Ziyad memarkirkan mobilnya di sisi kiri jalan. Dia mencari-cari para pengejar, tetapi mereka tidak terlihat.Di tengah keramaian pasar, Ziyad dan Ciara akhirnya bisa bernapas lega, meskipun mereka tahu bahaya belum sepenuhnya berlalu. Ziyad mengambil handphone yang terjatuh di kakinya, lalu melepas sabuk pengaman dengan cepat. Dia celingukan sebelum akhirnya keluar dari mobil.'Aku harus cepat-cepat cari tempat aman untuk Nona Cia,' pikir Ziyad. 'Aku mau hubungi Pak Omar dan Tuan Muda untuk minta bantuan.'Ziyad membukakan pintu mobil untuk Ciara. "Ayo, Non!' Dia mengulurkan tangan untuk membantu Ciara.Wajah tegang Ciara membuat Ziyad semakin cemas. Seperti keinginan Kevan, dia tidak ingin terjadi hal buruk pada Ciara."Maaf, Non," ucap Ziyad. Lalu, dia menggandeng tangan Ciara dan mereka berlari ke tengah-tengah kerumunan pasar. Sesekali Ziyad menoleh ke belakang memastikan para pengejar. "Kita mau ke mana, Ziyad?" tanya Ciara. Dia kelelahan.Ziyad menyadarinya. Dia mengambil ini
Sugus sudah menerima uang Ziyad. Maka, dia akan membantu tamunya semaksimal mungkin. Setelah berpikir, Sugus berkata, "Pak Ziyad, aku nggak bisa ninggalin kedai. Tapi, aku bisa kasih tau kamu tenaga medis di pasar ini."Ziyad mengangguk. "Oke, nggak masalah." Ziyad melihat Ciara yang berwajah pucat. "Nona, kamu naik lagi di punggung aku, ya!""Apa nggak bahaya, Pak?" tanya Sugus. "Lebih baik kamu aja yang pergi dan ajak tenaga medis ke sini!"Ziyad berpikir sejenak. 'Masuk akal, sih. Tapi, aku nggak yakin biarin Nona tinggal di sini sama orang asing.'"Nggak apa-apa. Saya akan hati-hati," jawab Ziyad. "Ya udah aku nggak bisa paksa," kata Sugus, pasrah. "Kamu bisa jalan sampai sudut pasar. Di sana ada kios kecil yang memang menangani kesehatan kalo ada yang pingsan atau sakit di pasar ini."Setelah mendapatkan informasi lokasi tenaga medis dari Sugus, Ziyad mengendong Ciara lagi di punggungnya. Sekarang, mereka sudah berada di luar kedai. Dia melihat sekeliling pasar dengan cemas, m
Mobil yang membawa Ciara dan Ziyad sudah sampai di sebuah gudang tua yang terpencil di pinggir kota Paloma. Gudang itu tampak kumuh dan terabaikan, dengan dinding-dinding penuh retakan seolah-olah siap runtuh kapan saja. Pintu besi yang berkarat berderit setiap kali dibuka, menambah kesan angker.Di dalam, suasana semakin suram dengan lampu-lampu redup yang menggantung dari langit-langit tinggi. Tumpukan barang-barang tua dan debu tebal memenuhi setiap sudut, menciptakan atmosfer yang mencekam. Meja kayu besar di tengah ruangan, dikelilingi beberapa kursi, tampak seperti tempat pertemuan rahasia yang penuh misteri.Di dalam ruangan, para pengejar mengikat Ziyad dan Ciara di kursi yang berbeda dengan menggunakan tali nilon. Setelah selesai, mereka pergi.Ziyad mulai sadar, kepalanya berdenyut sakit. "Aaaarghh! Kepalaku sakit banget!" Dia menyadari kedua kaki dan tangannya terikat di kursi.Ziyad melihat Ciara yang masih tak berdaya di kursi sebelahnya.“Nona Ciara, kamu baik-baik aja?”
Ziyad mengayunkan tangan seraya memanggil Ciara. "Ayo, cepet ke sini, Non!" Suaranya begitu pelan. Ciara berdiri dan berjalan menuju Ziyad. Dia berusaha tetap tenang meskipun ketakutan. Ziyad turun dari kursi. Dia menyeret kursi lainnya. Ziyad mengulurkan tangan. "Ayo naik!" Tidak ada waktu untuk memikirkan hal lain. Ciara berusaha menekan rasa takutnya. Ziyad membuka jendela lebar-lebar. "Hati-hati, Non!"Untung saja, jendela kecil itu tidak tinggi sehingga masih bisa dijangkau menggunakan kursi. Ciara mulai memanjat jendela. Dia teringat akan masa lalu. "Oke, aku pasti bisa." Dia tersenyum dan menguatkan diri untuk bisa memanjat jendela.Sebelum sakit jantung menyerang, Ciara adalah gadis yang aktif. Dia selalu mencoba kabur dari kamarnya hanya untuk bermain di luar rumah. Keterbatasan izin yang diberikan Rudi untuknya membuat Ciara harus selalu mencuri kesempatan untuk bermain. Ciara juga menekuni beberapa cabang olahraga seperti bersepeda, berenang, berkuda dan memanah. Br
Dengan isyarat tangan, Ziyad memberi tanda kepada Ciara untuk mengikutinya. Mereka merayap di antara drum-drum besar. Mereka berusaha untuk tidak terlihat para penjaga. Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, Ziyad dan Ciara akhirnya mencapai tepi halaman.Di depan mereka, ada pagar tinggi yang tampak sulit untuk dilewati. Namun, Ziyad melihat sebuah celah kecil di bawah pagar yang mungkin cukup besar untuk mereka lewati."Kita harus merangkak lewat sini," kata Ziyad, pelan. "Ayo, Nona! Kita harus cepat sebelum mereka nemuin kita."Ciara mengangguk dan mengikuti Ziyad merangkak melalui celah itu. Ziyad mengulurkan tangan untuk membantu Ciara. "Makasih," ucap Ciara, sedikit lega.Mereka berhasil keluar dari halaman gudang rempah-rempah. Ziyad dan Ciara tersadar bahwa mereka berdiri di sebuah jalan kecil yang sepi. Jalan kecil ini terdapat drum-drum besar di kiri dan kanannya. Ziyad berseru, "Ayo, Nona! Kita harus nemuin jalan raya."Dengan napas terengah-engah, mereka
'Kesempatan bagus,' ucap Ciara di dalam hati.Ini adalah kesempatan bagus bagi Ciara untuk terlepas dari penjaga yang menggendongnya. Dia meronta-ronta."Turunin aku!" teriak Ciara sambil menggoyangkan kedua kakinya. "Kamu nggak tuli, kan? Cepetan turunin aku!"Buk!Pria bertopeng melompat, lalu menendang punggung penjaga yang menggendong Ciara. Karena si penjaga tidak siap, dia kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh. Dia buru-buru menurunkan Ciara."Nona Ciara!" Si pria bertopeng menahan Ciara yang terhuyung dengan badannya. "Ikut aku sembunyi di balik drum besar!"Mereka berdua segera berlari menuju drum besar yang berada di dekat Ziyad. "Sembunyi di sini! Apapun yang terjadi, jangan keluar!" seru si pria bertopeng.Saat pria itu berbalik dan hendak pergi, Ciara menarik tangannya. "Tunggu! Kamu siapa?" tanya Ciara. "Apa aku bisa lihat wajah kamu?"Si pria membuka topeng dan berbalik menghadap Ciara. Dia menatap gadis itu tanpa bicara apa-apa. "SayaーQuden. Kamu pasti takut ka
"Nggak!" Ciara histeris. Dia menangis sambil mengguncang tubuh Ziyad yang tidak merespon. "Ziyad, bangun! Kamu nggak boleh mati!"Ciara dan Quden masih berjongkok di depan Ziyad yang tersungkur. Quden melepaskan jaket dan ikat pinggangnya. Lalu mengikatnya ke punggung Ziyad, mencoba menghentikan darah yang mengalir. Namun, usahanya sia-sia. "Pak Ziyad!" panggil Quden, serius. "Eh?! Jangan bercanda, Pak Ziyad!"Ciara menatap Quden. "Kenapa?"Quden memeriksa denyut nadi Ziyad. Lalu memeriksa kedua matanya. "Tahan, Pak Ziyad!" seru Quden, emosi. "Laki-laki nggak boleh lemah!" teriaknya kemudian. Tap! Tap! Tap!Terdengar suara sekelompok orang berlari dari arah belakang mereka. Semakin lama, suaranya semakin mendekat. Quden menoleh ke belakang. "Nona, berlindung di belakang saya!"Belum sempat Ciara bergerak, suara seorang pria memanggil namanya."Cia!"Mendengar seruan itu, Ciara dan Quden berdiri berbarengan."Itu Tuan Kevan," kata Quden, yakin. "Syukurlah Tuan udah dateng."Benar s
"Cia!" Felicia menyambut kepulangan Ciara dengan isak tangis. Dia memeluk anaknya. "Ada yang luka, nggak?"Ciara juga menangis di pelukan ibunya. Dia menggeleng tanpa berbicara.Suasana di ruang tamu mansion keluarga Hanindra tegang. Tidak ada anggota keluarga yang berani berbicara, bahkan Leon dan istrinya bungkam.Theo berseru, "Anak bodoh! Kenapa kamu bisa lengah gitu, Kevan?!" Dia marah bukan main. Christian dan Cinta masih terdiam. Mereka membiarkan Theo memarahi Kevan. Kevan menerima semua amarah Theo. Dia memang bersalah. Dia akan bertanggung jawab."Udah, Pa," sela Jasmine. Kemudian, dia menoleh kepada Rafiq Anseloーkepala pelayan keluarga Hanindra. "Sekarang, siapin pemakaman Ziyad!""Baik, Nyonya Muda." Rafiq pergi meninggalkan ruang tamu. Amarah Theo semakin meradang. "Nggak bisa. Kamu jangan lembek sama anak, Ma!"Jasmine berdiri. Dia menghampiri Kevan. "Van, sekarang kamu tau harus apa? Mama yakin, kamu pasti bisa jaga Ciara dan orang-orang kamu dengan baik. Hemm?"Keva
Donita menyadari ada yang tidak beres dengan suaminya. "Leon, kamu kenapa?" tanyanya, cemas. Donita bergegas lari ke arah Leon. Tangan Leon bergetar hebat. Setelah melototi dokumen kesehatan Christian di tangannya, sekarang Leon sedang menatap wajah ayahnya yang semakin memucat. Kemudian, dia segera membaca laporan keuangan keluarga.Melihat pemandangan itu, tidak ada seorang pun yang berbicara. Mereka menunggu reaksi Leon. Donita menarik paksa dokumen dari tangan Leon. Beberapa detik kemudian, mulutnya menganga lebar. "Ini nggak mungkin!" teriak Donita. "Ini pasti ada yang salah." Donita melirik Cinta yang duduk tenang memandanginya. "Iya kan, Mama mertua? Ini cuma halusinasi aku aja karena terlalu stres." Donita berkata dengan frustasi.Cinta menggeleng. Sedangkan Leon mematung di tempat. "Paman Leon sama Bibi Donita kaget, ya?" Suara Kevan memecahkan keheningan. "Di rumah ini, cuma keluarga kalian dan anak-anak Paman Ken aja yang belum tau."Hati Leon dan Donita semakin terir
Setelah kesalahpahaman dengan Ciara selesai, Kevan meminta tunangannya pergi ke Pink Beach Island lebih dulu bersama Felicia dan Quden untuk mempersiapkan pernikahan. Sedangkan Kevan kembali ke kota Paloma. Dia ingin menjemput keluarganya sebelum menyusul Ciara. Sehari sebelumnya, Ciara sudah mengetahui rencana pernikahan mereka. Karena keduanya melakukan fitting baju pengantin bersama. "Huhhh!" Kevan menghela napas panjang. Dia baru tiba di rumah besar keluarga Hanindra. Dia berjalan menuju ruang tengah di mana semua orang telah menunggunya."Tuan, Anda harus sabar!" Omar senantiasa mengingatkan Kevan. Kevan tidak menjawab. Dia terus berjalan tanpa menoleh.Setibanya di ruang tengah, semua orang sudah duduk bersama Christian dan Cinta. "Silakan duduk, Tuan!" Rofiq mempersilakan Kevan untuk duduk di sisi kanan Christian. "Malam, Kakek, Nenek," sapa Kevan. Lalu, dia menatap kedua Theo dan Jasmine yang duduk di sebelahnya. Rencana Kevan untuk menyusul Ciara tidak berjalan dengan
"Apa?! Anak kandung Kak Kevan?!"Ciara mengulangi kata-kata Nulla. Dia merasa hal itu sangat mustahil. Tapi jika dipikir-pikir, tidak ada hal mustahil di dunia ini kan? Bagaimana bisa, Kevan yang begitu bucin kepada Ciara menghamili wanita lain? Apalagi wanita itu adalah Nulla yang notabenenya mantan pacar sekaligus cinta pertama Kevan. Namun, jika sudah berurusan dengan nafsu, apapun bisa saja terjadi, kan?Kevan menghela napas kasar. Dia menatap Nulla yang sedang tersenyum lebar. Kevan beranjak pergi menghampiri Ciara. "Yang, jangan dengerin Nulla!"Ciara menghempas tangan Kevan. Dia memandangi Kevan dan Nulla bergantian. "Kamu belum bisa move on dari Cinta pertama kamu ya, Kak?" Wajah Ciara masam. "Kalo kamu belum selesai sama masa lalu, jangan berani-beraninya mulai sama orang baru."Usai mengatakan hal itu, Ciara pergi. Dia mengambil langkah cepat seolah tidak peduli dengan jantungnya yang terasa sakit. "Eh, Van! Kamu mau ke mana?" Nulla berteriak. Dia mencoba menghalangi Ke
"Masuk, Van!"Nulla membuka pintu kamar apartemen nomor 303. Namun, Kevan tidak langsung masuk. Merasa tidak ada pergerakan dari Kevan, Nulla menoleh ke belakang. "Kenapa? Ayo masuk!" ajaknya lagi. Nulla baru selesai mandi. Rambutnya basah dan dia masih memakai jubah mandi. Kevan tidak bodoh. Nulla pasti sedang merencanakan sesuatu. Bisa jadi firasat Omar tadi benar. Untuk sesaat, Nulla sibuk dengan ponselnya. Dia sedang mengetik pesan singkat untuk seseorang.Nulla: Nona Ciara, cepetan dateng ke Grand Hyeth Apartment nomor 303. Kamu pasti penasaran aku dan tunangan kamu ngapain aja, kan?Nulla tidak berniat menunggu pesan balasan Ciara. Dia kembali menatap Kevan. "Ada perlu apa?" tanya Kevan dengan tatapan sinis. "Di sini aja ngomongnya!"Kevan enggan masuk. Dia tidak ingin menimbulkan kecurigaan."Aku mau ngomongin tentang Miguel. Kamu yakin mau ngomong di depan pintu? Kamu nggak takut kalo ada yang nguping?"Nulla berdiri di ambang pintu, lalu celingukan. Sepi. Suasana di kori
Sesampainya di rumah, Kevan melihat Ciara murung. Ciara berbaring lesu di kamarnya. Dia bahkan tidak menyadari kehadiran Kevan dan Felicia. Felicia menghampiri anak satu-satunya. "Cia!" Ciara terkejut. Dia segera bangun. "Mama kapan pulang?" Sore hari yang redup ini sepertinya kota Baubau akan diguyur hujan. Suasana hati Kevan sedang tidak baik, sama seperti Ciara. Kevan mendekati Quden yang berdiri di dekat pintu. "Apa seharian ini Cia cuma tiduran aja?" tanyanya, penasaran. "Dia nggak bales chat aku sama sekali. Gimana nafsu makannya hari ini?"Quden adalah seorang yang jujur. Dia pun menjawab apa adanya. "Nona sama sekali nggak mau makan. Dia cuma minum susu aja, Bos." Kevan menatap Ciara yang sedang berbicara dengan Felicia. Wajah keduanya sedih. "Seharian ini, Nona Ciara habisin waktu di depan laptop baca-baca berita keluarga Darwin. Jadi, apa rencana Bos selanjutnya? Ngomong-ngomong, Pak Omar ke mana?""Omar masih di pengadilan. Aku balik sama Angga." Kevan terlihat benar-
"Huh!" Kevan melirik Felicia sedang menghela napas berat. Sejak tadi, Kevan berusaha menguatkan hati calon ibu mertuanya. Kevan memberikan botol air mineral kepada Felicia. "Ma, minum dulu!" Kevan lega. Karena setidaknya, Felicia masih mau minum di tengah ketegangan suasana ruang sidang. Dua hari lalu, Ciara sudah membereskan para pemegang saham yang ingin mundur dari Darwin Group. Ciara mentransfer uang sebanyak Rp 10 triliun sebagai ganti saham mereka. Tidak hanya itu, sehari sebelum sidang perdata digelar, keluarga Darwin sudah mengumumkan kebangkrutan mereka. Kini, Darwin Group telah diakuisisi oleh K.C Tobacco milik Kevan. Dengan cara itu, sudah sangat jelas bahwa K.C Tobacco ingin mengambil alih penuh tanpa melibatkan pemegang saham lama dalam struktur kepemilikan baru. Akuisisi ini memang menyakitkan bagi Ciara dan Felicia. Namun, mereka tidak memiliki cara lain. Selain itu, mereka berdua masih memiliki saham di K.C Tobacco. Tentu saja, Miguel tidak tahu hal itu. Denga
Pukul 9:00 malam waktu kota Baubau. Kevan dan Ciara sudah kembali ke rumah 1 jam yang lalu. Ciara tampak kelelahan. Mereka duduk di ruang tamu.Kevan duduk di sofa single menghadap ke pintu utama. Sedangkan Ciara dan Felicia duduk di sofa panjang bersama Arkan. Omar dan Angga berdiri di belakang Kevan. "Cia, kamu hebat. Kamu kuat menghadapi orang-orang. Aku salut sama keberanian kamu." Arkan tidak berhenti membanggakan Ciara. Namun, Kevan berwajah masam saat mendengarnya. Pintu pun terbuka. Quden berdiri di ambang pintu. Dia menatap Kevan. "Tuan, ada jajaran eksekutif di luar mau ketemu Anda dan Nona Ciara." Quden memberitahu. Sorot matanya tajam penuh dengan ancaman."Suruh masuk aja!" perintah Kevan. Kevan menatap Ciara dan Felicia. Lalu, mengangguk kepada Quden."Baik," sahut Quden. Tidak lama, dia menghilang di balik pintu. "Mama sama Cia inget kan rencana kita? Sekarang udah waktunya eksekusi."Kevan melihat Felicia tersenyum dengan paksa. Dia juga melihat sorot mata Felic
Rapat mendadak dengan jajaran eksekutif sudah selesai. Sekarang, Ciara sedang rapat bersama tim public relation dan tim kuasa hukum perusahaan di ruangan yang sama. Kevan tidak beranjak dari kursinya. Dia dengan setia menunggu Ciara menyelesaikan rapat. Di samping Kevan, Arkan duduk dengan tenang. Dia ingin melihat kepiawaian Ciara memimpin rapat.Di ruang rapat, Ciara berbicara. “Kita harus mengambil langkah-langkah yang sudah aku rencanakan untuk memulihkan kepercayaan dan memastikan Darwin Group tetap menjadi perusahaan yang dihormati,” katanya, antusias. Semua orang mengangguk setuju. Mereka tahu bahwa ini adalah tantangan besar, tapi dengan strategi yang tepat, mereka bisa mengatasi dampak negatif dan membangun kembali reputasi perusahaan."Siapa ketua tim public relation di sini?" tanya Ciara. Seorang wanita berambut pirang sebahu mengangkat tangan. "Saya, Nona. Nama saya Susan Arardjo.""Oke, Susan. Pertama-tama, aku mau hari ini kamu buat agenda transparansi dan komunikasi
Hari berikutnya, Ciara dan Kevan kembali ke pulau Pearl. Pagi ini, Ciara akan mengadakan rapat darurat dengan para eksekutif perusahaan Darwin Group. Kevan dan Ciara kembali bersama Arkan yang sekarang sedang rapat bersama pengacara yang dia bawa dan tim pengacara perusahaan di ruangan berbeda. Di ruang rapat Darwin Group, Ciara berbicara kepada tim manajemen. “Kita harus bekerja keras untuk memulihkan reputasi perusahaan. Aku tau, ini nggak akan mudah. Tapi dengan kerja sama dan dedikasi, aku yakin kita bisa mengatasi tantangan ini,” katanya dengan penuh semangat.Tim manajemen mengangguk setuju. Mereka tahu bahwa ini adalah saat yang sulit. Tapi, mereka bertekad untuk membawa Darwin Group kembali ke jalur yang benar. Mereka akan memastikan perusahaan ini tetap menjadi simbol integritas dan kepercayaan.Ciara menatap sekretarisnya. "Sarah, bagiin sekarang!""Baik, Nona." Sarah berdiri. Dia membagikan satu lembar kertas kepada tim manajemen. Kevan dan para jajaran direksi hanya te