Share

Bittersweet Revenge
Bittersweet Revenge
Penulis: Kanietha

BR ~ 1

“Rumah ini beserta aset papamu yang lain sudah disita bank.”

Regan bertolak pinggang di tengah kamar Anggun, sambil melihat ke sekeliling dengan perlahan. Kamar dengan nuansa putih dan terlihat sangat bersih, juga luas. Ini kali pertama Regan masuk ke dalam kamar keponakannya, yang saat ini berusia 12 tahun.

“Laporan keuangan perusahaan juga bermasalah, jadi ...” Regan menghampiri gadis kecil yang duduk memeluk kedua kaki yang tertekuk di tempat tidur. Wajah sembab dengan kedua mata yang bengkak itu, sungguh memperlihatkan rasa kehilangan yang luar biasa. “Ada kemungkinan perusahaan papamu juga bangkrut. Om cuma punya sedikit tabungan, jadi, pergilah dari sini karena banyak penagih utang yang pasti nyariin kamu.”

“Nyariin ... aku?” Anggun bingung, mengapa penagih utang tersebut akan mencari dirinya.

“Iya.” Regan mengangguk meyakinkan. “Jadi pergilah, karena Om nggak mau kamu kenapa-kenapa, pergilah. Dan biar semua urusan di sini, Om yang selesaikan.”

Anggun menggeleng. Masih tidak mengerti dengan perkataan adik almarhum sang papa. Sepuluh hari yang lalu, kedua orang tua Anggun mengalami kecelakaan lalu lintas dan mereka meninggal di tempat. Setelah itu, satu-satunya keluarga almarhum sang papa datang dan membantu Anggun mengurus segala sesuatunya. Mereka tinggal di rumah Anggun dan selalu bersikap baik kepadanya.

“Aku, aku, bisa tinggal sama Om, sama Tante.” Pandangan Anggun kembali mengabur. Setelah kehilangan kedua orang tuanya, kini Anggun harus pergi meninggalkan semua hal. Entah ke mana Anggun harus pergi dan apa yang harus ia lakukan di luar sana.

“Nggak bisa,” ungkap Regan dengan lembut sambil meraih satu tangan Anggun. “Om nggak mau kamu dibawa atau diculik penagih utang almarhum papamu. Om nggak mau kamu dijual, atau dipaksa kerja kasar untuk melunasi utang. Jadi, lebih baik kamu pergi dan biar Om yang selesaikan semua masalah di sini pelan-pelan. Yang penting buat Om, kamu selamat dulu biar Om nggak merasa bersalah sama almarhum papa dan mamamu. Jadi, biarlah Om yang menanggung semuanya.”

Tangis Anggun pecah karena masih ada orang sebaik Omnya. Regan rela mengorbankan diri, demi melindungi Anggun dari orang-orang jahat yang mungkin saja bisa melukainya.

“Kamu nggak akan pergi sendiri,” ucap Regan melepas tangan Anggun, lalu mengusap puncak kepalanya yang masih bergetar karena tangis. “Om sudah minta Sita nemani kamu dan mengurus segala sesuatunya. Om jamin, kamu nggak akan kekurangan dan aman. Oke?”

Mendengar nama pengasuhnya disebut, Anggun pun merasa lega. Ia mengangguk lemah dan akan menuruti semua perintah Regan.

“Oke kalau gitu.” Regan tersenyum seraya bangkit dari tempat tidur. “Nanti malam kamu dan Sita berangkat ke tempat yang sudah Om atur. Sekarang, tidur dan istirahatlah.”

~~~~~~~~~~~~~

“Mbak ... kita di mana?” Anggun memeluk lengan Sita dengan erat. Menatap takut, pada banyaknya orang yang berlalu lalang di sekitarnya.

“Ini namanya terminal bis.” Sita masih berdiri di tempat dan menimbang-nimbang akan membawa majikan kecilnya pergi ke mana.

Sita memang lahir dan besar di Jakarta. Namun, kedua orang tuanya sudah tiada dan Sita bekerja menjadi pengasuh Anggun sejak ia lulus SMA. Saat itu, Anggun baru berusia enam tahun dan baru saja masuk ke sekolah dasar. Sementara Sita, tidak memiliki saudara ataupun tetangga, karena selama enam tahun ke belakang ia sudah tinggal bersama keluarga Anggun.

“Terus, kita mau pergi ke mana?”

“Mbak juga bingung, Non.” Sita menatap iba pada majikan kecil yang selalu baik kepadanya. Kira-kira, apa yang akan terjadi andai saja gadis itu tahu tentang kenyataan yang ada?

Sembari berpikir, tatapan Sita terus berlari ke area terminal yang bisa dijangkau. Namun, begitu pandangannya jatuh ke satu titik, Sita lantas menelan ludah. Ia segera membuang wajah dan menunduk menatap Anggun.

“Non!” Sembari menahan tremor, Sita melepas tangan Anggun lalu menangkup kedua bahu gadis itu. “Dengarin saya baik-baik.”

Anggun mengangguk, kendati masih dilanda kebingungan dengan keadaan yang dialaminya saat ini.

“Mulai sekarang, nama Non itu ... Indah!” seru Sita. “Kalau ada yang tanya, bilang namanya Non itu, Indah. Indah Kur … nia. Indah Kurnia bukan Anggun Kalingga. Lupakan nama Kalingga!”

“Tapi kenapa, Mbak?”

“Tolong turutin saya, Non,” mohon Sita kemudian menggeleng. “Pokoknya ingat pesan saya! Mulai sekarang, jangan percaya sama siapa-siapa. Kalau terjadi sesuatu, pergi dan cari panti asuhan.”

“Mbak—”

“Jangan nangis dan mulai sekarang nggak boleh cengeng,” desis Sita ketika melihat kedua mata Anggun berkaca-kaca. “Kalau nanti saya suruh pergi, Non harus pergi. Ingat pesan saya, cari panti asuhan dan nama Non sekarang Indah Kurnia. Jangan pernah bilang ke siapa pun, kalau Non itu Anggun Kalingga. Bisa?”

“Bi-bisa.”

“Oke.” Sita melepas ransel yang berada di punggung Anggun, lalu memakaikannya di depan dada gadis kecil itu. “Ranselnya jangan sampai lepas dan jangan dipindah di belakang. Peluk kuat-kuat,” titah Sita dengan suara pelan. “Di tas ada hape Non Indah yang sudah saya matikan dan ada kartu baru juga. Di belakang tas, juga ada uang 500 ribu. ATM saya ada di-casing-nya, pinnya tanggal lahir saya. Non Indah tahu, kan?”

Anggun yang tiba-tiba dipanggil Indah oleh Sita, hanya bisa mengangguk dalam kebingungan.

“Nanti, kalau saya suruh pergi, Non harus pergi,” ujar Sita. “Ingat, cari panti asuhan dan lupain semua tentang keluarga Kalingga. Jangan pernah cerita apa-apa ke orang.”

“Tapi—”

“Ayo kita cari bis.” Sita meraih tangan Anggun, lalu membawa gadis tersebut ke tengah-tengah hiruk pikuk orang-orang yang berlalu lalang sejak tadi.

Sembari berjalan, pandangannya tetap awas melihat ke sekeliling guna mencari pria yang mengawasinya.

“Tapi kita mau ke mana, Mbak?” tanya Anggun sembari menaiki bis yang dimasuki Sita.

“Kita ...” Sita mendudukkan Anggun pada kursi di samping jendela. Kemudian, ia menyusul di sebelahnya. Entah bis jurusan mana yang ia masuki, tetapi Sita harus duduk tenang dan mengambil napas terlebih dahulu untuk berpikir. “Tunggu sebentar.”

Sita menutup mata dan menarik napas dalam-dalam. Namun, tepukan di bahunya membuat Sita terbelalak dan terkejut hingga hampir berteriak. Jika saja tangan itu tidak menutup mulutnya, Sita pasti sudah histeris tidak karuan.

“Ini aku.”

“Pak Bahar,” bisik Sita masih terbelalak ketika melihat pria tersebut melepas sekilas topinya, lalu memakainya lagi.

“Pergilah ke toilet lewat pintu belakang,” titah Bahar dengan suara pelan. “Biar aku yang bawa Non Anggun lewat pintu depan. Nanti, kamu balik lagi dan bilang ke orang-orang kalau adekmu hilang.”

“Tapi, Pak—”

“Nanti aku telpon, kalau semua sudah aman,” putus Bahar terburu. “Sekarang keluar, biar Non Anggun aku yang bawa. Ayo, Non, ikut Bapak.”

Sita menatap Anggun cukup lama, lalu mengangguk dan berdiri. Sebelum pergi, Sita kembali mengingatkan sesuatu. “Ingat baik-baik pesan saya yang tadi, ya, Non! Jangan sampai lupa dan ... hati-hati”

Komen (9)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
baru baca dari awal nih mbak beb
goodnovel comment avatar
@gothil
baru baca, dan seperti bakal ada cerita yang mempesona, semangat kak
goodnovel comment avatar
Iin Rahayu
sengaja baru baca, ngumpulin bab biar banyak dulu. Bab awal udah bikin penasaran dan dag dig dug......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status