“Saya ... Indah.”
Tidak bisa berkelit, akhirnya Indah mengikuti sandiwara yang dilakukan Sabda. Dengan terpaksa dan tanpa persiapan, Indah mau tidak mau mengulurkan tangannya lebih dulu pada Regan untuk memperkenalkan diri. Berusaha keras menutupi kegugupannya, walaupun tangannya kini terasa beku tidak terkira. Mungkin, Regan bisa merasakan hal itu ketika menjabat tangan Indah.
“Panggil saya Om Regan kalau begitu.” Kendati sempat terkejut dan curiga, Regan akhirnya menyambut uluran tangan Indah dengan hangat setelah tahu gadis itu adalah kekasih Sabda. “Akhirnya, bawa pacar juga kamu, Sab!”
“Iya, Om!” Sabda semakin merapatkan tubuh Indah, ketika melihat tatapan datar Wahyu padanya. “Akhirnya.”
“Buruan nyusul Wahyu!” Regan tersenyum ramah dan memberi anggukan kecil. Setelahnya, ia kembali beralih pada Wahyu dan bertanya mengenai putrinya. “Ke mana April, Yu?”
Wahyu menarik panjang napasnya sambil menatap papa mertuanya. “Sama MUA-nya. Ada yang lepas di rambutnya, jadi ke belakang sebentar. Aku nggak ngerti.”
“Oh, oke!” Regan mengusap kedua telapak tangannya sebentar, sambil memandang Indah dan Sabda bergantian. “Enjoy the party. Om tinggal dulu.”
Wahyu mengangguk singkat pada Regan, kemudian kembali melihat Sabda. “Sandiwaranya sudah selesai,” ujarnya sembari menunjuk tangan Sabda yang masih mengalung erat di pinggang Indah. “Lepas.”
Sebelum Sabda melonggarkan jemarinya, Indah lebih dulu menyingkirkan tangan pria itu. Menjaga jarak, untuk mencari ketenangan yang sempat hilang dari dirinya.
“Harusnya, yang tadi itu nggak perlu terjadi,” ucap Indah lalu menarik napas panjang dengan perlahan. Ada sedikit rasa lega, walaupun setelah ini ia harus lebih waspada. “Tapi, terima kasih banyak.”
“Cuma terima kasih?” tanya Sabda tidak bisa melepas tatapannya dari sosok Indah.
“Memangnya apa yang kamu harapkan?” sahut Wahyu bersedekap. “Indah nggak minta pertolongan kamu.”
“Lebih baik kamu urus istrimu.” Sabda menunjuk ke arah April yang sepertinya baru kembali. “Karena Indah, bukan urusanmu.”
“Dan bukan urusanmu juga,” balas Wahyu cepat.
“Aku pergi dan sekali lagi, terima kasih.” Indah juga menyela cepat, karena tidak ingin berada di dalam gedung tersebut terlalu lama. Ada hal yang harus Indah pikir ulang, terkait rencananya yang tidak berjalan mulus.
Wahyu menghalangi tubuh Indah yang baru saja berputar dan hendak melangkah. “Aku belum tahu apa niatmu, tapi, berhenti sampai di sini.”
Indah menatap tegas, walaupun kekhawatiran itu sejak tadi selalu menyelimuti tekadnya. “Memangnya, apa yang harus aku hentikan?”
“Urus, urusanmu sendiri, Yu!” Sabda meraih pergelangan tangan Indah, lalu menariknya menjauh dari Wahyu yang baru membuka mulut. “Wahyu betul. Apa pun yang kamu rencanakan, berhenti di sini.”
Indah berhenti melangkah dan menarik cepat tangannya dari genggaman Sabda, setelah menjauh dari Wahyu. “Dan kita, berhenti sampai di sini.”
“Kamu yang harusnya berhen—”
“Sabdaaa ...”
Sabda mendesis detik itu juga, saat mendengar suara mamanya memanggil. Memasang senyum dan menoleh ke arah asal suara yang sosoknya ternyata sudah di depan mata. Wanita itu memandang Indah dengan sorot penasaran, juga bahagia.
“Kata om Regan, kamu bawa pacar ke sini?”
Sabda mengangguk, seraya menarik pelan lengan Indah. Ia tidak akan mengelak, karena sudah memulai semuanya. “Mama, ini Indah,” ujarnya memperkenalkan gadis yang mendadak terlihat bingung pada sang mama, Syifa. “Indah, ini mamaku.”
“Kenapa nggak dari tadi dikenalin.” Syifa melirik kesal pada Sabda, kemudian tersenyum pada Indah. Lebih dulu meraih tangan kanan Indah, lalu menggenggam dan menepuk pelan. “Besok, main ke rumah. Biar Tante suruh Sabda jemput kamu sebelum makan siang, oke, ya!”
“Maaf, Tante.” Kenapa banyak sekali kejutan yang didapat Indah malam ini. Semua rencana yang disusunnya buyar, berganti dengan hal-hal yang berada di luar bayangannya. “Besok saya kerja, jadi nggak bisa datang ke rumah.”
“Besok ... minggu, kan?” Syifa menatap sebentar pada putranya, lalu kembali pada Indah. “Kamu kerja ... di?”
“Warta.”
“Ahh ... sebagai?”
“Reporter,” jawab Indah belum bisa menarik tangannya dari genggaman Syifa. “Reporter magang, Tan. Saya karyawan baru.”
“Anak baru.” Syifa mengangguk-angguk dan mulai sedikit paham. Jika status Indah masih karyawan baru, itu artinya Sabda baru saja menjalin hubungan dengan gadis tersebut. Setelah ini, Syifa akan bicara dengan suaminya lebih dulu. “Kapan libur?”
“Saaab ... tu, depan.”
“Kalau gitu sabtu depan ke rumah Tante, oke!” Syifa menepuk pelan punggung tangan Indah sebelum melepaskannya. Sebenarnya, Syifa ingin berbicara lebih banyak agar bisa mengenal Indah lebih dekat. Namun, momen pertemuan mereka saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk itu. “Selamat bersenang-senang! Tante pergi dulu.”
“Makasih, Tante.” Indah tersenyum dan mengangguk untuk melepas kepergian Syifa. Setelah itu, tatapannya sempat bersirobok dengan Wahyu yang kembali menggandeng April. Namun, Indah segera membuang wajah untuk melihat Sabda, karena tatapan Wahyu sungguh membuatnya tidak nyaman. Indah merasakan sesuatu yang aneh, tetapi ia tidak bisa menjelaskan hal tersebut. “Bilang ke mamamu, aku nggak bisa datang sabtu nanti. Dan tolong, jangan lagi bikin sandiwara seperti tadi, karena aku nggak suka. Aku pulang dulu, dan terima kasih buat semuanya.”
~~~~~~~~~~~~~
Indah tidak tahu bagaimana harus menggambarkan perasaannya setelah bertemu April dan Regan di dalam sana. Banyak hal yang tidak terucap dan semua itu membuat hatinya semakin kacau. Rasa sakit yang dirasakannya semakin mendalam karena kehidupan keluarga Kalingga ternyata baik-baik saja. Seharusnya, dialah yang berada di dalam sana. Atau, jika semuanya berjalan dengan baik, mungkin Indahlah yang saat ini mengenakan gaun pengantin mewah dan menjalani pernikahan impiannya.
Namun, kenyataan tidak seperti yang dia bayangkan. Saat ini, dia menjalani hidup dalam kesendirian dan harus berjuang keras di luar sana untuk bertahan hidup.
“Halo.” Lamunan Indah terpecah ketika ponsel yang ia genggam bergetar dan segera menerima panggilan tersebut. “Oh, iya, iya. Sudah lihat.”
Indah mengakhiri panggilan tersebut, saat melihat taksi yang dipesannya berjalan pelan menuju area drop-off lobby. Sembari berjalan menghampiri, ia memasukkan ponsel ke dalam tas pesta. Membuka pintu mobil penumpang bagian belakang, lalu masuk dan duduk dengan helaan lega.
Saat Indah baru saja membuka mulut untuk menyapa sopir, pintu mobil di kiri dan kanannya mendadak terbuka. Dalam sekejap, dua orang sudah duduk di sampingnya, mengapitn rapat.
“Si-siapa kalian ...
"Si-siapa kalian ..." suara Indah bergetar, matanya melirik panik pada kedua pria yang kini mengapitnya. Terlebih lagi, ketika pria yang berada di samping kanannya mengeluarkan pisau lipat dengan cepat, lalu menodong sopir di depannya.“Jalan dan diam!”“I-iya, Bang!” Sopir tidak mampu berkutik, karena sisi pisau sudah berada di lehernya. Meskipun mereka berada di tempat umum, tetapi ia tidak boleh gegabah. Salah sedikit, mungkin saja nyawanya yang menjadi taruhan. “Ka-kalian mau apa?” Indah mencoba menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.“Jauhi Wahyu Sadhana,” titah pria di sisi kiri Indah sambil mengeluarkan pisau lipat kecil. Ia menjalankan pisau itu perlahan di sepanjang sisi wajah Indah, membuatnya gemetar.Indah menahan napas, merasakan dinginnya logam di kulitnya. “Wa-Wahyu Sadhana ... Si-siapa yang—”“Diam!” desis pria yang sama seraya menekan ujung pisaunya di pipi Indah, hingga goresan kecil muncul dan darah tipis mulai merembes. “Ini peringatan pertama.”Indah men
“Kamu nyuruh orang ngancam Indah.” Wahyu bukan bertanya, melainkan memberi pernyataan sambil memasukkan ponsel ke saku celana. Mengingat kembali, saat April berpamitan pergi ketika resepsi berlangsung, dengan alasan membenarkan tatanan rambutnya.Sebenarnya, Wahyu tidak terkejut dengan hal seperti ini, karena pernah mengalami hal yang sama dahulu kala. April memang seposesif itu dan tidak ingin semua yang jadi miliknya diganggu atau disentuh orang lain.“Ah! Aku benar, kan!” April menghabiskan jarak. “Perempuan yang diaku-aku pacar sama Sabda, ternyata juga mainanmu. Jadi, kalian sharing atau gimana?”“Suamimu pengacara, tapi kamu dengan entengnya melanggar hukum?” Wahyu menarik napas panjang, berusaha menahan emosinya dan mengabaikan ucapan April.“Kamu punya bukti?” April bersedekap, tersenyum angkuh. “Andaipun ada bukti, apa kamu mau menuntut istri SAHmu, demi mainanmu itu?”“Kamu pikir aku takut?” Wahyu menunjuk bahu April dan memberi dorongan kecil. “Ini terakhir kalinya, Pril! J
Wahyu meninggalkan April di malam pertama mereka?Sabda bergeming memikirkan hal tersebut. Memiringkan sedikit kepalanya dan bertolak pinggang setelah mengakhiri panggilan April secara sepihak. Malam memang telah sangat larut, tetapi pikiran Sabda belum bisa terpejam sejak tadi.Karena siapa lagi, kalau bukan karena memikirkan Indah. Gadis biasa, yang mulai menarik perhatian Sabda sejak permainan catur malam itu.Di kantor, Indah bukanlah sosok wanita yang mencolok. Tidak banyak protes, maupun mencari perhatian seperti kebanyakan pekerja di kantor. Kinerjanya cenderung lambat, tetapi untuk hasil akhir, Sabda bisa memberi acungan jempol. Hampir sempurna.Karena itulah, malam itu Sabda ingin mentraktir Indah untuk membicarakan kekurangan gadis itu secara santai. Sebuah kebiasaan Sabda, yang sudah sejak dulu ia lakukan pada karyawan yang berada di bawah kepemimpinannya.Namun, sikap tidak terduga Indah malam itu mengubah semua sudut pandang Sabda. Indah bukanlah gadis biasa yang bisa dian
“April sialan,” maki Sabda tetapi tanpa emosi dan terdengar santai, setelah mendengar cerita singkat dari Indah. Gadis itu bercerita dengan malas, sambil menyantap mi instannya seorang diri tanpa menawari Sabda.“Aku sudah cerita.” Indah meletakkan cup mi instan yang baru saja habis tidak bersisa, di meja belajar. “Jadi, Mas Sabda sudah bisa pulang.”“Kamu nggak takut tinggal sendirian di sini?” tanya Sabda masih duduk di tepi kasur. “Mereka bilang masih ngawasin kamu dan Wahyu baru dari sini.”Indah menggeleng. Meskipun takut, tetapi ia tidak akan menunjukkan hal tersebut pada siapa pun. “Pak Wahyu bilang, dia juga sudah nyuruh orang buat ngawasin aku. Tapi nggak tahu.” Indah mengendik. Menekuk kedua kakinya ke atas, lalu memeluknya. “Beneran apa, nggak.”“Gimana kalau nggak?” Sabda sengaja membuat Indah bimbang. Walaupun ia tahu benar, Wahyu tidak pernah main-main dengan ucapannya. Jika pria itu mengatakan sudah menyuruh orang mengawasi Indah, itu artinya gadis itu benar-benar dalam
“Ada maunya, baru pulang ke rumah.” Budiman menyindir putranya yang baru duduk di meja makan dan mengambil piring tanpa basa-basi.“Buah jatuh nggak jauh dari pohonnya.” Syifa balas menyindir sang suami, yang juga pernah bersikap seperti Sabda dahulu kala. “Aku minta saham Warta.” Sabda mengambil nasi dan lauk yang sudah tersedia di meja.Belum sempat membalas ucapan istrinya, Budiman langsung diserang oleh Sabda. Namun, Budiman tidak serta merta membahas permasalahan saham, karena ada yang ingin ia tanyakan lebih dulu.“Kamu pacaran sama Indah?” tanya Budiman memastikan, karena Syifa sempat bertemu gadis itu tadi malam dan tidak dengan dirinya. “Indah yang anak baru itu? Yang main catur dengan Wahyu.”“Hm.” Sabda mulai menyantap sarapannya. Ia tidak bisa mengelak, karena sandiwara tersebut sudah terlanjur terlontar dari mulutnya tadi malam. “Kenapa? Papa nggak setuju aku pacaran sama karyawan?”“Nggak ada masalah,” balas Budiman melirik pada istrinya. “Tapi, kalau bisa nggak usah lam
“Pagi, Mas,” sapa Indah lebih dulu, ketika melihat Sabda memasuki dapur. Pria itu berjalan mendekat, sambil mengusap rambut basahnya dengan handuk kecil. Terlihat sangat santai, karena hanya memakai kaos dan celana pendek.“Pagi,” balas Sabda melihat sepiring nasi goreng sosis di kitchen island dan ransel Indah di stool bar. Selain itu, Indah juga sudah terlihat rapi, dengan kacamata yang menghiasi wajah seperti biasa.“Ini, sarapan buat Mas Sabda.” Indah menggeser piring ke sisi pria itu. Wangi sabun yang menguar dari tubuh Sabda, sangat mengusik konsentrasinya. “Aku sudah sarapan barusan.”“Jangan menghindar karena masalah tadi malam,” pinta Sabda sedikit merasa kecewa, karena Indah tidak menunggunya untuk sarapan pagi ini. “Kamu sendiri yang minta waktu untuk berpikir selama satu minggu. Jadi, harusnya kamu nggak perlu seperti ini. Kita bisa makan bareng dan aku nggak akan tanya apa pun, sampai satu minggu ke depan.”“Bukan menghindar.” Indah mencoba meluruskan, sambil membenarkan l
Sabda tersenyum puas melihat kepergian Indah. Mendengar ucapan gadis itu barusan, jelas satu kemenangan sudah berada di tangan Sabda. Wahyu pasti kesal tidak terkira, karena Indah sudah menolaknya mentah-mentah di hadapan Sabda.“Apa harus aku perjelas omongan Indah barusan?” Sabda berdiri tepat di hadapan Wahyu. “Dia menolak pindah ke apartemenmu dan memilih tetap tinggal bersamaku. Jadi, sudah sadar sekarang?”Wahyu menatap datar. Menenggelamkan satu tangan di saku celana lalu beranjak menuju jendela kaca. Apa pun itu, ia tidak bisa menunjukkan kekesalannya yang teramat sangat pada Sabda.Ternyata, Indah bukan wanita kebanyakan yang sering ditemuinya. Gadis itu tidak terbaca dan mampu membalikkan keadaan dengan telak. Penuh perhitungan dalam melangkah, serta tahu kapan harus bertahan dan kapan harus menyerang.“Yang jadi permasalahannya sekarang bukan itu.” Wahyu berbalik setelah melihat sekilas pemandangan di luar sana. “Kamu tahu apa yang dia minta sebelumnya?” Wahyu tersenyum tipi
“Pergi lagi?” April melempar protes, karena Wahyu selalu sibuk sendiri.Mereka baru saja menikah. Seharusnya masa-masa itu menjadi masa yang paling manis dan membahagiakan, bagi pasangan pengantin baru. Namun, April justru lebih banyak ditinggal pergi, karena sang suami sibuk mengurus sesuatu di luaran sana. “Aku mau ke rumah om Budiman.” Wahyu melepas ponselnya dari magsafe charger. Melihat notifikasi yang masuk dan membaca beberapa yang dianggapnya penting.“Aku ikut.” April menyingkap selimutnya dan segera berlari menuju kamar mandi. Namun, sebelum tubuh polosnya sampai ke tujuan, Wahyu tiba-tiba mencekal tangannya.“Aku ke sana bukan untuk ramah tamah,” ujar Wahyu sambil melepas tangan April. “Ada kerjaan yang harus—”“Aku bisa ketemu tante Syifa,” potong April menghabiskan jarak, lalu mengalungkan kedua tangan pada leher Wahyu. Menempelkan tubuh polosnya dan berharap sang suami membatalkan kepergiannya. “Dan kamu bisa bicara dengan om Budiman. Nggak usah pedulikan aku.”Wahyu m