“Skakmat!” Budiman berseru setelah menutup pintu ruangan Darwin. Di dalam sana, hanya ada dirinya dan Sabda karena itulah Budiman bisa bicara dengan bebas.“Skakmat?” Sabda membuka seragam Warta yang dikenakannya dan berganti dengan satu stel kemeja dan jas yang ternyata sudah disiapkan Budiman. “Maksudnya?”“Kamu menikah dengan Indah, Regan nggak bisa ngapa-ngapain, dan Wahyu gigit jari di depan papanya.” Budiman duduk di sofa sembari mengeluarkan ponsel. Satu rencananya sudah berjalan sempurna, sekarang tinggal menunggu Indah masuk ke perusahaan Kalingga secara baik-baik.“Wah! Papa sudah memperhitungkan semuanya,” ujar Sabda sambil mengancingkan kemeja putihnya. “Tapi, aku yakin ada yang Papa sembunyikan karena ini semua, nggak sesimpel seperti yang Papa bilang tadi pagi.”Budiman tersenyum miring tanpa menatap Sabda. Tetap fokus pada ponselnya. “Sudah Papa bilang, kamu nggak perlu mikir yang rumit-rumit. Mulai sekarang fokus dengan Warta dan rumah tanggamu.”“Dan om Regan?” Sabda
“Bagaimana saksi?”“Sah!” ucap Darwin dengan semangat dan disusul ucapan beberapa orang yang hadir di ruang rapat. Namun, tidak dengan Wahyu yang hanya membisu dengan wajah tanpa ekspresi sama sekali. “Wahyu!”Wahyu menatap pelan pada sang papa yang memanggilnya. “Hm, sah.”Saat ini, Wahyu merasa terpojok dan tidak bisa melakukan hal apa pun. Tidak ada satu pun yang berjalan sesuai dengan kemauannya. Bahkan, tidak ada satu pun yang berpihak padanya atau sekadar mengerti dengan perasaannya saat ini.“Selamat, Sab.” Darwin menjadi orang pertama yang beranjak menghampiri Sabda dan Indah, lalu memeluk keduanya sekaligus.Disusul dengan yang lainnya, tetapi tidak dengan Wahyu dan April yang masih duduk diam di kursi mereka masing-masing.“Jadi, kapan rencana resepsinya?” tanya Desty setelah memberi pelukan pada Indah.“Secepatnya, Tante,” ucap Indah ramah dan terkesan malu-malu. “Begitu tempatnya dapat dan cocok, kita langsung rencanain semuanya. Mas Sabda, sih, yang repot. Mintanya harus
“15 menit ...” Indah menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Mengatur napas, sembari menatap langit-langit kamar dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan.!5 menit apanya?Kata-kata itu hanyalah awal dari sebuah perangkap, yang perlahan tetapi pasti menjeratnya. Sebuah rasa candu yang tidak bisa terelakkan dan mengikat Indah semakin erat. Setiap detik yang berlalu, seolah menegaskan bahwa dirinya kini terikat seutuhnya pada sosok Sabda yang sekarang berada di sisinya.“Kenapa? Mau nambah lagi?” Sabda terkekeh pelan saat Indah meliriknya dengan tatapan malas, sekaligus lelah. Napas istrinya saja masih memburu, tidak mungkin Sabda akan meminta haknya kembali. Ia masih tahu diri.“15 menit lagi maksudnya?” sindir Indah memberi cebikan pada pria yang sudah menjadi suaminya.“Aku nggak keberatan kalau mau lebih dari itu.”“Ck, aku mau ke kamar mandi.” Indah berbalik memunggungi Sabda. Saat ini tubuhnya terasa lengket, meskipun pendingin ruangan terus menyala selama mereka b
“Surat-suratmu sedang diurus om Darwin,” ujar Budiman memajukan pionnya satu langkah ketika Indah berjalan lebih dulu. “Dia sudah minta Regan untuk cari berkas-berkasmu yang lama di rumah. Kalau memang sudah raib, baru dia proses semuanya dari awal dan buat yang baru.”Indah mengangguk sambil menjalankan pionnya kembali. “Kalau sudah jadi semua, apa bisa saya masuk ke Kalingga Tower, Pa?”“Kita bicarakan itu dengan Regan, setelah surat-suratmu jadi.” Permainan kali ini cukup membuat Budiman tertarik, karena Indah tidak memasang strategi bertahan seperti kala itu. “Mungkin minggu depan. Nanti Papa kabari kalau om Darwin sudah ngasih kabar. Tapi, In ...”Budiman mengeluarkan bidak bishopnya tanpa ragu. “Apa yang kamu ketahui tentang perusahaan? Apa, yang kamu tahu tentang PT Kalingga Corporation?”“Kalingga adalah perusahaan yang bergerak di bidang transpor—”“Semua orang juga bisa baca itu di website,” putus Budiman masih menunggu Indah menjalankan bidaknya. “Pertanyaannya, apa yang ka
“Sudah semua, Sab?” tanya Budiman berhenti melangkah ketika Sabda kebetulan keluar dari ruangannya.“Apanya yang sudah?” Sabda menurunkan berkas yang dibacanya.“WO hotel?”“Ahh, nanti sore,” jawab Sabda kembali membuka pintu ruang kerjanya. “Bisa bicara sebentar, Pa.”Budiman mengangguk. Masuk ke ruang kerja Sabda yang baru, kemudian duduk pada satu-satunya sofa panjang yang ada di sana. Tidak ada sofa lain, jadi mau tidak mau ia duduk di sana.“Indah mau ketemu pak Bahar nanti malam,” ujar Sabda meraih kursi beroda di depan meja kerjanya, lalu duduk di hadapan Budiman. “Orang itu cuma mau bicara berdua sama Indah dan sepertinya ngerasa nggak bebas kalau ada aku. Kenapa aku ngerasa ada yang disembunyikan.”“Bahar!” Budiman menjentikkan jari, karena salah satu potongan masalah yang berputar di kepalanya ternyata adalah Bahar. “Jam berapa Indah ketemu dengan Bahar? Papa mau ikut.”“Pak Bahar bilang mau bicara berdua aja sama Indah,” ulang Sabda mengingatkan. “Memangnya, apa yang mau Pa
Indah mematikan rekamannya, setelah memperdengarkan isi percakapannya pada Sabda. Menggeletakkan ponselnya begitu saja di pinggiran sofa, karena lelah mulai menyelimuti tubuhnya setelah memadu kasih bersama sang suami.Kedua matanya terasa berat. Rasa kantuk mulai menyerang, setelah ledakan dopamin merayapi seluruh tubuh dengan perasaan puas dan bahagia.“Kita tunggu hasil obrolan papa dengan pak Bahar besok,” ucap Sabda sambil memeluk sang istri yang bergelung di sebelahnya.“Kalau aku ... nunggu hakku kembali dan punya akses ke Kalingga Tower.” Mata Indah mulai memejam.“Kalau semua itu sudah tercapai, apa bisa kamu berhenti?”“Nggak,” jawab Indah tanpa ragu. “Ada harga yang harus mereka bayar.”“Seperti apa harga yang harus mereka bayar?”Indah tidak berniat menjawab. Yang jelas, ia akan mengambil alih perusahaan tersebut dari tangan Regan, meskipun akan membutuhkan waktu yang lama. Sementara April, membalas wanita itu ternyata jauh lebih mudah karena perasaan Wahyu tidak sedalam i
“Pak Farhat ...” Indah masih mengingat pria yang menjadi sopirnya dahulu kala. “Aku ... rasanya aku nggak pernah lihat dia setelah orang tuaku meninggal.” Indah menjeda sejenak kalimatnya. “Iya, Mas. Aku nggak ada ketemu pak Farhat sama sekali. Tapi, kenapa papa sampai nanyain itu ke pak Bahar?”“Karena Papa mendadak curiga.” Sabda menunjuk sebuah meja kosong di rooftop kantor, tetapi langkahnya terhenti karena melihat ruangan indoor yang kosong.“Curiga kalau mama papaku ...” Indah menggeleng. Menyingkirkan sebuah asumsi mengerikan yang ada di kepala. “Aku makin negatif thinking kalau begini.” Langkah Indah terhenti karena tidak melihat Sabda di sisinya. “Mas?” panggilnya sembari berbalik.“Indoor kosong,” tunjuk Sabda pada ruang tersebut dan kembali melanjutkan langkahnya. “Pak Budiman sepertinya ada pertemuan dengan Wahyu.”“Apa selalu begitu kalau indoor kosong?” tanya Indah duduk lebih dulu pada meja yang sudah mereka datangi.“Lebih sering begitu.” Sabda memilih duduk di samping
“Aku baru dapat laporan kalau kamu ada wawancara eksklusif dengan Wahyu.” Sabda masuk ke kamar sembari membawa ponselnya. Ia baru melihat obrolan di grup tim lamanya dan segera mengkonfirmasi hal tersebut pada Indah. “Kenapa aku nggak dikasih tahu?”Indah tidak langsung menjawab pertanyaan Sabda. Ia masih menggulung kabel charger-nya dengan perlahan dan memutar tubuh menatap sang suami.“Apa aku harus lapor semua kegiatanku setiap hari?” tanyanya datar lalu kembali berbalik dan memasukkan charger-nya ke dalam tas bagian luar. “Aku juga punya job desk dan tanggung jawab yang harus diselesaikan secara profesional. Anggap aja ini sama seperti tugas-tugas seperti biasanya.”“Tapi ini Wahyu.”“Memang kenapa dengan Wahyu?” tanya Indah sambil memasukkan buku catatan dan beberapa perlengkapan lain ke dalam tas. “Dia cuma narasumber biasa. Sama seperti yang lain. Jadi tolong nggak usah berlebihan, karena aku cuma menyelesaikan tugas dari mas Aris.”“Ini bukan wawancara biasa.”“Mas.” Indah ber
“Tarik napas.”“Aku tahu, aku dengeerr,” rintih Anggun di sela-sela proses persalinannya. Tatapan kesalnya ia tujukan pada Wahyu, karena suaminya selalu mengulang perintah dari dokter.Padahal, Anggun juga mendengar semua perkataan dokter, tetapi Wahyu tetap saja tidak mau menutup mulutnya. Kalau tahu begini, lebih baik Syifa saja yang menemaninya melahirkan seperti dahulu kala, karena wanita itu begitu sabar ketika menemani Anggun. Tidak seperti Wahyu yang hanya bisa memberi perintah padanya.“Sedikit lagi, Bu,” ujar sang dokter yang sejak tadi tetap sabar menghadapi pasien dan suaminya.“Sedikit lagi, Sweet—”“Dieeem kamu, Mas!” Anggun menggenggam tangan Wahyu dengan kekuatan yang cukup membuat pria itu meringis kesakitan. Dengan sengaja, ia menancapkan kuku-kukunya agar Wahyu juga merasakan nyeri yang kini dirasakan Anggun.Meskipun sakit yang dirasakan Wahyu mungkin tidak seberapa, tetapi Anggun cukup merasa senang ketika melihat pria itu meringis menatapnya. Penderitaan Wahyu saat
“Papa ...” Putra berseru girang, berlari kecil ke arah Wahyu yang baru saja melangkah masuk ke ruang keluarga. Tanpa menunggu aba-aba, bocah kecil itu melompat ke dalam gendongan Wahyu, tangannya yang mungil menunjuk ke arah mainan barunya dengan semangat yang menggebu.“Boana banak!” Putra mengoceh tanpa jeda, menunjuk tenda bermotif Cars, dengan terowongan yang mengarah ke bak besar penuh bola.“Dibeliin eyangnya,” ujar Anggun yang hanya duduk di sofa sambil menyelonjorkan kedua kaki. Kehamilan keduanya hampir-hampir tidak ada keluhan, karena semua rasa tidak nyaman di kala kehamilan diambil alih oleh Wahyu. Dan ya, Anggun tetap mengatakan jika semua itu adalah karma yang harus diterima. “Mereka baru pulang sejam yang lalu.”“Sudah kubilang, kan, kalau kita memang harus beli rumah di sebelah.” Wahyu menurunkan Putra di dalam kubangan bola kecilnya, lalu menghampiri Anggun. Berlutut di samping sofa lalu meletakkan telinganya di perut yang sudah cukup besar itu. Saat merasakan pergerak
“Ssshh ...” Anggun meletakkan telunjuk di bibirnya sambil menunduk. Memberi isyarat pada Putra, agar tidak membuat keributan setelah membuka pintu kamar. “Papa bobok, nggak boleh ribut.”Putra geleng-geleng, sambil menirukan sikap Anggun. Ikut meletakkan telunjuk kecilnya di bibir. “Papa bobok.”“Iya,” ucap Anggun lalu membuka pintu dengan perlahan dan membiarkan Putra masuk lebih dulu. Hanya lampu tidur yang menyala di dalam sana, memancarkan cahaya redup yang membuat suasana kamar terasa tenang dan hangat.Namun, perintah Anggun ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Putra memang tidak mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya, tetapi balita itu justru berlari menuju tempat tidur dan berbaring di samping Wahyu. Memeluk sang papa.“Mas, ayo bobok di kasur bawah sama Mama,” ujar Anggun dengan suara yang sangat pelan. “Papa—”“Nggak papa,” sela Wahyu tanpa membuka mata dan membalas pelukan Putra. “Dia mau tidur sama papanya. Lagian baunya Putra enak, bau minyak telon.”Anggun tertawa de
Wahyu memeluk Anggun begitu erat. Tangannya masih menggenggam tespek yang baru saja ditunjukkan oleh sang istri. Menatap dua garis merah yang muncul di sana, walaupun salah satunya masih tampak samar.“Sepertinya rumah sebelah bakal aku beli.” Wahyu tersenyum lebar. “Kita jebol temboknya supaya makin luas dan bisa dipake anak-anak main.”Anggun memutar bola matanya. “Mas, Putra masih kecil dan—”“Sebentar lagi dia punya adek,” sela Wahyu sembari mengurai pelukannya dan mengangkup kedua bahu Anggun. Tangan kanannya masih memegang sebuah tespek, seolah tidak ingin melepas benda itu dari genggaman. “Gimana kalau oma sama eyangnya mau nginap di sini? Rumahnya jadi kurang luas.”“Papa!” Putra mulai menarik-narik jemari Wahyu dengan tidak sabar. “Ayok, ayok”“Mas—”“Nggak papa.” Wahyu kembali menyela, lalu menunduk dan menggendong Putra. “Nanti aku langsung hubungi pak Johan biar urusan cepat.”“Dengerin aku dulu.” Nada bicara Anggun mulai meninggi. Ia kesal karena Wahyu selalu memutus ucap
Pagi itu, tawa kecil dan suara decitan sandal karet Putra yang berbunyi khas, terdengar sejak tadi dari area depan rumah. Bocah yang sebentar lagi berusia dua tahun itu sedang menyibukkan diri dengan bermain bola bersama Wahyu, sembari menunggu Desty yang akan menjemput.“Yayaaa ...” Putra segera bangkit ketika melihat Desty memasuki pagar. Berlari kecil menghampiri, tetapi tubuhnya langsung ditangkap oleh Darwin dan membawa ke dalam gendongannya.“Sudah siap?” tanya Darwin pada Putra.“Iaap!” jawab Putra bersemangat.“Dia sudah nunggu dari tadi,” ujar Anggun menghampiri sambil membawa tas ransel kecil milik Putra. “Kacamata sama topi kesayangannya ada di dalam,” ucapnya sambil menyerahkan tas kecil tersebut pada sang mama mertua.Desty terkekeh saat membuka tas ransel Putra dan melihat topi merah dengan tiga tanduk kuning yang warnanya sudah memudar. Topi yang akan selalu dipakai Putra, ketika berpergian ke mana pun.Desty kemudian mengeluarkan topi tersebut, beserta kacamata berwarn
“Ayo, Ma,” ajak Wahyu dengan senyuman penuh semangat.Anggun hanya menggeleng pelan sambil memegang gelas susunya. “Aku nggak ikut. Capek.” jawabnya tegas. Menolak ajakan Wahyu bersepeda pagi di hari libur, seperti yang biasa pria itu.Anggun hanya ingin menikmati harinya dengan bersantai, karena Putra biasanya akan pergi berkeliling bersama Wahyu dengan sepedenya. Putra akan duduk di depan dengan helm kecilnya, lengkap dengan kacamata mungil yang membuat balita itu semakin menggemaskan.“Me time, aku mau rebahan aja di rumah,”“Oke.” Wahyu menatap Putra yang berada di gendongannya sambil tersenyum. “Nanti kita ke pantai dan main bola sama tante-tante bule di sana!”“Ohhh ... jadi itu kegiatan kalian berdua kalau jalan-jalan pagi?” Anggun meletakkan gelas susunya dengan perlahan. Namun, tatapannya tertuju tajam pada Wahyu. Kemudian, ia menunjuk ke arah tanah kosong yang berada di sebelah dapur. Tepatnya berada setelah kolam renang. “Kalau mau main bola, main bola di sana.”“No,” ucap W
“Aku deja vu,” ujar Anggun setelah berpamitan pada tamu yang menghampirinya. “Jadi ingat nikahanmu sama April waktu itu.” Anggun menatap Wahyu yang berjalan di sebelahnya. “Konsepnya sama, kan?”Wahyu memaksakan senyumnya ketika menatap Anggun. “Dari dulu, kamu itu memang suka cari gara-gara.” Sebenarnya, hanya konsep pernikahannya yang sama. Selain itu, menurut Wahyu semuanya jelas berbeda. Dari dekorasi, gaun, suasana, bahkan perasaan yang menyelubungi hatinya saat ini juga jauh berbeda. Pernikahan sebelumnya terasa seperti formalitas dan prosesi yang dijalaninya terasa tanpa makna. Namun, kali ini, setiap detail memancarkan kehangatan dan memiliki arti yang mendalam.“Aku bicara fakta.” Anggun kembali tersenyum saat tatapannya bertemu dengan seorang tamu.“Nggak usah merusak suasana,” kata Wahyu berbisik tepat di telinga Anggun. “Nikmati aja yang ada sekarang dan nggak usah bahas masa lalu.”“Aku tahu.”“Aku tahu, tapi masih aja dibahas,” sindir Wahyu.“Kamu mau kita ribut?”“Ngg
“Kenapa harus pindah?” Syifa menekuk wajah ketika Wahyu menyampaikan maksudnya. Sudah terbiasa tinggal bersama Anggun dan Putra, membuatnya berat untuk melepas kedua orang itu.Syifa bukannya tidak paham dengan keputusan yang disampaikan Wahyu. Namun, ia pasti akan merasa sangat kehilangan jika Anggun dan Putra benar-benar pindah dari kediaman Wisesa.“Ma, rumahnya dekat,” ujar Wahyu harus memberi pemahaman. “Jalan kaki cuma 10 menit. Cuma nyebrang jalan ke kompleks depan. Kalau mau naik motor lebih cepat lagi.”“Kamu setuju, Nggun?” tanya Syifa beralih pada Anggun.“A—”“Anggun setuju, Ma.” Wahyu segera menyerobot, karena melihat sang istri masih ragu untuk pindah rumah. “Tadi sudah cocok juga dengan rumahnya karena ada kolam renang. Jadi, Putra bisa sekalian belajar berenang juga.”“Mama tanya Anggun.” Syifa memutar bola matanya. Kalau sudah ada maunya, Wahyu memang sering bersikap seperti itu.“Cuma 10 menit dari sini, Ma,” sambar Budiman sudah paham dengan keinginan Wahyu. Mereka
“Aku punya tiga pilihan.” Wahyu menyerahkan sebuah brosur yang sudah diterima dari Farhat pada Anggun. “Resepsi di ruang tertutup, terbuka dengan view pantai, atau terbuka dengan view alam. Kamu yang pilih karena buatku di semua sama aja.”“Aku terserah aja,” ujar Anggun sembari membuka brosur yang baru diterimanya. “Lihat undangannya dulu, ada berapa orang terus disesuaikan aja tempatnya.”“25 orang.”“Katanya 50?”“Kalau 25 orang datang bawa pasangan, jumlahnya jadi 50.”“Iya, sih.” Anggun jadi merasa bodoh sendiri karena tidak memikirkan hal tersebut. “Jangan di pantai deh, aku nggak mau Putra masuk angin karena acaranya biasanya sore jelang malam gitu, kan? Jadi, view pantai dicoret dari list.”“View alam juga nggak jauh beda.” Wahyu dengan sigap menangkap Putra yang melepas baby walker dan berjalan ke arahnya. “Anginnya lumayan.”“Kalau gitu indoor aja.” Karena sudah memutuskan, Anggun meletakkan brosurnya di lantai begitu saja.“Kenapa kamu nggak tidur-tidur hem?” Wahyu merebahk