“April sialan,” maki Sabda tetapi tanpa emosi dan terdengar santai, setelah mendengar cerita singkat dari Indah. Gadis itu bercerita dengan malas, sambil menyantap mi instannya seorang diri tanpa menawari Sabda.“Aku sudah cerita.” Indah meletakkan cup mi instan yang baru saja habis tidak bersisa, di meja belajar. “Jadi, Mas Sabda sudah bisa pulang.”“Kamu nggak takut tinggal sendirian di sini?” tanya Sabda masih duduk di tepi kasur. “Mereka bilang masih ngawasin kamu dan Wahyu baru dari sini.”Indah menggeleng. Meskipun takut, tetapi ia tidak akan menunjukkan hal tersebut pada siapa pun. “Pak Wahyu bilang, dia juga sudah nyuruh orang buat ngawasin aku. Tapi nggak tahu.” Indah mengendik. Menekuk kedua kakinya ke atas, lalu memeluknya. “Beneran apa, nggak.”“Gimana kalau nggak?” Sabda sengaja membuat Indah bimbang. Walaupun ia tahu benar, Wahyu tidak pernah main-main dengan ucapannya. Jika pria itu mengatakan sudah menyuruh orang mengawasi Indah, itu artinya gadis itu benar-benar dalam
“Ada maunya, baru pulang ke rumah.” Budiman menyindir putranya yang baru duduk di meja makan dan mengambil piring tanpa basa-basi.“Buah jatuh nggak jauh dari pohonnya.” Syifa balas menyindir sang suami, yang juga pernah bersikap seperti Sabda dahulu kala. “Aku minta saham Warta.” Sabda mengambil nasi dan lauk yang sudah tersedia di meja.Belum sempat membalas ucapan istrinya, Budiman langsung diserang oleh Sabda. Namun, Budiman tidak serta merta membahas permasalahan saham, karena ada yang ingin ia tanyakan lebih dulu.“Kamu pacaran sama Indah?” tanya Budiman memastikan, karena Syifa sempat bertemu gadis itu tadi malam dan tidak dengan dirinya. “Indah yang anak baru itu? Yang main catur dengan Wahyu.”“Hm.” Sabda mulai menyantap sarapannya. Ia tidak bisa mengelak, karena sandiwara tersebut sudah terlanjur terlontar dari mulutnya tadi malam. “Kenapa? Papa nggak setuju aku pacaran sama karyawan?”“Nggak ada masalah,” balas Budiman melirik pada istrinya. “Tapi, kalau bisa nggak usah lam
“Pagi, Mas,” sapa Indah lebih dulu, ketika melihat Sabda memasuki dapur. Pria itu berjalan mendekat, sambil mengusap rambut basahnya dengan handuk kecil. Terlihat sangat santai, karena hanya memakai kaos dan celana pendek.“Pagi,” balas Sabda melihat sepiring nasi goreng sosis di kitchen island dan ransel Indah di stool bar. Selain itu, Indah juga sudah terlihat rapi, dengan kacamata yang menghiasi wajah seperti biasa.“Ini, sarapan buat Mas Sabda.” Indah menggeser piring ke sisi pria itu. Wangi sabun yang menguar dari tubuh Sabda, sangat mengusik konsentrasinya. “Aku sudah sarapan barusan.”“Jangan menghindar karena masalah tadi malam,” pinta Sabda sedikit merasa kecewa, karena Indah tidak menunggunya untuk sarapan pagi ini. “Kamu sendiri yang minta waktu untuk berpikir selama satu minggu. Jadi, harusnya kamu nggak perlu seperti ini. Kita bisa makan bareng dan aku nggak akan tanya apa pun, sampai satu minggu ke depan.”“Bukan menghindar.” Indah mencoba meluruskan, sambil membenarkan l
Sabda tersenyum puas melihat kepergian Indah. Mendengar ucapan gadis itu barusan, jelas satu kemenangan sudah berada di tangan Sabda. Wahyu pasti kesal tidak terkira, karena Indah sudah menolaknya mentah-mentah di hadapan Sabda.“Apa harus aku perjelas omongan Indah barusan?” Sabda berdiri tepat di hadapan Wahyu. “Dia menolak pindah ke apartemenmu dan memilih tetap tinggal bersamaku. Jadi, sudah sadar sekarang?”Wahyu menatap datar. Menenggelamkan satu tangan di saku celana lalu beranjak menuju jendela kaca. Apa pun itu, ia tidak bisa menunjukkan kekesalannya yang teramat sangat pada Sabda.Ternyata, Indah bukan wanita kebanyakan yang sering ditemuinya. Gadis itu tidak terbaca dan mampu membalikkan keadaan dengan telak. Penuh perhitungan dalam melangkah, serta tahu kapan harus bertahan dan kapan harus menyerang.“Yang jadi permasalahannya sekarang bukan itu.” Wahyu berbalik setelah melihat sekilas pemandangan di luar sana. “Kamu tahu apa yang dia minta sebelumnya?” Wahyu tersenyum tipi
“Pergi lagi?” April melempar protes, karena Wahyu selalu sibuk sendiri.Mereka baru saja menikah. Seharusnya masa-masa itu menjadi masa yang paling manis dan membahagiakan, bagi pasangan pengantin baru. Namun, April justru lebih banyak ditinggal pergi, karena sang suami sibuk mengurus sesuatu di luaran sana. “Aku mau ke rumah om Budiman.” Wahyu melepas ponselnya dari magsafe charger. Melihat notifikasi yang masuk dan membaca beberapa yang dianggapnya penting.“Aku ikut.” April menyingkap selimutnya dan segera berlari menuju kamar mandi. Namun, sebelum tubuh polosnya sampai ke tujuan, Wahyu tiba-tiba mencekal tangannya.“Aku ke sana bukan untuk ramah tamah,” ujar Wahyu sambil melepas tangan April. “Ada kerjaan yang harus—”“Aku bisa ketemu tante Syifa,” potong April menghabiskan jarak, lalu mengalungkan kedua tangan pada leher Wahyu. Menempelkan tubuh polosnya dan berharap sang suami membatalkan kepergiannya. “Dan kamu bisa bicara dengan om Budiman. Nggak usah pedulikan aku.”Wahyu m
“Ini hotel.” Indah menatap sopir yang membawanya dari spion tengah. “Pak Wahyu minta ketemu dengan saya di hotel? Mas nggak salah?”Pria itu mengangguk. “Pak Wahyu ada di restoran di lantai tujuh. Ruang VVIP atas nama Kendrick.”Indah mengangguk. Membuka layar ponsel yang sejak tadi berada di genggaman, lalu mengetikkan nama hotel dan restoran tempat ia akan bertemu Wahyu, pada Sabda.Sejak Indah masuk ke dalam mobil, ia sudah meng-share lokasinya pada Sabda secara langsung. Jadi, kapan pun pria itu membaca pesannya, Sabda pasti tahu posisi Indah saat ini.Semua itu untuk berjaga-jaga, jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada Indah.“Makasih, Pak.” Indah keluar dari mobil dan segera menuju tempat tujuan. Masih bertanya-tanya, mengapa Sabda tidak membalas pesan yang Indah kirim, meskipun pria itu sudah membacanya.Pada akhirnya, pertanyaan tersebut terjawab sudah, ketika Indah baru memasuki ruang yang dimaksud. Di dalam sana, ternyata Sabda sudah duduk berhadapan dengan Wahyu dan
“Wahyu belum pulang?” tanya Sabda ketika melihat April menemuinya di ruang tamu. Wanita itu menggeleng malas, sembari menghempas tubuhnya di sudut sofa yang berjauhan dengan Sabda. “Padahal aku sudah ngabarin dia dari sore, kalau mau ke sini.”April berdecak. Menumpu pelipisnya dengan tangan dan siku yang yang bertumpu pada lengan sofa. “Nikah nggak nikah, sepertinya sama aja. Tahu gini, aku mana mau nikah sama dia.”“Aku nggak ikut-ikut.” Sabda kembali melihat ponselnya, lalu mengirim pesan pada Wahyu. “Kamu sudah pacaran bertahun-tahun sama dia, harusnya kamu sudah tahu wataknya Wahyu.”“Kami dijodohkan.”“Dijodoh-jodohkan,” ulang Sabda meluruskan ucapan April, karena tahu sejarah kedua mereka sehingga bisa menjalin hubungan sampai menikah. “Tapi karena kalian tertarik satu sama lain, ya, sekalian dijodohin.”“Bukan gitu, Sab.” April meralat. “Kami memang sudah dijodohin dari lama, karena sama-sama anak tunggal. Kalingga, Sadhana. Nggak tahulah! Aku malas bahasnya.”Alis Sabda sediki
Kali ini, Indah benar-benar terjebak. Tidak bisa mengelak dan terpaksa pergi bersama Sabda ke kediaman Wisesa. Duduk tertunduk di ruang keluarga, menahan rasa malu yang tidak terkira.Kenapa juga harus ada teman Syifa yang melihat dan melaporkan kegiatan mereka di supermarket pagi ini? Terlebih, ada “bumbu-bumbu” yang ikut disertakan, sehingga Syifa semakin berpikir yang tidak-tidak.“Coba lihat ini.” Syifa menyodorkan ponselnya pada Sabda. “Itu foto-foto kalian berdua, kan? Bajunya sama. Sama seperti yang kalian pake sekarang. Tante Lida nelpon sekitar jam tujuh dan rambut Indah masih basah.”Indah mengangkat wajah. Terdiam menatap layar ponsel yang digenggam Sabda, lalu melihat foto dirinya di sana. Rambut Indah memang masih terlihat basah dan hal tersebut pasti membuat Syifa berpikir macam-macam.“Kira-kira, apa yang Mama pikirkan waktu lihat kalian berdua ada di supermarket sepagi itu, berdua, dan rambut sama-sama basah,” tambah Syifa.“Ada yang bisa jawab?” sambar Budiman masih b