“Bagaimana saksi?”“Sah!” ucap Darwin dengan semangat dan disusul ucapan beberapa orang yang hadir di ruang rapat. Namun, tidak dengan Wahyu yang hanya membisu dengan wajah tanpa ekspresi sama sekali. “Wahyu!”Wahyu menatap pelan pada sang papa yang memanggilnya. “Hm, sah.”Saat ini, Wahyu merasa terpojok dan tidak bisa melakukan hal apa pun. Tidak ada satu pun yang berjalan sesuai dengan kemauannya. Bahkan, tidak ada satu pun yang berpihak padanya atau sekadar mengerti dengan perasaannya saat ini.“Selamat, Sab.” Darwin menjadi orang pertama yang beranjak menghampiri Sabda dan Indah, lalu memeluk keduanya sekaligus.Disusul dengan yang lainnya, tetapi tidak dengan Wahyu dan April yang masih duduk diam di kursi mereka masing-masing.“Jadi, kapan rencana resepsinya?” tanya Desty setelah memberi pelukan pada Indah.“Secepatnya, Tante,” ucap Indah ramah dan terkesan malu-malu. “Begitu tempatnya dapat dan cocok, kita langsung rencanain semuanya. Mas Sabda, sih, yang repot. Mintanya harus
“15 menit ...” Indah menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Mengatur napas, sembari menatap langit-langit kamar dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan.!5 menit apanya?Kata-kata itu hanyalah awal dari sebuah perangkap, yang perlahan tetapi pasti menjeratnya. Sebuah rasa candu yang tidak bisa terelakkan dan mengikat Indah semakin erat. Setiap detik yang berlalu, seolah menegaskan bahwa dirinya kini terikat seutuhnya pada sosok Sabda yang sekarang berada di sisinya.“Kenapa? Mau nambah lagi?” Sabda terkekeh pelan saat Indah meliriknya dengan tatapan malas, sekaligus lelah. Napas istrinya saja masih memburu, tidak mungkin Sabda akan meminta haknya kembali. Ia masih tahu diri.“15 menit lagi maksudnya?” sindir Indah memberi cebikan pada pria yang sudah menjadi suaminya.“Aku nggak keberatan kalau mau lebih dari itu.”“Ck, aku mau ke kamar mandi.” Indah berbalik memunggungi Sabda. Saat ini tubuhnya terasa lengket, meskipun pendingin ruangan terus menyala selama mereka b
“Surat-suratmu sedang diurus om Darwin,” ujar Budiman memajukan pionnya satu langkah ketika Indah berjalan lebih dulu. “Dia sudah minta Regan untuk cari berkas-berkasmu yang lama di rumah. Kalau memang sudah raib, baru dia proses semuanya dari awal dan buat yang baru.”Indah mengangguk sambil menjalankan pionnya kembali. “Kalau sudah jadi semua, apa bisa saya masuk ke Kalingga Tower, Pa?”“Kita bicarakan itu dengan Regan, setelah surat-suratmu jadi.” Permainan kali ini cukup membuat Budiman tertarik, karena Indah tidak memasang strategi bertahan seperti kala itu. “Mungkin minggu depan. Nanti Papa kabari kalau om Darwin sudah ngasih kabar. Tapi, In ...”Budiman mengeluarkan bidak bishopnya tanpa ragu. “Apa yang kamu ketahui tentang perusahaan? Apa, yang kamu tahu tentang PT Kalingga Corporation?”“Kalingga adalah perusahaan yang bergerak di bidang transpor—”“Semua orang juga bisa baca itu di website,” putus Budiman masih menunggu Indah menjalankan bidaknya. “Pertanyaannya, apa yang ka
“Sudah semua, Sab?” tanya Budiman berhenti melangkah ketika Sabda kebetulan keluar dari ruangannya.“Apanya yang sudah?” Sabda menurunkan berkas yang dibacanya.“WO hotel?”“Ahh, nanti sore,” jawab Sabda kembali membuka pintu ruang kerjanya. “Bisa bicara sebentar, Pa.”Budiman mengangguk. Masuk ke ruang kerja Sabda yang baru, kemudian duduk pada satu-satunya sofa panjang yang ada di sana. Tidak ada sofa lain, jadi mau tidak mau ia duduk di sana.“Indah mau ketemu pak Bahar nanti malam,” ujar Sabda meraih kursi beroda di depan meja kerjanya, lalu duduk di hadapan Budiman. “Orang itu cuma mau bicara berdua sama Indah dan sepertinya ngerasa nggak bebas kalau ada aku. Kenapa aku ngerasa ada yang disembunyikan.”“Bahar!” Budiman menjentikkan jari, karena salah satu potongan masalah yang berputar di kepalanya ternyata adalah Bahar. “Jam berapa Indah ketemu dengan Bahar? Papa mau ikut.”“Pak Bahar bilang mau bicara berdua aja sama Indah,” ulang Sabda mengingatkan. “Memangnya, apa yang mau Pa
Indah mematikan rekamannya, setelah memperdengarkan isi percakapannya pada Sabda. Menggeletakkan ponselnya begitu saja di pinggiran sofa, karena lelah mulai menyelimuti tubuhnya setelah memadu kasih bersama sang suami.Kedua matanya terasa berat. Rasa kantuk mulai menyerang, setelah ledakan dopamin merayapi seluruh tubuh dengan perasaan puas dan bahagia.“Kita tunggu hasil obrolan papa dengan pak Bahar besok,” ucap Sabda sambil memeluk sang istri yang bergelung di sebelahnya.“Kalau aku ... nunggu hakku kembali dan punya akses ke Kalingga Tower.” Mata Indah mulai memejam.“Kalau semua itu sudah tercapai, apa bisa kamu berhenti?”“Nggak,” jawab Indah tanpa ragu. “Ada harga yang harus mereka bayar.”“Seperti apa harga yang harus mereka bayar?”Indah tidak berniat menjawab. Yang jelas, ia akan mengambil alih perusahaan tersebut dari tangan Regan, meskipun akan membutuhkan waktu yang lama. Sementara April, membalas wanita itu ternyata jauh lebih mudah karena perasaan Wahyu tidak sedalam i
“Pak Farhat ...” Indah masih mengingat pria yang menjadi sopirnya dahulu kala. “Aku ... rasanya aku nggak pernah lihat dia setelah orang tuaku meninggal.” Indah menjeda sejenak kalimatnya. “Iya, Mas. Aku nggak ada ketemu pak Farhat sama sekali. Tapi, kenapa papa sampai nanyain itu ke pak Bahar?”“Karena Papa mendadak curiga.” Sabda menunjuk sebuah meja kosong di rooftop kantor, tetapi langkahnya terhenti karena melihat ruangan indoor yang kosong.“Curiga kalau mama papaku ...” Indah menggeleng. Menyingkirkan sebuah asumsi mengerikan yang ada di kepala. “Aku makin negatif thinking kalau begini.” Langkah Indah terhenti karena tidak melihat Sabda di sisinya. “Mas?” panggilnya sembari berbalik.“Indoor kosong,” tunjuk Sabda pada ruang tersebut dan kembali melanjutkan langkahnya. “Pak Budiman sepertinya ada pertemuan dengan Wahyu.”“Apa selalu begitu kalau indoor kosong?” tanya Indah duduk lebih dulu pada meja yang sudah mereka datangi.“Lebih sering begitu.” Sabda memilih duduk di samping
“Aku baru dapat laporan kalau kamu ada wawancara eksklusif dengan Wahyu.” Sabda masuk ke kamar sembari membawa ponselnya. Ia baru melihat obrolan di grup tim lamanya dan segera mengkonfirmasi hal tersebut pada Indah. “Kenapa aku nggak dikasih tahu?”Indah tidak langsung menjawab pertanyaan Sabda. Ia masih menggulung kabel charger-nya dengan perlahan dan memutar tubuh menatap sang suami.“Apa aku harus lapor semua kegiatanku setiap hari?” tanyanya datar lalu kembali berbalik dan memasukkan charger-nya ke dalam tas bagian luar. “Aku juga punya job desk dan tanggung jawab yang harus diselesaikan secara profesional. Anggap aja ini sama seperti tugas-tugas seperti biasanya.”“Tapi ini Wahyu.”“Memang kenapa dengan Wahyu?” tanya Indah sambil memasukkan buku catatan dan beberapa perlengkapan lain ke dalam tas. “Dia cuma narasumber biasa. Sama seperti yang lain. Jadi tolong nggak usah berlebihan, karena aku cuma menyelesaikan tugas dari mas Aris.”“Ini bukan wawancara biasa.”“Mas.” Indah ber
“Indah ... kamu ngapain?”Sabda terdiam. berdiri tepat di depan pintu ruang ganti yang terbuka. Melihat bagaimana tangan Wahyu merangkum erat pinggang Indah, pun dengan tangan gadis itu yang berada di bahu sepupunya.“Bu Indah barusan jatuh, Pak.” Kendrick buru-buru memberi klarifikasi, agar tidak terjadi salah paham. Bagaimanapun juga, kedua pria itu masih memiliki hubungan keluarga. Walaupun Kendrick bisa melihat jelas, ada hubungan yang rumit di antara ketiga orang tersebut. “Kakinya terkilir.”“Sudah kubilang, aku nggak papa.” Indah berujar datar pada Wahyu. Tetap tenang, meskipun ada sesuatu yang terjadi di luar kuasanya. “Makasih dan tolong lepasin aku.”Sebelum benar-benar melepas Indah, Wahyu menatap kilat cemburu dalam tatapan Sabda. Jika orang itu April, maka Wahyu sudah tahu apa yang akan dilakukan istrinya pada Indah.Namun, bagaimana dengan Sabda?Apa yang akan dilakukan pria itu pada Wahyu, atau Indah ketika melihat adegan seperti sekarang di depan mata.“Mungkin sepatu
“Kenapa harus pindah?” Syifa menekuk wajah ketika Wahyu menyampaikan maksudnya. Sudah terbiasa tinggal bersama Anggun dan Putra, membuatnya berat untuk melepas kedua orang itu.Syifa bukannya tidak paham dengan keputusan yang disampaikan Wahyu. Namun, ia pasti akan merasa sangat kehilangan jika Anggun dan Putra benar-benar pindah dari kediaman Wisesa.“Ma, rumahnya dekat,” ujar Wahyu harus memberi pemahaman. “Jalan kaki cuma 10 menit. Cuma nyebrang jalan ke kompleks depan. Kalau mau naik motor lebih cepat lagi.”“Kamu setuju, Nggun?” tanya Syifa beralih pada Anggun.“A—”“Anggun setuju, Ma.” Wahyu segera menyerobot, karena melihat sang istri masih ragu untuk pindah rumah. “Tadi sudah cocok juga dengan rumahnya karena ada kolam renang. Jadi, Putra bisa sekalian belajar berenang juga.”“Mama tanya Anggun.” Syifa memutar bola matanya. Kalau sudah ada maunya, Wahyu memang sering bersikap seperti itu.“Cuma 10 menit dari sini, Ma,” sambar Budiman sudah paham dengan keinginan Wahyu. Mereka
“Aku punya tiga pilihan.” Wahyu menyerahkan sebuah brosur yang sudah diterima dari Farhat pada Anggun. “Resepsi di ruang tertutup, terbuka dengan view pantai, atau terbuka dengan view alam. Kamu yang pilih karena buatku di semua sama aja.”“Aku terserah aja,” ujar Anggun sembari membuka brosur yang baru diterimanya. “Lihat undangannya dulu, ada berapa orang terus disesuaikan aja tempatnya.”“25 orang.”“Katanya 50?”“Kalau 25 orang datang bawa pasangan, jumlahnya jadi 50.”“Iya, sih.” Anggun jadi merasa bodoh sendiri karena tidak memikirkan hal tersebut. “Jangan di pantai deh, aku nggak mau Putra masuk angin karena acaranya biasanya sore jelang malam gitu, kan? Jadi, view pantai dicoret dari list.”“View alam juga nggak jauh beda.” Wahyu dengan sigap menangkap Putra yang melepas baby walker dan berjalan ke arahnya. “Anginnya lumayan.”“Kalau gitu indoor aja.” Karena sudah memutuskan, Anggun meletakkan brosurnya di lantai begitu saja.“Kenapa kamu nggak tidur-tidur hem?” Wahyu merebahk
“Sepertinya, kasur di kamar atas harus dibawa ke kamarmu,” ujar Wahyu setelah memberi kecupan pada bahu terbuka Anggun. Ia memeluk sang istri dari belakang, setelah melewati momen yang membuat keduanya lelah dalam kehangatan.“Hm.” Anggun menarik napas panjang. Masih menenangkan detak jantungnya yang berpacu kencang. Menunggu dengan sabar, hingga tubuhnya kembali tenang dari luapan dopamin yang baru saja menyergap.“Tapi, aku rasa kita harus cepat-cepat pindah dari sini.” Wahyu menyandarkan dagunya pada bahu Anggun dan semakin memeluk erat. “Kamar Putra ini terlalu kecil. Apalagi tempat tidurnya cuma ukuran single. Terlalu sempit.”“Hm.” Anggun kembali menggumam, masih sibuk menenangkan gejolak yang baru saja menguasai tubuhnya. Sesaat, ia menutup mata, merasakan dekapan Wahyu yang hangat dan nyaman di punggungnya.“Aku serius, tapi cuma dijawab ham hem ham hem.” Wahyu berdecak lalu menggigit pelan daun telinga Anggun dan wanita itu langsung menyikut pelan perutnya.“Mas,” desis Anggu
“Pagi Papa Wahyu,” sapa Anggun ketika melihat pria itu membuka mata. “Gimana tidurnya? Nyenyak?” tanyanya dengan nada meledek.Wahyu hanya membuka mata. Melihat Anggun yang tampak sudah segar dan baru saja duduk di depan meja rias. Ia masih mengumpulkan kesadaran dan tidak bergerak karena kedua kaki Putra melintang di dadanya.Tidak hanya itu, Wahyu bahkan beberapa kali merasakan tendangan dari kaki mungil itu ketika tidur tadi malam. Putranya itu, ternyata tidak bisa tidur dengan anteng dan terus bergerak ke mana-mana.Jadi, bagaimana bisa Wahyu tidur nyenyak tadi malam, jika wajah, dada, perut, dan bagian tubuh lain kerap mendapatkan tendangan dengan tiba-tiba.“Apa dia selalu mutar-mutar begini kalau tidur?” tanya Wahyu dengan suara berat.“Sudah ngerasain tendangan Putra belum.” Anggun terkekeh sembari memakai pelembabnya. “Pasti sudah, kan?”Wahyu ikut terkekeh. Menyingkirkan kedua kaki mungil itu dengan perlahan, lalu meregangkan tubuh dan menatap langit-langit kamar Anggun.“Har
“Mas! Kamu itu nggak ada kerjaan apa?” desis Anggun melotot pada Wahyu yang selalu mengekorinya sejak tadi.“Nggak ada,” jawab Wahyu cuek dan terus berada di sisi Anggun yang sedang membuka lemari pendingin.Ia memang sengaja mengikuti sang istri sejak tadi, karena masih saja kesal dengan ulah Anggun yang menutup pintu pintu kamar dan mengunci Wahyu dari dalam.“Apa kamu lupa kalau aku lagi cuti, jadi memang nggak ada kerjaan,” lanjut Wahyu menambahkan. “Maunya ngerjain kamu. Apalagi Putra lagi sama oma opanya. Sepertinya, mereka memang ngasih kita waktu buat berdua.”Setelah meletakkan kantung ASI-nya di freezer dan menutup pintunya, Anggun bersedekap. “Apa kamu lupa, aku juga lagi ‘cuti’?” ucap Anggun mengingatkan perkataannya siang tadi. “Jadi—”“Banyak jalan menuju Roma,” putus Wahyu tetap tenang. “Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Setiap ada masalah, pasti ada solusinya. Masa’ yang begitu aja nggak tahu. Apa perlu aku ajari? Kalau perlu bilang, karena aku bisa jadi gu
Sah.Akhirnya, penantian Wahyu selama ini berbuah manis. Setelah melewati berbagai rintangan terutama ketidakpastian, akhirnya hari ini datang juga. Hari dimana ia mengucapkan ikrar suci pernikahan, dengan wanita yang selama ini telah menjadi ratu di hatinya.“Sekarang, manggilnya juga harus mama sama papa,” ucap Desty ketika mereka sudah berada di parkiran Lembaga Pemasyarakatan. “Nggak usah sungkan. Kalau Wahyu macam-macam, kamu tinggal adukan sama Mama.”“Makasih, Ma.” Anggun mengangguk. Merasa sedikit aneh, karena panggilannya pada Desty harus berubah.“Sekali lagi selamat, ya,” ujar Darwin menepuk bahu Anggun dua kali. “Semoga Wahyu nggak bikin ulah lagi. Dan tolong sabar ngadapin dia yang suka seenaknya. Tapi kalau dia sampai kelewatan, langsung telpon Papa.”“Iya, Pa.” Anggun kembali mengangguk. “Makasih juga.”“Kami balik duluan, ya,” pamit Desty sembari memeluk Anggun dengan singkat, pun dengan Wahyu. “Jaga Anggun dan nggak usah lagi macam-macam.”“Memangnya kapan aku pernah
“Mau apa kamu ke sini?” Regan hanya bisa diam di kursi roda. Menatap mantan menantu yang tiba-tiba datang menjenguknya di penjara. “Kita sudah nggak punya urusan lagi.”Wahyu bersandar pada kursi besi lalu menyilang kaki. Mereka tidak bertemu di tempat para pengunjung biasa bertemu, karena itu ia bisa dengan bebas menatap dan menelisik penampilan Regan yang sangat jauh berbeda.Tubuh Regan tampak semakin kurus dengan cekungan mata hitam yang semakin membuat raganya terlihat renta. Rambut putih yang sudah menghiasi kepala, semakin menegaskan tanda-tanda penuaan yang tidak lagi bisa disembunyikan.Semua sudah berubah. Tidak ada lagi Regan yang selalu tampil rapi dan bugar di setiap kesempatan. Semua telah musnah, termakan usia dan karma yang didapat di dalam penjara.“Aku mau menikah dengan Anggun,” jawab Wahyu tidak mau berputar-putar. “Dan aku butuh pak Regan untuk jadi walinya,” ucapnya berusaha menjaga kesopanan di depan Regan.Regan menghela pelan dan memejam sejenak. “Apa kamu ngg
“Lamaran apa ini!” Anggun melihat cincin yang tersemat di jari manisnya dengan mencebik. Mengingat kembali, momen tidak terduga yang terjadi sore tadi. Yakni ketika Wahyu melamarnya di sela-sela ulang tahun Putra yang terjeda. “Ck! Ada orang ngelamar mode maksa begitu.”“Ada,” jawab Wahyu santai, sekaligus lega karena sudah menyematkan sebuah cincin di jari wanita itu.Mungkin caranya tidak biasa dan jauh dari kata romantis. Namun, hal itu akan menjadi momen yang tidak akan terlupakan dalam perjalanan mereka di masa depan nanti.“Ah!” Anggun masih saja kesal karena lamaran Wahyu sungguh berada di luar ekspektasinya. Meskipun begitu, ia tetap menerima lamaran tersebut karena tidak bisa memungkiri rasa nyaman yang ada ketika berada bersama Wahyu.Entah apa itu cinta dan bagaimana cara menjelaskannya. Yang Anggun tahu hanyalah, ada perasaan hangat yang tidak biasa jika pria itu ada bersamanya. Terlebih ketika melihat interaksi Wahyu dengan Putra. Semua itu mampu meruntuhkan kebekuan yang
Sebenarnya, sejak kepindahannya ke Bali, Anggun sudah dua kali pergi ke Jakarta bersama Syifa dan Budiman. Mereka bergantian mengunjungi makam Sabda, lalu kembali lagi ke Bali.Namun, kali ini berbeda. Seluruh keluarga besar pergi ke Jakarta karena Budiman dan Darwin akan menghadiri rapat pemegang saham di Warta. Satu-satunya perusahaan keluarga yang tersisa dan Budiman masih menjadi pemegang saham mayoritas di sana.“Harusnya Ken juga disuruh ke Jakarta,” ujar Anggun sembari menempelkan balon-balon yang sudah diberi double-tape ke dinding. Ia sedang membuat dekorasi sederhana, di salah satu dinding ruang keluarga untuk merayakan hari ulang tahun Putra yang pertama.“Dia lagi sibuk ngurusin resor,” ucap Wahyu yang hanya berbaring di karpet menemani Putra bermain dengan balon-balon kecil yang baru ditiupnya. “Memangnya kenapa Ken disuruh ke Jakarta juga?” tanya Desty yang juga ikut sibuk menempel bendera kertas berbentuk segitiga warna warni di dinding.“Anggun dari dulu mau jodohin