Aroma obat tercium sangat kuat di ruang UGD. Dua dokter pria berdiri di samping Erisa yang merupakan dokter pribadi Ciara. Mereka sedang memeriksa data pasien. Raut wajah ketiga dokter itu sama-sama menjelaskan kecemasan mereka. Ketika terdengar bunyi bip, mata ketiga dokter tersebut menatap layar monitor. "Ambil alat kejut jantung!"Seorang dokter paling senior mendekati Ciara yang terbaring lemah dengan wajah pucatnya. Dia sudah tidak sadarkan diri selama 48 jam lamanya. "Ini, Dok!" Seorang suster memberikan alat kejut jantung kepada dokter senior.Dengan aba-aba dari dokter senior, mereka melakukan teknis kejut jantung untuk Ciara."Satu ... dua ... tiga."Kejut jantung dilakukan. Ciara tidak bereaksi apa-apa. "Ini nggak bagus!" Erisa harap-harap cemas saat mendengar dokter senior itu berkata. Erisa berseru, "Dokter Erlan, tolong selamatkan Nona Cia!""Dokter Erisa, kita semua di dalam ruangan ini juga punya harapan dan tujuan yang sama. Bahkan semua orang mau Nona Cia bangun
Kevan masuk ke mobil dengan bantuan Ziyad. Dia duduk bersandar di bagian tengah. "Huh!"Kevan terlihat kelelahan. Dia bersandar. Dia memberikan perintah kepada Angga. "Cepetan jalan! Jangan buang-buang waktu!"Di saat yang sama, seorang pengendara motor berhenti tepat di belakang mobil Kevan. "Bisa turun nggak, Bu?" tanya pria pengendara motor."Iーiya, bisa."Felicia turun dengan hati-hati sambil memegangi Ciara yang lemas. "Cia, tahan ya! Kita udah sampai di rumah sakit."Ciara tidak menjawab. Dia turun dari motor dibantu Felicia.Beberapa waktu lalu, Ciara mimisan dengan durasi yang lama. Darah segar mengalir dari kedua lubang hidung.Felicia panik. Dia tidak bisa mengandalkan Rudi. Dia mencari bantuan. Dia mengetuk pintu tetangga.Untung saja, sore hari seperti ini tetangga di rumah kontrakannya sudah pulang bekerja. Maka, Ciara dapat dibawa ke rumah sakit dengan motor."Suster, tolong!" Si pria berteriak. "Saya parkir sebentar, Bu. Nanti nyusul ke UGD.""Iya, Mas. Makasih."Se
Felicia selesai membayar biaya obat-obatan Ciara. Perasaannya senang sekaligus khawatir. Senang karena Ciara akan segera diberikan obat. Khawatir karena dia kehabisan uang untuk biaya rumah sakit. Darmadi memberikan obat khusus jantung untuk mengurangi sesak di dada kiri Ciara. Dia juga sudah memberikan obat untuk sakit kepala Ciara. Meskipun begitu, Ciara belum bisa keluar dari UGD."Cia, apa handphone Papi udah selesai diisi daya?" Felicia bertanya setelah Darmadi ke luar dari ruangan Ciara. "Udah, Mi. Tadi udah aku lepas kabel pengisian daya handphone Papi."Felicia berbisik, "Kamu di sini sama Mas Irman. Mami mau pulang sebentar. Mami mau jual handphone Papi buat biaya rumah sakit."Ciara tidak mau berjauhan dari Felicia. Namun, dia tidak kuasa menolak. Maka, Ciara hanya bisa mengangguk pasrah membiarkan Felicia melakukan apapun yang diinginkannya. Jika biasanya Felicia menutupi semua hal dari anaknya, sekarang tampaknya dia tidak ragu mengatakan semuanya. Felicia menatap Irma
Felicia memakai celemek. Dia baru selesai memasak makan malam untuk keluarga Jasmine. Menu sederhana untuk porsi 5 orang. "Segini luasnya kenapa nggak ada foto keluarga? Apa Juragan nggak punya anak? Kenapa rumahnya sepi gini?"Felicia berbicara seorang diri. Dia menata meja makan dengan cantik."Ah, nggak mungkin. Juragan minta aku masak untuk porsi 5 orang. Tapi, cuma disajikan untuk 2 orang aja. Ini kan berarti sisanya untuk anak-anak Juragan."Puas berasumsi, Felicia menatap hasil masakan dan tatanan meja makan. Dia tersenyum. "Semoga aja Juragan puas sama hasil kerjaku."Jasmine datang bersama suaminya dengan senyum. Felicia menyadari kehadiran mereka. Wajahnya berubah merah. Dia takut Jasmine dan Theo mendengar suaranya."Udah selesai, Bu Feli?" tanya Jasmine yang senantiasa ramah.Felicia mengangguk. "Uーudah, Juragan. Silakan makan mumpung masih anget!"Felicia menarik kursi untuk kedua juragannya. Theo memandangi Felicia. Lalu, menatap Jasmine. Melihat Jasmine mengangguk, T
Kevan tertidur di rumah Raymond yang berada di Jalan Cemara Raya 1. Raymond tidak membawa Kevan ke klinik seperti permintaan laki-laki itu. Namun, Raymond memanggil dokter pribadinya untuk memeriksa dan merawat Kevan.Ada beberapa alasan yang membuat Raymond menghindari pergi ke tempat-tempat umum. Salah satunya, demi menjaga identitas dan keamanannya."Tuan Ray Meridian, saya saranin supaya Tuan Kevan kontrol stres. Karena stres jadi faktor utama pemicu sakitnya."Fernando Salim, 41 tahun. Dia bekerja sebagai dokter pribadi Raymond sejak 5 tahun lalu. Dia adalah salah satu dokter senior Rumah Sakit Internasional Mayadipta di kota Tango. Yaitu rumah sakit bertaraf internasional yang selevel dengan Rumah Sakit Mitra Internasional Baubau. Ziyad dan Angga terkesiap mendengar Fernando memanggil Raymond dengan nama Ray Meridian. Lalu, bagaimana dengan nama Raymond? Bahkan Angga yang menghabiskan banyak waktu bersama Kevan pun tidak pernah tahu hal ini."Oke, saya usahain," jawab Raymond.
'Sesuai dugaanku. Mereka anak buah Kevan. Aku harus cepet-cepet pergi dari pasar,' pikir Felicia ketakutan.Setelah sekian detik Felicia tidak menjawab, si pria bertanya lagi. "Bu, kok diem aja? Pernah liat apa nggak?"Felicia buru-buru bersin untuk menguatkan alibi. "Maaf, Bang. Saya udah coba inget-inget, tapi kayaknya nggak pernah liat cewek ini. Maaf ya, saya lagi flu berat."Saat berbicara, Felicia menutup mulutnya. Dia mengangkat tangan seraya memberikan kode maaf kepada si pria. Lalu, dia berjalan cepat meninggalkannya sambil berpura-pura menggosok hidung yang gatal.Pria asing itu tidak merespon. Dia hanya geleng-geleng dan pergi.Dari kejauhan, Felicia mendengar suara si pria tadi."Bos Angga, nggak ada yang pernah liat Nona Ciara di sini. Gimana kalo kita cari di gang-gang aja?"Felicia melotot. Dia hampir menjatuhkan karung di tangannya.Angga memberikan instruksi. "Oke. Kita berpencar aja! Setiap gang diperiksa dua orang. Kalo ada yang nemuin Nona Ciara langsung telepon ak
Rasa sakit pada perutnya tidak sebanding dengan rasa sakit hati yang Kevan dapatkan saat kehilangan Ciara. Kevan yang selalu terlihat kuat dan tidak takut apapun, sekarang begitu lemah dihadapkan dengan kenyataan menghilangnya Ciara.Beberapa kali Kevan frustasi. Beberapa kali juga, dia menyiksa diri dengan tidak memperhatikan kesehatannya. Tapi beruntung, otak Kevan masih waras sehingga dia tidak terlibat obat-obatan terlarang."Aku lagi di kota Tango nyari pacarku. Apa Bu Bos bisa bantu?"Meskipun Kevan tidak lagi menjadi anak buah Bos Gallon, tapi dia masih menghormati Gallon dengan memanggilnya Bos "Lah, aku bukan polisi. Gimana caranya bantu kamu, Van?" Gallon terdengar penuh dengan keraguan. "Eh, tapi ... gimana ceritanya cewek kamu bisa hilang? Dia diculik?"Kevan menjauhkan handphone dari daun telinga. Dia menatap Ziyad. "Tunda meeting 5 menit!" perintahnya.Ziyad mengangguk, lalu kembali menghubungi Sarah. Sementara itu, Kevan masih berbicara dengan Gallon di telepon."Nggak
"Jangankan kalian, saya sebagai pengacara keluarga Darwin aja nggak dihubungin sampai sekarang." Mahendra emosi. Tapi apa boleh buat? Dia hanya bisa berharap Kevan menemukan Ciara dan keluarganya."Apa Anda udah coba telpon Nyonya Felicia?" Nacita bertanya. Mahendra mengangkat kedua bahu. Lalu, menjawab, "Tentu, Nona. Mereka semua ganti nomor."'Kevan pasti menderita. Pantes dia sakit-sakitan,' pikir Nacita. Dia tidak berkata apa-apa lagi.Kevan tidak akan membiarkan perusahaan Darwin jatuh meskipun tanpa Rudi. Setelah mendapatkan kabar dari Gallon, setidaknya Kevan masih optimis mencari Ciara.Suasana kembali tenang. Kesempatan itu digunakan Kevan untuk berbicara."Oke, aku nggak mau ulur-ulur waktu lagi. Aku mau alihkan paksa saham Miguel Wijaya ke akunku sebagai konsekuensi kejahatannya. Karena dia udah banyak ngerugiin perusahaan. Tapi sebelum itu, aku akan alihkan sahamku ke akun Ciara."Semua orang terdiam. Mereka mengerti alasan Kevan melakukan semua ini. Kevan mengalihkan p
Donita menyadari ada yang tidak beres dengan suaminya. "Leon, kamu kenapa?" tanyanya, cemas. Donita bergegas lari ke arah Leon. Tangan Leon bergetar hebat. Setelah melototi dokumen kesehatan Christian di tangannya, sekarang Leon sedang menatap wajah ayahnya yang semakin memucat. Kemudian, dia segera membaca laporan keuangan keluarga.Melihat pemandangan itu, tidak ada seorang pun yang berbicara. Mereka menunggu reaksi Leon. Donita menarik paksa dokumen dari tangan Leon. Beberapa detik kemudian, mulutnya menganga lebar. "Ini nggak mungkin!" teriak Donita. "Ini pasti ada yang salah." Donita melirik Cinta yang duduk tenang memandanginya. "Iya kan, Mama mertua? Ini cuma halusinasi aku aja karena terlalu stres." Donita berkata dengan frustasi.Cinta menggeleng. Sedangkan Leon mematung di tempat. "Paman Leon sama Bibi Donita kaget, ya?" Suara Kevan memecahkan keheningan. "Di rumah ini, cuma keluarga kalian dan anak-anak Paman Ken aja yang belum tau."Hati Leon dan Donita semakin terir
Setelah kesalahpahaman dengan Ciara selesai, Kevan meminta tunangannya pergi ke Pink Beach Island lebih dulu bersama Felicia dan Quden untuk mempersiapkan pernikahan. Sedangkan Kevan kembali ke kota Paloma. Dia ingin menjemput keluarganya sebelum menyusul Ciara. Sehari sebelumnya, Ciara sudah mengetahui rencana pernikahan mereka. Karena keduanya melakukan fitting baju pengantin bersama. "Huhhh!" Kevan menghela napas panjang. Dia baru tiba di rumah besar keluarga Hanindra. Dia berjalan menuju ruang tengah di mana semua orang telah menunggunya."Tuan, Anda harus sabar!" Omar senantiasa mengingatkan Kevan. Kevan tidak menjawab. Dia terus berjalan tanpa menoleh.Setibanya di ruang tengah, semua orang sudah duduk bersama Christian dan Cinta. "Silakan duduk, Tuan!" Rofiq mempersilakan Kevan untuk duduk di sisi kanan Christian. "Malam, Kakek, Nenek," sapa Kevan. Lalu, dia menatap kedua Theo dan Jasmine yang duduk di sebelahnya. Rencana Kevan untuk menyusul Ciara tidak berjalan dengan
"Apa?! Anak kandung Kak Kevan?!"Ciara mengulangi kata-kata Nulla. Dia merasa hal itu sangat mustahil. Tapi jika dipikir-pikir, tidak ada hal mustahil di dunia ini kan? Bagaimana bisa, Kevan yang begitu bucin kepada Ciara menghamili wanita lain? Apalagi wanita itu adalah Nulla yang notabenenya mantan pacar sekaligus cinta pertama Kevan. Namun, jika sudah berurusan dengan nafsu, apapun bisa saja terjadi, kan?Kevan menghela napas kasar. Dia menatap Nulla yang sedang tersenyum lebar. Kevan beranjak pergi menghampiri Ciara. "Yang, jangan dengerin Nulla!"Ciara menghempas tangan Kevan. Dia memandangi Kevan dan Nulla bergantian. "Kamu belum bisa move on dari Cinta pertama kamu ya, Kak?" Wajah Ciara masam. "Kalo kamu belum selesai sama masa lalu, jangan berani-beraninya mulai sama orang baru."Usai mengatakan hal itu, Ciara pergi. Dia mengambil langkah cepat seolah tidak peduli dengan jantungnya yang terasa sakit. "Eh, Van! Kamu mau ke mana?" Nulla berteriak. Dia mencoba menghalangi Ke
"Masuk, Van!"Nulla membuka pintu kamar apartemen nomor 303. Namun, Kevan tidak langsung masuk. Merasa tidak ada pergerakan dari Kevan, Nulla menoleh ke belakang. "Kenapa? Ayo masuk!" ajaknya lagi. Nulla baru selesai mandi. Rambutnya basah dan dia masih memakai jubah mandi. Kevan tidak bodoh. Nulla pasti sedang merencanakan sesuatu. Bisa jadi firasat Omar tadi benar. Untuk sesaat, Nulla sibuk dengan ponselnya. Dia sedang mengetik pesan singkat untuk seseorang.Nulla: Nona Ciara, cepetan dateng ke Grand Hyeth Apartment nomor 303. Kamu pasti penasaran aku dan tunangan kamu ngapain aja, kan?Nulla tidak berniat menunggu pesan balasan Ciara. Dia kembali menatap Kevan. "Ada perlu apa?" tanya Kevan dengan tatapan sinis. "Di sini aja ngomongnya!"Kevan enggan masuk. Dia tidak ingin menimbulkan kecurigaan."Aku mau ngomongin tentang Miguel. Kamu yakin mau ngomong di depan pintu? Kamu nggak takut kalo ada yang nguping?"Nulla berdiri di ambang pintu, lalu celingukan. Sepi. Suasana di kori
Sesampainya di rumah, Kevan melihat Ciara murung. Ciara berbaring lesu di kamarnya. Dia bahkan tidak menyadari kehadiran Kevan dan Felicia. Felicia menghampiri anak satu-satunya. "Cia!" Ciara terkejut. Dia segera bangun. "Mama kapan pulang?" Sore hari yang redup ini sepertinya kota Baubau akan diguyur hujan. Suasana hati Kevan sedang tidak baik, sama seperti Ciara. Kevan mendekati Quden yang berdiri di dekat pintu. "Apa seharian ini Cia cuma tiduran aja?" tanyanya, penasaran. "Dia nggak bales chat aku sama sekali. Gimana nafsu makannya hari ini?"Quden adalah seorang yang jujur. Dia pun menjawab apa adanya. "Nona sama sekali nggak mau makan. Dia cuma minum susu aja, Bos." Kevan menatap Ciara yang sedang berbicara dengan Felicia. Wajah keduanya sedih. "Seharian ini, Nona Ciara habisin waktu di depan laptop baca-baca berita keluarga Darwin. Jadi, apa rencana Bos selanjutnya? Ngomong-ngomong, Pak Omar ke mana?""Omar masih di pengadilan. Aku balik sama Angga." Kevan terlihat benar-
"Huh!" Kevan melirik Felicia sedang menghela napas berat. Sejak tadi, Kevan berusaha menguatkan hati calon ibu mertuanya. Kevan memberikan botol air mineral kepada Felicia. "Ma, minum dulu!" Kevan lega. Karena setidaknya, Felicia masih mau minum di tengah ketegangan suasana ruang sidang. Dua hari lalu, Ciara sudah membereskan para pemegang saham yang ingin mundur dari Darwin Group. Ciara mentransfer uang sebanyak Rp 10 triliun sebagai ganti saham mereka. Tidak hanya itu, sehari sebelum sidang perdata digelar, keluarga Darwin sudah mengumumkan kebangkrutan mereka. Kini, Darwin Group telah diakuisisi oleh K.C Tobacco milik Kevan. Dengan cara itu, sudah sangat jelas bahwa K.C Tobacco ingin mengambil alih penuh tanpa melibatkan pemegang saham lama dalam struktur kepemilikan baru. Akuisisi ini memang menyakitkan bagi Ciara dan Felicia. Namun, mereka tidak memiliki cara lain. Selain itu, mereka berdua masih memiliki saham di K.C Tobacco. Tentu saja, Miguel tidak tahu hal itu. Denga
Pukul 9:00 malam waktu kota Baubau. Kevan dan Ciara sudah kembali ke rumah 1 jam yang lalu. Ciara tampak kelelahan. Mereka duduk di ruang tamu.Kevan duduk di sofa single menghadap ke pintu utama. Sedangkan Ciara dan Felicia duduk di sofa panjang bersama Arkan. Omar dan Angga berdiri di belakang Kevan. "Cia, kamu hebat. Kamu kuat menghadapi orang-orang. Aku salut sama keberanian kamu." Arkan tidak berhenti membanggakan Ciara. Namun, Kevan berwajah masam saat mendengarnya. Pintu pun terbuka. Quden berdiri di ambang pintu. Dia menatap Kevan. "Tuan, ada jajaran eksekutif di luar mau ketemu Anda dan Nona Ciara." Quden memberitahu. Sorot matanya tajam penuh dengan ancaman."Suruh masuk aja!" perintah Kevan. Kevan menatap Ciara dan Felicia. Lalu, mengangguk kepada Quden."Baik," sahut Quden. Tidak lama, dia menghilang di balik pintu. "Mama sama Cia inget kan rencana kita? Sekarang udah waktunya eksekusi."Kevan melihat Felicia tersenyum dengan paksa. Dia juga melihat sorot mata Felic
Rapat mendadak dengan jajaran eksekutif sudah selesai. Sekarang, Ciara sedang rapat bersama tim public relation dan tim kuasa hukum perusahaan di ruangan yang sama. Kevan tidak beranjak dari kursinya. Dia dengan setia menunggu Ciara menyelesaikan rapat. Di samping Kevan, Arkan duduk dengan tenang. Dia ingin melihat kepiawaian Ciara memimpin rapat.Di ruang rapat, Ciara berbicara. “Kita harus mengambil langkah-langkah yang sudah aku rencanakan untuk memulihkan kepercayaan dan memastikan Darwin Group tetap menjadi perusahaan yang dihormati,” katanya, antusias. Semua orang mengangguk setuju. Mereka tahu bahwa ini adalah tantangan besar, tapi dengan strategi yang tepat, mereka bisa mengatasi dampak negatif dan membangun kembali reputasi perusahaan."Siapa ketua tim public relation di sini?" tanya Ciara. Seorang wanita berambut pirang sebahu mengangkat tangan. "Saya, Nona. Nama saya Susan Arardjo.""Oke, Susan. Pertama-tama, aku mau hari ini kamu buat agenda transparansi dan komunikasi
Hari berikutnya, Ciara dan Kevan kembali ke pulau Pearl. Pagi ini, Ciara akan mengadakan rapat darurat dengan para eksekutif perusahaan Darwin Group. Kevan dan Ciara kembali bersama Arkan yang sekarang sedang rapat bersama pengacara yang dia bawa dan tim pengacara perusahaan di ruangan berbeda. Di ruang rapat Darwin Group, Ciara berbicara kepada tim manajemen. “Kita harus bekerja keras untuk memulihkan reputasi perusahaan. Aku tau, ini nggak akan mudah. Tapi dengan kerja sama dan dedikasi, aku yakin kita bisa mengatasi tantangan ini,” katanya dengan penuh semangat.Tim manajemen mengangguk setuju. Mereka tahu bahwa ini adalah saat yang sulit. Tapi, mereka bertekad untuk membawa Darwin Group kembali ke jalur yang benar. Mereka akan memastikan perusahaan ini tetap menjadi simbol integritas dan kepercayaan.Ciara menatap sekretarisnya. "Sarah, bagiin sekarang!""Baik, Nona." Sarah berdiri. Dia membagikan satu lembar kertas kepada tim manajemen. Kevan dan para jajaran direksi hanya te