“Halo, Om,” kata Wahyu, menjawab panggilan melalui layar di dashboard mobilnya. Ia sedang mengendarai mobil dengan kecepatan sedang menuju rumah, setelah pergi menemui Sabda. Hasil pembicaraan dengan pria itu ternyata sangat di luar dugaan. Wahyu seperti tidak mengenal Sabda dan sikap pria itu hampir-hampir seperti Indah. Tidak bisa ditebak.“Di mana?”“Di jalan, kenapa?”“Sama April?”“Sendiri, aku mau pulang.”“Aku juga di jalan, menuju rumahmu.”“Kita bisa ketemu di luar, daripada harus—”“Ada yang harus aku temui di sana.”Wahyu mengumpat dalam hati. Apa yang ada di pikiran Indah sebenarnya, sampai-sampai gadis itu berani menelepon Budiman?Gadis itu benar-benar gila!Isi pikirannya sungguh tidak bisa di tebak sama sekali.Alih-alih nekat menghubungi Sabda, Indah justru menelepon Budiman.“Kenapa om sampai repot-repot datang ke rumahku untuk nemui dia?” selidik Wahyu harus segera mengetahui semua yang terjadi di masa lalu, agar pikirannya tidak semakin sesak.“Telpon orangmu, Yu,
“Karena apa?” buru Budiman.Setidaknya, Budiman sudah bisa menebak perihal amarah yang ditunjukkan Wahyu. Firasatnya tidak salah, pertikaian yang terjadi antara Wahyu dan Sabda dikarenakan oleh Indah. Kedua pria itu sama-sama menyukai Indah, tetapi Wahyu sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Keponakannya itu sudah menikah, sehingga melampiaskan kekesalannya pada Sabda dan Indah sekaligus. Wahyu menolak memberi suara pada Sabda dalam rapat direksi, lalu mengurung Indah di kediamannya.Perbuatan Wahyu kali ini, benar-benar tidak masuk di akal. Pria yang terkenal dengan pemikiran logisnya, akhirnya jatuh terjerat karena masalah hati.“Om, dia nggak bisa menuntut apa-apa.” Wahyu mengalihkan pembicaraan, karena tidak mampu menjelaskan bentuk perasaannya saat ini. “Walaupun ratusan bukti sudah ada di depan mata, Indah nggak bisa mengambil apa pun dari keluarga Kalingga, karena dia sudah menghilang di atas 10 tahun dan sudah dinyatakan meninggal. Secara hukum—”“Kita lakukan secara kekeluarga
Indah hampir saja terlelap, ketika pintu kamarnya diketuk pelan, tetapi terus menerus tanpa jeda. Sejak tadi, pikirannya terus saja berkelana dan tidak bisa beristirahat, karena begitu banyak rahasia yang belum terungkap.Akan tetapi, siapa yang mengetuk pintu kamarnya ketika sudah larut malam seperti sekarang?Jangan-jangan, Syifa. Wanita itu mungkin menunggu Budiman tidur, lalu keluar kamar untuk menginterogasi Indah.Tidak mau Syifa berpikiran macam-macam, Indah segera bangkit lalu membuka pintu kamar.“Mas—” Indah membeku ketika Sabda memeluknya tiba-tiba. Pelukan hangat nan erat, yang membuat perasaan Indah mendadak tidak karuan.“Apa aku harus pasang gps buat ngelacak kamu,” ujar Sabda masih memeluk Indah dengan erat. Perasaannya sempat tidak menentu, ketika Wahyu mengatakan Indah berada bersama pria itu.Bisa merasakan hangat tubuh gadis itu dan menghidu dalam-dalam aromanya, sungguh membuat perasaan Sabda begitu tenang.“Mas, ini sudah setengah 12.” Indah menepuk-nepuk sisi pin
Hari gini masih dijodoh-jodohkan?Indah sedang tertampar dengan ucapan yang pernah ia muntahkan pada Wahyu. Saat mengetahui dirinya ternyata juga dijodohkan, Indah merasa terjebak dalam situasi yang sempat ia anggap konyol.Andaipun perjodohan tersebut adalah permintaan orang tua terdahulu, bukan berarti Indah harus menerimanya begitu saja. Jelas ada banyak pertimbangan yang harus dipikirkan. Apalagi jika tidak ada cinta?“Tapi kenapa harus nikah?” Indah bertanya dengan nada protes. Namun, ketika melihat wajah Syifa yang duduk di depannya tiba-tiba berubah, Indah buru-buru meralat ucapannya. “Maksud saya, nggak harus cepat-cepat nikah, kan? Kalau nikah, om Regan yang harus—”“Regan harus tahu.” Budiman mengerti dengan isi kepala Indah. “Saat dia tahu, mau tidak mau kamu harus jadi istri Sabda. Menantu keluarga ini.”“Aku setuju.” Sabda mengangguk serius. “Indah, maksudku Anggun memang harus nikah sama aku. Kalau nggak, ada kemungkinan dia disingkirkan lagi. Tapi kalau nikah, om Regan
“Sorry, ak ... Indah ...” Pergerakan Regan melambat, ketika menyadari ada seorang gadis yang ikut serta dalam pertemuan siang ini. Bahkan, Regan menutup pintu ruang VIP tersebut dengan perlahan dan penuh curiga. Mengapa Budiman mengajak gadis itu ikut serta dalam makan siang kali ini? “Apa aku mau diwawancara?”“Duduklah dulu.” Budiman terkekeh sebentar, lalu mempersilakan Regan duduk di hadapannya. “Aku mau ngomong masalah pernikahan Sabda.”“Ah ...” Kendati masih bingung, tetapi Regan tetap tersenyum dan duduk di tempat yang sudah dipersilakan oleh Budiman.“Siang, Om,” sapa Indah menampilkan sikap canggung, sambil membenarkan kacamatanya. “Apa kabar?”“Baik, baik.” Regan mengangguk, lalu menunjuk Indah. “Ke mana Sabda? Kenapa nggak ikut?”“Sabda lagi siap-siap meeting direksi, jadi nggak bisa datang,” jawab Budiman. “Jadi, kita langsung aja, karena aku juga harus hadir di rapat itu.”“Oke!” Regan pun tidak keberatan, karena penasaran dengan pembicaraan yang akan mereka lakukan. Ter
“Iya, Pak Bud!” Bahar berpamitan pada teman bicaranya, lalu menghampiri Budiman dengan segera. “Sudah selesai makan siangnya, Pak?” Bahar tidak melihat sosok Regan menyusul di belakang Budiman. Lagipula, tidak mungkin acara makan siang Regan bersama Budiman berakhir dengan cepat seperti ini.Lantas, mengapa Budiman memanggilnya dan ingin bicara?“Pak Regan masih di dalam?” Bahar kembali bertanya sembari mengikuti langkah Budiman.“Dia masih di dalam,” ujar Budiman sambil mengeluarkan remote kunci mobil dari saku celana. “Ada pertemuan penting.”“Jadi, Bapak mau bicara—”“Masuk,” titah Budiman membuka pintu mobil penumpang di bagian depan. Sejurus itu, Budiman mengitari mobil, lalu masuk dan membukan sedikit kaca jendelanya.Meskipun bingung, tetapi Bahar tidak bisa menolak perintah Budiman. Kemudian, ia duduk dengan kedua tangan berada di atas paha. Diam dan menunggu Budiman membuka suara.“Kamu nggak punya banyak pilihan,” ujar Budiman menatap Bahar. “Ceritakan semua tentang Anggun, a
“Ini.” Darwin menyodorkan sebuah kantong plastik berisi sikat gigi pada Budiman. “Aku baru dapat pagi tadi dari pembantunya Regan. Kita tinggal ambil sample punya Indah.”Sambil mengunyah, Budiman merogoh saku celananya dan juga mengeluarkan sebuah kantong plastik. Meletakkannya di meja, tepat di samping kantong plastik milik Darwin.“Rambut Regan.” Budiman hendak tertawa, tetapi mulutnya masih penuh dengan makanan.“Rambut Regan?” ulang Darwin meraih kantong plastik milik Budiman lalu memperhatikannya dengan seksama.“Hmm.” Budiman beranjak cepat menuju meja persegi di tengah sofa, mengambil botol air mineral lalu membukanya. Sebelum meminum airnya, Budiman berkata. “Aku sudah temukan Regan sama Indah langsung, barusan.”“Serius?” Darwin meletakkan kembali kantong plastik milik Budiman di meja. Memutar kursinya dan melihat pria itu duduk di sofa. “Maksudku, cuma pertemuan biasa ... atau?”Budiman menggeleng, lalu menceritakan semua perihal Indah yang telah mengaku tentang identitasnya
“Tante Indira.” Anggun menggeleng pelan. Mengingat-ingat saudara perempuan sang mama, yang sepertinya sangat jarang ditemui. Mungkin nama itu ada diingatan, tetapi tidak terlalu jelas karena Indah jarang menemui keluarga mamanya.Jangankan keluarga sang mama, keluarga papanya saja sangat jarang Indah temui.“Kenapa? Nggak tahu dan nggak pernah ketemu?” tebak Budiman setelah menceritakan hasil pertemuannya dengan Bahar.“Sepertinya pernah ketemu, tapi saya nggak terlalu ingat.” Indah turut prihatin dengan penyakit yang diderita Indira. Ia juga sangat bersyukur, karena wanita itulah yang telah menyelamatkan dan memberi bantuan pada Indah selama ini. “Apa tante Indira punya anak, Pak?”“Aku kurang tahu.” Budiman memang tidak mengenal keluarga Arimbi dan lupa menanyakan pada Bahar mengenai hal tersebut. “Tapi, kita kesampingkan itu sebentar. Aku tahu, hidupmu selama ini pasti menderita karena perbuatan Regan. Tapi, In, maksudku Anggun. Aku sudah konsultasi dengan pak Darwin dan kita akan
“Sepertinya, kasur di kamar atas harus dibawa ke kamarmu,” ujar Wahyu setelah memberi kecupan pada bahu terbuka Anggun. Ia memeluk sang istri dari belakang, setelah melewati momen yang membuat keduanya lelah dalam kehangatan.“Hm.” Anggun menarik napas panjang. Masih menenangkan detak jantungnya yang berpacu kencang. Menunggu dengan sabar, hingga tubuhnya kembali tenang dari luapan dopamin yang baru saja menyergap.“Tapi, aku rasa kita harus cepat-cepat pindah dari sini.” Wahyu menyandarkan dagunya pada bahu Anggun dan semakin memeluk erat. “Kamar Putra ini terlalu kecil. Apalagi tempat tidurnya cuma ukuran single. Terlalu sempit.”“Hm.” Anggun kembali menggumam, masih sibuk menenangkan gejolak yang baru saja menguasai tubuhnya. Sesaat, ia menutup mata, merasakan dekapan Wahyu yang hangat dan nyaman di punggungnya.“Aku serius, tapi cuma dijawab ham hem ham hem.” Wahyu berdecak lalu menggigit pelan daun telinga Anggun dan wanita itu langsung menyikut pelan perutnya.“Mas,” desis Anggu
“Pagi Papa Wahyu,” sapa Anggun ketika melihat pria itu membuka mata. “Gimana tidurnya? Nyenyak?” tanyanya dengan nada meledek.Wahyu hanya membuka mata. Melihat Anggun yang tampak sudah segar dan baru saja duduk di depan meja rias. Ia masih mengumpulkan kesadaran dan tidak bergerak karena kedua kaki Putra melintang di dadanya.Tidak hanya itu, Wahyu bahkan beberapa kali merasakan tendangan dari kaki mungil itu ketika tidur tadi malam. Putranya itu, ternyata tidak bisa tidur dengan anteng dan terus bergerak ke mana-mana.Jadi, bagaimana bisa Wahyu tidur nyenyak tadi malam, jika wajah, dada, perut, dan bagian tubuh lain kerap mendapatkan tendangan dengan tiba-tiba.“Apa dia selalu mutar-mutar begini kalau tidur?” tanya Wahyu dengan suara berat.“Sudah ngerasain tendangan Putra belum.” Anggun terkekeh sembari memakai pelembabnya. “Pasti sudah, kan?”Wahyu ikut terkekeh. Menyingkirkan kedua kaki mungil itu dengan perlahan, lalu meregangkan tubuh dan menatap langit-langit kamar Anggun.“Har
“Mas! Kamu itu nggak ada kerjaan apa?” desis Anggun melotot pada Wahyu yang selalu mengekorinya sejak tadi.“Nggak ada,” jawab Wahyu cuek dan terus berada di sisi Anggun yang sedang membuka lemari pendingin.Ia memang sengaja mengikuti sang istri sejak tadi, karena masih saja kesal dengan ulah Anggun yang menutup pintu pintu kamar dan mengunci Wahyu dari dalam.“Apa kamu lupa kalau aku lagi cuti, jadi memang nggak ada kerjaan,” lanjut Wahyu menambahkan. “Maunya ngerjain kamu. Apalagi Putra lagi sama oma opanya. Sepertinya, mereka memang ngasih kita waktu buat berdua.”Setelah meletakkan kantung ASI-nya di freezer dan menutup pintunya, Anggun bersedekap. “Apa kamu lupa, aku juga lagi ‘cuti’?” ucap Anggun mengingatkan perkataannya siang tadi. “Jadi—”“Banyak jalan menuju Roma,” putus Wahyu tetap tenang. “Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Setiap ada masalah, pasti ada solusinya. Masa’ yang begitu aja nggak tahu. Apa perlu aku ajari? Kalau perlu bilang, karena aku bisa jadi gu
Sah.Akhirnya, penantian Wahyu selama ini berbuah manis. Setelah melewati berbagai rintangan terutama ketidakpastian, akhirnya hari ini datang juga. Hari dimana ia mengucapkan ikrar suci pernikahan, dengan wanita yang selama ini telah menjadi ratu di hatinya.“Sekarang, manggilnya juga harus mama sama papa,” ucap Desty ketika mereka sudah berada di parkiran Lembaga Pemasyarakatan. “Nggak usah sungkan. Kalau Wahyu macam-macam, kamu tinggal adukan sama Mama.”“Makasih, Ma.” Anggun mengangguk. Merasa sedikit aneh, karena panggilannya pada Desty harus berubah.“Sekali lagi selamat, ya,” ujar Darwin menepuk bahu Anggun dua kali. “Semoga Wahyu nggak bikin ulah lagi. Dan tolong sabar ngadapin dia yang suka seenaknya. Tapi kalau dia sampai kelewatan, langsung telpon Papa.”“Iya, Pa.” Anggun kembali mengangguk. “Makasih juga.”“Kami balik duluan, ya,” pamit Desty sembari memeluk Anggun dengan singkat, pun dengan Wahyu. “Jaga Anggun dan nggak usah lagi macam-macam.”“Memangnya kapan aku pernah
“Mau apa kamu ke sini?” Regan hanya bisa diam di kursi roda. Menatap mantan menantu yang tiba-tiba datang menjenguknya di penjara. “Kita sudah nggak punya urusan lagi.”Wahyu bersandar pada kursi besi lalu menyilang kaki. Mereka tidak bertemu di tempat para pengunjung biasa bertemu, karena itu ia bisa dengan bebas menatap dan menelisik penampilan Regan yang sangat jauh berbeda.Tubuh Regan tampak semakin kurus dengan cekungan mata hitam yang semakin membuat raganya terlihat renta. Rambut putih yang sudah menghiasi kepala, semakin menegaskan tanda-tanda penuaan yang tidak lagi bisa disembunyikan.Semua sudah berubah. Tidak ada lagi Regan yang selalu tampil rapi dan bugar di setiap kesempatan. Semua telah musnah, termakan usia dan karma yang didapat di dalam penjara.“Aku mau menikah dengan Anggun,” jawab Wahyu tidak mau berputar-putar. “Dan aku butuh pak Regan untuk jadi walinya,” ucapnya berusaha menjaga kesopanan di depan Regan.Regan menghela pelan dan memejam sejenak. “Apa kamu ngg
“Lamaran apa ini!” Anggun melihat cincin yang tersemat di jari manisnya dengan mencebik. Mengingat kembali, momen tidak terduga yang terjadi sore tadi. Yakni ketika Wahyu melamarnya di sela-sela ulang tahun Putra yang terjeda. “Ck! Ada orang ngelamar mode maksa begitu.”“Ada,” jawab Wahyu santai, sekaligus lega karena sudah menyematkan sebuah cincin di jari wanita itu.Mungkin caranya tidak biasa dan jauh dari kata romantis. Namun, hal itu akan menjadi momen yang tidak akan terlupakan dalam perjalanan mereka di masa depan nanti.“Ah!” Anggun masih saja kesal karena lamaran Wahyu sungguh berada di luar ekspektasinya. Meskipun begitu, ia tetap menerima lamaran tersebut karena tidak bisa memungkiri rasa nyaman yang ada ketika berada bersama Wahyu.Entah apa itu cinta dan bagaimana cara menjelaskannya. Yang Anggun tahu hanyalah, ada perasaan hangat yang tidak biasa jika pria itu ada bersamanya. Terlebih ketika melihat interaksi Wahyu dengan Putra. Semua itu mampu meruntuhkan kebekuan yang
Sebenarnya, sejak kepindahannya ke Bali, Anggun sudah dua kali pergi ke Jakarta bersama Syifa dan Budiman. Mereka bergantian mengunjungi makam Sabda, lalu kembali lagi ke Bali.Namun, kali ini berbeda. Seluruh keluarga besar pergi ke Jakarta karena Budiman dan Darwin akan menghadiri rapat pemegang saham di Warta. Satu-satunya perusahaan keluarga yang tersisa dan Budiman masih menjadi pemegang saham mayoritas di sana.“Harusnya Ken juga disuruh ke Jakarta,” ujar Anggun sembari menempelkan balon-balon yang sudah diberi double-tape ke dinding. Ia sedang membuat dekorasi sederhana, di salah satu dinding ruang keluarga untuk merayakan hari ulang tahun Putra yang pertama.“Dia lagi sibuk ngurusin resor,” ucap Wahyu yang hanya berbaring di karpet menemani Putra bermain dengan balon-balon kecil yang baru ditiupnya. “Memangnya kenapa Ken disuruh ke Jakarta juga?” tanya Desty yang juga ikut sibuk menempel bendera kertas berbentuk segitiga warna warni di dinding.“Anggun dari dulu mau jodohin
“Masih panas?” tanya Wahyu ketika Anggun baru saja membuka pintu kamar. Belum sempat Anggun menjawab, ia langsung merangsek masuk dan mendapati Putra masih terlelap di tempat tidur. “Rewel nggak?”“Nggak terlalu.” Anggun berbalik dan berjalan lesu menuju tempat tidurnya. “Titip bentar, ya, Mas. Aku mau mandi.”“Mandilah dulu.” Melihat Putra masih anteng di tempatnya, Wahyu mematikan pendingin ruangan dan beralih menuju jendela. Menarik tirainya, lalu membuka daun jendela lebar-lebar. Membiarkan udara pagi nan segar masuk ke dalam kamar.Sembari menunggu Anggun, Wahyu duduk bersandar pada bingkai jendela, menekuk satu kakinya. Menikmati embusan udara pagi dengan senyum lebar yang tersemat bahagia. Hati Anggun yang selama ini membatu, akhirnya menunjukkan retakan-retakan kecil yang memberi harapan. Wahyu tahu, semua itu bukanlah proses yang mudah. Namun, ini adalah sebuah langkah kecil yang membawa mereka lebih dekat pada kebahagiaan yang baru.“Udah gila, Mas?” tanya Anggun sembari kel
“Mama, bisa bicara sebentar,” pinta Anggun mendatangi Syifa yang berada di kamar, ketika keluarga Sadhana sudah kembali ke rumahnya. Hanya Wahyu yang menetap dan akan menginap, karena ingin memantau perkembangan Putra.“Masuk sini,” ucap Syifa pada Anggun yang berdiri di bibir pintu. Ia tahu, Anggun pasti sedang mengalami kegundahan, akibat pertemuan keluarga yang terjadi beberapa waktu lalu. “Putra sama Wahyu?”“Iya.” Anggun mengangguk sembari melangkah masuk. Ia duduk pada sofa panjang yang baru ditunjuk Syifa. Sementara, wanita itu sedang duduk di depan meja rias dan melakukan ritual malamnya sebelum tidur. “Mereka di kamar.”“Sebentar, ya.” Syifa buru-buru meratakan pelembab di wajahnya dengan gerakan cepat, lalu beranjak menghampiri Anggun. Setelah duduk di samping sang menantu, barulah Syifa mempersilakan Anggun bicara lebih dulu dengan lembut. “Silakan, kamu pasti mau bicara masalah pertemuan tadi, kan?”Lagi-lagi Anggun mengangguk. Tanpa mau membuang waktu, ia lantas mengeluar