Tiga cowok tanggung sedang duduk nongkrong di kadai Bu Ratna, bermain gitar dan menyayangi dengan suara pas-pasan. Siapapun yang mendengarnya bukan terhibur malah justru sakit telinga.Tapi mereka dengan pedenya memainkan gitar, dan sesekali suara mereka berteriak lantang. Dan kadang pula mereka mengganggu beberapa cewek yang lewat dari hadapan mereka.Namun kali ini berbeda, ketika Ratih janda satu anak lewat dari hadapan mereka, tatapan mereka langsung tertuju ke arah depan bagian yang menonjol."Wow, fantastis," ujar Rey dengan mulut ternganga.Tepat disaat Ratih menjatuhkan tasnya, sehingga memperlihatkan belahan dadanya yang mulus putih.Di situ Ray sampai tidak berkedip, pikirannya langsung kemana-mana. "Boleh juga nih," ujarnya yang tiba-tiba.Sementara Roy sendiri, ia langsung berlari dan membantu Ratih mengambilkan tas itu, karena kalau Ratih menunduk. Otomatis bagian belakang akan lebih terlihat menonjol. Membuat kedua temannya semakin gila."Ini Bu," kata Roy dengan mengulu
Bab 105 — Bara Dendam dan Air Mata.Malam mulai larut ketika Evan tiba di rumahnya. Wajahnya masih muram, kepalanya penuh amarah yang belum sempat dia lampiaskan. Di tangannya, Evan menggendong Kenzo yang mulai mengantuk. Bocah itu memeluk leher ayahnya erat-erat, seolah ikut merasakan guncangan hati sang ayah.Evan baru saja meletakkan Kenzo di kamar ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Roy, asistennya yang paling dia percaya. "Bos, saya harus bicara. Ini penting, soal kebakaran rumah Anya.”Evan langsung menekan tombol telepon. “Roy, apa maksudnya? Katakan sekarang.”Di seberang, suara Roy terdengar hati-hati. “Maaf, Bos… saya baru dapat informasi dari orang dalam. Kebakaran di rumah Anya… itu bukan kecelakaan.”Evan mengernyit, jantungnya berdetak lebih cepat. “Apa maksudmu?”Roy menarik napas. “Itu… ulah Ibu Saraswati, Bos. Saya dapat rekaman suara orang suruhannya… dia diperintah buat bakar rumah itu. Supaya Anya kapok… supaya Anya pergi dari hidup Bos.”Evan te
“Tidak … tidak mungkin!”Anya terduduk lemas menatap dua garis merah pada alat uji kehamilan di tangannya. Perasaan sedih, bingung, dan takut bercampur menjadi satu.Di tengah kepanikan, ia teringat pada satu nama yang membuatnya seperti ini. "Evan harus tanggung jawab … ini anaknya."Dengan tangan gemetar, Anya mencoba menghubungi pria itu.Satu kali panggilan, dua kali, tiga kali, tak ada jawaban. Setiap panggilan yang tidak terjawab itu membuat hatinya semakin hancur.Namun, Anya tidak ingin berdiam diri. Ia bergegas menemui sahabatnya, Clara, untuk meminta bantuan. Bagaimanapun, Clara adalah orang yang mempertemukannya dengan Evan.Tapi saat tiba di rumah Clara, Anya mendapati rumah itu kosong. Tak ada siapa pun di sana, bahkan orang tua Clara pun tidak ada."Kenapa semua orang menghilang saat aku butuh mereka?" keluh Anya sambil berusaha menahan tangisnya.Kalut dan panik, ia pun memutuskan untuk mendatangi rumah Evan. Dalam hati, ia berharap Evan ada di sana dan bisa diajak bica
Anya berangkat ke kantor dengan kondisi lemas akibat kurang tidur semalaman karena kepikiran dengan kehamilannya. Rasa mual yang terus menyerang perutnya membuat langkahnya semakin berat. Tapi dia tak punya pilihan—pekerjaan di kantor adalah satu-satunya sumber penghidupannya sekarang. Setibanya di kantor, Anya langsung menuju mejanya tanpa menyapa rekan-rekannya seperti biasa. Tumpukan dokumen yang menanti untuk diperiksa membuat kepalanya berdenyut. Dia mencoba fokus, tetapi rasa pusing dan mual semakin tak tertahankan. "Anya, kamu baik-baik saja?" suara lembut Karin, teman satu timnya, membuat Anya tersentak. Anya memaksakan senyum kecil. "Iya, aku cuma kurang tidur. Tidak apa-apa, terima kasih." Namun, beberapa menit kemudian, tubuhnya mulai gemetar. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, dan pandangannya mulai kabur. Anya berdiri dengan tergesa-gesa, mencoba menuju kamar kecil untuk menenangkan diri. Tapi sebelum dia berhasil melangkah jauh, rasa mual yang tak tertahan itu
Lima tahun kemudian…."Mama, lihat! Aku lari cepat banget!" seru seorang bocah laki-laki berusia empat tahun sambil terus berlari. Anya duduk di bangku taman, memperhatikan anaknya sambil sesekali tersenyum. Dia sering membawa Kenzo ke taman ini untuk bermain, setidaknya di tengah semua kesulitan hidup, anak itu tetap bisa merasakan kebahagiaan kecil. "Jangan terlalu jauh, Nak!" Anya memperingatkan, tapi anak itu sudah melesat. Tanpa disadari, Kenzo berlari ke arah sebuah mobil mewah yang terparkir di tepi taman. Ia menabrak kaki seorang pria tinggi yang sedang berdiri di sana, sibuk dengan ponselnya. Pria itu menoleh dengan ekspresi terkejut, kemudian berjongkok untuk melihat Kenzo. "Hei, hati-hati, Nak," ucap pria itu. Melihat Kenzo bertemu seseorang, Anya segera bangkit dan berlari mendekat. "Maaf, Pak, anak saya tidak sengaja—" kata Anya terhenti di tengah kalimatnya. Pria itu berdiri dan menoleh ke arahnya. Saat mata mereka bertemu, dunia Anya seperti berhenti sejenak. It
Anya tertegun. Apa ia tidak salah mendengar?“Ma-maaf?” Evan mendengus. “Lupakan,” ujarnya dengan nada kesal yang kentara. Jarinya mengetuk perlahan meja kayu mahoni itu, irama yang tak konsisten seperti pikirannya yang kacau. Ekspresinya sulit ditebak, meski ada sesuatu yang membara di balik pandangannya.Evan membaca setiap detail dokumen itu dengan hati-hati, tapi bukan karena ia peduli pada isi dokumen itu. Ada sesuatu yang jauh lebih besar yang mengusiknya. Anya menggigit bibir gelisah. Keheningan itu membuatnya tidak tenang. ‘Seharusnya aku tidak menjatuhkan lamaran kerja ke sini,’ Anya menggerutu dalam hati. Kalau tahu perusahaan ini milik Evan, Anya tak akan melamar pekerjaan ke tempat ini.Tapi apa boleh buat. Perusahaan ini terkenal dengan gajinya yang besar. Anya tak bisa hanya memikirkan diri sendiri. Bagaimanapun, ia harus mendapatkan pekerjaan ini demi anaknya, Kenzo.Tiba-tiba, suara ketukan terdengar, memecah keheningan yang menyelimuti dua insan dengan pikiran ber
Anya berdiri di sudut ruangan, memerhatikan interaksi Evan dan wanita bernama Chintya itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Wanita cantik itu tampak lengket pada Evan dengan sikap penuh keakraban. Sesekali, ia tertawa kecil sambil merapikan dasi Evan dengan gaya posesif. Evan, seperti biasanya, tetap tenang dan dingin. Ia tidak menunjukkan perhatian berlebih pada Chintya, tetapi juga tidak menepis keintiman wanita itu. Hal ini membuat Anya semakin tidak nyaman. “Hari ini kau terlihat sangat tampan, Sayang,” ujar Chintya sambil tersenyum manis. “Apa kita benar-benar harus makan siang di restoran? Bagaimana kalau kita cari tempat yang lebih tenang? Hanya kita berdua.” Evan melirik Chintya dengan datar. “Ibu sudah mengatur semuanya. Kita tidak bisa membatalkannya.” Chintya tampak sedikit kesal, tetapi dengan cepat menyembunyikan ekspresinya. “Baiklah. Tapi kau harus janji menghabiskan lebih banyak waktu denganku setelah ini, ya.” Anya menunduk, pura-pura sibuk melihat dokumen
Bab 6 Permainan Evan Pagi itu, Anya melangkah masuk ke kantor dengan langkah berat. Rasa penasaran dan gugup berbaur dalam pikirannya, membuatnya sulit fokus sejak semalam. Ia bahkan tidak bisa tidur nyenyak setelah menerima telepon dari Evan. Pria itu kembali hadir dalam hidupnya, dan, seperti biasa, membawa badai yang membuat hatinya tak karuan. “Tenang, Anya. Ini hanya pekerjaan,” bisiknya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan diri. Namun, hatinya tahu bahwa ini lebih dari sekadar pekerjaan. Ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang membuat Anya merasa terjebak. Ketika ia mengetuk pintu ruangan Evan, jantungnya berdetak kencang. “Masuk,” suara Evan terdengar dari dalam. Anya membuka pintu dan masuk perlahan. Ia mendapati Evan duduk di kursinya, seperti biasa, dengan ekspresi dingin yang sulit ditebak. “Selamat pagi, Pak,” sapa Anya, berusaha terdengar profesional meskipun hatinya kacau. Evan menatapnya tajam, tidak membalas sapaannya. Ia hanya memberikan isyarat d
Bab 105 — Bara Dendam dan Air Mata.Malam mulai larut ketika Evan tiba di rumahnya. Wajahnya masih muram, kepalanya penuh amarah yang belum sempat dia lampiaskan. Di tangannya, Evan menggendong Kenzo yang mulai mengantuk. Bocah itu memeluk leher ayahnya erat-erat, seolah ikut merasakan guncangan hati sang ayah.Evan baru saja meletakkan Kenzo di kamar ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Roy, asistennya yang paling dia percaya. "Bos, saya harus bicara. Ini penting, soal kebakaran rumah Anya.”Evan langsung menekan tombol telepon. “Roy, apa maksudnya? Katakan sekarang.”Di seberang, suara Roy terdengar hati-hati. “Maaf, Bos… saya baru dapat informasi dari orang dalam. Kebakaran di rumah Anya… itu bukan kecelakaan.”Evan mengernyit, jantungnya berdetak lebih cepat. “Apa maksudmu?”Roy menarik napas. “Itu… ulah Ibu Saraswati, Bos. Saya dapat rekaman suara orang suruhannya… dia diperintah buat bakar rumah itu. Supaya Anya kapok… supaya Anya pergi dari hidup Bos.”Evan te
Tiga cowok tanggung sedang duduk nongkrong di kadai Bu Ratna, bermain gitar dan menyayangi dengan suara pas-pasan. Siapapun yang mendengarnya bukan terhibur malah justru sakit telinga.Tapi mereka dengan pedenya memainkan gitar, dan sesekali suara mereka berteriak lantang. Dan kadang pula mereka mengganggu beberapa cewek yang lewat dari hadapan mereka.Namun kali ini berbeda, ketika Ratih janda satu anak lewat dari hadapan mereka, tatapan mereka langsung tertuju ke arah depan bagian yang menonjol."Wow, fantastis," ujar Rey dengan mulut ternganga.Tepat disaat Ratih menjatuhkan tasnya, sehingga memperlihatkan belahan dadanya yang mulus putih.Di situ Ray sampai tidak berkedip, pikirannya langsung kemana-mana. "Boleh juga nih," ujarnya yang tiba-tiba.Sementara Roy sendiri, ia langsung berlari dan membantu Ratih mengambilkan tas itu, karena kalau Ratih menunduk. Otomatis bagian belakang akan lebih terlihat menonjol. Membuat kedua temannya semakin gila."Ini Bu," kata Roy dengan mengulu
Bab 7 Laura terisak di atas ranjang dengan kedua tangan masih terborgol. Rasa dingin dari es yang tadi digunakan Zaky mulai menghilang, digantikan dengan tubuh yang lelah dan gemetar. Matanya basah oleh air mata, sementara pikirannya berputar mencari jalan keluar dari neraka ini. Entah sejak kapan, ia akhirnya tertidur karena kelelahan menangis. Dalam tidurnya, wajah ibunya kembali muncul, seperti mencoba meraih dan menenangkannya. "Mama...," bisiknya lirih dalam mimpi. Namun, ketenangan itu hanya sementara. Sebuah suara lirih terdengar dari pintu kamar yang kembali terbuka. Langkah kaki perlahan mendekatinya. Zaky, pria keji yang menculiknya, kini berdiri di samping tempat tidurnya, menatap wajahnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kamu cantik... dan kamu akan menjadi milikku," gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan setan di tengah kegelapan. Tangan Zaky terulur, mengelus pipi Laura yang masih basah oleh air mata. Sentuhan itu membuat Laura terbangun seketika. Matan
Bab 102 — Luka yang DipertontonkanAnya tak bisa tidur semalaman. Matanya sembab, kepalanya berat, dan dadanya sesak. Setiap kali ia memejamkan mata, video itu terus terbayang. Wajahnya yang tampak kacau, tubuhnya yang sempoyongan, tawa orang-orang di sekelilingnya — semuanya jadi luka baru yang dipertontonkan ke seluruh dunia.Di ruang tamu rumah Dewi, televisi terus menayangkan berita tentang video viral itu. Presenter membacakan berita dengan nada serius. _"Sebuah video memperlihatkan seorang wanita yang diduga Anya Wibisono, mantan karyawan Sanjaya Grup, dalam kondisi mabuk berat di sebuah klub malam. Video ini memicu perdebatan di masyarakat, terlebih setelah diketahui bahwa wanita tersebut sedang dalam proses perebutan hak asuh anak dengan Evan Sanjaya."_ Anya menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Tuhan… aku benar-benar habis," gumamnya.Dewi duduk di sebelahnya, menggenggam tangan Anya erat-erat. "Nya, kamu nggak boleh nyerah. Aku tahu siapa kamu. Semua orang yang sayang s
Bab 101Langkah kaki Anya terasa berat saat turun dari mobil Pak Rahmat. Dunia seakan berputar lebih cepat dari biasanya, dan bukan karena ia lelah, tetapi karena jiwanya seperti baru saja dibanting dari tempat tertinggi harapan, lalu jatuh ke jurang yang paling gelap.Anya berdiri di trotoar, menatap gedung tempat ia baru saja kehilangan pekerjaan. Angin sore membelai wajahnya yang terasa panas menahan tangis. Kali ini, ia tidak bisa lagi menahannya. Air mata itu luruh, jatuh satu per satu, menandai luka yang semakin dalam di dalam hatinya.Ia membalikkan badan, menatap langit yang mulai memerah, lalu melangkah pelan. Pikirannya kacau. Dulu ia punya impian untuk kembali berdiri di atas kakinya sendiri, tapi sepertinya Evan tak pernah benar-benar mengizinkan itu terjadi. "Aku benci kamu, Evan. Dan jangan harap aku akan datang ke kamu, Evan. Tidak akan,' lirihnya Anya yang sedang bersedih. Sementara itu, di ruang kerjanya, Evan menatap keluar jendela. Ada rasa puas di wajahnya karena
Bab 100 Beberapa pemimpin perusahaan yang datang di pertemuan itu satu persatu mulai pulang, tapi Evan tetap saja duduk di kursinya. Matanya menatap kosong ke arah Anya yang sedang bersiap untuk pulang. Bahkan Anya sedang menyusun berkas-berkas yang ia bawa dari perusahaan, sementara pak Rahmat pimpinan baru Anya sudah bersiap melangkah ke arah pintu. "Ayo buruan, Anya. Kita masih harus melakukan satu pertemuan lagi," ujar pak Rahmat. Anya menganggukkan kepalanya, dan bersiap ke arah pintu. Tapi Evan langsung menghalangi Anya yang hendak berjalan menyusul pak Rahmat. Hebatnya, Evan langsung memberikan isyarat ke Roy agar pak mengalihkan pandangan pak Rahmat, dengan cara Roy yang mengajak pak Rahmat mengobrol di tempat yang sedikit jauh dari Anya dan Evan. "Awas, Evan," ujar Anya dengan nada lembut, tapi Evan tidak menggubris. Dia bahkan tidak membiarkan Anya keluar dari dalam ruangan itu. Anya jadi kesal, sehingga dengan lantangnya Anya berkata, "Mau kamu apa sih, Evan? Tida
Bab 99..Pagi itu, langit Jakarta sedikit mendung. Tapi tidak ada yang bisa meredam semangat Evan untuk menyelesaikan semua urusannya secepat mungkin. Di pikirannya hanya satu: menemui Anya. Namun sayang, kenyataan tidak selalu sejalan dengan harapan. Meeting penting dengan salah satu calon klien terbesar perusahaan, Pak Alex, memaksa Evan tetap tinggal di kantor. Evan mengenakan jas biru tua dengan dasi perak yang rapi. Wajahnya tampak tenang, tapi pikirannya kusut. Ia masuk ke ruang meeting besar di lantai sembilan, tempat semua petinggi perusahaan akan berkumpul. Roy sudah ada di sana, duduk di ujung meja dan sibuk dengan laptop serta berkas-berkas presentasi.Roy bangkit dan menghampiri Evan begitu pria itu duduk. “Kalau menurut data dan informasi yang aku terima Evan, Pak Alex ini sangat kompetitif dalam memilih perusahaan untuk proyek ini. Tapi kamu tidak usah khawatir. Aku sudah menyusun semua proposal dan data kerja sama yang solid. Kita unggul dari sisi efisiensi biaya dan k
Bab 98 - Di Balik Harapan yang RetakMalam itu, angin menerobos masuk lewat celah jendela kamar Anya yang tak sepenuhnya tertutup. Ia duduk di tepi ranjang, memandangi hasil cek hormon yang masih diletakkan di atas meja. Helaan napasnya berat, seperti beban yang ditarik dari dasar dadanya.Ia mendongak, menatap langit-langit kamar. “Apa semua ini pantas aku alami?” bisiknya lirih.Kepalanya masih berat oleh kejadian tadi sore. Tatapan Evan yang penuh kecurigaan, tuduhan tanpa bukti, dan luka lama yang digali lagi tanpa ampun. Anya merasa dirinya seperti kaca yang jatuh berkali-kali—retak, pecah, dan tak pernah benar-benar utuh lagi.Ponselnya bergetar pelan. Sebuah pesan masuk dari Evan."Maaf… Aku salah. Aku benar-benar minta maaf, Anya."Anya menatap layar itu lama. Tangannya sempat gemetar, tapi ia tak membalas. Hatinya terlalu lelah untuk menanggapi seseorang yang hanya datang ketika merasa bersalah, bukan karena ingin memperbaiki."Maaf tidak bisa merubah keadaan. Terkecuali kemb
Bab 97 - Jejak Luka yang MengangaEvan masih duduk di balik kemudi mobilnya, memandangi klinik yang kini seolah menelannya bulat-bulat. Detik demi detik berlalu seperti tetes air yang menghantam kesabarannya. Jantungnya berdetak cepat, pikirannya liar menebak-nebak apa yang sedang terjadi di dalam ruangan berwarna putih itu.“Kenapa selama ini aku tidak cukup untuknya?” gumamnya lirih, setengah bertanya pada takdir yang ia sendiri tak mampu pahami.Tiba-tiba pintu klinik terbuka. Langkah kaki yang dinanti itu akhirnya terdengar. Evan segera menunduk, bersembunyi di balik kemudi sambil melirik melalui kaca spion. Napasnya tertahan ketika melihat Anya berjalan berdampingan dengan Nathan, menggenggam selembar kertas hasil pemeriksaan.Evan mengepalkan tangan. “Apa itu... hasil USG?” pikirnya, mencoba membaca ekspresi mereka. Nathan terlihat tenang, sementara Anya... senyum tipis itu membuat Evan serasa ditikam berkali-kali."Apa benar... dia sedang hamil? Dan Nathan yang menjadi ayah dar