Kevan duduk di sofa single. Wajahnya terlihat begitu lelah. Kemudian, dia membakar sebatang rokok. "Rekaman ini yang kamu cari, Van?"Tanpa basa-basi, Deyan menyodorkan handphone-nya kepada Kevan. Setelah mengembuskan asap rokok, Kevan mengambilnya. Dia mencermati setiap gerakan di dalam rekaman CCTV. Semua orang tegang. Wajah Julian dan Livy terlihat jelas di rekaman CCTV. Dengan mudahnya, Kevan mampu mengumpulkan bukti-bukti yang akurat. Sekarang, mereka berdua tidak akan bisa mengelak lagi. Kevan jadi penasaran hukuman apa yang akan diberikan Christian dan Cinta untuk Julian dan istrinya!Setelah beberapa saat, Kevan tidak bereaksi apa-apa. Orang-orang di dalam ruangan itu melihat Kevan sebagai sosok Tuan Muda angkuh yang mendominasi. Namun, tatapan matanya suram dan menyedihkan seolah tidak ada kehidupan di sana. "Hmm...."Hanya gumaman yang ke luar dari mulut Kevan. Semua orang tidak berani mengusiknya. Meskipun Angga dan Deyan adalah teman dekat, mereka memilih untuk menunggu
Felicia melamun. Dalam kebingungannya, dia terus memanjatkan doa agar penyakit Ciara dan Rudi tidak kambuh. Apalagi jika diperhatikan, tubuh kurus Ciara tampak hanya tinggal tulang. Lalu, bagaimana dengan Rudi? Pria itu tidak menunjukkan perubahan apa-apa."Mi!" panggil Ciara. Dia menangkap kesedihan di mata Felicia. "Mami kenapa?"Felicia tersadar. Dia buru-buru menggeleng. Dia berdiri. "Kamu istirahat aja, Cia!" seru Felicia. Dia berjalan menuju dapur untuk membuang sampah tisu bekas. Ciara celingukan. Dia menatap Rudi yang sedang menunduk. "Pi, Papi ngantuk? Mau tiduran, nggak? Kan capek duduk terus di kursi roda."Rudi mendongakkan kepala. Ciara terkejut melihat wajah Rudi basah."Papi jangan nangis! Aku nggak apa-apa kok."Jelas-jelas Ciara menahan sakit kepala dan sesak di dadanya. Tapi, dia masih bisa berbohong di hadapan Rudi. Rudi tidak bodoh. Dia menggeleng. "Hmm ... mmm ...."Meskipun Ciara mengerti maksud Rudi, tapi dia berpura-pura tidak tahu. "Cia, kamu tidur aja! M
Ciara bangun tidur. Dia celingukan mencari Felicia. Dia mengambil sebotol air mineral berukuran kecil, lalu meminumnya."Mami ke mana, Pi?" Ciara bertanya pada Rudi. Namun, tidak ada jawaban. Ciara mendekati papinya. "Bisa-bisanya Papi ketiduran di kursi roda."Meskipun demikian, Ciara tidak berani membangunkan Rudi. Dia duduk di lantai tanpa alas. Dia mencabut kabel pengisian daya handphone. "Beberapa hari ini, aku nggak buka-buka akun sosial media. Ada berita viral apa, ya?"Setelah memejamkan mata selama kurang lebih 60 menit, Ciara merasa tubuhnya lebih segar. Sakit di kepalanya berangsur membaik. Dia mencari handphone yang ternyata berada di atas kardus kosong.Ciara membuka akun sosial media. Kedua ibu jarinya dengan cepat menekan tombol login. Dia memeriksa notifikasi masuk terlebih dahulu yang memang sudah menjadi kebiasaannya. Ketika kedua matanya bergulir ke bagian bawah notifikasi, dia tercengang."Jenna Timothy?! Kevan Hanindra?!"Ciara tidak yakin. Dia membaca notifik
Aroma obat tercium sangat kuat di ruang UGD. Dua dokter pria berdiri di samping Erisa yang merupakan dokter pribadi Ciara. Mereka sedang memeriksa data pasien. Raut wajah ketiga dokter itu sama-sama menjelaskan kecemasan mereka. Ketika terdengar bunyi bip, mata ketiga dokter tersebut menatap layar monitor. "Ambil alat kejut jantung!"Seorang dokter paling senior mendekati Ciara yang terbaring lemah dengan wajah pucatnya. Dia sudah tidak sadarkan diri selama 48 jam lamanya. "Ini, Dok!" Seorang suster memberikan alat kejut jantung kepada dokter senior.Dengan aba-aba dari dokter senior, mereka melakukan teknis kejut jantung untuk Ciara."Satu ... dua ... tiga."Kejut jantung dilakukan. Ciara tidak bereaksi apa-apa. "Ini nggak bagus!" Erisa harap-harap cemas saat mendengar dokter senior itu berkata. Erisa berseru, "Dokter Erlan, tolong selamatkan Nona Cia!""Dokter Erisa, kita semua di dalam ruangan ini juga punya harapan dan tujuan yang sama. Bahkan semua orang mau Nona Cia bangun
Kevan masuk ke mobil dengan bantuan Ziyad. Dia duduk bersandar di bagian tengah. "Huh!"Kevan terlihat kelelahan. Dia bersandar. Dia memberikan perintah kepada Angga. "Cepetan jalan! Jangan buang-buang waktu!"Di saat yang sama, seorang pengendara motor berhenti tepat di belakang mobil Kevan. "Bisa turun nggak, Bu?" tanya pria pengendara motor."Iーiya, bisa."Felicia turun dengan hati-hati sambil memegangi Ciara yang lemas. "Cia, tahan ya! Kita udah sampai di rumah sakit."Ciara tidak menjawab. Dia turun dari motor dibantu Felicia.Beberapa waktu lalu, Ciara mimisan dengan durasi yang lama. Darah segar mengalir dari kedua lubang hidung.Felicia panik. Dia tidak bisa mengandalkan Rudi. Dia mencari bantuan. Dia mengetuk pintu tetangga.Untung saja, sore hari seperti ini tetangga di rumah kontrakannya sudah pulang bekerja. Maka, Ciara dapat dibawa ke rumah sakit dengan motor."Suster, tolong!" Si pria berteriak. "Saya parkir sebentar, Bu. Nanti nyusul ke UGD.""Iya, Mas. Makasih."Se
Felicia selesai membayar biaya obat-obatan Ciara. Perasaannya senang sekaligus khawatir. Senang karena Ciara akan segera diberikan obat. Khawatir karena dia kehabisan uang untuk biaya rumah sakit. Darmadi memberikan obat khusus jantung untuk mengurangi sesak di dada kiri Ciara. Dia juga sudah memberikan obat untuk sakit kepala Ciara. Meskipun begitu, Ciara belum bisa keluar dari UGD."Cia, apa handphone Papi udah selesai diisi daya?" Felicia bertanya setelah Darmadi ke luar dari ruangan Ciara. "Udah, Mi. Tadi udah aku lepas kabel pengisian daya handphone Papi."Felicia berbisik, "Kamu di sini sama Mas Irman. Mami mau pulang sebentar. Mami mau jual handphone Papi buat biaya rumah sakit."Ciara tidak mau berjauhan dari Felicia. Namun, dia tidak kuasa menolak. Maka, Ciara hanya bisa mengangguk pasrah membiarkan Felicia melakukan apapun yang diinginkannya. Jika biasanya Felicia menutupi semua hal dari anaknya, sekarang tampaknya dia tidak ragu mengatakan semuanya. Felicia menatap Irma
Felicia memakai celemek. Dia baru selesai memasak makan malam untuk keluarga Jasmine. Menu sederhana untuk porsi 5 orang. "Segini luasnya kenapa nggak ada foto keluarga? Apa Juragan nggak punya anak? Kenapa rumahnya sepi gini?"Felicia berbicara seorang diri. Dia menata meja makan dengan cantik."Ah, nggak mungkin. Juragan minta aku masak untuk porsi 5 orang. Tapi, cuma disajikan untuk 2 orang aja. Ini kan berarti sisanya untuk anak-anak Juragan."Puas berasumsi, Felicia menatap hasil masakan dan tatanan meja makan. Dia tersenyum. "Semoga aja Juragan puas sama hasil kerjaku."Jasmine datang bersama suaminya dengan senyum. Felicia menyadari kehadiran mereka. Wajahnya berubah merah. Dia takut Jasmine dan Theo mendengar suaranya."Udah selesai, Bu Feli?" tanya Jasmine yang senantiasa ramah.Felicia mengangguk. "Uーudah, Juragan. Silakan makan mumpung masih anget!"Felicia menarik kursi untuk kedua juragannya. Theo memandangi Felicia. Lalu, menatap Jasmine. Melihat Jasmine mengangguk, T
Kevan tertidur di rumah Raymond yang berada di Jalan Cemara Raya 1. Raymond tidak membawa Kevan ke klinik seperti permintaan laki-laki itu. Namun, Raymond memanggil dokter pribadinya untuk memeriksa dan merawat Kevan.Ada beberapa alasan yang membuat Raymond menghindari pergi ke tempat-tempat umum. Salah satunya, demi menjaga identitas dan keamanannya."Tuan Ray Meridian, saya saranin supaya Tuan Kevan kontrol stres. Karena stres jadi faktor utama pemicu sakitnya."Fernando Salim, 41 tahun. Dia bekerja sebagai dokter pribadi Raymond sejak 5 tahun lalu. Dia adalah salah satu dokter senior Rumah Sakit Internasional Mayadipta di kota Tango. Yaitu rumah sakit bertaraf internasional yang selevel dengan Rumah Sakit Mitra Internasional Baubau. Ziyad dan Angga terkesiap mendengar Fernando memanggil Raymond dengan nama Ray Meridian. Lalu, bagaimana dengan nama Raymond? Bahkan Angga yang menghabiskan banyak waktu bersama Kevan pun tidak pernah tahu hal ini."Oke, saya usahain," jawab Raymond.