Indah menarik napas panjang setelah keluar dari taksi. Segera menaiki pelataran hotel agar tidak mengganggu kedatangan tamu lainnya. Kemudian, ia berdiam lebih dulu untuk mengontrol lonjakan emosi yang tidak bisa dimengerti. Debaran jantungnya mendadak bertalu, membuat Indah harus berpikir ulang mengenai banyak hal.
Haruskan ia masuk ke dalam dan bertemu dengan keluarganya? Memperkenalkan diri sebagai Anggun Kalingga dan meminta semua hak yang sudah dirampas darinya selama ini?
Atau, tetap bersembunyi dengan identitas barunya dan membalas semuanya dalam diam.
Di saat-saat seperti ini, mengapa perasaan Indah menjadi goyah?
Tidak ... Indah tidak boleh berubah haluan.
Ia menggeleng cepat, untuk menyadarkan diri. Mengingat kembali akan kesakitan hidup yang dideritanya selama ini. Terusir dari rumah dengan semua privilege yang dimilikinya dan menjalani hidup pas-pasan, bahkan kekurangan.
Untuk itulah, Indah lantas melangkah maju. Mengangkat dagu dan berjalan dengan dengan elegan menuju ruangan tempat resepsi sepupunya dilaksanakan.
Sesampainya di ruangan dengan dekorasi bernuansa ungu dan putih, tatapan Indah menyusuri setiap tamu undangan dengan seksama. Melihat tidak ada pelaminan yang berada di satu sisi ruang, Indah menebak resepsi pernikahan tersebut berkonsep mingle. Karena itulah, Indah dengan teliti melihat semua orang yang ada di ruangan tersebut, guna mencari keberadaan Regan dan istrinya, Elsa.
Akan tetapi, tatapan Indah justru berhenti pada sosok wanita yang menjadi ratu sehari malam ini.
Aprilia Kalingga. Tentu saja Indah mengetahui wajah dewasa sepupunya, karena sering melihat wanita itu di dunia maya. Dalam artian, Indah memang sudah memantau dan mencari tahu semua hal terkait keluarga Kalingga.
Wanita itu tampak cantik dan terlihat bahagia, dengan balutan gaun pengantin putih yang sangat mewah. Sambil terus menatap April, Indah melangkah dengan pasti menghampiri wanita itu.
“Aprilia ... Kalingga.” Indah menyapa tanpa ragu, ketika berhenti di samping wanita itu. Selama 15 tahun tidak bertemu, Indah yakin sepupunya itu tidak mengenalnya sama sekali.
April yang tengah berbicara dengan salah satu tamunya, lantas menoleh. Mengerutkan dahi, lalu menoleh pada Wahyu yang berdiri di sebelahnya. Menatap tanya, karena tidak mengenal wanita yang menyapanya.
Bukankah, acara resepsi mereka hanya dihadiri orang terdekat? Namun, mengapa April tidak pernah mengetahui atau mengenal wanita tersebut?
“Dia?” April menyentak tinggi kedua alis dan bicara pelan sembari tetap memasang senyumnya. “Siapa?”
Wahyu menatap tajam, alisnya sedikit terangkat. Diam sejenak memperhatikan wanita yang penampilannya begitu berbeda. Kebaya hitam elegan dan rok batik pink sebatas lutut, tatanan rambut yang disanggul rapi dengan beberapa anak rambut dibiarkan menjuntai, serta riasan wajah yang sempurna membuat gadis itu nyaris tak dikenali. Jika bukan karena mendengar suaranya lebih dulu, Wahyu mungkin tidak akan menyangka bahwa wanita ini adalah gadis yang sama, yang bermain catur dengannya malam itu.
“Indah Kurnia.” Indah hanya fokus menatap April dan tidak memedulikan Wahyu sama sekali. “Aku reporter magang di Warta dan belum ada satu bulan tinggal di Jakarta.”
Kecurigaan Wahyu semakin bertambah. Setelah mendapat semua informasi mengenai Indah, ia semakin yakin gadis itu memiliki tujuan tertentu dengan hadir di pesta resepsinya. Apalagi, Indah tidak bersikap formal sama sekali dan cenderung santai ketika bicara dengan April.
“Dan kenapa kamu bisa ada di resepsi ini?” April mengangguk ramah pada lawan bicara sebelumnya. Memohon maaf karena hendak bicara dengan gadis yang membuatnya penasaran. “Bisa-bisanya ada tamu ilegal yang datang—”
“Tanya ke suamimu.” Indah tetap tidak menatap Wahyu, karena ingin melihat semua ekspresi wajah yang ditampilkan oleh April. “Kalau begitu, aku permisi.”
Tanpa senyum dan anggukan sopan, Indah berbalik pergi meninggalkan kedua mempelai tersebut. Setitik riak sudah ia taburkan di air yang tenang dan kini waktunya mencari sang tokoh utama, yakni Regan Kalingga.
“Kamu ada main gila dengan perempuan tadi?” tanya April harus tetap tenang, meskipun hatinya panas tidak karuan.
“Jaga bicaramu, Pril,” balas Wahyu tidak melepas tatapannya pada Indah, meskipun gadis itu sudah pergi menjauh. “Aku nggak akan seceroboh ini kalau mau main gila dengan perempuan itu.”
April berdecak. Mood-nya mendadak berantakan karena kedatangan seorang wanita yang membuatnya curiga, sekaligus penasaran. Bahkan, untuk pertemuan pertama sekaligus tamu di acara pernikahannya, Indah sangat bersikap tidak sopan. Belum lagi dengan tatapan Wahyu yang kini beralih pada gadis itu.
“Mungkin belum, tapi sepertinya kamu bakal main gila dengan dia,” cerocos April. “Sampai-sampai kamu ngasih undangan pernikahan kita ke dia.”
Wahyu menarik napas, saat melihat langkah Indah tertuju pada Regan. “Jangan asal bicara, kalau kamu nggak tahu apa-apa. Jadi, diamlah.”
~~~~~~~~~~
Indah duduk pada kursi kosong yang berada di meja bundar, di samping meja milik Regan. Tadinya, tekadnya sudah bulat untuk menghampiri pria itu dan menyapanya. Namun, ketika langkahnya semakin dekat, banyak pikiran buruk yang mendadak hinggap di kepala.
Bagaimana jika Regan melenyapkannya?
Indah tidak memiliki siapa pun di Jakarta dan tindakan yang sudah direncanakannya itu benar-benar gegabah. Masih ada beberapa informasi yang harus Indah dalami lagi, sehingga semua yang dilakukannya selama ini tidak berakhir sia-sia.
“Indah.”
Tiba-tiba saja, sesosok tubuh tegap menghalangi pandangannya ke arah Regan. Indah mendongak dan mendapati Sabda menatap selidik padanya.
“Malam, Mas,” sapa Indah formal dan tidak memberi senyum sama sekali.
“Aku sempat lihat kamu beberapa kali, tapi aku nggak tahu kamu itu Indah kalau bukan Wahyu yang ngasih tahu.”
Wahyu benar. Indah bukanlah sosok gadis polos yang ditemuinya di kantor setiap hari. Malam hari ini, Indah benar-benar terlihat berbeda dan luar biasa. Terlebih ketika gadis itu tidak memakai kacamatanya seperti sekarang.
Cantik. Sangat cantik.
“Itu terlalu berlebihan,” balas Indah kemudian berdiri sambil memegang tas pestanya dengan kedua tangan. “Saya duluan, per—”
“Ada yang janggal.” Sabda menghabiskan jarak. Menatap intens pada wajah cantik yang membuat sesuatu di dalam dirinya bergejolak. “Indah Kurnia ... nama itu cuma tercatat selama 15 tahun terakhir. Ikut kejar paket A di usia 13 dengan nilai yang memuaskan dan setelah itu bersekolah di SMP dan SMA Negeri di Surabaya Timur. Ke mana identitasmu sebelum itu, In?”
“Apa itu penting?” Indah berusaha mempertahankan ekspresi datarnya, walaupun debaran jantungnya kini mulai bertalu. Menyimpan dalam-dalam kegugupan yang ada, karena tatapan dan perkataan Sabda barusan.
Siapa yang menduga, pria itu sampai mencari tahu tentang jati diri Indah hingga sebanyak itu. Namun, untuk apa?”
“Semua urusan pribadi saya, nggak ada sangkut pautnya dengan mas Sabda.” Indah menatap pria itu tanpa gentar. “Begitu, kan?”
“Kamu bawahanku, jadi aku berhak tahu semuanya.”
“Oh ya?” Satu sudut bibir Indah tertarik samar. “Setelah tahu semuanya ... apa yang mau kamu lakukan, Mas?”
“Justru aku yang harusnya bertanya.”
Indah menoleh ke arah suara. Fokusnya yang tadi terpusat pada Sabda membuatnya tidak menyadari kehadiran Wahyu di sampingnya. Jangan-jangan, pria itu juga sudah mengetahui apa yang Sabda ketahui.
“Apa tujuanmu datang ke sini?” Wahyu menepuk pelan perut Sabda. Memberi kode agar pria itu menjauh dari Indah, karena posisi mereka begitu dekat. Entah mengapa, Wahyu tidak suka melihatnya. “Merusak kebahagiaan orang lain?”
Indah mengerjap pelan. Memandang dua pria yang berada di depannya secara bergantian. Sebenarnya, fokus Indah hanya pada keluarga Kalingga, tetapi mengapa kedua pria tersebut sampai bersikap seperti ini padanya.
“Jadi ... kamu bahagia?” Indah menatap tegas dan tajam. “Kam—”
“Wahyu, ke mana April? Kenapa kamu sendirian?”
Indah menoleh. Kakinya mendadak limbung ketika melihat sosok Regan yang begitu dekat. Saat tubuhnya hampir jatuh, satu tangan Sabda mengalung erat di pinggang Indah sehingga ia bisa tetap berdiri tegak.
“Kamu, siapa?” Regan menatap selidik pada Indah. Ia mengenal seluruh tamu undangan pada malam ini, tetapi tidak dengan gadis yang berada di samping Sabda.
Akan tetapi, gadis itu tampak familiar sehingga Regan tidak lepas melihatnya.
Indah menelan ludah melihat tatapan tajam Regan padanya. Namun, ia tidak boleh gentar karena ada banyak hal yang harus Indah perjelas terkait kejadian 15 tahun lalu.
“Ini Indah, Om." Sabda membawa tubuh Indah merapat padanya. "Dia ... pacarku."
“Saya ... Indah.”Tidak bisa berkelit, akhirnya Indah mengikuti sandiwara yang dilakukan Sabda. Dengan terpaksa dan tanpa persiapan, Indah mau tidak mau mengulurkan tangannya lebih dulu pada Regan untuk memperkenalkan diri. Berusaha keras menutupi kegugupannya, walaupun tangannya kini terasa beku tidak terkira. Mungkin, Regan bisa merasakan hal itu ketika menjabat tangan Indah.“Panggil saya Om Regan kalau begitu.” Kendati sempat terkejut dan curiga, Regan akhirnya menyambut uluran tangan Indah dengan hangat setelah tahu gadis itu adalah kekasih Sabda. “Akhirnya, bawa pacar juga kamu, Sab!”“Iya, Om!” Sabda semakin merapatkan tubuh Indah, ketika melihat tatapan datar Wahyu padanya. “Akhirnya.”“Buruan nyusul Wahyu!” Regan tersenyum ramah dan memberi anggukan kecil. Setelahnya, ia kembali beralih pada Wahyu dan bertanya mengenai putrinya. “Ke mana April, Yu?”Wahyu menarik panjang napasnya sambil menatap papa mertuanya. “Sama MUA-nya. Ada yang lepas di rambutnya, jadi ke belakang sebent
"Si-siapa kalian ..." suara Indah bergetar, matanya melirik panik pada kedua pria yang kini mengapitnya. Terlebih lagi, ketika pria yang berada di samping kanannya mengeluarkan pisau lipat dengan cepat, lalu menodong sopir di depannya.“Jalan dan diam!”“I-iya, Bang!” Sopir tidak mampu berkutik, karena sisi pisau sudah berada di lehernya. Meskipun mereka berada di tempat umum, tetapi ia tidak boleh gegabah. Salah sedikit, mungkin saja nyawanya yang menjadi taruhan. “Ka-kalian mau apa?” Indah mencoba menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.“Jauhi Wahyu Sadhana,” titah pria di sisi kiri Indah sambil mengeluarkan pisau lipat kecil. Ia menjalankan pisau itu perlahan di sepanjang sisi wajah Indah, membuatnya gemetar.Indah menahan napas, merasakan dinginnya logam di kulitnya. “Wa-Wahyu Sadhana ... Si-siapa yang—”“Diam!” desis pria yang sama seraya menekan ujung pisaunya di pipi Indah, hingga goresan kecil muncul dan darah tipis mulai merembes. “Ini peringatan pertama.”Indah men
“Kamu nyuruh orang ngancam Indah.” Wahyu bukan bertanya, melainkan memberi pernyataan sambil memasukkan ponsel ke saku celana. Mengingat kembali, saat April berpamitan pergi ketika resepsi berlangsung, dengan alasan membenarkan tatanan rambutnya.Sebenarnya, Wahyu tidak terkejut dengan hal seperti ini, karena pernah mengalami hal yang sama dahulu kala. April memang seposesif itu dan tidak ingin semua yang jadi miliknya diganggu atau disentuh orang lain.“Ah! Aku benar, kan!” April menghabiskan jarak. “Perempuan yang diaku-aku pacar sama Sabda, ternyata juga mainanmu. Jadi, kalian sharing atau gimana?”“Suamimu pengacara, tapi kamu dengan entengnya melanggar hukum?” Wahyu menarik napas panjang, berusaha menahan emosinya dan mengabaikan ucapan April.“Kamu punya bukti?” April bersedekap, tersenyum angkuh. “Andaipun ada bukti, apa kamu mau menuntut istri SAHmu, demi mainanmu itu?”“Kamu pikir aku takut?” Wahyu menunjuk bahu April dan memberi dorongan kecil. “Ini terakhir kalinya, Pril! J
Wahyu meninggalkan April di malam pertama mereka?Sabda bergeming memikirkan hal tersebut. Memiringkan sedikit kepalanya dan bertolak pinggang setelah mengakhiri panggilan April secara sepihak. Malam memang telah sangat larut, tetapi pikiran Sabda belum bisa terpejam sejak tadi.Karena siapa lagi, kalau bukan karena memikirkan Indah. Gadis biasa, yang mulai menarik perhatian Sabda sejak permainan catur malam itu.Di kantor, Indah bukanlah sosok wanita yang mencolok. Tidak banyak protes, maupun mencari perhatian seperti kebanyakan pekerja di kantor. Kinerjanya cenderung lambat, tetapi untuk hasil akhir, Sabda bisa memberi acungan jempol. Hampir sempurna.Karena itulah, malam itu Sabda ingin mentraktir Indah untuk membicarakan kekurangan gadis itu secara santai. Sebuah kebiasaan Sabda, yang sudah sejak dulu ia lakukan pada karyawan yang berada di bawah kepemimpinannya.Namun, sikap tidak terduga Indah malam itu mengubah semua sudut pandang Sabda. Indah bukanlah gadis biasa yang bisa dian
“April sialan,” maki Sabda tetapi tanpa emosi dan terdengar santai, setelah mendengar cerita singkat dari Indah. Gadis itu bercerita dengan malas, sambil menyantap mi instannya seorang diri tanpa menawari Sabda.“Aku sudah cerita.” Indah meletakkan cup mi instan yang baru saja habis tidak bersisa, di meja belajar. “Jadi, Mas Sabda sudah bisa pulang.”“Kamu nggak takut tinggal sendirian di sini?” tanya Sabda masih duduk di tepi kasur. “Mereka bilang masih ngawasin kamu dan Wahyu baru dari sini.”Indah menggeleng. Meskipun takut, tetapi ia tidak akan menunjukkan hal tersebut pada siapa pun. “Pak Wahyu bilang, dia juga sudah nyuruh orang buat ngawasin aku. Tapi nggak tahu.” Indah mengendik. Menekuk kedua kakinya ke atas, lalu memeluknya. “Beneran apa, nggak.”“Gimana kalau nggak?” Sabda sengaja membuat Indah bimbang. Walaupun ia tahu benar, Wahyu tidak pernah main-main dengan ucapannya. Jika pria itu mengatakan sudah menyuruh orang mengawasi Indah, itu artinya gadis itu benar-benar dalam
“Ada maunya, baru pulang ke rumah.” Budiman menyindir putranya yang baru duduk di meja makan dan mengambil piring tanpa basa-basi.“Buah jatuh nggak jauh dari pohonnya.” Syifa balas menyindir sang suami, yang juga pernah bersikap seperti Sabda dahulu kala. “Aku minta saham Warta.” Sabda mengambil nasi dan lauk yang sudah tersedia di meja.Belum sempat membalas ucapan istrinya, Budiman langsung diserang oleh Sabda. Namun, Budiman tidak serta merta membahas permasalahan saham, karena ada yang ingin ia tanyakan lebih dulu.“Kamu pacaran sama Indah?” tanya Budiman memastikan, karena Syifa sempat bertemu gadis itu tadi malam dan tidak dengan dirinya. “Indah yang anak baru itu? Yang main catur dengan Wahyu.”“Hm.” Sabda mulai menyantap sarapannya. Ia tidak bisa mengelak, karena sandiwara tersebut sudah terlanjur terlontar dari mulutnya tadi malam. “Kenapa? Papa nggak setuju aku pacaran sama karyawan?”“Nggak ada masalah,” balas Budiman melirik pada istrinya. “Tapi, kalau bisa nggak usah lam
“Pagi, Mas,” sapa Indah lebih dulu, ketika melihat Sabda memasuki dapur. Pria itu berjalan mendekat, sambil mengusap rambut basahnya dengan handuk kecil. Terlihat sangat santai, karena hanya memakai kaos dan celana pendek.“Pagi,” balas Sabda melihat sepiring nasi goreng sosis di kitchen island dan ransel Indah di stool bar. Selain itu, Indah juga sudah terlihat rapi, dengan kacamata yang menghiasi wajah seperti biasa.“Ini, sarapan buat Mas Sabda.” Indah menggeser piring ke sisi pria itu. Wangi sabun yang menguar dari tubuh Sabda, sangat mengusik konsentrasinya. “Aku sudah sarapan barusan.”“Jangan menghindar karena masalah tadi malam,” pinta Sabda sedikit merasa kecewa, karena Indah tidak menunggunya untuk sarapan pagi ini. “Kamu sendiri yang minta waktu untuk berpikir selama satu minggu. Jadi, harusnya kamu nggak perlu seperti ini. Kita bisa makan bareng dan aku nggak akan tanya apa pun, sampai satu minggu ke depan.”“Bukan menghindar.” Indah mencoba meluruskan, sambil membenarkan l
Sabda tersenyum puas melihat kepergian Indah. Mendengar ucapan gadis itu barusan, jelas satu kemenangan sudah berada di tangan Sabda. Wahyu pasti kesal tidak terkira, karena Indah sudah menolaknya mentah-mentah di hadapan Sabda.“Apa harus aku perjelas omongan Indah barusan?” Sabda berdiri tepat di hadapan Wahyu. “Dia menolak pindah ke apartemenmu dan memilih tetap tinggal bersamaku. Jadi, sudah sadar sekarang?”Wahyu menatap datar. Menenggelamkan satu tangan di saku celana lalu beranjak menuju jendela kaca. Apa pun itu, ia tidak bisa menunjukkan kekesalannya yang teramat sangat pada Sabda.Ternyata, Indah bukan wanita kebanyakan yang sering ditemuinya. Gadis itu tidak terbaca dan mampu membalikkan keadaan dengan telak. Penuh perhitungan dalam melangkah, serta tahu kapan harus bertahan dan kapan harus menyerang.“Yang jadi permasalahannya sekarang bukan itu.” Wahyu berbalik setelah melihat sekilas pemandangan di luar sana. “Kamu tahu apa yang dia minta sebelumnya?” Wahyu tersenyum tipi
“Pagi Papa Wahyu,” sapa Anggun ketika melihat pria itu membuka mata. “Gimana tidurnya? Nyenyak?” tanyanya dengan nada meledek.Wahyu hanya membuka mata. Melihat Anggun yang tampak sudah segar dan baru saja duduk di depan meja rias. Ia masih mengumpulkan kesadaran dan tidak bergerak karena kedua kaki Putra melintang di dadanya.Tidak hanya itu, Wahyu bahkan beberapa kali merasakan tendangan dari kaki mungil itu ketika tidur tadi malam. Putranya itu, ternyata tidak bisa tidur dengan anteng dan terus bergerak ke mana-mana.Jadi, bagaimana bisa Wahyu tidur nyenyak tadi malam, jika wajah, dada, perut, dan bagian tubuh lain kerap mendapatkan tendangan dengan tiba-tiba.“Apa dia selalu mutar-mutar begini kalau tidur?” tanya Wahyu dengan suara berat.“Sudah ngerasain tendangan Putra belum.” Anggun terkekeh sembari memakai pelembabnya. “Pasti sudah, kan?”Wahyu ikut terkekeh. Menyingkirkan kedua kaki mungil itu dengan perlahan, lalu meregangkan tubuh dan menatap langit-langit kamar Anggun.“Har
“Mas! Kamu itu nggak ada kerjaan apa?” desis Anggun melotot pada Wahyu yang selalu mengekorinya sejak tadi.“Nggak ada,” jawab Wahyu cuek dan terus berada di sisi Anggun yang sedang membuka lemari pendingin.Ia memang sengaja mengikuti sang istri sejak tadi, karena masih saja kesal dengan ulah Anggun yang menutup pintu pintu kamar dan mengunci Wahyu dari dalam.“Apa kamu lupa kalau aku lagi cuti, jadi memang nggak ada kerjaan,” lanjut Wahyu menambahkan. “Maunya ngerjain kamu. Apalagi Putra lagi sama oma opanya. Sepertinya, mereka memang ngasih kita waktu buat berdua.”Setelah meletakkan kantung ASI-nya di freezer dan menutup pintunya, Anggun bersedekap. “Apa kamu lupa, aku juga lagi ‘cuti’?” ucap Anggun mengingatkan perkataannya siang tadi. “Jadi—”“Banyak jalan menuju Roma,” putus Wahyu tetap tenang. “Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Setiap ada masalah, pasti ada solusinya. Masa’ yang begitu aja nggak tahu. Apa perlu aku ajari? Kalau perlu bilang, karena aku bisa jadi gu
Sah.Akhirnya, penantian Wahyu selama ini berbuah manis. Setelah melewati berbagai rintangan terutama ketidakpastian, akhirnya hari ini datang juga. Hari dimana ia mengucapkan ikrar suci pernikahan, dengan wanita yang selama ini telah menjadi ratu di hatinya.“Sekarang, manggilnya juga harus mama sama papa,” ucap Desty ketika mereka sudah berada di parkiran Lembaga Pemasyarakatan. “Nggak usah sungkan. Kalau Wahyu macam-macam, kamu tinggal adukan sama Mama.”“Makasih, Ma.” Anggun mengangguk. Merasa sedikit aneh, karena panggilannya pada Desty harus berubah.“Sekali lagi selamat, ya,” ujar Darwin menepuk bahu Anggun dua kali. “Semoga Wahyu nggak bikin ulah lagi. Dan tolong sabar ngadapin dia yang suka seenaknya. Tapi kalau dia sampai kelewatan, langsung telpon Papa.”“Iya, Pa.” Anggun kembali mengangguk. “Makasih juga.”“Kami balik duluan, ya,” pamit Desty sembari memeluk Anggun dengan singkat, pun dengan Wahyu. “Jaga Anggun dan nggak usah lagi macam-macam.”“Memangnya kapan aku pernah
“Mau apa kamu ke sini?” Regan hanya bisa diam di kursi roda. Menatap mantan menantu yang tiba-tiba datang menjenguknya di penjara. “Kita sudah nggak punya urusan lagi.”Wahyu bersandar pada kursi besi lalu menyilang kaki. Mereka tidak bertemu di tempat para pengunjung biasa bertemu, karena itu ia bisa dengan bebas menatap dan menelisik penampilan Regan yang sangat jauh berbeda.Tubuh Regan tampak semakin kurus dengan cekungan mata hitam yang semakin membuat raganya terlihat renta. Rambut putih yang sudah menghiasi kepala, semakin menegaskan tanda-tanda penuaan yang tidak lagi bisa disembunyikan.Semua sudah berubah. Tidak ada lagi Regan yang selalu tampil rapi dan bugar di setiap kesempatan. Semua telah musnah, termakan usia dan karma yang didapat di dalam penjara.“Aku mau menikah dengan Anggun,” jawab Wahyu tidak mau berputar-putar. “Dan aku butuh pak Regan untuk jadi walinya,” ucapnya berusaha menjaga kesopanan di depan Regan.Regan menghela pelan dan memejam sejenak. “Apa kamu ngg
“Lamaran apa ini!” Anggun melihat cincin yang tersemat di jari manisnya dengan mencebik. Mengingat kembali, momen tidak terduga yang terjadi sore tadi. Yakni ketika Wahyu melamarnya di sela-sela ulang tahun Putra yang terjeda. “Ck! Ada orang ngelamar mode maksa begitu.”“Ada,” jawab Wahyu santai, sekaligus lega karena sudah menyematkan sebuah cincin di jari wanita itu.Mungkin caranya tidak biasa dan jauh dari kata romantis. Namun, hal itu akan menjadi momen yang tidak akan terlupakan dalam perjalanan mereka di masa depan nanti.“Ah!” Anggun masih saja kesal karena lamaran Wahyu sungguh berada di luar ekspektasinya. Meskipun begitu, ia tetap menerima lamaran tersebut karena tidak bisa memungkiri rasa nyaman yang ada ketika berada bersama Wahyu.Entah apa itu cinta dan bagaimana cara menjelaskannya. Yang Anggun tahu hanyalah, ada perasaan hangat yang tidak biasa jika pria itu ada bersamanya. Terlebih ketika melihat interaksi Wahyu dengan Putra. Semua itu mampu meruntuhkan kebekuan yang
Sebenarnya, sejak kepindahannya ke Bali, Anggun sudah dua kali pergi ke Jakarta bersama Syifa dan Budiman. Mereka bergantian mengunjungi makam Sabda, lalu kembali lagi ke Bali.Namun, kali ini berbeda. Seluruh keluarga besar pergi ke Jakarta karena Budiman dan Darwin akan menghadiri rapat pemegang saham di Warta. Satu-satunya perusahaan keluarga yang tersisa dan Budiman masih menjadi pemegang saham mayoritas di sana.“Harusnya Ken juga disuruh ke Jakarta,” ujar Anggun sembari menempelkan balon-balon yang sudah diberi double-tape ke dinding. Ia sedang membuat dekorasi sederhana, di salah satu dinding ruang keluarga untuk merayakan hari ulang tahun Putra yang pertama.“Dia lagi sibuk ngurusin resor,” ucap Wahyu yang hanya berbaring di karpet menemani Putra bermain dengan balon-balon kecil yang baru ditiupnya. “Memangnya kenapa Ken disuruh ke Jakarta juga?” tanya Desty yang juga ikut sibuk menempel bendera kertas berbentuk segitiga warna warni di dinding.“Anggun dari dulu mau jodohin
“Masih panas?” tanya Wahyu ketika Anggun baru saja membuka pintu kamar. Belum sempat Anggun menjawab, ia langsung merangsek masuk dan mendapati Putra masih terlelap di tempat tidur. “Rewel nggak?”“Nggak terlalu.” Anggun berbalik dan berjalan lesu menuju tempat tidurnya. “Titip bentar, ya, Mas. Aku mau mandi.”“Mandilah dulu.” Melihat Putra masih anteng di tempatnya, Wahyu mematikan pendingin ruangan dan beralih menuju jendela. Menarik tirainya, lalu membuka daun jendela lebar-lebar. Membiarkan udara pagi nan segar masuk ke dalam kamar.Sembari menunggu Anggun, Wahyu duduk bersandar pada bingkai jendela, menekuk satu kakinya. Menikmati embusan udara pagi dengan senyum lebar yang tersemat bahagia. Hati Anggun yang selama ini membatu, akhirnya menunjukkan retakan-retakan kecil yang memberi harapan. Wahyu tahu, semua itu bukanlah proses yang mudah. Namun, ini adalah sebuah langkah kecil yang membawa mereka lebih dekat pada kebahagiaan yang baru.“Udah gila, Mas?” tanya Anggun sembari kel
“Mama, bisa bicara sebentar,” pinta Anggun mendatangi Syifa yang berada di kamar, ketika keluarga Sadhana sudah kembali ke rumahnya. Hanya Wahyu yang menetap dan akan menginap, karena ingin memantau perkembangan Putra.“Masuk sini,” ucap Syifa pada Anggun yang berdiri di bibir pintu. Ia tahu, Anggun pasti sedang mengalami kegundahan, akibat pertemuan keluarga yang terjadi beberapa waktu lalu. “Putra sama Wahyu?”“Iya.” Anggun mengangguk sembari melangkah masuk. Ia duduk pada sofa panjang yang baru ditunjuk Syifa. Sementara, wanita itu sedang duduk di depan meja rias dan melakukan ritual malamnya sebelum tidur. “Mereka di kamar.”“Sebentar, ya.” Syifa buru-buru meratakan pelembab di wajahnya dengan gerakan cepat, lalu beranjak menghampiri Anggun. Setelah duduk di samping sang menantu, barulah Syifa mempersilakan Anggun bicara lebih dulu dengan lembut. “Silakan, kamu pasti mau bicara masalah pertemuan tadi, kan?”Lagi-lagi Anggun mengangguk. Tanpa mau membuang waktu, ia lantas mengeluar
“Tante, ini nggak seperti—”“Kami lagi bicara.” Wahyu menyela tanpa melepas pelukannya. “Mama mau ngapain?”“Mau jenguk Putra.” Desty mengangguk-angguk, tidak terpengaruh sedikit pun dengan apa yang disaksikannya di depan mata. Baginya, hal seperti itu sudah sangat umum terlihat dalam pergaulan saat ini. Bahkan, hubungan Wahyu dengan April dahulu kala hanya bisa membuat Desty geleng-geleng kepala.Lantas, Desty beralih melihat pintu kamar Anggun yang terbuka dan menunjuknya. “Katanya demam, ya? Tante boleh masuk, kan?”“Boleh,” jawab Wahyu lalu melepas kedua tangannya. Namun, Wahyu dengan segera meraih pergelangan tangan Anggun agar wanita itu tidak pergi darinya. “Masuk aja, Ma. Putra baru aja tidur.”“Oke ...” Desty melangkah melewati kedua orang yang masih berdiri di tempatnya. “Nanti kita bicarakan masalah barusan. Langsung dengan keluarga besar, karena mama juga sudah tahu apa yang terjadi tadi pagi. Jadi, silakan lanjutkan bicaranya.”“Maaas!” Anggun mendesis. Merapatkan geligin