“Iya, Pak Bud!” Bahar berpamitan pada teman bicaranya, lalu menghampiri Budiman dengan segera. “Sudah selesai makan siangnya, Pak?” Bahar tidak melihat sosok Regan menyusul di belakang Budiman. Lagipula, tidak mungkin acara makan siang Regan bersama Budiman berakhir dengan cepat seperti ini.Lantas, mengapa Budiman memanggilnya dan ingin bicara?“Pak Regan masih di dalam?” Bahar kembali bertanya sembari mengikuti langkah Budiman.“Dia masih di dalam,” ujar Budiman sambil mengeluarkan remote kunci mobil dari saku celana. “Ada pertemuan penting.”“Jadi, Bapak mau bicara—”“Masuk,” titah Budiman membuka pintu mobil penumpang di bagian depan. Sejurus itu, Budiman mengitari mobil, lalu masuk dan membukan sedikit kaca jendelanya.Meskipun bingung, tetapi Bahar tidak bisa menolak perintah Budiman. Kemudian, ia duduk dengan kedua tangan berada di atas paha. Diam dan menunggu Budiman membuka suara.“Kamu nggak punya banyak pilihan,” ujar Budiman menatap Bahar. “Ceritakan semua tentang Anggun, a
“Ini.” Darwin menyodorkan sebuah kantong plastik berisi sikat gigi pada Budiman. “Aku baru dapat pagi tadi dari pembantunya Regan. Kita tinggal ambil sample punya Indah.”Sambil mengunyah, Budiman merogoh saku celananya dan juga mengeluarkan sebuah kantong plastik. Meletakkannya di meja, tepat di samping kantong plastik milik Darwin.“Rambut Regan.” Budiman hendak tertawa, tetapi mulutnya masih penuh dengan makanan.“Rambut Regan?” ulang Darwin meraih kantong plastik milik Budiman lalu memperhatikannya dengan seksama.“Hmm.” Budiman beranjak cepat menuju meja persegi di tengah sofa, mengambil botol air mineral lalu membukanya. Sebelum meminum airnya, Budiman berkata. “Aku sudah temukan Regan sama Indah langsung, barusan.”“Serius?” Darwin meletakkan kembali kantong plastik milik Budiman di meja. Memutar kursinya dan melihat pria itu duduk di sofa. “Maksudku, cuma pertemuan biasa ... atau?”Budiman menggeleng, lalu menceritakan semua perihal Indah yang telah mengaku tentang identitasnya
“Tante Indira.” Anggun menggeleng pelan. Mengingat-ingat saudara perempuan sang mama, yang sepertinya sangat jarang ditemui. Mungkin nama itu ada diingatan, tetapi tidak terlalu jelas karena Indah jarang menemui keluarga mamanya.Jangankan keluarga sang mama, keluarga papanya saja sangat jarang Indah temui.“Kenapa? Nggak tahu dan nggak pernah ketemu?” tebak Budiman setelah menceritakan hasil pertemuannya dengan Bahar.“Sepertinya pernah ketemu, tapi saya nggak terlalu ingat.” Indah turut prihatin dengan penyakit yang diderita Indira. Ia juga sangat bersyukur, karena wanita itulah yang telah menyelamatkan dan memberi bantuan pada Indah selama ini. “Apa tante Indira punya anak, Pak?”“Aku kurang tahu.” Budiman memang tidak mengenal keluarga Arimbi dan lupa menanyakan pada Bahar mengenai hal tersebut. “Tapi, kita kesampingkan itu sebentar. Aku tahu, hidupmu selama ini pasti menderita karena perbuatan Regan. Tapi, In, maksudku Anggun. Aku sudah konsultasi dengan pak Darwin dan kita akan
“Aku baru kroscek lagi, ternyata almarhum pak Noto nggak ninggalin surat wasiat apa pun waktu beliau meninggal.” Darwin menyodorkan beberapa berkas yang sudah ia kumpulkan pada Regan. “Yang aku lihat, ada satu rumah yang sudah balik nama atas namamu. Rumah yang dulu kamu tempati setelah nikah dengan Elsa. Dan aset lainnya, masih atas nama pak Noto semua.”“Dan Alfian mengambil semuanya,” balas Regan sambil membuka berkas yang disodorkan Darwin, tetapi enggan membacanya. “Terutama perusahaan, karena dia lebih dulu kerja di sana dan punya pengaruh yang lebih tinggi dari aku.”Budiman mulai bisa meraba pola yang telah terjadi di masa lalu. Ada kecemburuan, ketidakadilan, dan persaingan. Baik Pranoto, Alfian, dan Regan, melakukan kesalahan masing-masing dan semua itu berimbas pada keturunan mereka saat ini.“Kita lupakan sebentar masalah itu,” pinta Darwin. “Sekarang, bagaimana dengan Anggun?”“Aku tetap nunggu hasil tes DNA,” jawab Regan menunjuk Budiman. Meskipun hati kecilnya sudah yak
“Jadi, begini.” Syifa memandang Sabda dan Indah yang duduk di hadapannya. Karena semalam keduanya pulang terlalu larut, maka Syifa baru bisa bicara dengan keduanya pagi ini. “Sebenarnya, saya dan pak Budiman mau menikahkan kalian sesegera mungkin. Tapi, karena pak Regan minta menunggu hasil tes DNA, mau nggak mau kita tunda dulu sebentar.”Indah mengangguk. Tidak bisa berkomentar, karena pernikahan tersebut sebenarnya tidak ada di dalam rencananya. Namun, demi melindungi diri sendiri dan mencapai tujuannya, maka Indah mau tidak mau akan melakukannya.Namun, mengapa Regan masih harus menunggu hasil tes DNA, jika pria itu sudah yakin Indah adalah Anggun Kalingga?“Om Regan masih nggak percaya kalau Indah itu Anggun?” tanya Sabda belum mendapat kabar apa pun dari sang papa.“Sebenarnya dia sudah yakin,” ujar Budiman yang duduk di samping Syifa. “Cuma butuh ... bukti konkret yang bisa dilihat.”“Gimana kalau hasilnya dimanipulasi?” celetuk Sabda mendadak khawatir. Jika benar demikian, mak
“Elsa ini Indah,” ujar Syifa memperkenalkan. “Indah, ini tante Elsa, mamanya April.”Elsa mematung menatap Indah. Mengingat kembali pembicaraan dengan sang suami yang masih belum selesai dan selalu tersendat-sendat. Regan selalu menghindar dan belum memberitahu semua hal secara detail padanya.Apa benar, gadis yang berada di hadapannya saat ini adalah Anggun? Keponakan sang suami yang menghilang 15 tahun yang lalu?Elsa menelisik. Mencari kemiripan gadis itu dengan almarhum Arimbi maupun Alfian. Namun, Elsa tidak bisa mengingat sepenuhnya karena hubungan keluarganya dengan keluarga Alfian tidaklah dekat.“Siang, Tante El.” Indah mengulurkan tangan lebih dulu. Dari ekspresi Elsa, ia yakin wanita itu sudah mengetahui identitas Indah yang sebenarnya.“Tante El ...” Tubuh Elsa mendadak limbung. Berpegangan segera pada sisi meja dan April dengan sigap memapahnya agar duduk.Elsa kembali terdiam menatap Indah. Panggilan yang ditujukan untuknya barusan, adalah sebutan yang dahulu kala diguna
“Apa kamu nggak ngerti kalau waktuku itu berharga, Pril!” Wahyu mendesis ketika sudah berada di dalam mobil dan menjalankannya. “Jauh-jauh aku ke Kalingga Tower, cuma untuk bahas masalah yang sudah berlalu dan nggak sampai lima menit!”“Yang nelpon kamu itu mama, Beb.” April berkilah dan menyodorkan fakta yang ada. “Bukan aku.”“Tapi semua masalah ini awalnya di kamu.”“Kalau kamu nggak ngelihat Indah segitunya, aku nggak bakal curiga macam-macam.” April membela diri. “Jangan nyalahin firasat istri, karena malam itu kamu sudah keterlaluan. Dan masalah tes DNA, aku lihat kamu nggak kaget dengar papa ngomongin itu. Kamu sudah tahu, kan?”“Kita bicarakan masalah tes DNA setelah hasilnya keluar.” Wahyu juga tidak bisa melakukan apa-apa, karena semua orang seolah sedang menunggu-nunggu hasil tes tersebut. “Dan jangan lagi buka aibmu di depan orang lain. Kamu bersyukur, karena Indah atau Sabda nggak nuntut kamu, karena aku pastikan nggak akan ada di pihakmu.”“Beb!” April terbelalak mendenga
“Aku belajar munafik dari om Regan. Dia datang ke rumah dengan wajah malaikat, lalu menusukku dari belakang seperti setan.”Setelah memperdengarkan kalimat tersebut, Wahyu mematikan sebagian rekaman yang berhasil didapatkan.“Itu suara ...”“Indah,” jawab Wahyu, meskipun Regan tampak sudah bisa menebak. “Pertama, aku nggak suka caranya datang sambil berpura-pura lugu dan polos. Kedua, kenapa dia bilang belajar munafik dari Papa? Apa yang sudah Papa lakukan 15 tahun lalu?”Regan menatap tajam pada menantunya. Awalnya, ia bersyukur karena telah mengetahui kedok Indah yang ternyata hanya berpura-pura polos di depannya. Namun, pernyataan yang dikeluarkan Indah akhirnya menjadi bumerang bagi Regan. Wahyu jadi curiga dengan perbuatan Regan pada Anggun kecil, 15 tahun yang lalu.“Terlepas dari hasil tes DNA yang akan keluar besok, apa Papa yakin dia itu Anggun Kalingga?” selidik Wahyu memecah kebisuan Regan.“Dia ... mungkin.” Regan merasa terjebak dengan semua hal. Apa pun jawabannya, semua