Share

BR ~ 54

Penulis: Kanietha
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Indah mematikan rekamannya, setelah memperdengarkan isi percakapannya pada Sabda. Menggeletakkan ponselnya begitu saja di pinggiran sofa, karena lelah mulai menyelimuti tubuhnya setelah memadu kasih bersama sang suami.

Kedua matanya terasa berat. Rasa kantuk mulai menyerang, setelah ledakan dopamin merayapi seluruh tubuh dengan perasaan puas dan bahagia.

“Kita tunggu hasil obrolan papa dengan pak Bahar besok,” ucap Sabda sambil memeluk sang istri yang bergelung di sebelahnya.

“Kalau aku ... nunggu hakku kembali dan punya akses ke Kalingga Tower.” Mata Indah mulai memejam.

“Kalau semua itu sudah tercapai, apa bisa kamu berhenti?”

“Nggak,” jawab Indah tanpa ragu. “Ada harga yang harus mereka bayar.”

“Seperti apa harga yang harus mereka bayar?”

Indah tidak berniat menjawab. Yang jelas, ia akan mengambil alih perusahaan tersebut dari tangan Regan, meskipun akan membutuhkan waktu yang lama. Sementara April, membalas wanita itu ternyata jauh lebih mudah karena perasaan Wahyu tidak sedalam i
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (32)
goodnovel comment avatar
Tatang Kurniawan
ini obrolanya direkam ngak yaaa......
goodnovel comment avatar
Mary Angel
hmmm... Siyap2 lu Gan... Indah pinter... backingannya keren2......
goodnovel comment avatar
App Putri Chinar
hati2 dan waspada in,om mu itu uler
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 55

    “Pak Farhat ...” Indah masih mengingat pria yang menjadi sopirnya dahulu kala. “Aku ... rasanya aku nggak pernah lihat dia setelah orang tuaku meninggal.” Indah menjeda sejenak kalimatnya. “Iya, Mas. Aku nggak ada ketemu pak Farhat sama sekali. Tapi, kenapa papa sampai nanyain itu ke pak Bahar?”“Karena Papa mendadak curiga.” Sabda menunjuk sebuah meja kosong di rooftop kantor, tetapi langkahnya terhenti karena melihat ruangan indoor yang kosong.“Curiga kalau mama papaku ...” Indah menggeleng. Menyingkirkan sebuah asumsi mengerikan yang ada di kepala. “Aku makin negatif thinking kalau begini.” Langkah Indah terhenti karena tidak melihat Sabda di sisinya. “Mas?” panggilnya sembari berbalik.“Indoor kosong,” tunjuk Sabda pada ruang tersebut dan kembali melanjutkan langkahnya. “Pak Budiman sepertinya ada pertemuan dengan Wahyu.”“Apa selalu begitu kalau indoor kosong?” tanya Indah duduk lebih dulu pada meja yang sudah mereka datangi.“Lebih sering begitu.” Sabda memilih duduk di samping

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 56

    “Aku baru dapat laporan kalau kamu ada wawancara eksklusif dengan Wahyu.” Sabda masuk ke kamar sembari membawa ponselnya. Ia baru melihat obrolan di grup tim lamanya dan segera mengkonfirmasi hal tersebut pada Indah. “Kenapa aku nggak dikasih tahu?”Indah tidak langsung menjawab pertanyaan Sabda. Ia masih menggulung kabel charger-nya dengan perlahan dan memutar tubuh menatap sang suami.“Apa aku harus lapor semua kegiatanku setiap hari?” tanyanya datar lalu kembali berbalik dan memasukkan charger-nya ke dalam tas bagian luar. “Aku juga punya job desk dan tanggung jawab yang harus diselesaikan secara profesional. Anggap aja ini sama seperti tugas-tugas seperti biasanya.”“Tapi ini Wahyu.”“Memang kenapa dengan Wahyu?” tanya Indah sambil memasukkan buku catatan dan beberapa perlengkapan lain ke dalam tas. “Dia cuma narasumber biasa. Sama seperti yang lain. Jadi tolong nggak usah berlebihan, karena aku cuma menyelesaikan tugas dari mas Aris.”“Ini bukan wawancara biasa.”“Mas.” Indah ber

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 57

    “Indah ... kamu ngapain?”Sabda terdiam. berdiri tepat di depan pintu ruang ganti yang terbuka. Melihat bagaimana tangan Wahyu merangkum erat pinggang Indah, pun dengan tangan gadis itu yang berada di bahu sepupunya.“Bu Indah barusan jatuh, Pak.” Kendrick buru-buru memberi klarifikasi, agar tidak terjadi salah paham. Bagaimanapun juga, kedua pria itu masih memiliki hubungan keluarga. Walaupun Kendrick bisa melihat jelas, ada hubungan yang rumit di antara ketiga orang tersebut. “Kakinya terkilir.”“Sudah kubilang, aku nggak papa.” Indah berujar datar pada Wahyu. Tetap tenang, meskipun ada sesuatu yang terjadi di luar kuasanya. “Makasih dan tolong lepasin aku.”Sebelum benar-benar melepas Indah, Wahyu menatap kilat cemburu dalam tatapan Sabda. Jika orang itu April, maka Wahyu sudah tahu apa yang akan dilakukan istrinya pada Indah.Namun, bagaimana dengan Sabda?Apa yang akan dilakukan pria itu pada Wahyu, atau Indah ketika melihat adegan seperti sekarang di depan mata.“Mungkin sepatu

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 58

    “Ada yang mau aku bicarakan.” Sabda segera menemui Budiman, ketika sekretaris pria itu mengabarkan papanya baru saja datang dan ada di ruang kerja.“Duduk,” ujar Budiman santai sembari mengetikkan password komputernya. “Dan apa yang mau kita bicarakan.”“Indah.”“Kenapa dengan dia?”“Indah itu, “sakit”.”“Sakit?” Budiman akhirnya menoleh pada putranya. Memajukan kursi kerjanya, sehingga separuh tubuh bagian bawahnya tenggelam di balik meja. “Indah sakit apa? Sudah dibawa ke dokter?”“Bukan sakit seperti itu maksudku, Pa.” Sabda menghempas tubuh di kursi yang berseberangan dengan Budiman. Kemudian, ia mengetuk pelipisnya sebentar. “Kepalanya itu isinya cuma om Regan. Ambisi dia buat balas dendam, sepertinya sudah nggak bisa ketolong.”“Papa nggak bisa menyalahkan Indah sepenuhnya.” Budiman mengendik dan memundurkan kembali kursinya. “Tapi, Papa juga nggak bisa membenarkan perbuatan dia andai sudah melewati batas. Jadi, selama semua masih dalam pantauan, biarlah dia berbuat semaunya.”“P

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 59

    “Apa nggak bisa ketuk pintu dulu.” Wahyu berdecak ketika melihat April merangsek masuk ke ruang kerjanya. Ia mengira, wanita itu sudah pergi dari Firma Sadhana setelah pertemuan yang membahas pengalihan aset milik Alfian Kalingga. Namun, April ternyata masih berada Firma.“Papa mertuamu “diusir”, tapi kamu malah nyantai dan bilang memang sudah nggak ada jalan lain lagi?” Tangan kiri April bertolak pinggang, setelah berhenti tepat di samping Wahyu.“Secara logika, satu-satunya jalan cuma mengembalikan itu semua.”“Pikirkan jalan lain!” seru April penuh penekanan. “Aku paham kalau rumah itu dulunya memang rumah dia. Tapi, selama 15 tahun ini dia nggak pernah berkontribusi apa pun! Dia tahu-tahu datang, terus mau minta kembali haknya yang sudah kita kelola sebaik mungkin. Paling nggak, dia bisa lepasin rumah itu dan berterima kasih sama papa karena sudah memelihara semua asetnya dia.”“Dia sudah berterima kasih,” jawab Wahyu memutar kursinya menatap April. Menjaga jaraknya, agar tidak te

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 60

    Tidak ada kata, ataupun air mata ketika Indah mengunjungi makam kedua orang tuanya. Hanya ada sesak yang menyelimuti, tanpa bisa diungkapkan. Ia berdiri di sana, merasakan embusan angin menyentuh kulitnya, membawa kenangan masa lalu yang terus menghantui.Perlahan, Indah mengulurkan tangan, menyentuh nisan yang terasa dingin di ujung jari. Sambil menarik napas dalam-dalam, ia berusaha meredam gejolak di dada. Menyadari, betapa besar kerinduan yang terasa, tetapi tidak lagi bisa dipenuhi. Sejenak, Indah memejam dam membiarkan keheningan memenuhi raganya.Meneguhkan janji di dalam hati, untuk membalas setiap derita yang ia alami dengan setimpal.Sementara itu, Sabda yang telah menemani Indah sedari tadi hanya bisa mengamati istrinya dalam diam. Wajah Indah tampak tenang, tanpa sedikit pun jejak kesedihan yang tampak di sana.Hal tersebut justru membuat Sabda semakin khawatir dengan kondisi mental istrinya. Indah telah tenggelam sepenuhnya dalam balas dendam. Mengabaikan perasaan dan emo

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 61

    “Ada mi di pantry?” tanya Edo melihat Indah dengan nikmatnya memakan mi instan seorang diri.“Dah habis,” jawabnya lalu menoleh pada Edo yang sedang membuka lemari gantung. Dengan segera Indah membuka ransel, lalu mengeluarkan sebuah undangan. “Mas,” panggilnya sembari menyodorkan benda persegi tersebut pada Edo. “Dateng, ya! Nggak usah ngamplop.”“Eh! Jadinya serius ini, kamu sama mas Sabda.” Edo menghampiri Indah dengan segera. Mengambil undangan berwarna putih dengan pinggiran emas, lalu membukanya. Membaca nama yang tertera, lalu mengernyit. “Anggun Kalingga? Mas Sabda nikah sama Anggun? Bukan elo? Eh! Ini malah sudah nikah, tinggal resepsi.”Indah tersenyum. “Pokoknya jangan sampai nggak datang.”“Eh! Bentar-bentar!” ucap Edo melihat ada yang salah. “Kalingga ini, kan ... istrinya pak Wahyu ... apa punya saudara lagi? Eh, ini gimana sih?”“Ngomong-ngomong tentang pak Wahyu, apa waktu itu sudah dapat foto yang pas?” tanya Indah. “Aku dengar obrolanmu dengan mas Aris waktu itu di s

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 62

    Indah menoleh ke arah pintu kamar yang baru terbuka. Sabda masuk dengan wajah lelahnya, lalu duduk menghempas bokong di tepi ranjang. Tepat di samping Indah yang duduk di meja kerja pria itu.“Nggak—”“Kamu robohin rumah om Regan?” tanya Sabda sembari membuka kancing kemeja teratasnya.“Rumahku, tolong diralat,” ucap Indah datar lalu mengalihkan wajah dari sang suami. Kembali menatap layar laptop Sabda untuk mengecek semua persiapan pernikahan mereka.“Kenapa dirobohin?” Sabda sampai salah berucap, karena masih menganggap rumah tersebut milik Regan. Baru begitu saja, ekspresi istrinya berubah seketika.“Tahu dari siapa?” Indah menggeser dua jarinya di mouse trackpad dengan perlahan. Tatapannya tetap fokus pada layar.“Papa,” jawab Sabda lalu berbaring dengan helaan. “Papa ditelpon mama, dan mama ditelpon tante Elsa.”“Baguslah.”“Dan hal sebesar itu nggak kamu bicarakan denganku.” Sabda meraih bantal lalu meletakkan di belakang kepala. Melihat Indah yang masih terpaku dengan layar kom

Bab terbaru

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 165

    “Pagi Papa Wahyu,” sapa Anggun ketika melihat pria itu membuka mata. “Gimana tidurnya? Nyenyak?” tanyanya dengan nada meledek.Wahyu hanya membuka mata. Melihat Anggun yang tampak sudah segar dan baru saja duduk di depan meja rias. Ia masih mengumpulkan kesadaran dan tidak bergerak karena kedua kaki Putra melintang di dadanya.Tidak hanya itu, Wahyu bahkan beberapa kali merasakan tendangan dari kaki mungil itu ketika tidur tadi malam. Putranya itu, ternyata tidak bisa tidur dengan anteng dan terus bergerak ke mana-mana.Jadi, bagaimana bisa Wahyu tidur nyenyak tadi malam, jika wajah, dada, perut, dan bagian tubuh lain kerap mendapatkan tendangan dengan tiba-tiba.“Apa dia selalu mutar-mutar begini kalau tidur?” tanya Wahyu dengan suara berat.“Sudah ngerasain tendangan Putra belum.” Anggun terkekeh sembari memakai pelembabnya. “Pasti sudah, kan?”Wahyu ikut terkekeh. Menyingkirkan kedua kaki mungil itu dengan perlahan, lalu meregangkan tubuh dan menatap langit-langit kamar Anggun.“Har

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 164

    “Mas! Kamu itu nggak ada kerjaan apa?” desis Anggun melotot pada Wahyu yang selalu mengekorinya sejak tadi.“Nggak ada,” jawab Wahyu cuek dan terus berada di sisi Anggun yang sedang membuka lemari pendingin.Ia memang sengaja mengikuti sang istri sejak tadi, karena masih saja kesal dengan ulah Anggun yang menutup pintu pintu kamar dan mengunci Wahyu dari dalam.“Apa kamu lupa kalau aku lagi cuti, jadi memang nggak ada kerjaan,” lanjut Wahyu menambahkan. “Maunya ngerjain kamu. Apalagi Putra lagi sama oma opanya. Sepertinya, mereka memang ngasih kita waktu buat berdua.”Setelah meletakkan kantung ASI-nya di freezer dan menutup pintunya, Anggun bersedekap. “Apa kamu lupa, aku juga lagi ‘cuti’?” ucap Anggun mengingatkan perkataannya siang tadi. “Jadi—”“Banyak jalan menuju Roma,” putus Wahyu tetap tenang. “Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Setiap ada masalah, pasti ada solusinya. Masa’ yang begitu aja nggak tahu. Apa perlu aku ajari? Kalau perlu bilang, karena aku bisa jadi gu

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 163

    Sah.Akhirnya, penantian Wahyu selama ini berbuah manis. Setelah melewati berbagai rintangan terutama ketidakpastian, akhirnya hari ini datang juga. Hari dimana ia mengucapkan ikrar suci pernikahan, dengan wanita yang selama ini telah menjadi ratu di hatinya.“Sekarang, manggilnya juga harus mama sama papa,” ucap Desty ketika mereka sudah berada di parkiran Lembaga Pemasyarakatan. “Nggak usah sungkan. Kalau Wahyu macam-macam, kamu tinggal adukan sama Mama.”“Makasih, Ma.” Anggun mengangguk. Merasa sedikit aneh, karena panggilannya pada Desty harus berubah.“Sekali lagi selamat, ya,” ujar Darwin menepuk bahu Anggun dua kali. “Semoga Wahyu nggak bikin ulah lagi. Dan tolong sabar ngadapin dia yang suka seenaknya. Tapi kalau dia sampai kelewatan, langsung telpon Papa.”“Iya, Pa.” Anggun kembali mengangguk. “Makasih juga.”“Kami balik duluan, ya,” pamit Desty sembari memeluk Anggun dengan singkat, pun dengan Wahyu. “Jaga Anggun dan nggak usah lagi macam-macam.”“Memangnya kapan aku pernah

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 162

    “Mau apa kamu ke sini?” Regan hanya bisa diam di kursi roda. Menatap mantan menantu yang tiba-tiba datang menjenguknya di penjara. “Kita sudah nggak punya urusan lagi.”Wahyu bersandar pada kursi besi lalu menyilang kaki. Mereka tidak bertemu di tempat para pengunjung biasa bertemu, karena itu ia bisa dengan bebas menatap dan menelisik penampilan Regan yang sangat jauh berbeda.Tubuh Regan tampak semakin kurus dengan cekungan mata hitam yang semakin membuat raganya terlihat renta. Rambut putih yang sudah menghiasi kepala, semakin menegaskan tanda-tanda penuaan yang tidak lagi bisa disembunyikan.Semua sudah berubah. Tidak ada lagi Regan yang selalu tampil rapi dan bugar di setiap kesempatan. Semua telah musnah, termakan usia dan karma yang didapat di dalam penjara.“Aku mau menikah dengan Anggun,” jawab Wahyu tidak mau berputar-putar. “Dan aku butuh pak Regan untuk jadi walinya,” ucapnya berusaha menjaga kesopanan di depan Regan.Regan menghela pelan dan memejam sejenak. “Apa kamu ngg

  • Bittersweet Revenge   BR~161

    “Lamaran apa ini!” Anggun melihat cincin yang tersemat di jari manisnya dengan mencebik. Mengingat kembali, momen tidak terduga yang terjadi sore tadi. Yakni ketika Wahyu melamarnya di sela-sela ulang tahun Putra yang terjeda. “Ck! Ada orang ngelamar mode maksa begitu.”“Ada,” jawab Wahyu santai, sekaligus lega karena sudah menyematkan sebuah cincin di jari wanita itu.Mungkin caranya tidak biasa dan jauh dari kata romantis. Namun, hal itu akan menjadi momen yang tidak akan terlupakan dalam perjalanan mereka di masa depan nanti.“Ah!” Anggun masih saja kesal karena lamaran Wahyu sungguh berada di luar ekspektasinya. Meskipun begitu, ia tetap menerima lamaran tersebut karena tidak bisa memungkiri rasa nyaman yang ada ketika berada bersama Wahyu.Entah apa itu cinta dan bagaimana cara menjelaskannya. Yang Anggun tahu hanyalah, ada perasaan hangat yang tidak biasa jika pria itu ada bersamanya. Terlebih ketika melihat interaksi Wahyu dengan Putra. Semua itu mampu meruntuhkan kebekuan yang

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 160

    Sebenarnya, sejak kepindahannya ke Bali, Anggun sudah dua kali pergi ke Jakarta bersama Syifa dan Budiman. Mereka bergantian mengunjungi makam Sabda, lalu kembali lagi ke Bali.Namun, kali ini berbeda. Seluruh keluarga besar pergi ke Jakarta karena Budiman dan Darwin akan menghadiri rapat pemegang saham di Warta. Satu-satunya perusahaan keluarga yang tersisa dan Budiman masih menjadi pemegang saham mayoritas di sana.“Harusnya Ken juga disuruh ke Jakarta,” ujar Anggun sembari menempelkan balon-balon yang sudah diberi double-tape ke dinding. Ia sedang membuat dekorasi sederhana, di salah satu dinding ruang keluarga untuk merayakan hari ulang tahun Putra yang pertama.“Dia lagi sibuk ngurusin resor,” ucap Wahyu yang hanya berbaring di karpet menemani Putra bermain dengan balon-balon kecil yang baru ditiupnya. “Memangnya kenapa Ken disuruh ke Jakarta juga?” tanya Desty yang juga ikut sibuk menempel bendera kertas berbentuk segitiga warna warni di dinding.“Anggun dari dulu mau jodohin

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 159

    “Masih panas?” tanya Wahyu ketika Anggun baru saja membuka pintu kamar. Belum sempat Anggun menjawab, ia langsung merangsek masuk dan mendapati Putra masih terlelap di tempat tidur. “Rewel nggak?”“Nggak terlalu.” Anggun berbalik dan berjalan lesu menuju tempat tidurnya. “Titip bentar, ya, Mas. Aku mau mandi.”“Mandilah dulu.” Melihat Putra masih anteng di tempatnya, Wahyu mematikan pendingin ruangan dan beralih menuju jendela. Menarik tirainya, lalu membuka daun jendela lebar-lebar. Membiarkan udara pagi nan segar masuk ke dalam kamar.Sembari menunggu Anggun, Wahyu duduk bersandar pada bingkai jendela, menekuk satu kakinya. Menikmati embusan udara pagi dengan senyum lebar yang tersemat bahagia. Hati Anggun yang selama ini membatu, akhirnya menunjukkan retakan-retakan kecil yang memberi harapan. Wahyu tahu, semua itu bukanlah proses yang mudah. Namun, ini adalah sebuah langkah kecil yang membawa mereka lebih dekat pada kebahagiaan yang baru.“Udah gila, Mas?” tanya Anggun sembari kel

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 158

    “Mama, bisa bicara sebentar,” pinta Anggun mendatangi Syifa yang berada di kamar, ketika keluarga Sadhana sudah kembali ke rumahnya. Hanya Wahyu yang menetap dan akan menginap, karena ingin memantau perkembangan Putra.“Masuk sini,” ucap Syifa pada Anggun yang berdiri di bibir pintu. Ia tahu, Anggun pasti sedang mengalami kegundahan, akibat pertemuan keluarga yang terjadi beberapa waktu lalu. “Putra sama Wahyu?”“Iya.” Anggun mengangguk sembari melangkah masuk. Ia duduk pada sofa panjang yang baru ditunjuk Syifa. Sementara, wanita itu sedang duduk di depan meja rias dan melakukan ritual malamnya sebelum tidur. “Mereka di kamar.”“Sebentar, ya.” Syifa buru-buru meratakan pelembab di wajahnya dengan gerakan cepat, lalu beranjak menghampiri Anggun. Setelah duduk di samping sang menantu, barulah Syifa mempersilakan Anggun bicara lebih dulu dengan lembut. “Silakan, kamu pasti mau bicara masalah pertemuan tadi, kan?”Lagi-lagi Anggun mengangguk. Tanpa mau membuang waktu, ia lantas mengeluar

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 157

    “Tante, ini nggak seperti—”“Kami lagi bicara.” Wahyu menyela tanpa melepas pelukannya. “Mama mau ngapain?”“Mau jenguk Putra.” Desty mengangguk-angguk, tidak terpengaruh sedikit pun dengan apa yang disaksikannya di depan mata. Baginya, hal seperti itu sudah sangat umum terlihat dalam pergaulan saat ini. Bahkan, hubungan Wahyu dengan April dahulu kala hanya bisa membuat Desty geleng-geleng kepala.Lantas, Desty beralih melihat pintu kamar Anggun yang terbuka dan menunjuknya. “Katanya demam, ya? Tante boleh masuk, kan?”“Boleh,” jawab Wahyu lalu melepas kedua tangannya. Namun, Wahyu dengan segera meraih pergelangan tangan Anggun agar wanita itu tidak pergi darinya. “Masuk aja, Ma. Putra baru aja tidur.”“Oke ...” Desty melangkah melewati kedua orang yang masih berdiri di tempatnya. “Nanti kita bicarakan masalah barusan. Langsung dengan keluarga besar, karena mama juga sudah tahu apa yang terjadi tadi pagi. Jadi, silakan lanjutkan bicaranya.”“Maaas!” Anggun mendesis. Merapatkan geligin

DMCA.com Protection Status