I got new rules; I count 'emI got new rules; I count 'emI gotta tell them to myselfI got new rules; I count 'emI gotta tell them to myself
Lagu favoritku berdering lagi, ada panggilan masuk dari Samudera. Ku biarkan handphoneku berdering beberapa detik. Aku masih butuh melakukan respirasi agar bisa tenang bicara dengan Samudera yang suaranya mendadak ku benci setengah mati. “Ya Sam.” “Amanda, hasil testnya sudah keluar. Kamu bisa ke klinik ku malam ini?” pinta Samudera bahkan tanpa basa-basi. Kalimat ini seperti perintah mutlak. Tidak bisa ku tolak. “Oke, aku akan ke sana selepas bekerja.” jawabku menyanggupi permintaannya.
***Detak jantungku seketika melesat cepat, bahkan aliran darah di nadiku bisa ku rasakan jelas. Aku mulai gugup pada keadaanku yang akan datang. Otak ku kini kotor dengan pikiran-pikiran buruk yang akan terjadi kelak. “Jangan ngelamun mulu woy!” seru Fitria menggebrak meja kerjaku. Aku bahkan tak sadar, sejak kapan Fitria berdiri di depanku. Sepenuh itu otakku saat itu!
Aku mendongakan wajahku, menatap Fitria dengan sedikit keraguan. “Fit, ikutlah ke klinik Samudera. Hasil test nya sudah keluar.” Fitria mengangguk, menyanggupi permintaanku. “Apa kamu takut Amanda?” tanyanya saat mata kami beradu. Dia seperti bisa membaca suasana di netraku. Bahuku terangkat refleks. Respon setengah mengamini pertanyaan Fitria. Setengah, sebab sudut hatiku masih meyakini jika aku seorang yang sehat jasmani dan rohani. “Jangan terlalu di pikirkan Man, itu hanya akan membuat mu semakin drop. Kamu harus selalu berpikir positif.” wejangan Fitria kali ini benar adanya. Meskipun Fitria jarang sekali bicara serius sebab di antara aku dan Jenny, dialah orang yang paling rese. Tapi sejak kemarin dia selalu mendukungku, di sampingku dengan kalimat-kalimat positif yang bisa ku jejalkan ke dalam kepalaku.
***
Ku parkirkan dengan mantap mobil putih kesayanganku di halaman klinik Samudera. Aku menatap lurus-lurus, melihat Samudera dan Jenny yang tengah berbincang. Ku tatap lekat ekspresi wajah keduanya begitu hangat seperti biasanya. Aku jadi yakin jika tak ada yang perlu di takutkan dari hasıl test itu. Fitria sudah turun, wajahnya hanya setengah terlihat dari kaca mobil yang gelap. Dengan wajah setengah kesal dia mengetuk kaca mobil. “Ayo turun Man. Kenapa kamu masih duduk manis di situ?” perintah Fitria menyadarkan ku untuk segera keluar dari mobil.
Setengah berlari aku masuk ke dalam klinik, “Hai Jen! Hai Sam!” sapaku seraya merangkul mereka bersamaan. Samudera menatapku dengan senyummya yang lebar dia menyapa. Samudera begitu tenang. Dia tak menampilkan wajah menakutkan, membuat aku sedikit tenang. “Bagaiman kabarmu Man? Aku harap kamu baik-baik saja ya.” “Ya Sam aku baik. Bagaimana hasil testnya? Aku semakin penasaran.” balasku saat melihat Samudera mulai memilah kertas-kertas di atas meja kerjanya, menggenggam beberapa lembar di antaranya lalu menarik kursinya mencari posisi nyaman.
Samudera, Jenny dan Fitria saling menatap kemudian tatapan mereka kompak mengarah padaku, kali ini mereka membuatku takut. Apalagi saat Jenny mulai meraih tanganku dan menepuk-nepuk punggungnya. Aku seperti tengah di sisi jurang curam yang akan jatuh dengan sekali gerakan.
Samudera terlihat menarik napas dalam sebelum berkata, “Multiple sclerosis.”
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Aku masih belum mencerna kalimat singkat yang keluar dari mulut Samudera. “Apa itu Sam?” tanyaku singkat. “Semua hasil testnya ada di sini, kamu bisa membukanya.” katanya mengulurkan kertas-kertas yang sejak tadi dia genggam. Aku meraihnya, membuka tiap lembarannya dengan kasar. Aku bahkan tak membacanya dengan jelas, sebab itu akan percuma. Aku sama sekali tak mengerti kalimat-kalimat kedokteran yang tertera disana. “Apa ini Sam, aku sama sekali tak mengerti dengan tulisan-tulisan ini. Kau saja yang jelaskan padaku.” pintaku seraya meletakan kembali kertas-kertas tersebut di atas meja kerjanya. Samudera merapihkan kertas-kertas tersebut lalu kembali menarik napasnya dan berseloroh, “Baik Man, multiple sclerosis adalah kondisi sistem kekebalan tubuh yang beraksi secara salah, sehingga justru menyerang sistem saraf pusat. Saraf adalah organ tubuh yang berfungsi menghantarkan pesan ke bagian tubuh yang lain. Karena menyerang saraf, penyakit autoimun ini dapat menyebabkan kecacatan pada keadaan yang cukup parah.
Pada multiple sclerosis, sistem kekebalan tubuh menyebabkan peradangan pada struktur saraf yang bernama mielin, yang merupakan selubung saraf yang mengelilingi serat saraf. Mielin ini berfungsi melindungi sel saraf dan membantu jalannya pesan dari otak ke bagian tubuh yang lain.
Pada penderita penyakit ini, sistem imun tubuh menyerang mielin, sehingga lepas sebagian atau seluruhnya dari sel saraf. Dikarenakan proses peradangan yang terjadi, bisa pula timbul scarring atau munculnya jaringan parut pada mielin.
Ketika mielin rusak, pesan yang seharusnya dihantarkan oleh sistem saraf menjadi terhenti. Berbagai pesan yang seharusnya dihantarkan oleh saraf meliputi koordinasi untuk berjalan, cahaya, sensasi nyeri, atau berbicara. Kerusakan pada susuran saraf pusat dapat menyebabkan berbagai gejala neurologis yang akan bervariasi, tergantung dengan tipe dan keparahan multiple sclerosis.” paparan Samudera yang membuat kepalaku pening sekali. Rasanya aku ingin membenturkan kepalku ke tembok agar peningnya hilang.
“Penyebab multiple sclerosis tidak diketahui, tetapi terdapat beberapa faktor yang diduga terlibat dalam terjadinya penyakit ini. Para ilmuwan percaya bahwa kombinasi faktor lingkungan dan genetik berkontribusi terhadap terjadinya penyakit ini.” tambah Samudera tak melepaskan tatapannya padaku. Aku mendadak benci pada Samudera yang membuatku rapuh seketika. Badanku terasa lemas sekali.
“Amanda....” lirih Jenny meraihku ku erat, pun dengan Fitria. Aku masih terkejut dengan ini semua. Aku mendadak bisu. Kepalaku bahkan terasa melayang-layang saat mendengar semua penjelasan Samudera. Aku tak percaya, sungguh tak percaya. Kenapa ini terjadi padaku? Apa yang salah dengan ku?
Oke ada penyakit pasti ada obat. Mari kita tenang dan fokus pada pengobatan. Mantra positif yang ku paksa masuk ke otakku. “Obat apa yang harus aku konsumsi agar aku bisa sembuh?”
“Tidak ada!" balas Samudera singkat. Sesingkat dia mencekik leherku dengan kalimatnya yang tiba-tiba membuatku sulit bernapas.
“Sayangnya, sampai saat ini multiple sclerosis belum dapat disembuhkan.” tambah Samudera dengan tatapan mata yang semakin ku benci. Ingin ku colok saja tatapan menyesakan itu. Aku juga sudah gatal ingin membungkam mulut Samudera agar tak terus menerus menghantamkan beban di kepalaku.
“Apalagi ini Sam!” aku mulai berteriak tak terkendali, karena semua ini sulit aku terima.
“Tetap ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk meringankan gejalanya. Untuk obat itu sangat tergantung dari kondisi setiap pasien dan gejala yang dialami. Kemarin itu kamu mengalami beberapa gejala ringan Man, dan obat-obat yang aku berikan itu untuk mengurangi gejala-gejala tersebut. Aku akan mengenalkan mu dengan rekanku seorang Dokter spesialis saraf, kita akan mengontrol tingkat keparahan multiple sclerosis mu. Dan Amanda, a-ada satu hal lain yang bisa kita coba.”
“Apa itu Sam?” tanyaku secepat kilat.
Samudera tak lekas menjawab. Dia meliarkan pandangannya pada Jenny pun Fitria lalu padaku dan berkata, “Hamil dan melahirkan!”
“Hah, pernyataan gila apa lagi ini Sam? Aku tak percaya! Kalian tidak sedang ngprank kan?” Mereka hanya mengelengkan kepala saat aku mulai tak bisa mengontrol diriku sendiri.
“Bacalah jurnal ini Amanda, itu akan membuatmu lebih mengerti. Setelah aku tahu penyakit langka ini ada padamu, aku langsung mencari solusi yang mungkin bisa di coba. Dan ini memang seperti konyol, karena itu lah aku print out semua jurnal yang ku baca agar kau pun paham.” Samudera mengulurkan satu buku setebal jari telunjuk yang gimpal hasıl print out komputernya. Aku membacanya sekilas. Apalagi dengan pernyataan terakhir Samudera yang tak bisa aku terima begitu saja.
Fakta: Kehamilan sebenarnya bisa menjadi hal yang baik untuk wanita dengan multiple sclerosis. Mayoritas akan mengalami remisi selama trimester ketiga, meskipun banyak yang kambuh setelah melahirkan.
Bahkan ada semakin banyak bukti bahwa kehamilan dapat menurunkan risiko wanita terkena multiple sclerosis sejak awal.
Sebuah penelitian di Australia menunjukkan bahwa wanita dengan setidaknya satu anak memiliki kemungkinan 50 persen lebih rendah untuk mengalami multiple sclerosis daripada mereka yang tidak memiliki anak.
Pengurangan risiko menjadi lebih besar pada setiap kehamilan berikutnya. Para peneliti belum tahu pasti mengapa itu bisa terjadi, tetapi mereka menduga bahwa hormon adalah faktor penyebabnya.
Samudera bahkan melampirkan sumber-sumber informasi terpercaya. Lalu bagaimana aku bisa mengelak padanya.
Lagi aku membisu, rasanya tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan ku sekarang. Kepalaku pening, isinya penuh dengan kekacauan. Aku seperti tak punya tulang yang menopang tubuhku. Selemas itu yang ku rasakan saat itu! Ini menjadi salah satu berita terberat yang aku dengar selama tiga puluh tahun hidupku, seperti ada batu besar yang menimpa tubuhku. Ku pejamkan mataku agar aku yakin tengah di alam nyata. Beruntungnya, saat mataku terbuka aku masih memiliki Jenny dan Fitria yang tak melepaskan genggaman tangannya.
***
“Fit kamu bisa kan membawa mobilku? Aku mungkin tidak bisa konsentrasi mengemudi. Sepertinya aku juga butuh cuti beberapa hari Fit. Bisakan kamu uruskan ijin cutiku!” pintaku pada Fitria yang di sambung anggukannya. Untunglah Fitria bekerja di bagian HRD perusahaan, jadi dia bisa membantuku.
***
Akhirnya surat ijin cutiku keluar, dalam beberapa hari aku ingin di rumah saja. Menenangkan pikiranku, membangun kembali mentalku yang sebelumnya porak poranda, dan membuat jadwal ulang olahragaku agar aku bisa tetap menjaga sisa kesehatanku.
Aku baca dengan seksama jurnal kesehatan yang di berikan Samudera padaku. Memikirkan setiap detail yang di jelaskan dalam jurnal itu. Terlebih saat jurnal kesehatan ini banyak membahas penelitian-penelitian dari berbagai universitas di berbagai negara mengenai penyakitku.
Ada satu hal lain yang bisa kita coba, hamil dan malahirkan
Kata-kata itu selalu terngiang di pikiran pagi dan malamku, hal itu pula lah yang coba di tunjukan dalam jurnal yang sudah ku baca tiga kali, yang lipatan-lipatan kertas tipisnya sudah terlihat bak buku lama yang sudah ratusan kali di buka.
***
Bersambung...
Aku melihat pantulan tubuhku dari cermin besar yang ku pasang di ruang fitness. Tubuh bugarku yang di basahi keringat, yang sama sekali tak menunjukan jika di dalamnya ada penyakit langka. Lagi ku putar tubuhku di depan cermin itu, ada pantulan tubuhku yang rapuh dan sakit-sakitan mengejutkanku. Aku terperanjat menghapus pikiran-pikiran negatif yang tiba-tiba menghantuiku. Bukankah sejak kecil aku gadis kuat? Bukankah aku gadis mandiri? Bukankah aku juga gadis pemberani? Aku akan melewati ini dengan mudah! Mantra-mantra positif yang coba ku jejalkan di kepala. Aku tak ingin terlena dalam duka. I got new rules; I count ‘em I got new rules; I count ‘em I gotta tell them to myself I got new rules; I count ‘em I gotta tell them to myself Handphone ku berdering en
“Eh kita belum kenalan ya, saya Amanda.” kataku mengulurkan tangan. Dia melirikku lalu mengelap telapak tangannya yang berlumuran cat terburu-buru saat melihat uluran tanganku. “Saya Koswara.” senyumnya mekar dan tulus. Koswara ini sepertinya orang baik, buktinya dia masih membantuku kemarin meski kakinya sudah ku lindas. Dia juga lucu karena selalu tersenyum. Wajahnya juga tampan, sayangnya Koswara bukan seorang pria yang peduli dengan penampilan. Buktinya, dia membiarkan permukaan wajahnya di tumbuhi berewok yang tak beraturan. Aku jadi terpikir untuk menyewanya saja. Apa dia akan setuju? Aku segera menyadarkan diri setelah memindai Koswara dari bawah hingga ke puncak kepalanya. Aku tak ingin tertangkap basah tengah memerhatikannya. “Kamu kerja di sini Kos?" “Iya Teh, untuk semingguan ini saya kerja di sini.” aku nya sekilas melirikku. jawaban Koswara sangat menggantung, aku jadi harus memperjelas pertanyaannku. “Emangnya sehari-
Kami pun duduk bersama di ruang tengah, aku dan Koswara duduk berdampingan, sementara ibu duduk di hadapan kami. Di antara aku dan ibu hanya tersekat meja bambu persegi panjang. “Jadi Bu, Koswara ini calon ku, kita mau menikah secepatnya, di sini." “Loh loh loh ada apa ini Manda, gak ada angin gak ada hujan kamu tiba-tiba datang ke sini membawa lelaki lalu akan menikahnya di sini. Ibu gak mengerti ini.” “Bu kok gak ngerti sih, kan Ibu sendiri yang selalu nanyain calon mantu. Ini aku bawa calon mantu Ibu.” “Ya memang Ibu sengaja jengkelin kamu nanya calon mantu terus, ya itu supaya kamu cepet nikah loh Nak. Tapi ya Ibu gak terpikir akan mendadak seperti ini juga.” “Mau nunggu sampai kapan Bu, usiaku sudah tiga puluh tahun. Jadi lebih cepat lebih baik kan?” “Ya betul Nak. Tapi....” “Bu, mohon maaf kalau kedatangan saya terlalu mendada
Ah akhirnya aku sampai di rumah. Rumah hasil keuletanku dalam bekerja, rumah bertema industrial yang aku gambar dan ku bangun sendiri, pun rumah yang menjadi saksi betapa kacaunya aku saat berpisah dengan Arjuna dulu. Aku berlari bak hembusan angin, meninggalkan Koswara yang masih sibuk mengemas barang-barangnya dari bagasi mobilku yang tak besar. Ku banting tubuhku sembarang di atas sofa marun empuk yang membuatku sedikit terlempar di udara. “Permisi.” suara Koswara lirih sedikit membungkukkan badannya. Koswara melangkah kan kakinya perlahan, melirik ke kiri dan ke kanan seperti ingin menyebrang jalan. Entah apa maksudnya. Aku tak paham. Aku mengulum senyum melihat Koswara celangak-celinguk. “Masuk Kos sini, duduk dulu! Capek banget uuuuff.” pintaku. Ku paksa tubuhku beranjak, saat Koswara meletakan diri di atas sofa marun lainnya di sebrangku.
Baru saja ku buka pintu kamar tidurku, bau wangi yang menggugah selera menusuk hidungku. Jelas saja aku tau siapa pelakunya. Aku berjalan turun dari kamar ku di lantai dua menuju dapur, penasaran rasanya apa yang di masak Koswara hingga bau nya membuat isi perut meronta seketika. Tanganku masih sibuk mengikat arloji, "Bau nya enak banget Kos, masak apa kamu?" "Eh Teh Manda, selamat pagi Teh. Nih saya siapkan sarapan spesial." katanya mengulurkan sepiring penuh nasi goreng lengkap dengan kerupuknya. Sayangnya ada butiran-butiran sayur hijau dengan bau menyengat. Itu Pete. Dan aku tidak menyukainya. "Yah Kos, aku gak suka pete. Kamu bikin nasi goreng polos gak?" "Oh maaf Teh saya gak tau, kalau mau saya buatkan sekarang Teh." "Gak usah Kos, setengah jam lagi saya udah harus pergi ke kantor. Gak apa-apa
Aku perhatikan dengan seksama, Koswara menunjuka gelagat asing, ada perasaan yang ia sembunyikan dariku. Entahlah. Aku hanya menerka dari jemari tangannya yang panjang ia lipat satu dengan lainnya. Matanya pun terlihat kabur tak berfokus. Ada keragu-raguan yang sangat jelas ketara di setiap gerak-geriknya yang minim. “Kos kamu kenapa? Sejak saya bilang kita akan melakukannya, sikap kamu jadi aneh.” Koswara melirikku sebelum menundukan kepalanya dan telapak kaki yang tak berhenti ia gerakan. Aku yang sibuk di belakang kemudi mulai merasakan kebimbangan Koswara. “Sa-saya deg-degan Teh.” lirih Koswara yang membuatku tertawa seketika. Benar, aku tertawa jelas sekali tepat setelah Koswara mengungkapkan perasaannya, itu karena Koswara begitu polos dan lucu. Dengan tenang aku berkata, “Kan saya udah bilang sama kamu, jangan pake perasaan. Jadi kamu sebetulnya gak ada alasan untuk gugup.”
Hari ini mood bekerjaku sedang tidak baik, tumpukan kertas di meja kerjaku tak tersentuh sedikitpun. Pikiranku melayang-layang, kejadian semalam seperti menamparku akan yang ku jalani saat ini. Apakah aku sedang berada di jalan yang benar atau aku sedang tersesat? Hubunganku dengan Koswara memang hanya bertujuan untuk mencegah penyakitku mengganas karena aku tidak mungkin menyerah begitu saja dengan penyakit sialan yang datang tiba-tiba ini. Tetapi kini masalah baru muncul menyesakan kepalaku. Bagaimana jika Koswara tidak bisa ‘melakukannya' lagi? Jika itu terjadi cepat atau lambat ibu akan mengetahui semuanya dan itu yang harus aku hindari. Kenapa aku merasa ini jadi lebih sulit dari yang aku bayangkan. Argh! Rasanya kepalaku mau pecah memikirkannya. Membawa laki-laki ke dalam kehidupanku memang selalu berhasil membuat pening kepala. “Astaga Manda, kamu gak kerja? Dari tadi pagi
“Saya tunggu di atas ya Kos!” Malam ini aku dan Koswara akan mencobanya lagi. Aku benar-benar tak ada petunjuk apa yang akan terjadi nanti. Koswara tak bisa ku tebak untuk urusan ini. Aku bersiap dengan model baju tidur yang sama seperti saat pertama kami mencobanya. Ya, model chemise selutut. Hanya saja kali ini aku sedang ingin mengenakan warna putih gading. “Permisi.” Koswara membuka pintu pelan. Pelan sekali. Bola matanya segera meliar sesaat setelah melewati pintu yang sengaja tak ku tutup rapat. Aku melirik sumber suara sekilas. “Masuk Kos.” pintaku seraya menyibukan diri dengan tablet menyala di tanganku. Bukan untuk bekerja. Aku hanya sedang melepas penat dengan bermain game permen yang di silang. Meski seperti bocah, nyatanya berhasil mengusir bosan. Setelah ku matikan dan ku simpan tabletku di laci nakas, aku mulai fokus kembali pada Koswara yang berjalan ke arahku, lagi-lagi pelan.
"Ki-kita cuman tanya-tanya resep masakan sama si brondong, Man." ujar Fitria gugup. Jenny di sampingnya hanya mengangguk-anggukan kepalanya dengan cepat, begitu juga Koswara yang tiba-tiba menduplikat gelagat Jenny. Ketiganya tampak begitu cemas saat aku melayangkan tatapan menelisik untuk beberapa saat. "Ya udah, oke! Terus masalahnya kenapa kalian gugup?" tanyaku lagi. "Gak gugup Man, kita cuman kaget aja tiba-tiba kamu nongol." sahut Jenny mengelak dengan gelak tawa yang di buat-buat. "Harusnya kalian bisa tunggu Koswara balik kan, kalau memang hanya tanya resep masakan." protesku mencari kebenaran. "Ya ampun Man, tengsin kali kalau ketahuan sama suami-suami kita." sahut Fitria berkilah dengan alasan tepat.Aku kembali melebarkan mata, mencari gerakan asing yang bisa ku sanggah. Meski akhirnya kalah dengan ketiganya yang mahir berkilah. "Ya udah, yuk balik!" ajak ku di iringi anggukan dan langkah kaki yang bergerak bersama.Je
Setelah akhir pekan kemarin bekerja keras, saatnya untuk senang-senang di akhir pekan yang akan datang. Kebetulan sekali Jenny dan Fitria mengajak kami untuk piknik bersama. Tentu saja aku dan Koswara. Anggap saja acara family gathering, katanya.Koswara tengah memakai bajunya setelah dia kembali 'bekerja profesional'. Dia datang padaku dalam keadaan bagian miliknya sudah berdiri tegak, entah dengan menonton film dewasa atau memang sudah waktunya bagian milik Koswara itu memuntahkan isinya. Yang jelas, dalam keadaan seperti itu, Koswara jadi tak perlu membuang banyak waktu untuk menanamkan benihnya di dalam rahimku. "Kos, akhir Minggu ini bikin makanan spesial bisa?" tanyaku setelah menggunakan kembali celana dalamku. Aku bahkan tak perlu menanggalkan seluruh pakaianku tadi. "Teh Manda, mau saya masak apa memang?" balas Koswara kembali bertanya. "Apa ya?" aku jadi bingung saat Koswara meminta pendapatku. "Jenny dan Fitria ngajakin kita piknik bareng. Anak-
Akhir pekan ini aku harus bekerja keras, sebab hanya dalam waktu dua hari, aku harus mengevaluasi beberapa gambar desain bangunanku, agar sesuai dengan hasil di lapangan.Dimulai dengan mengemas segala keperluanku di hari Jumat malam selepas bekerja. Aku harus segera tidur, sebab jadwal penerbanganku pagi sekali. Sementara jadwal bekerja sudah menunggu di Surabaya.Aku hanya menyampaikan hal-hal penting saja pada Koswara yang akan tinggal sendiri di rumah. Misalnya agar Koswara tidak melukis di sembarang tempat hingga menyisakan cat-cat di lantai. Atau agar Koswara tidak sembarangan memakai alat-alat fitnes jika dia tak tahu cara menggunakannya.***Aku terbang ke Surabaya bersama Doni, rekan sejawatku. Sebenarnya Doni arsitek junior, dia kaki tanganku di perusahaan, tetapi aku lebih nyaman berinteraksi informal seperti teman dengannya."Lagi kangen ponakan Man?" tany
Aku jadi malas pulang, sejak perselisihan itu, aku jadi tak betah di rumah. Rasanya ingin tinggal lama di luar saja, padahal rumah itu milikku dan yang menumpang itu Koswara, bukan aku!Entah sudah berapa lama aku hanya berdiam diri di balik kemudi, menatap jalanan lurus-lurus. Aku masih tak berniat menyalakan mesin mobilku, sampai akhirnya aku memutuskan untuk meraih ponselku dan menghubungi Koswara. "Halo Kos!" panggilku saat sambungan telpon terangkat. "Iya Teh Manda." jawab Koswara singkat. "Hmm, kamu sudah memasak untuk makan malam?" tanyaku kemudian. "Masih memasak sebenarnya, saya sedang membuat sup ayam dan emping melinjo." jawab Koswara datar. "Ada apa Teh? Teh Manda, mau minta di buatkan sesuatu?" lanjut Koswara. "Gak apa-apa, hanya mau kasih kabar. Saya pulang sekarang." balasku malas.Sial! Koswara sudah memasak ternyata, padahal aku hendak makan malam di luar saja sendiri. Andai saja aku bisa cuek dengan perasaan ora
Kepalaku masih sangat panas. Mungkin saja ubun-ubunnya mulai berasap. Jika saja tidak ada pasal tentang kekerasan dalam rumah tangga, mungkin Koswara sudah ku gigit dengan gemas. Kekanak-kanakannya hanya membuatku gila. Aku benar-benar harus mengikatnya secara hukum supaya dia tidak berulah di masa yang akan datang. Apa aku berlebihan? Sepertinya tidak. Bukankah orang yang jatuh cinta akan menghalalkan segala cara? Tentu saja ya. Itulah yang aku takutkan jika Koswara benar jatuh cinta padaku.Malam sudah mulai pekat. Biasanya aku sudah terlelap pukul sepuluh malam jika esok hari kerja. Sudah berkali-kali aku menghitung domba yang katanya bisa menghantarkan kantuk. Namun tak juga berhasil. Aku bahkan sengaja menelpon Fitria yang ternyata sedang bercinta dengan suaminya. Aku juga menelpon Jenny yang tengah sibuk menidurkan anak keduanya yang masih bayi. Aku tidak mungkin menelpon ibu, sebab jam sepuluh malam adalah waktu maksimum beliau tidur.
Pagi ini aku tak bangun dari tempat tidurku yang empuk dengan ranjang yang tinggi, tapi dari lantai ruang TV beralaskan karpet tebal dengan tubuh polos terekspos. Mataku masih perih sebenarnya, kepalaku pun masih terasa pening. Jika di hitung-hitung aku hanya tidur empat jam semalam. Aku beranjak untuk pergi ke atas tanpa peduli dengan pakaianku. Lagi pula siapa yang akan melihatku selain Koswara! Aku segera mandi menguyur seluruh tubuhku dengan air hangat yang keluar dari shower yang suhunya sudah kuatur. Butuh waktu setengah jam untuk membersihkan seluruh tubuhku. Hingga aku selesai bersiap, aku menuruni tangga menuju dapur seraya memasangkan arlogi di tangan. Kegiatan serupa yang selalu ku lakukan setiap hari kerja. Koswara menyambutku di dapur dengan senyum semuringah, "Nasi goreng pete!" serunya dengan wajan yang sudah terangkat dari tunggu api. "Teh Manda kalau sudah bosan bilang ya, nanti s
Matahari sudah menghilang di bawah garis cakrawala sebelah barat, cahaya jingga indahnya melesak ke sudut-sudut rumah. Sejak Koswara mengurung diri di kamarnya, aku memilih untuk sibuk sendiri dengan melakukan video call dengan sahabat-sahabatku, menelpon Ibu dan Mak Edah hingga berguling-guling di depan TV kemudian terlelap di sana beberapa jam lamanya. Tak lama lagi malam menyapa, aku sedang memerhatikan ponselku yang tengah menyala menampilkan berbagai resep-resep makanan yang mengugah selera. Aku memang belum memutuskan akan masak apa, sebab mungkin saja Koswara sudah punya rencana untuk makan malam kami. Aku hanya menyimpan beberapa resep yang menurutku mudah dan lezat untuk ku tunjukan pada Koswara. Koswara berdiri di belakangku, dengan segelas air putih di tangannya, "Teh Manda mau memasak?" tanyanya yang melihat layar ponselku menampilkan berbagai photo makanan. Aku menoleh ke b
Perjalanan tiga puluh lima menit yang hanya di habiskan untuk diam. Bukan hanya Koswara yang diam, aku juga! Lebih tepatnya aku tak tahu harus mengangkat topik apa setelah kejadian yang membuat hubungan kami canggung, lagi! Hingga mobil terparkir sempurna di teras rumah kami kembali ke kamar masing-masing. Aku segera menguyur tubuh telanjangku dibawah shower yang sudah ku setel suhunya. Menghilangkan debu dan keringat yang menempel sejak siang hari aku dan Koswara mengantar orang tua kami. Tiba-tiba saja ada benda asing yang menarik perhatian mataku. Benda asing yang satu minggu ini ada disana. Meski hanya sebotol shampo mentol dan sebotol sabun mandi dengan wangi yang sama tetap saja aku mengenalinya, sangat! Apalagi berjejer dengan peralatan mandiku yang jauh lebih banyak jenisnya. Setelah ini aku harus mengembalikan dua botol itu pada empunya! *** Aku berlari menurun
AmandaKos saya minta maaf.Kulirik pesan singkat yang ku kirim pada Koswara di sela-sela jalanan yang padat tergolong macet. Garis centangnya sudah berubah warna dari putih menjadi biru, tapi Koswara tak membalas apapun. Padahal status dia juga sedang online. Aku jadi gelisah pulang ke rumah.Akhirnya aku sampai juga di rumah, meski sebelum turun aku kembali melirik layar handphoneku berharap ada balasan dari Koswara yang bisa memberiku isyarat tentang perasaannya. Masih marahkah dia padaku? Apa dia memaafkanku?Ah pertanyaan konyol itu hanya membuat kepalaku sesak saja. Seharusnya aku tak perlu terlalu risau, biarkan saja Koswara dengan perasaanya. Selama dia tidak membocorkan hubungan kami, perasaan Ibu tentu akan tetap baik-baik saja.Tak ada siapapun yang datang menyambutku, kemana semua penghuni rumah ini?Hingga aku sudah melewati pintu utama, tak ada satupun