“Syifa, Syifa ...” Elsa menghampiri wanita yang menyambutnya ramah di ruang tengah. Namun, wajah wanita itu sontak berubah ketika melihatnya datang dengan membawa kegelisahan. “Anggun ... Fa! Anggun.”“Anggun ...” Syifa membawa Elsa duduk di sofa panjang terlebih dahulu. Ketika ia melihat Desty yang hendak masuk ke ruang tengah dengan membawa mangkuk, Syifa menggeleng samar. Memberi isyarat pada adik iparnya, agar tidak ikut bergabung bersama mereka. “Kenapa dengan Anggun?”“Aku baru ketemu dia.”Syifa mengangguk. Sambil menunggu Elsa mengatur napas, ia memanggil salah satu asisten rumah tangganya.“Dia bilang ...” Elsa menelan ludah. “Dia mau balas dendam karena mas Regan dulu pernah ngusir dia. Makanya kami kemarin diusir juga dari rumah.”Kemudian, Elsa sedikit bercerita mengenai isi pembicaraannya dengan Indah yang membuat syok.“Aku ... aku nggak percaya kalau anak sama suamiku sampai tega seperti itu,” sahut Elsa menutup obrolannya.Syifa lagi-lagi mengangguk. Meminta untuk dibu
“Aku mau bicara.” Tanpa basa basi, Elsa langsung menodong Regan perihal pengusiran Anggun 15 tahun yang lalu.Semalam, suaminya itu pulang begitu larut sehingga Elsa tidak sempat membicarakan banyak hal. Karena itulah, mumpung hari masih pagi dan pria itu baru selesai mandi, maka Elsa menuntut penjelasan.“Ini masih terlalu pagi,” jawab Regan memilih pergi keluar kamar, karena masih banyak hal yang harus ia pikirkan. “Jadi jangan rusak mood-ku.”“Jadi betul.” Elsa menyusul suaminya dan mendahului langkah Regan dengan berlari kecil. Ia berdiri di balik pintu, sehingga sang suami tidak bisa membukanya dan keluar. “Papa ngusir Anggun 15 tahun yang lalu dengan alasan rumahnya mau disita dan papanya banyak utang?”“Jangan protes, karena selama 15 tahun ini kamu sudah menikmati semuanya.”“Tapi bukan dengan cara seperti ini!” Elsa nyaris berteriak dan mulai stres memikirkan perbuatan suaminya di masa lalu. “Kita punya anak seumuran Anggun, tapi Papa tega ngusir dia dan hidup sendirian di lua
“Masuk!” titah Darwin ketika mendengar suara pintu ruang kerjanya diketuk. Saat melihat putranya melangkah masuk tanpa menutup pintu, Darwin hanya bisa menggeleng. Mungkin Wahyu hanya ingin bicara singkat, setelah itu kembali pergi ke ruangannya.“Aku nggak lama,” ujar Wahyu ketika berhenti sisi meja yang berlawan dengan Darwin. Ia merogoh saku jas bagian dalamnya, lalu mengeluarkan sebuah amplop.“Surat cuti?” Darwin tersenyum miring sambil meraih amplop yang baru diletakkan dengan sopan di meja kerjanya. “Papa sudah bilang, kamu baru boleh cuti setelah Sabda kembali dari bulan madunya.”“Itu surat pengunduran diri.” Wahyu tersenyum tipis. “Terhitung senin depan, aku sudah TIDAK bekerja di Firma Sadhana lagi. Jangan khawatir dengan tanggung jawab, jika berkenan, aku masih bisa teruskan kasus yang sedang aku pegang. Tapi kalau nggak, aku bisa distribusikan ke yang lain.”Belum sempat Darwin mengeluarkan isi amplop tersebut, tangannya sudah lebih dulu merematnya dengan satu tangan lalu
“Makasih, Pa,” ucap Indah tulus pada Budiman, setelah mencium tangan pria itu dengan hormat. Kalimat tersebut, juga Indah ucapkan pada Syifa bergantian sembari memeluk wanita itu. “Makasih, Ma.”Budiman dan Syifa mengangguk haru. Akhirnya, semua orang tahu dengan kemunculan Anggun Kalingga. Terlebih, gadis itu saat ini menjadi menantu keluarga Wisesa. Banyak yang bertanya-tanya, tetapi baik Syifa maupun Budiman tidak bisa memberi penjelasan satu per satu.Mereka hanya mengatakan, akan ada konferensi pers yang dilaksanakan besok siang di hotel yang sama.“Makasih juga buat Om sama Tante,” lanjut Indah menatap Regan dan Elsa bergantian. Tentu saja, Indah menyematkan senyum palsu karena mereka semua masih dalam kondisi yang berbahagia. “Semoga keakraban seperti ini selalu terjalin.”Elsa hanya bisa mengembuskan napas berat ketika menyambut uluran tangan Indah. Banyak rasa bersalah yang bergelayut, tetapi dirinya tidak bisa melakukan hal apa pun. Semua sudah terjadi di masa lalu dan sekar
“Jadi, setelah ini Anggun akan mewarisi saham almarhum papanya?” Salah seorang reporter melontarkan pertanyaan ketika tiba gilirannya.Dengan serius, Indah menatap layar ponselnya, memperhatikan siaran konferensi pers yang sudah berlangsung beberapa jam lalu. Ia menyaksikan tayangan ulangnya, di sebuah situs yang menjadi tempat berbagai video dari seluruh dunia diunggah dan dibagikan.Terlihat lewat layar, Regan duduk bersebelahan dengan kuasa hukumnya, Darwin Sadhana. Seperti biasa, Regan selalu terlihat ramah dan bersahabat terhadap sesama. Namun, bagi Indah semua itu tidak lebih dari sekadar topeng untuk menyembunyikan kebusukannya.“Memang sudah seharusnya seperti itu,” Regan menjawab dengan bijak, membuat Indah mual seketika.Sejurus kemudian, Indah memperbesar volume ponselnya ketika sebuah pertanyaan yang ia titipkan tadi malam akhirnya terdengar. Jantungnya mendadak berdebar menunggu jawaban Regan dan matanya tidak lepas dari layar."Pak Regan, bagaimana Bapak menjelaskan kete
“Sialan.” Wahyu menyeringai tipis, nyaris tanpa suara. Tidak ada nada marah, hanya sebuah umpatan ringan yang keluar dari bibirnya seolah itu kebiasaan sehari-hari. Kemudian, ia melanjutkan dengan satu kata lagi, “Berengsek,” kali ini lebih pelan, seolah hanya berkata pada dirinya sendiri.Lantas, ia berjalan menjauh dari meja resepsionis resort sambil mengeluarkan ponselnya. Mencari nomor Kendrick, lalu dengan segera menghubungi pria itu.Ketika panggilannya tersambung, Wahyu berhenti di sebelah tiang kayu lalu bersandar.“Sabda nggak ada di Maratua,” protes Wahyu pada mantan asisten pribadinya itu dengan nada yang penuh ketidakpuasan. “Cari tahu, apa yang terjadi sebenarnya.”“Mohon maaf atas keteledoran saya, Pak,” ucap Kendrick hati-hati. “Sebentar lagi saya cari tahu.”“Oke, dan atur kepulanganku kamis ini ke Jakarta.” Wahyu mengakhiri obrolan mereka lalu menyusuri jalan, kembali menuju floating vila yang sudah ia sewa. Tentu saja ia pergi bersama April, karena Desty sudah heboh
“Pulo Cinta,” Wahyu mengulang pelan perkataan Kendrick di ujung telepon. Ia berhenti sejenak, lalu menoleh ke sekeliling lobi Kalingga Tower yang ramai dengan orang yang berlalu lalang pagi itu. Perlahan, ia menjatuhkan diri ke salah satu sofa di lobi, menarik napas panjang dan menunggu Kendrick melanjutkan penjelasannya.Ternyata, perubahan destinasi itu terjadi secara mendadak. Hanya dua hari sebelum tanggal keberangkatan. Semuanya terasa tiba-tiba, seolah ada sesuatu yang disembunyikan. Kendrick sudah berusaha mencari tahu lebih jauh, tetapi tidak banyak informasi yang bisa diperoleh.Akan tetapi, wahyu sudah bisa menebak latar belakang perubahan destinasi tersebut. Kali ini, Wahyu sedikit ceroboh dengan membiarkan Darwin tahu tentang rencana kepergiannya ke Maratua. Pastinya, Darwin jualah yang menjadi penyebab semua hal ini akhirnya terjadi.“Oke. Aku paham sekarang,” ucap Wahyu setelah mendengar semua penjelasan Kendrick. “Thanks. Oia, cepat kabari aku kalau ada “sesuatu” di Fir
“WAW!” Sabda memandang takjub pada penampilan Indah pagi ini. Blazer abu-abu gelap yang membalut tubuhnya, dipadukan dengan rok span yang jatuh anggun di atas lutut, membuat Indah tampak begitu berwibawa dan memesona. Seperti seorang wanita karir sukses, yang siap menaklukkan dunia dengan aura percaya diri terpancar dari setiap gerakannya. “Harusnya, kamu jadi sekretaris, bukan reporter.”“Ide bagus.” Setelah selesai memasang softlens-nya, Indah berbalik menatap Sabda yang sedang memakai jasnya. “Mungkin, aku bisa jadi sekretarisnya om Regan.”“Ide buruk,” balas Sabda sembari menghampiri standing mirror yang baru di gunakan Indah, lalu berdiri di sana. Merapikan penampilannya. “Aku harap kamu nggak dekat-dekat dengan om Regan, meskipun dia ommu sendiri.”“Jangan ikut campur.” Indah mengambil tas kerja barunya, yang sudah disiapkannya untuk rapat internal pagi ini. Memasukkan ponsel ke dalamnya dan beberapa benda yang dirasa penting. “Kita sudah punya kesepakatan, jadi tolong jangan di
“Pagi Papa Wahyu,” sapa Anggun ketika melihat pria itu membuka mata. “Gimana tidurnya? Nyenyak?” tanyanya dengan nada meledek.Wahyu hanya membuka mata. Melihat Anggun yang tampak sudah segar dan baru saja duduk di depan meja rias. Ia masih mengumpulkan kesadaran dan tidak bergerak karena kedua kaki Putra melintang di dadanya.Tidak hanya itu, Wahyu bahkan beberapa kali merasakan tendangan dari kaki mungil itu ketika tidur tadi malam. Putranya itu, ternyata tidak bisa tidur dengan anteng dan terus bergerak ke mana-mana.Jadi, bagaimana bisa Wahyu tidur nyenyak tadi malam, jika wajah, dada, perut, dan bagian tubuh lain kerap mendapatkan tendangan dengan tiba-tiba.“Apa dia selalu mutar-mutar begini kalau tidur?” tanya Wahyu dengan suara berat.“Sudah ngerasain tendangan Putra belum.” Anggun terkekeh sembari memakai pelembabnya. “Pasti sudah, kan?”Wahyu ikut terkekeh. Menyingkirkan kedua kaki mungil itu dengan perlahan, lalu meregangkan tubuh dan menatap langit-langit kamar Anggun.“Har
“Mas! Kamu itu nggak ada kerjaan apa?” desis Anggun melotot pada Wahyu yang selalu mengekorinya sejak tadi.“Nggak ada,” jawab Wahyu cuek dan terus berada di sisi Anggun yang sedang membuka lemari pendingin.Ia memang sengaja mengikuti sang istri sejak tadi, karena masih saja kesal dengan ulah Anggun yang menutup pintu pintu kamar dan mengunci Wahyu dari dalam.“Apa kamu lupa kalau aku lagi cuti, jadi memang nggak ada kerjaan,” lanjut Wahyu menambahkan. “Maunya ngerjain kamu. Apalagi Putra lagi sama oma opanya. Sepertinya, mereka memang ngasih kita waktu buat berdua.”Setelah meletakkan kantung ASI-nya di freezer dan menutup pintunya, Anggun bersedekap. “Apa kamu lupa, aku juga lagi ‘cuti’?” ucap Anggun mengingatkan perkataannya siang tadi. “Jadi—”“Banyak jalan menuju Roma,” putus Wahyu tetap tenang. “Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Setiap ada masalah, pasti ada solusinya. Masa’ yang begitu aja nggak tahu. Apa perlu aku ajari? Kalau perlu bilang, karena aku bisa jadi gu
Sah.Akhirnya, penantian Wahyu selama ini berbuah manis. Setelah melewati berbagai rintangan terutama ketidakpastian, akhirnya hari ini datang juga. Hari dimana ia mengucapkan ikrar suci pernikahan, dengan wanita yang selama ini telah menjadi ratu di hatinya.“Sekarang, manggilnya juga harus mama sama papa,” ucap Desty ketika mereka sudah berada di parkiran Lembaga Pemasyarakatan. “Nggak usah sungkan. Kalau Wahyu macam-macam, kamu tinggal adukan sama Mama.”“Makasih, Ma.” Anggun mengangguk. Merasa sedikit aneh, karena panggilannya pada Desty harus berubah.“Sekali lagi selamat, ya,” ujar Darwin menepuk bahu Anggun dua kali. “Semoga Wahyu nggak bikin ulah lagi. Dan tolong sabar ngadapin dia yang suka seenaknya. Tapi kalau dia sampai kelewatan, langsung telpon Papa.”“Iya, Pa.” Anggun kembali mengangguk. “Makasih juga.”“Kami balik duluan, ya,” pamit Desty sembari memeluk Anggun dengan singkat, pun dengan Wahyu. “Jaga Anggun dan nggak usah lagi macam-macam.”“Memangnya kapan aku pernah
“Mau apa kamu ke sini?” Regan hanya bisa diam di kursi roda. Menatap mantan menantu yang tiba-tiba datang menjenguknya di penjara. “Kita sudah nggak punya urusan lagi.”Wahyu bersandar pada kursi besi lalu menyilang kaki. Mereka tidak bertemu di tempat para pengunjung biasa bertemu, karena itu ia bisa dengan bebas menatap dan menelisik penampilan Regan yang sangat jauh berbeda.Tubuh Regan tampak semakin kurus dengan cekungan mata hitam yang semakin membuat raganya terlihat renta. Rambut putih yang sudah menghiasi kepala, semakin menegaskan tanda-tanda penuaan yang tidak lagi bisa disembunyikan.Semua sudah berubah. Tidak ada lagi Regan yang selalu tampil rapi dan bugar di setiap kesempatan. Semua telah musnah, termakan usia dan karma yang didapat di dalam penjara.“Aku mau menikah dengan Anggun,” jawab Wahyu tidak mau berputar-putar. “Dan aku butuh pak Regan untuk jadi walinya,” ucapnya berusaha menjaga kesopanan di depan Regan.Regan menghela pelan dan memejam sejenak. “Apa kamu ngg
“Lamaran apa ini!” Anggun melihat cincin yang tersemat di jari manisnya dengan mencebik. Mengingat kembali, momen tidak terduga yang terjadi sore tadi. Yakni ketika Wahyu melamarnya di sela-sela ulang tahun Putra yang terjeda. “Ck! Ada orang ngelamar mode maksa begitu.”“Ada,” jawab Wahyu santai, sekaligus lega karena sudah menyematkan sebuah cincin di jari wanita itu.Mungkin caranya tidak biasa dan jauh dari kata romantis. Namun, hal itu akan menjadi momen yang tidak akan terlupakan dalam perjalanan mereka di masa depan nanti.“Ah!” Anggun masih saja kesal karena lamaran Wahyu sungguh berada di luar ekspektasinya. Meskipun begitu, ia tetap menerima lamaran tersebut karena tidak bisa memungkiri rasa nyaman yang ada ketika berada bersama Wahyu.Entah apa itu cinta dan bagaimana cara menjelaskannya. Yang Anggun tahu hanyalah, ada perasaan hangat yang tidak biasa jika pria itu ada bersamanya. Terlebih ketika melihat interaksi Wahyu dengan Putra. Semua itu mampu meruntuhkan kebekuan yang
Sebenarnya, sejak kepindahannya ke Bali, Anggun sudah dua kali pergi ke Jakarta bersama Syifa dan Budiman. Mereka bergantian mengunjungi makam Sabda, lalu kembali lagi ke Bali.Namun, kali ini berbeda. Seluruh keluarga besar pergi ke Jakarta karena Budiman dan Darwin akan menghadiri rapat pemegang saham di Warta. Satu-satunya perusahaan keluarga yang tersisa dan Budiman masih menjadi pemegang saham mayoritas di sana.“Harusnya Ken juga disuruh ke Jakarta,” ujar Anggun sembari menempelkan balon-balon yang sudah diberi double-tape ke dinding. Ia sedang membuat dekorasi sederhana, di salah satu dinding ruang keluarga untuk merayakan hari ulang tahun Putra yang pertama.“Dia lagi sibuk ngurusin resor,” ucap Wahyu yang hanya berbaring di karpet menemani Putra bermain dengan balon-balon kecil yang baru ditiupnya. “Memangnya kenapa Ken disuruh ke Jakarta juga?” tanya Desty yang juga ikut sibuk menempel bendera kertas berbentuk segitiga warna warni di dinding.“Anggun dari dulu mau jodohin
“Masih panas?” tanya Wahyu ketika Anggun baru saja membuka pintu kamar. Belum sempat Anggun menjawab, ia langsung merangsek masuk dan mendapati Putra masih terlelap di tempat tidur. “Rewel nggak?”“Nggak terlalu.” Anggun berbalik dan berjalan lesu menuju tempat tidurnya. “Titip bentar, ya, Mas. Aku mau mandi.”“Mandilah dulu.” Melihat Putra masih anteng di tempatnya, Wahyu mematikan pendingin ruangan dan beralih menuju jendela. Menarik tirainya, lalu membuka daun jendela lebar-lebar. Membiarkan udara pagi nan segar masuk ke dalam kamar.Sembari menunggu Anggun, Wahyu duduk bersandar pada bingkai jendela, menekuk satu kakinya. Menikmati embusan udara pagi dengan senyum lebar yang tersemat bahagia. Hati Anggun yang selama ini membatu, akhirnya menunjukkan retakan-retakan kecil yang memberi harapan. Wahyu tahu, semua itu bukanlah proses yang mudah. Namun, ini adalah sebuah langkah kecil yang membawa mereka lebih dekat pada kebahagiaan yang baru.“Udah gila, Mas?” tanya Anggun sembari kel
“Mama, bisa bicara sebentar,” pinta Anggun mendatangi Syifa yang berada di kamar, ketika keluarga Sadhana sudah kembali ke rumahnya. Hanya Wahyu yang menetap dan akan menginap, karena ingin memantau perkembangan Putra.“Masuk sini,” ucap Syifa pada Anggun yang berdiri di bibir pintu. Ia tahu, Anggun pasti sedang mengalami kegundahan, akibat pertemuan keluarga yang terjadi beberapa waktu lalu. “Putra sama Wahyu?”“Iya.” Anggun mengangguk sembari melangkah masuk. Ia duduk pada sofa panjang yang baru ditunjuk Syifa. Sementara, wanita itu sedang duduk di depan meja rias dan melakukan ritual malamnya sebelum tidur. “Mereka di kamar.”“Sebentar, ya.” Syifa buru-buru meratakan pelembab di wajahnya dengan gerakan cepat, lalu beranjak menghampiri Anggun. Setelah duduk di samping sang menantu, barulah Syifa mempersilakan Anggun bicara lebih dulu dengan lembut. “Silakan, kamu pasti mau bicara masalah pertemuan tadi, kan?”Lagi-lagi Anggun mengangguk. Tanpa mau membuang waktu, ia lantas mengeluar
“Tante, ini nggak seperti—”“Kami lagi bicara.” Wahyu menyela tanpa melepas pelukannya. “Mama mau ngapain?”“Mau jenguk Putra.” Desty mengangguk-angguk, tidak terpengaruh sedikit pun dengan apa yang disaksikannya di depan mata. Baginya, hal seperti itu sudah sangat umum terlihat dalam pergaulan saat ini. Bahkan, hubungan Wahyu dengan April dahulu kala hanya bisa membuat Desty geleng-geleng kepala.Lantas, Desty beralih melihat pintu kamar Anggun yang terbuka dan menunjuknya. “Katanya demam, ya? Tante boleh masuk, kan?”“Boleh,” jawab Wahyu lalu melepas kedua tangannya. Namun, Wahyu dengan segera meraih pergelangan tangan Anggun agar wanita itu tidak pergi darinya. “Masuk aja, Ma. Putra baru aja tidur.”“Oke ...” Desty melangkah melewati kedua orang yang masih berdiri di tempatnya. “Nanti kita bicarakan masalah barusan. Langsung dengan keluarga besar, karena mama juga sudah tahu apa yang terjadi tadi pagi. Jadi, silakan lanjutkan bicaranya.”“Maaas!” Anggun mendesis. Merapatkan geligin