Ciara bangun tidur. Dia celingukan mencari Felicia. Dia mengambil sebotol air mineral berukuran kecil, lalu meminumnya."Mami ke mana, Pi?" Ciara bertanya pada Rudi. Namun, tidak ada jawaban. Ciara mendekati papinya. "Bisa-bisanya Papi ketiduran di kursi roda."Meskipun demikian, Ciara tidak berani membangunkan Rudi. Dia duduk di lantai tanpa alas. Dia mencabut kabel pengisian daya handphone. "Beberapa hari ini, aku nggak buka-buka akun sosial media. Ada berita viral apa, ya?"Setelah memejamkan mata selama kurang lebih 60 menit, Ciara merasa tubuhnya lebih segar. Sakit di kepalanya berangsur membaik. Dia mencari handphone yang ternyata berada di atas kardus kosong.Ciara membuka akun sosial media. Kedua ibu jarinya dengan cepat menekan tombol login. Dia memeriksa notifikasi masuk terlebih dahulu yang memang sudah menjadi kebiasaannya. Ketika kedua matanya bergulir ke bagian bawah notifikasi, dia tercengang."Jenna Timothy?! Kevan Hanindra?!"Ciara tidak yakin. Dia membaca notifik
Aroma obat tercium sangat kuat di ruang UGD. Dua dokter pria berdiri di samping Erisa yang merupakan dokter pribadi Ciara. Mereka sedang memeriksa data pasien. Raut wajah ketiga dokter itu sama-sama menjelaskan kecemasan mereka. Ketika terdengar bunyi bip, mata ketiga dokter tersebut menatap layar monitor. "Ambil alat kejut jantung!"Seorang dokter paling senior mendekati Ciara yang terbaring lemah dengan wajah pucatnya. Dia sudah tidak sadarkan diri selama 48 jam lamanya. "Ini, Dok!" Seorang suster memberikan alat kejut jantung kepada dokter senior.Dengan aba-aba dari dokter senior, mereka melakukan teknis kejut jantung untuk Ciara."Satu ... dua ... tiga."Kejut jantung dilakukan. Ciara tidak bereaksi apa-apa. "Ini nggak bagus!" Erisa harap-harap cemas saat mendengar dokter senior itu berkata. Erisa berseru, "Dokter Erlan, tolong selamatkan Nona Cia!""Dokter Erisa, kita semua di dalam ruangan ini juga punya harapan dan tujuan yang sama. Bahkan semua orang mau Nona Cia bangun
Kevan masuk ke mobil dengan bantuan Ziyad. Dia duduk bersandar di bagian tengah. "Huh!"Kevan terlihat kelelahan. Dia bersandar. Dia memberikan perintah kepada Angga. "Cepetan jalan! Jangan buang-buang waktu!"Di saat yang sama, seorang pengendara motor berhenti tepat di belakang mobil Kevan. "Bisa turun nggak, Bu?" tanya pria pengendara motor."Iーiya, bisa."Felicia turun dengan hati-hati sambil memegangi Ciara yang lemas. "Cia, tahan ya! Kita udah sampai di rumah sakit."Ciara tidak menjawab. Dia turun dari motor dibantu Felicia.Beberapa waktu lalu, Ciara mimisan dengan durasi yang lama. Darah segar mengalir dari kedua lubang hidung.Felicia panik. Dia tidak bisa mengandalkan Rudi. Dia mencari bantuan. Dia mengetuk pintu tetangga.Untung saja, sore hari seperti ini tetangga di rumah kontrakannya sudah pulang bekerja. Maka, Ciara dapat dibawa ke rumah sakit dengan motor."Suster, tolong!" Si pria berteriak. "Saya parkir sebentar, Bu. Nanti nyusul ke UGD.""Iya, Mas. Makasih."Se
Felicia selesai membayar biaya obat-obatan Ciara. Perasaannya senang sekaligus khawatir. Senang karena Ciara akan segera diberikan obat. Khawatir karena dia kehabisan uang untuk biaya rumah sakit. Darmadi memberikan obat khusus jantung untuk mengurangi sesak di dada kiri Ciara. Dia juga sudah memberikan obat untuk sakit kepala Ciara. Meskipun begitu, Ciara belum bisa keluar dari UGD."Cia, apa handphone Papi udah selesai diisi daya?" Felicia bertanya setelah Darmadi ke luar dari ruangan Ciara. "Udah, Mi. Tadi udah aku lepas kabel pengisian daya handphone Papi."Felicia berbisik, "Kamu di sini sama Mas Irman. Mami mau pulang sebentar. Mami mau jual handphone Papi buat biaya rumah sakit."Ciara tidak mau berjauhan dari Felicia. Namun, dia tidak kuasa menolak. Maka, Ciara hanya bisa mengangguk pasrah membiarkan Felicia melakukan apapun yang diinginkannya. Jika biasanya Felicia menutupi semua hal dari anaknya, sekarang tampaknya dia tidak ragu mengatakan semuanya. Felicia menatap Irma
Felicia memakai celemek. Dia baru selesai memasak makan malam untuk keluarga Jasmine. Menu sederhana untuk porsi 5 orang. "Segini luasnya kenapa nggak ada foto keluarga? Apa Juragan nggak punya anak? Kenapa rumahnya sepi gini?"Felicia berbicara seorang diri. Dia menata meja makan dengan cantik."Ah, nggak mungkin. Juragan minta aku masak untuk porsi 5 orang. Tapi, cuma disajikan untuk 2 orang aja. Ini kan berarti sisanya untuk anak-anak Juragan."Puas berasumsi, Felicia menatap hasil masakan dan tatanan meja makan. Dia tersenyum. "Semoga aja Juragan puas sama hasil kerjaku."Jasmine datang bersama suaminya dengan senyum. Felicia menyadari kehadiran mereka. Wajahnya berubah merah. Dia takut Jasmine dan Theo mendengar suaranya."Udah selesai, Bu Feli?" tanya Jasmine yang senantiasa ramah.Felicia mengangguk. "Uーudah, Juragan. Silakan makan mumpung masih anget!"Felicia menarik kursi untuk kedua juragannya. Theo memandangi Felicia. Lalu, menatap Jasmine. Melihat Jasmine mengangguk, T
Kevan tertidur di rumah Raymond yang berada di Jalan Cemara Raya 1. Raymond tidak membawa Kevan ke klinik seperti permintaan laki-laki itu. Namun, Raymond memanggil dokter pribadinya untuk memeriksa dan merawat Kevan.Ada beberapa alasan yang membuat Raymond menghindari pergi ke tempat-tempat umum. Salah satunya, demi menjaga identitas dan keamanannya."Tuan Ray Meridian, saya saranin supaya Tuan Kevan kontrol stres. Karena stres jadi faktor utama pemicu sakitnya."Fernando Salim, 41 tahun. Dia bekerja sebagai dokter pribadi Raymond sejak 5 tahun lalu. Dia adalah salah satu dokter senior Rumah Sakit Internasional Mayadipta di kota Tango. Yaitu rumah sakit bertaraf internasional yang selevel dengan Rumah Sakit Mitra Internasional Baubau. Ziyad dan Angga terkesiap mendengar Fernando memanggil Raymond dengan nama Ray Meridian. Lalu, bagaimana dengan nama Raymond? Bahkan Angga yang menghabiskan banyak waktu bersama Kevan pun tidak pernah tahu hal ini."Oke, saya usahain," jawab Raymond.
'Sesuai dugaanku. Mereka anak buah Kevan. Aku harus cepet-cepet pergi dari pasar,' pikir Felicia ketakutan.Setelah sekian detik Felicia tidak menjawab, si pria bertanya lagi. "Bu, kok diem aja? Pernah liat apa nggak?"Felicia buru-buru bersin untuk menguatkan alibi. "Maaf, Bang. Saya udah coba inget-inget, tapi kayaknya nggak pernah liat cewek ini. Maaf ya, saya lagi flu berat."Saat berbicara, Felicia menutup mulutnya. Dia mengangkat tangan seraya memberikan kode maaf kepada si pria. Lalu, dia berjalan cepat meninggalkannya sambil berpura-pura menggosok hidung yang gatal.Pria asing itu tidak merespon. Dia hanya geleng-geleng dan pergi.Dari kejauhan, Felicia mendengar suara si pria tadi."Bos Angga, nggak ada yang pernah liat Nona Ciara di sini. Gimana kalo kita cari di gang-gang aja?"Felicia melotot. Dia hampir menjatuhkan karung di tangannya.Angga memberikan instruksi. "Oke. Kita berpencar aja! Setiap gang diperiksa dua orang. Kalo ada yang nemuin Nona Ciara langsung telepon ak
Rasa sakit pada perutnya tidak sebanding dengan rasa sakit hati yang Kevan dapatkan saat kehilangan Ciara. Kevan yang selalu terlihat kuat dan tidak takut apapun, sekarang begitu lemah dihadapkan dengan kenyataan menghilangnya Ciara.Beberapa kali Kevan frustasi. Beberapa kali juga, dia menyiksa diri dengan tidak memperhatikan kesehatannya. Tapi beruntung, otak Kevan masih waras sehingga dia tidak terlibat obat-obatan terlarang."Aku lagi di kota Tango nyari pacarku. Apa Bu Bos bisa bantu?"Meskipun Kevan tidak lagi menjadi anak buah Bos Gallon, tapi dia masih menghormati Gallon dengan memanggilnya Bos "Lah, aku bukan polisi. Gimana caranya bantu kamu, Van?" Gallon terdengar penuh dengan keraguan. "Eh, tapi ... gimana ceritanya cewek kamu bisa hilang? Dia diculik?"Kevan menjauhkan handphone dari daun telinga. Dia menatap Ziyad. "Tunda meeting 5 menit!" perintahnya.Ziyad mengangguk, lalu kembali menghubungi Sarah. Sementara itu, Kevan masih berbicara dengan Gallon di telepon."Nggak