berbincang hangat dengan sahabat baik ku. Jenny dan Fitria sudah menjadi bagian dari keluargaku. Persahabatan kami sudah berjalan hampir lima belas tahun lamanya. Tepatnya saat kami masih sama-sama duduk di bangku SMA.

Jenny memang begitu, dia selalu galak pada topik-topik tertentu. Tapi karakter feminin nya lebih mendominasi saat mengambil keputusan-keputusan penting. Seperti keputusannya menggunakan dress bermotif bunga anggrek ungu di padukan bando rambut senada. Sempurna sekali membalut tubuhnya yang masih indah meski sudah memiliki dua orang putra. Selain memiliki anak-anak yang tampan, Tentu saja Jenny juga wanita bersuami. Samudera suaminya, seorang Dokter yang karirnya tak perlu diragukan lagi.

Lalu bagaimana dengan Fitria? Fitria itu mesum! Dia adalah orang yang paling ahli sepertinya dalam urusan ranjang. Kenapa begitu? Karena hanya dia yang selalu bersemangat mengangkat topik itu. Bahkan dahulu....

Saat kami masih duduk di bangku SMA dia punya koleksi beberapa dvd dewasa. Dan dia selalu antusias akan itu. Aku yang bekerja satu kantor dengannya kadang khawatir jika nanti ia akan meracuniku dengan kegilaannya itu. Beruntungnya, Fitria juga wanita bersuami dengan satu putra. Lexi nama putranya sedangkan suaminya Febri seorang yang paham sekali dengan teknologi.

Aku hampir tesedak asap rokok saat Jenny tiba-tiba menginjakan kakinya keras di bumi dan berkata, “Manda, udahan dong rokoknya! Makin ke sini aku perhatikan kecanduanmu malah semakin parah.” pinta Jenny sekilas menasehatiku dengan sebal.

“Maaf deh maaf.” pintaku seraya mematikan batang rokokku yang masih panjang. 

Aku pun mulai tersedak kembali setelah berusaha menelan bakso berukuran kecil. Saat Fitria lagi, membuka topik yang membuat kupingku sakit.

“Man udah tahun kelima ini, masih aja belum move on dari Arjuna? Kamu juga berhak bahagia Man.” kata Fitria melanjutkan.

“Gak lah, Arjuna udah aku anggap mati. Tapi gak tau lah Fit, aku masih....”

“Masih takut kecewa lagi? Takut kalau kamu ketemu laki-laki berengsek kayak bapak mu?” cecar Jenny menyelaku.

Lagi, mereka mencecarku dengan pertanyaan yang sama yang sudah berulang hingga ratusan.

***

Awal pekan yang akan melelahkan, sebab aku di sambut tangung jawab pekerjaan baru yang lebih besar. Perusahaan memintaku untuk menangani projek apartemen baru di luar kota. Pekerjaan yang mewajibkanku untuk tinggal di Surabaya selama enam minggu lamanya.

“Proyek besar honor besar Man.” seru Doni bersemangat saat kami mulai menyiapkan berkas-berkas yang akan kami bawa ke Surabaya.

“Lumayan lah buat jajan anakmu Don.” jawabku datar. Doni menghentikan aktifitasnya sejenak. Dia melempar senyum bahagia. “Jajan anaknya sama jajan ibunya Man.” Aku terkekeh kemudian. “Iya.”

Sebagai seorang Arsitek utama di perusahaan, kaki tangan dan rekan kerjaku memang lebih di dominasi laki-laki dan aku sudah terbiasa dengan itu.

***

Kepalaku mulai pusing. Penglihatanku juga terasa hilang sebagian saat aku bersiap untuk kembali ke Jakarta setelah enam minggu aku bekerja di Surabaya. Badanku juga lemas sekali.

Doni yang duduk di sampingku seperti melihat gerak-gerikku hingga ia bertanya, “Man, kamu sakit ya?” Aku mengepalkan kedua tanganku tanpa sadar. “Kayaknya sih gitu Don,” "Kamu terlihat pucat Man, apa mau ku antar ke rumah sakit Man?” tawar Doni mulai panik. Telapak tangan Doni sudah berkali-kali menyentuh dahiku untuk memastikan suhu tubuhku. Kali ini ku silangkan tangan ke dada. “Tidak usah Don, nanti biar di Jakarta aku ke Dokter, kebetulan suami sahabatku seorang Dokter.” kataku menolak kebaikan yang Dini tawarkan. Aku memang terbiasa dengan Samudera. Dia sudah seperti private dokterku. “Yakin kamu Man?" “Gak apa-apa Don. Thanks ya.” balasku mencoba menenagkan Doni.

***

Ku tahan setiap sakit yang menjalar tubuhku hingga aku meninjakan kaki di Bandara Soekarno Hatta. Aku pamit mendahului Doni untuk pergi  dengan memesan taxi online menuju klinik Dokter Samudera.

"Amanda! Tumben sekali tiba-tiba datang gak kasih kabar?" sapa Jenny merangkulku dengan menyilangkan tangan di balik tulang punggungku.

Aku hanya tersenyum seraya menahan kepalaku yang mulai terasa berat.

“Man, kenapa? Kamu sakit? Pucat sekali wajahmu. Yuk ke klinik!” Jenny sedikit berlari mengarahkanku ke pintu masuk klinik yang menyatu dengan kediamannya. Aku mengikutinya. “Hai Sam.” aku menyapanya lirih. Rasanya tenagaku sudah habis, tubuhku nyaris ambruk malah. Samudera sudah sejak tadi menyibukan tangannya untuk memeriksa keadaanku. “Hai Amanda, udah lama gak ketemu. Sekalinya ketemu malah minta obat.” Aku mengulum senyum dengan kata-kata Samudera. 

Amanda mulai resah. Aku bisa merasakan dia tengah mengkhawatirkanku. “Gimana Mas? Amanda gak apa-apa kan?” Jenny menyela suaminya yang tengah memeriksa keadaanku. Samudera mengangguk pelan lalu berujar, “Sakit biasa aja Man, tekanan pekerjaan yang bikin stres, kurang istirahat jadi kecapekan dan kebiasaan rokok yang harus segera di hentikan.” jelasnya seraya menulis resep di secarik kertas. Jenny yang sebelumnya berdiri di samping kakiku kini meraih tanganku untuk sekedar membantuku agar bisa duduk di tepi brangkar. "Tuh kan Man, aku udah berkali-kali bilang. Buang sajalah rokokmu itu.” pinta Jenny yang di setujui suaminya.

Samudera beranjak dari tempat duduknya. Memutari meja kerjanya dan menempatkan bokongnya disana. “Rokok itu hanya merusakmu Man. Apalagi kamu perempuan, kamu akan mengandung di kemudian hari. Sebelum kamu tidak bisa lepas, kamu harus mulai terapi untuk berhenti dari sekarang.” “Tenang saja Sam, aku tidak ingin mengandung jadi aku tidak akan menyakiti siapapun.” jawabku datar seraya beranjak dari tepi brangkar.

Benar sekali! Aku memang memutuskan untuk hidup sendiri saja, aku tak ingin mencari pasangan yang akan meributkan kehamilan atau yang lainnya. Aku sudah mati rasa.

“Kamu menyakiti dirimu sendiri Man!” pekik Jenny yang mulai kesal. Aku tentu saja kaget mendengar Jenny membentakku keras, segalak-galaknya Jenny dia tidak pernah membentakku sekeras itu. 

Sedetik kemudian mata Jenny sayu. Tidak seperti sebelumnya yang melotot hingga bola matanya nyaris jatuh. Jenny meraihku. Dengan suara lirih dia berkata, "Man aku minta maaf ya. Aku khawatir sama kamu jadi terbawa perasaan sampe bicara terlalu keras." Aku tersenyum. Lebih dari itu, hatiku pun tersenyum sebab aku masih memiliki mereka yang menyayangiku tanpa sebab. “Makasih banyak ya Jen.”

Kami pun saling meleburkan pelukan Di saat yang sama juga melepaskannya untuk pamit pulang. Aku bahkan tak pernah membayar jasa Samudera setiap kali aku sakit. Pun dengan obat yang aku ambil di apotik samping kliniknya.

Ah mereka memang keluargaku di tanah perantauan ini.

***

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status