“Karena apa?” buru Budiman.Setidaknya, Budiman sudah bisa menebak perihal amarah yang ditunjukkan Wahyu. Firasatnya tidak salah, pertikaian yang terjadi antara Wahyu dan Sabda dikarenakan oleh Indah. Kedua pria itu sama-sama menyukai Indah, tetapi Wahyu sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Keponakannya itu sudah menikah, sehingga melampiaskan kekesalannya pada Sabda dan Indah sekaligus. Wahyu menolak memberi suara pada Sabda dalam rapat direksi, lalu mengurung Indah di kediamannya.Perbuatan Wahyu kali ini, benar-benar tidak masuk di akal. Pria yang terkenal dengan pemikiran logisnya, akhirnya jatuh terjerat karena masalah hati.“Om, dia nggak bisa menuntut apa-apa.” Wahyu mengalihkan pembicaraan, karena tidak mampu menjelaskan bentuk perasaannya saat ini. “Walaupun ratusan bukti sudah ada di depan mata, Indah nggak bisa mengambil apa pun dari keluarga Kalingga, karena dia sudah menghilang di atas 10 tahun dan sudah dinyatakan meninggal. Secara hukum—”“Kita lakukan secara kekeluarga
Indah hampir saja terlelap, ketika pintu kamarnya diketuk pelan, tetapi terus menerus tanpa jeda. Sejak tadi, pikirannya terus saja berkelana dan tidak bisa beristirahat, karena begitu banyak rahasia yang belum terungkap.Akan tetapi, siapa yang mengetuk pintu kamarnya ketika sudah larut malam seperti sekarang?Jangan-jangan, Syifa. Wanita itu mungkin menunggu Budiman tidur, lalu keluar kamar untuk menginterogasi Indah.Tidak mau Syifa berpikiran macam-macam, Indah segera bangkit lalu membuka pintu kamar.“Mas—” Indah membeku ketika Sabda memeluknya tiba-tiba. Pelukan hangat nan erat, yang membuat perasaan Indah mendadak tidak karuan.“Apa aku harus pasang gps buat ngelacak kamu,” ujar Sabda masih memeluk Indah dengan erat. Perasaannya sempat tidak menentu, ketika Wahyu mengatakan Indah berada bersama pria itu.Bisa merasakan hangat tubuh gadis itu dan menghidu dalam-dalam aromanya, sungguh membuat perasaan Sabda begitu tenang.“Mas, ini sudah setengah 12.” Indah menepuk-nepuk sisi pin
Hari gini masih dijodoh-jodohkan?Indah sedang tertampar dengan ucapan yang pernah ia muntahkan pada Wahyu. Saat mengetahui dirinya ternyata juga dijodohkan, Indah merasa terjebak dalam situasi yang sempat ia anggap konyol.Andaipun perjodohan tersebut adalah permintaan orang tua terdahulu, bukan berarti Indah harus menerimanya begitu saja. Jelas ada banyak pertimbangan yang harus dipikirkan. Apalagi jika tidak ada cinta?“Tapi kenapa harus nikah?” Indah bertanya dengan nada protes. Namun, ketika melihat wajah Syifa yang duduk di depannya tiba-tiba berubah, Indah buru-buru meralat ucapannya. “Maksud saya, nggak harus cepat-cepat nikah, kan? Kalau nikah, om Regan yang harus—”“Regan harus tahu.” Budiman mengerti dengan isi kepala Indah. “Saat dia tahu, mau tidak mau kamu harus jadi istri Sabda. Menantu keluarga ini.”“Aku setuju.” Sabda mengangguk serius. “Indah, maksudku Anggun memang harus nikah sama aku. Kalau nggak, ada kemungkinan dia disingkirkan lagi. Tapi kalau nikah, om Regan
“Sorry, ak ... Indah ...” Pergerakan Regan melambat, ketika menyadari ada seorang gadis yang ikut serta dalam pertemuan siang ini. Bahkan, Regan menutup pintu ruang VIP tersebut dengan perlahan dan penuh curiga. Mengapa Budiman mengajak gadis itu ikut serta dalam makan siang kali ini? “Apa aku mau diwawancara?”“Duduklah dulu.” Budiman terkekeh sebentar, lalu mempersilakan Regan duduk di hadapannya. “Aku mau ngomong masalah pernikahan Sabda.”“Ah ...” Kendati masih bingung, tetapi Regan tetap tersenyum dan duduk di tempat yang sudah dipersilakan oleh Budiman.“Siang, Om,” sapa Indah menampilkan sikap canggung, sambil membenarkan kacamatanya. “Apa kabar?”“Baik, baik.” Regan mengangguk, lalu menunjuk Indah. “Ke mana Sabda? Kenapa nggak ikut?”“Sabda lagi siap-siap meeting direksi, jadi nggak bisa datang,” jawab Budiman. “Jadi, kita langsung aja, karena aku juga harus hadir di rapat itu.”“Oke!” Regan pun tidak keberatan, karena penasaran dengan pembicaraan yang akan mereka lakukan. Ter
“Iya, Pak Bud!” Bahar berpamitan pada teman bicaranya, lalu menghampiri Budiman dengan segera. “Sudah selesai makan siangnya, Pak?” Bahar tidak melihat sosok Regan menyusul di belakang Budiman. Lagipula, tidak mungkin acara makan siang Regan bersama Budiman berakhir dengan cepat seperti ini.Lantas, mengapa Budiman memanggilnya dan ingin bicara?“Pak Regan masih di dalam?” Bahar kembali bertanya sembari mengikuti langkah Budiman.“Dia masih di dalam,” ujar Budiman sambil mengeluarkan remote kunci mobil dari saku celana. “Ada pertemuan penting.”“Jadi, Bapak mau bicara—”“Masuk,” titah Budiman membuka pintu mobil penumpang di bagian depan. Sejurus itu, Budiman mengitari mobil, lalu masuk dan membukan sedikit kaca jendelanya.Meskipun bingung, tetapi Bahar tidak bisa menolak perintah Budiman. Kemudian, ia duduk dengan kedua tangan berada di atas paha. Diam dan menunggu Budiman membuka suara.“Kamu nggak punya banyak pilihan,” ujar Budiman menatap Bahar. “Ceritakan semua tentang Anggun, a
“Ini.” Darwin menyodorkan sebuah kantong plastik berisi sikat gigi pada Budiman. “Aku baru dapat pagi tadi dari pembantunya Regan. Kita tinggal ambil sample punya Indah.”Sambil mengunyah, Budiman merogoh saku celananya dan juga mengeluarkan sebuah kantong plastik. Meletakkannya di meja, tepat di samping kantong plastik milik Darwin.“Rambut Regan.” Budiman hendak tertawa, tetapi mulutnya masih penuh dengan makanan.“Rambut Regan?” ulang Darwin meraih kantong plastik milik Budiman lalu memperhatikannya dengan seksama.“Hmm.” Budiman beranjak cepat menuju meja persegi di tengah sofa, mengambil botol air mineral lalu membukanya. Sebelum meminum airnya, Budiman berkata. “Aku sudah temukan Regan sama Indah langsung, barusan.”“Serius?” Darwin meletakkan kembali kantong plastik milik Budiman di meja. Memutar kursinya dan melihat pria itu duduk di sofa. “Maksudku, cuma pertemuan biasa ... atau?”Budiman menggeleng, lalu menceritakan semua perihal Indah yang telah mengaku tentang identitasnya
“Tante Indira.” Anggun menggeleng pelan. Mengingat-ingat saudara perempuan sang mama, yang sepertinya sangat jarang ditemui. Mungkin nama itu ada diingatan, tetapi tidak terlalu jelas karena Indah jarang menemui keluarga mamanya.Jangankan keluarga sang mama, keluarga papanya saja sangat jarang Indah temui.“Kenapa? Nggak tahu dan nggak pernah ketemu?” tebak Budiman setelah menceritakan hasil pertemuannya dengan Bahar.“Sepertinya pernah ketemu, tapi saya nggak terlalu ingat.” Indah turut prihatin dengan penyakit yang diderita Indira. Ia juga sangat bersyukur, karena wanita itulah yang telah menyelamatkan dan memberi bantuan pada Indah selama ini. “Apa tante Indira punya anak, Pak?”“Aku kurang tahu.” Budiman memang tidak mengenal keluarga Arimbi dan lupa menanyakan pada Bahar mengenai hal tersebut. “Tapi, kita kesampingkan itu sebentar. Aku tahu, hidupmu selama ini pasti menderita karena perbuatan Regan. Tapi, In, maksudku Anggun. Aku sudah konsultasi dengan pak Darwin dan kita akan
“Aku baru kroscek lagi, ternyata almarhum pak Noto nggak ninggalin surat wasiat apa pun waktu beliau meninggal.” Darwin menyodorkan beberapa berkas yang sudah ia kumpulkan pada Regan. “Yang aku lihat, ada satu rumah yang sudah balik nama atas namamu. Rumah yang dulu kamu tempati setelah nikah dengan Elsa. Dan aset lainnya, masih atas nama pak Noto semua.”“Dan Alfian mengambil semuanya,” balas Regan sambil membuka berkas yang disodorkan Darwin, tetapi enggan membacanya. “Terutama perusahaan, karena dia lebih dulu kerja di sana dan punya pengaruh yang lebih tinggi dari aku.”Budiman mulai bisa meraba pola yang telah terjadi di masa lalu. Ada kecemburuan, ketidakadilan, dan persaingan. Baik Pranoto, Alfian, dan Regan, melakukan kesalahan masing-masing dan semua itu berimbas pada keturunan mereka saat ini.“Kita lupakan sebentar masalah itu,” pinta Darwin. “Sekarang, bagaimana dengan Anggun?”“Aku tetap nunggu hasil tes DNA,” jawab Regan menunjuk Budiman. Meskipun hati kecilnya sudah yak