Cepat kebuka, cepat selesai, cepat tamat ~~ Ehhh ....
“Aku belajar munafik dari om Regan. Dia datang ke rumah dengan wajah malaikat, lalu menusukku dari belakang seperti setan.”Setelah memperdengarkan kalimat tersebut, Wahyu mematikan sebagian rekaman yang berhasil didapatkan.“Itu suara ...”“Indah,” jawab Wahyu, meskipun Regan tampak sudah bisa menebak. “Pertama, aku nggak suka caranya datang sambil berpura-pura lugu dan polos. Kedua, kenapa dia bilang belajar munafik dari Papa? Apa yang sudah Papa lakukan 15 tahun lalu?”Regan menatap tajam pada menantunya. Awalnya, ia bersyukur karena telah mengetahui kedok Indah yang ternyata hanya berpura-pura polos di depannya. Namun, pernyataan yang dikeluarkan Indah akhirnya menjadi bumerang bagi Regan. Wahyu jadi curiga dengan perbuatan Regan pada Anggun kecil, 15 tahun yang lalu.“Terlepas dari hasil tes DNA yang akan keluar besok, apa Papa yakin dia itu Anggun Kalingga?” selidik Wahyu memecah kebisuan Regan.“Dia ... mungkin.” Regan merasa terjebak dengan semua hal. Apa pun jawabannya, semua
Indah tersenyum saat melambai pada Regan yang menunggunya parkiran mobil. Menghampiri pria itu dengan perasaan tidak menentu, sembari menunggu Sabda yang belum juga muncul di hadapan.Akan tetapi, begitu Indah berhenti di hadapan Regan dan hendak menyapa, satu panggilan dari pria yang ditunggunya akhirnya terdengar. Indah spontan berbalik dan memasang tampak terkejutnya.“Mas Sabda? Kok ada di sini?” tanya Indah melihat Sabda yang tampak ngos-ngosan.“Haaah ...” Sabda mengatur napas sebentar. “Tadinya mau ngasih kejutan, tapi kata Dika kamu ada yang jemput. Untung aku lihat kamu waktu mau ke mobil.” Sabda sedikit memiringkan tubuh dan memasang tampak terkejutnya. “Om Regan? Di sini?”Regan terpaksa memasang senyum ramah di depan Sabda. “Mau ngajak Indah makan.”“Wah! Aku juga, Om!” seru Sabda lalu merangkul Indah tanpa segan di depan Regan. Tidak perlu sungkan, karena Regan sudah sering melihat hal seperti ini dengan Wahyu dan April.“Kenapa nggak nelpon dulu?” tanya Indah sembari men
“Skakmat!” Budiman berseru setelah menutup pintu ruangan Darwin. Di dalam sana, hanya ada dirinya dan Sabda karena itulah Budiman bisa bicara dengan bebas.“Skakmat?” Sabda membuka seragam Warta yang dikenakannya dan berganti dengan satu stel kemeja dan jas yang ternyata sudah disiapkan Budiman. “Maksudnya?”“Kamu menikah dengan Indah, Regan nggak bisa ngapa-ngapain, dan Wahyu gigit jari di depan papanya.” Budiman duduk di sofa sembari mengeluarkan ponsel. Satu rencananya sudah berjalan sempurna, sekarang tinggal menunggu Indah masuk ke perusahaan Kalingga secara baik-baik.“Wah! Papa sudah memperhitungkan semuanya,” ujar Sabda sambil mengancingkan kemeja putihnya. “Tapi, aku yakin ada yang Papa sembunyikan karena ini semua, nggak sesimpel seperti yang Papa bilang tadi pagi.”Budiman tersenyum miring tanpa menatap Sabda. Tetap fokus pada ponselnya. “Sudah Papa bilang, kamu nggak perlu mikir yang rumit-rumit. Mulai sekarang fokus dengan Warta dan rumah tanggamu.”“Dan om Regan?” Sabda
“Bagaimana saksi?”“Sah!” ucap Darwin dengan semangat dan disusul ucapan beberapa orang yang hadir di ruang rapat. Namun, tidak dengan Wahyu yang hanya membisu dengan wajah tanpa ekspresi sama sekali. “Wahyu!”Wahyu menatap pelan pada sang papa yang memanggilnya. “Hm, sah.”Saat ini, Wahyu merasa terpojok dan tidak bisa melakukan hal apa pun. Tidak ada satu pun yang berjalan sesuai dengan kemauannya. Bahkan, tidak ada satu pun yang berpihak padanya atau sekadar mengerti dengan perasaannya saat ini.“Selamat, Sab.” Darwin menjadi orang pertama yang beranjak menghampiri Sabda dan Indah, lalu memeluk keduanya sekaligus.Disusul dengan yang lainnya, tetapi tidak dengan Wahyu dan April yang masih duduk diam di kursi mereka masing-masing.“Jadi, kapan rencana resepsinya?” tanya Desty setelah memberi pelukan pada Indah.“Secepatnya, Tante,” ucap Indah ramah dan terkesan malu-malu. “Begitu tempatnya dapat dan cocok, kita langsung rencanain semuanya. Mas Sabda, sih, yang repot. Mintanya harus
“15 menit ...” Indah menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Mengatur napas, sembari menatap langit-langit kamar dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan.!5 menit apanya?Kata-kata itu hanyalah awal dari sebuah perangkap, yang perlahan tetapi pasti menjeratnya. Sebuah rasa candu yang tidak bisa terelakkan dan mengikat Indah semakin erat. Setiap detik yang berlalu, seolah menegaskan bahwa dirinya kini terikat seutuhnya pada sosok Sabda yang sekarang berada di sisinya.“Kenapa? Mau nambah lagi?” Sabda terkekeh pelan saat Indah meliriknya dengan tatapan malas, sekaligus lelah. Napas istrinya saja masih memburu, tidak mungkin Sabda akan meminta haknya kembali. Ia masih tahu diri.“15 menit lagi maksudnya?” sindir Indah memberi cebikan pada pria yang sudah menjadi suaminya.“Aku nggak keberatan kalau mau lebih dari itu.”“Ck, aku mau ke kamar mandi.” Indah berbalik memunggungi Sabda. Saat ini tubuhnya terasa lengket, meskipun pendingin ruangan terus menyala selama mereka b
“Surat-suratmu sedang diurus om Darwin,” ujar Budiman memajukan pionnya satu langkah ketika Indah berjalan lebih dulu. “Dia sudah minta Regan untuk cari berkas-berkasmu yang lama di rumah. Kalau memang sudah raib, baru dia proses semuanya dari awal dan buat yang baru.”Indah mengangguk sambil menjalankan pionnya kembali. “Kalau sudah jadi semua, apa bisa saya masuk ke Kalingga Tower, Pa?”“Kita bicarakan itu dengan Regan, setelah surat-suratmu jadi.” Permainan kali ini cukup membuat Budiman tertarik, karena Indah tidak memasang strategi bertahan seperti kala itu. “Mungkin minggu depan. Nanti Papa kabari kalau om Darwin sudah ngasih kabar. Tapi, In ...”Budiman mengeluarkan bidak bishopnya tanpa ragu. “Apa yang kamu ketahui tentang perusahaan? Apa, yang kamu tahu tentang PT Kalingga Corporation?”“Kalingga adalah perusahaan yang bergerak di bidang transpor—”“Semua orang juga bisa baca itu di website,” putus Budiman masih menunggu Indah menjalankan bidaknya. “Pertanyaannya, apa yang ka
“Sudah semua, Sab?” tanya Budiman berhenti melangkah ketika Sabda kebetulan keluar dari ruangannya.“Apanya yang sudah?” Sabda menurunkan berkas yang dibacanya.“WO hotel?”“Ahh, nanti sore,” jawab Sabda kembali membuka pintu ruang kerjanya. “Bisa bicara sebentar, Pa.”Budiman mengangguk. Masuk ke ruang kerja Sabda yang baru, kemudian duduk pada satu-satunya sofa panjang yang ada di sana. Tidak ada sofa lain, jadi mau tidak mau ia duduk di sana.“Indah mau ketemu pak Bahar nanti malam,” ujar Sabda meraih kursi beroda di depan meja kerjanya, lalu duduk di hadapan Budiman. “Orang itu cuma mau bicara berdua sama Indah dan sepertinya ngerasa nggak bebas kalau ada aku. Kenapa aku ngerasa ada yang disembunyikan.”“Bahar!” Budiman menjentikkan jari, karena salah satu potongan masalah yang berputar di kepalanya ternyata adalah Bahar. “Jam berapa Indah ketemu dengan Bahar? Papa mau ikut.”“Pak Bahar bilang mau bicara berdua aja sama Indah,” ulang Sabda mengingatkan. “Memangnya, apa yang mau Pa
Indah mematikan rekamannya, setelah memperdengarkan isi percakapannya pada Sabda. Menggeletakkan ponselnya begitu saja di pinggiran sofa, karena lelah mulai menyelimuti tubuhnya setelah memadu kasih bersama sang suami.Kedua matanya terasa berat. Rasa kantuk mulai menyerang, setelah ledakan dopamin merayapi seluruh tubuh dengan perasaan puas dan bahagia.“Kita tunggu hasil obrolan papa dengan pak Bahar besok,” ucap Sabda sambil memeluk sang istri yang bergelung di sebelahnya.“Kalau aku ... nunggu hakku kembali dan punya akses ke Kalingga Tower.” Mata Indah mulai memejam.“Kalau semua itu sudah tercapai, apa bisa kamu berhenti?”“Nggak,” jawab Indah tanpa ragu. “Ada harga yang harus mereka bayar.”“Seperti apa harga yang harus mereka bayar?”Indah tidak berniat menjawab. Yang jelas, ia akan mengambil alih perusahaan tersebut dari tangan Regan, meskipun akan membutuhkan waktu yang lama. Sementara April, membalas wanita itu ternyata jauh lebih mudah karena perasaan Wahyu tidak sedalam i