“Surat-suratmu sedang diurus om Darwin,” ujar Budiman memajukan pionnya satu langkah ketika Indah berjalan lebih dulu. “Dia sudah minta Regan untuk cari berkas-berkasmu yang lama di rumah. Kalau memang sudah raib, baru dia proses semuanya dari awal dan buat yang baru.”Indah mengangguk sambil menjalankan pionnya kembali. “Kalau sudah jadi semua, apa bisa saya masuk ke Kalingga Tower, Pa?”“Kita bicarakan itu dengan Regan, setelah surat-suratmu jadi.” Permainan kali ini cukup membuat Budiman tertarik, karena Indah tidak memasang strategi bertahan seperti kala itu. “Mungkin minggu depan. Nanti Papa kabari kalau om Darwin sudah ngasih kabar. Tapi, In ...”Budiman mengeluarkan bidak bishopnya tanpa ragu. “Apa yang kamu ketahui tentang perusahaan? Apa, yang kamu tahu tentang PT Kalingga Corporation?”“Kalingga adalah perusahaan yang bergerak di bidang transpor—”“Semua orang juga bisa baca itu di website,” putus Budiman masih menunggu Indah menjalankan bidaknya. “Pertanyaannya, apa yang ka
“Sudah semua, Sab?” tanya Budiman berhenti melangkah ketika Sabda kebetulan keluar dari ruangannya.“Apanya yang sudah?” Sabda menurunkan berkas yang dibacanya.“WO hotel?”“Ahh, nanti sore,” jawab Sabda kembali membuka pintu ruang kerjanya. “Bisa bicara sebentar, Pa.”Budiman mengangguk. Masuk ke ruang kerja Sabda yang baru, kemudian duduk pada satu-satunya sofa panjang yang ada di sana. Tidak ada sofa lain, jadi mau tidak mau ia duduk di sana.“Indah mau ketemu pak Bahar nanti malam,” ujar Sabda meraih kursi beroda di depan meja kerjanya, lalu duduk di hadapan Budiman. “Orang itu cuma mau bicara berdua sama Indah dan sepertinya ngerasa nggak bebas kalau ada aku. Kenapa aku ngerasa ada yang disembunyikan.”“Bahar!” Budiman menjentikkan jari, karena salah satu potongan masalah yang berputar di kepalanya ternyata adalah Bahar. “Jam berapa Indah ketemu dengan Bahar? Papa mau ikut.”“Pak Bahar bilang mau bicara berdua aja sama Indah,” ulang Sabda mengingatkan. “Memangnya, apa yang mau Pa
Indah mematikan rekamannya, setelah memperdengarkan isi percakapannya pada Sabda. Menggeletakkan ponselnya begitu saja di pinggiran sofa, karena lelah mulai menyelimuti tubuhnya setelah memadu kasih bersama sang suami.Kedua matanya terasa berat. Rasa kantuk mulai menyerang, setelah ledakan dopamin merayapi seluruh tubuh dengan perasaan puas dan bahagia.“Kita tunggu hasil obrolan papa dengan pak Bahar besok,” ucap Sabda sambil memeluk sang istri yang bergelung di sebelahnya.“Kalau aku ... nunggu hakku kembali dan punya akses ke Kalingga Tower.” Mata Indah mulai memejam.“Kalau semua itu sudah tercapai, apa bisa kamu berhenti?”“Nggak,” jawab Indah tanpa ragu. “Ada harga yang harus mereka bayar.”“Seperti apa harga yang harus mereka bayar?”Indah tidak berniat menjawab. Yang jelas, ia akan mengambil alih perusahaan tersebut dari tangan Regan, meskipun akan membutuhkan waktu yang lama. Sementara April, membalas wanita itu ternyata jauh lebih mudah karena perasaan Wahyu tidak sedalam i
“Pak Farhat ...” Indah masih mengingat pria yang menjadi sopirnya dahulu kala. “Aku ... rasanya aku nggak pernah lihat dia setelah orang tuaku meninggal.” Indah menjeda sejenak kalimatnya. “Iya, Mas. Aku nggak ada ketemu pak Farhat sama sekali. Tapi, kenapa papa sampai nanyain itu ke pak Bahar?”“Karena Papa mendadak curiga.” Sabda menunjuk sebuah meja kosong di rooftop kantor, tetapi langkahnya terhenti karena melihat ruangan indoor yang kosong.“Curiga kalau mama papaku ...” Indah menggeleng. Menyingkirkan sebuah asumsi mengerikan yang ada di kepala. “Aku makin negatif thinking kalau begini.” Langkah Indah terhenti karena tidak melihat Sabda di sisinya. “Mas?” panggilnya sembari berbalik.“Indoor kosong,” tunjuk Sabda pada ruang tersebut dan kembali melanjutkan langkahnya. “Pak Budiman sepertinya ada pertemuan dengan Wahyu.”“Apa selalu begitu kalau indoor kosong?” tanya Indah duduk lebih dulu pada meja yang sudah mereka datangi.“Lebih sering begitu.” Sabda memilih duduk di samping
“Aku baru dapat laporan kalau kamu ada wawancara eksklusif dengan Wahyu.” Sabda masuk ke kamar sembari membawa ponselnya. Ia baru melihat obrolan di grup tim lamanya dan segera mengkonfirmasi hal tersebut pada Indah. “Kenapa aku nggak dikasih tahu?”Indah tidak langsung menjawab pertanyaan Sabda. Ia masih menggulung kabel charger-nya dengan perlahan dan memutar tubuh menatap sang suami.“Apa aku harus lapor semua kegiatanku setiap hari?” tanyanya datar lalu kembali berbalik dan memasukkan charger-nya ke dalam tas bagian luar. “Aku juga punya job desk dan tanggung jawab yang harus diselesaikan secara profesional. Anggap aja ini sama seperti tugas-tugas seperti biasanya.”“Tapi ini Wahyu.”“Memang kenapa dengan Wahyu?” tanya Indah sambil memasukkan buku catatan dan beberapa perlengkapan lain ke dalam tas. “Dia cuma narasumber biasa. Sama seperti yang lain. Jadi tolong nggak usah berlebihan, karena aku cuma menyelesaikan tugas dari mas Aris.”“Ini bukan wawancara biasa.”“Mas.” Indah ber
“Indah ... kamu ngapain?”Sabda terdiam. berdiri tepat di depan pintu ruang ganti yang terbuka. Melihat bagaimana tangan Wahyu merangkum erat pinggang Indah, pun dengan tangan gadis itu yang berada di bahu sepupunya.“Bu Indah barusan jatuh, Pak.” Kendrick buru-buru memberi klarifikasi, agar tidak terjadi salah paham. Bagaimanapun juga, kedua pria itu masih memiliki hubungan keluarga. Walaupun Kendrick bisa melihat jelas, ada hubungan yang rumit di antara ketiga orang tersebut. “Kakinya terkilir.”“Sudah kubilang, aku nggak papa.” Indah berujar datar pada Wahyu. Tetap tenang, meskipun ada sesuatu yang terjadi di luar kuasanya. “Makasih dan tolong lepasin aku.”Sebelum benar-benar melepas Indah, Wahyu menatap kilat cemburu dalam tatapan Sabda. Jika orang itu April, maka Wahyu sudah tahu apa yang akan dilakukan istrinya pada Indah.Namun, bagaimana dengan Sabda?Apa yang akan dilakukan pria itu pada Wahyu, atau Indah ketika melihat adegan seperti sekarang di depan mata.“Mungkin sepatu
“Ada yang mau aku bicarakan.” Sabda segera menemui Budiman, ketika sekretaris pria itu mengabarkan papanya baru saja datang dan ada di ruang kerja.“Duduk,” ujar Budiman santai sembari mengetikkan password komputernya. “Dan apa yang mau kita bicarakan.”“Indah.”“Kenapa dengan dia?”“Indah itu, “sakit”.”“Sakit?” Budiman akhirnya menoleh pada putranya. Memajukan kursi kerjanya, sehingga separuh tubuh bagian bawahnya tenggelam di balik meja. “Indah sakit apa? Sudah dibawa ke dokter?”“Bukan sakit seperti itu maksudku, Pa.” Sabda menghempas tubuh di kursi yang berseberangan dengan Budiman. Kemudian, ia mengetuk pelipisnya sebentar. “Kepalanya itu isinya cuma om Regan. Ambisi dia buat balas dendam, sepertinya sudah nggak bisa ketolong.”“Papa nggak bisa menyalahkan Indah sepenuhnya.” Budiman mengendik dan memundurkan kembali kursinya. “Tapi, Papa juga nggak bisa membenarkan perbuatan dia andai sudah melewati batas. Jadi, selama semua masih dalam pantauan, biarlah dia berbuat semaunya.”“P
“Apa nggak bisa ketuk pintu dulu.” Wahyu berdecak ketika melihat April merangsek masuk ke ruang kerjanya. Ia mengira, wanita itu sudah pergi dari Firma Sadhana setelah pertemuan yang membahas pengalihan aset milik Alfian Kalingga. Namun, April ternyata masih berada Firma.“Papa mertuamu “diusir”, tapi kamu malah nyantai dan bilang memang sudah nggak ada jalan lain lagi?” Tangan kiri April bertolak pinggang, setelah berhenti tepat di samping Wahyu.“Secara logika, satu-satunya jalan cuma mengembalikan itu semua.”“Pikirkan jalan lain!” seru April penuh penekanan. “Aku paham kalau rumah itu dulunya memang rumah dia. Tapi, selama 15 tahun ini dia nggak pernah berkontribusi apa pun! Dia tahu-tahu datang, terus mau minta kembali haknya yang sudah kita kelola sebaik mungkin. Paling nggak, dia bisa lepasin rumah itu dan berterima kasih sama papa karena sudah memelihara semua asetnya dia.”“Dia sudah berterima kasih,” jawab Wahyu memutar kursinya menatap April. Menjaga jaraknya, agar tidak te