“Wahyu belum pulang?” tanya Sabda ketika melihat April menemuinya di ruang tamu. Wanita itu menggeleng malas, sembari menghempas tubuhnya di sudut sofa yang berjauhan dengan Sabda. “Padahal aku sudah ngabarin dia dari sore, kalau mau ke sini.”April berdecak. Menumpu pelipisnya dengan tangan dan siku yang yang bertumpu pada lengan sofa. “Nikah nggak nikah, sepertinya sama aja. Tahu gini, aku mana mau nikah sama dia.”“Aku nggak ikut-ikut.” Sabda kembali melihat ponselnya, lalu mengirim pesan pada Wahyu. “Kamu sudah pacaran bertahun-tahun sama dia, harusnya kamu sudah tahu wataknya Wahyu.”“Kami dijodohkan.”“Dijodoh-jodohkan,” ulang Sabda meluruskan ucapan April, karena tahu sejarah kedua mereka sehingga bisa menjalin hubungan sampai menikah. “Tapi karena kalian tertarik satu sama lain, ya, sekalian dijodohin.”“Bukan gitu, Sab.” April meralat. “Kami memang sudah dijodohin dari lama, karena sama-sama anak tunggal. Kalingga, Sadhana. Nggak tahulah! Aku malas bahasnya.”Alis Sabda sediki
Kali ini, Indah benar-benar terjebak. Tidak bisa mengelak dan terpaksa pergi bersama Sabda ke kediaman Wisesa. Duduk tertunduk di ruang keluarga, menahan rasa malu yang tidak terkira.Kenapa juga harus ada teman Syifa yang melihat dan melaporkan kegiatan mereka di supermarket pagi ini? Terlebih, ada “bumbu-bumbu” yang ikut disertakan, sehingga Syifa semakin berpikir yang tidak-tidak.“Coba lihat ini.” Syifa menyodorkan ponselnya pada Sabda. “Itu foto-foto kalian berdua, kan? Bajunya sama. Sama seperti yang kalian pake sekarang. Tante Lida nelpon sekitar jam tujuh dan rambut Indah masih basah.”Indah mengangkat wajah. Terdiam menatap layar ponsel yang digenggam Sabda, lalu melihat foto dirinya di sana. Rambut Indah memang masih terlihat basah dan hal tersebut pasti membuat Syifa berpikir macam-macam.“Kira-kira, apa yang Mama pikirkan waktu lihat kalian berdua ada di supermarket sepagi itu, berdua, dan rambut sama-sama basah,” tambah Syifa.“Ada yang bisa jawab?” sambar Budiman masih b
Indah melihat nama Sabda pada layar ponsel yang ia genggam setelah mencuci tangan. Berpikir sejenak sembari keluar dari toilet, lalu memutuskan untuk menerima panggilan tersebut demi profesionalismenya.Dengan satu earbuds yang sejak tadi terpasang di telinga, Indah pun menerima panggilan tersebut.“Hal—”“Posisi, In.”Indah menekan earbudsnya lebih dalam, lalu menjawab pertanyaan Sabda. Berjalan pelan menyusuri lobi, yang mulai terlihat lengang karena pertemuan di dalam sana telah selesai. “Masih di JCC, Mas. Apa ada tugas tambahan? Mumpung belum pulang?”“Kira-kir—”“Inndah ...”Indah berbalik dan mematung. “Om ... Om Regan ...” Begitu sadar, Indah segera menggeleng. “Maaf, Pak Regan.”“Sudah saya bilang, panggil saja Om Regan,” ujarnya mengingatkan obrolan singkat di pernikahan putrinya kala itu. Tadinya, Regan tidak yakin jika gadis berseragam Warta dan memakai kacamata adalah Indah. Namun, firasat Regan mengusiknya dan menghampiri salah satu karyawan yang menggunakan seragam yang
Tatapan Indah bersirobok dengan Wahyu, yang pagi ini ada di lobi Warta. Enggan bertanya-tanya, perihal kedatangan pria yang tidak lepas menatapnya dari kejauhan.Semalam, Sabda sudah memberi map hasil investigasi Wahyu tentang dirinya. Jika sudah begini, Indah sepertinya harus lebih waspada dan menjaga jarak. Ia tidak ingin membuat masalah dengan Wahyu, agar pria itu tidak semakin mengulik kehidupan yang Indah jalani selama ini.Namun, dari berkas yang sudah Indah baca, Wahyu sepertinya tidak akan mengetahui identitasnya, karena pria yang bernama Jalil telah meninggal dunia.Entah siapa pria itu, karena Indah tidak pernah mendengar namanya sama sekali. Akan tetapi, pria yang bernama Jalil pasti memiliki keterkaitan dengan Bahar. Indah yakin sekali akan hal tersebut.“In!”“Pagi, Mas.” Sedikit terkejut, karena Sabda tahu-tahu sudah berada di sampingnya. Namun, Indah dengan cepat mengumpulkan kesadarannya dan fokus pada Sabda. Semalam, pria itu pulang ke kediaman Wisesa, setelah mengant
Dalam diam, Indah mengikuti langkah Bahar yang terburu. Pria itu memintanya mengikuti, sembari menjaga sedikit jarak. Hingga sampailah mereka di sudut area parkir, yang situasinya lumayan sepi.“Pak, Bapak masih ingat saya?” tanya Indah terburu dan penuh keyakinan.“Non Anggun ...” Bahar merasa jantungnya seolah keluar dari rongga, ketika melihat mantan majikan kecilnya berada di depan mata.“Bapak kenal saya!” Tiba-tiba Indah tidak mengerti dengan perasaannya saat ini. Entah harus bahagia atau gelisah ketika Bahar dengan yakin menyebut namanya. “Bapak masih ingat saya.”“Non ngapain di sini?” Bahar melihat jam tangannya dengan gelisah. “Pak Regan sebentar lagi keluar.”“Om Regan makan siang di dalam.”“Nggak, Non,” sanggah Bahar. “Bapak ada janji sama orang di dekat sini.”“Pak. Bapak harus jelasin ke saya—”“Non Anggun kenapa balik ke Jakarta?” putus Bahar kembali melihat jam tangannya dengan gelisah. “Harusnya tetap tinggal di Surabaya.”“Pak, perusahaan papa nggak bangkrut.” Ada b
“Halo, Pak, kapan kita bisa ketemu?” Indah langsung bertanya dan tidak ingin berbasa-basi pada Bahar. Penantian selama 15 tahun, membuat Indah tidak lagi memiliki kesabaran untuk mengetahui semua hal dari Bahar.“Senin depan gimana, Non?” tanya Bahar. “Pak Regan keluar kota.”Indah menggeleng sambil menatap kamarnya dari tengah tangga. “Nggak bisa besok malam, Pak? Saya bisa ketemu Bapak kapan aja.”“Non, jangan keluar malam-malam,” larang Bahar. “Baha—”“Saya sudah biasa pulang malam kalau ngantor,” putus Indah. “Jadi nggak masalah buat saya.”“Non—”“Besok malam, ya, Pak,” mohon Indah tidak sabar. “Kabari saya di mana dan jam berapa, biar saya bisa langsung ke sana. Please, Pak, please.”Bahar mengembuskan napas besar. “Kalau begitu, besok saya kabari kalau pulang dari rumah pak Regan.”“Makasih banyak, Pak! Makasih,” ucap Indah dengan rasa yang tidak bisa diungkap. Tinggal sedikit lagi, Indah akan mengetahui semua yang terjadi di masa lalu.Setelah mengakhiri pembicaraan singkatnya
“Ang ... gun?” Sabda mengingat-ingat semua hal tentang keluarga April. “Kalingga? Anggun Kalingga? Siapa ... 12 tahun? Tolong, jelaskan pelan-pelan. Kamu—”“Papaku kakaknya om Regan,” sela Indah kemudian menceritakan semua kejadian 15 tahun lalu secara singkap pada Sabda.Indah benar-benar mempertaruhkan dan memasrahkan hidupnya di tangan Sabda. Semoga saja, kali ini firasatnya tidak salah dan Sabda bisa tetap berada di sisinya. Jika tidak pun, Indah berharap Sabda tetap menjaga rahasianya dan tidak pernah ikut campur.“Waw.” Sabda ternganga mendengar cerita Indah. Masih tidak percaya, karena ia tidak pernah mendengar nama Anggun Kalingga sebelumnya.Jika semua kejadian tersebut terjadi 15 tahun yang lalu, itu berarti Sabda kala itu masih berusia 17 tahun. Ia masih duduk di bangku SMA dan wajar jika Sabda tidak mengetahui beberapa hal yang terjadi di luar sana.Namun, ada satu hal yang mengusiknya dan Sabda tidak bisa menjelaskan hal tersebut pada Indah.“Mas Sabda ... nggak percaya?”
Meski sudah memakai sebuah jaket, Sabda merapatkan kerahnya lebih erat. Setiap hembusan napasnya membentuk uap tipis dan tubuhnya sesekali bergetar ringan, karena hawa dingin dari beberapa pendingin ruangan di ruang server.Jika saja Indah bersamanya sejak tadi, Sabda pasti sudah memeluk gadis itu untuk mencari sebuah kehangatan. Namun karena jarum jam belum berada di angka 11, maka Sabda harus bersabar sembari terus membuka dan membaca arsip yang telah tersimpan 15 tahun lamanya.Ketika menemukan beberapa hal janggal, Sabda lantas mengeluarkan earbuds dan menyumpal telinganya karena akan menghubungi seseorang.“Pa! Waktu Papa masih jadi pemred 15 tahun yang lalu, kenapa ada berita yang nggak naik cetak dan nggak tayang?”“Kamu di mana?” Budiman balik bertanya dan tidak menjawab pertanyaan Sabda.“Di ruang server.”“Temui Papa di atas.”Sabda baru membuka mulutnya untuk bertanya, tetapi Budiman sudah lebih dulu mengakhiri pembicaraan mereka. Melihat jam di ponselnya baru menunjukkan p
“Pagi Papa Wahyu,” sapa Anggun ketika melihat pria itu membuka mata. “Gimana tidurnya? Nyenyak?” tanyanya dengan nada meledek.Wahyu hanya membuka mata. Melihat Anggun yang tampak sudah segar dan baru saja duduk di depan meja rias. Ia masih mengumpulkan kesadaran dan tidak bergerak karena kedua kaki Putra melintang di dadanya.Tidak hanya itu, Wahyu bahkan beberapa kali merasakan tendangan dari kaki mungil itu ketika tidur tadi malam. Putranya itu, ternyata tidak bisa tidur dengan anteng dan terus bergerak ke mana-mana.Jadi, bagaimana bisa Wahyu tidur nyenyak tadi malam, jika wajah, dada, perut, dan bagian tubuh lain kerap mendapatkan tendangan dengan tiba-tiba.“Apa dia selalu mutar-mutar begini kalau tidur?” tanya Wahyu dengan suara berat.“Sudah ngerasain tendangan Putra belum.” Anggun terkekeh sembari memakai pelembabnya. “Pasti sudah, kan?”Wahyu ikut terkekeh. Menyingkirkan kedua kaki mungil itu dengan perlahan, lalu meregangkan tubuh dan menatap langit-langit kamar Anggun.“Har
“Mas! Kamu itu nggak ada kerjaan apa?” desis Anggun melotot pada Wahyu yang selalu mengekorinya sejak tadi.“Nggak ada,” jawab Wahyu cuek dan terus berada di sisi Anggun yang sedang membuka lemari pendingin.Ia memang sengaja mengikuti sang istri sejak tadi, karena masih saja kesal dengan ulah Anggun yang menutup pintu pintu kamar dan mengunci Wahyu dari dalam.“Apa kamu lupa kalau aku lagi cuti, jadi memang nggak ada kerjaan,” lanjut Wahyu menambahkan. “Maunya ngerjain kamu. Apalagi Putra lagi sama oma opanya. Sepertinya, mereka memang ngasih kita waktu buat berdua.”Setelah meletakkan kantung ASI-nya di freezer dan menutup pintunya, Anggun bersedekap. “Apa kamu lupa, aku juga lagi ‘cuti’?” ucap Anggun mengingatkan perkataannya siang tadi. “Jadi—”“Banyak jalan menuju Roma,” putus Wahyu tetap tenang. “Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Setiap ada masalah, pasti ada solusinya. Masa’ yang begitu aja nggak tahu. Apa perlu aku ajari? Kalau perlu bilang, karena aku bisa jadi gu
Sah.Akhirnya, penantian Wahyu selama ini berbuah manis. Setelah melewati berbagai rintangan terutama ketidakpastian, akhirnya hari ini datang juga. Hari dimana ia mengucapkan ikrar suci pernikahan, dengan wanita yang selama ini telah menjadi ratu di hatinya.“Sekarang, manggilnya juga harus mama sama papa,” ucap Desty ketika mereka sudah berada di parkiran Lembaga Pemasyarakatan. “Nggak usah sungkan. Kalau Wahyu macam-macam, kamu tinggal adukan sama Mama.”“Makasih, Ma.” Anggun mengangguk. Merasa sedikit aneh, karena panggilannya pada Desty harus berubah.“Sekali lagi selamat, ya,” ujar Darwin menepuk bahu Anggun dua kali. “Semoga Wahyu nggak bikin ulah lagi. Dan tolong sabar ngadapin dia yang suka seenaknya. Tapi kalau dia sampai kelewatan, langsung telpon Papa.”“Iya, Pa.” Anggun kembali mengangguk. “Makasih juga.”“Kami balik duluan, ya,” pamit Desty sembari memeluk Anggun dengan singkat, pun dengan Wahyu. “Jaga Anggun dan nggak usah lagi macam-macam.”“Memangnya kapan aku pernah
“Mau apa kamu ke sini?” Regan hanya bisa diam di kursi roda. Menatap mantan menantu yang tiba-tiba datang menjenguknya di penjara. “Kita sudah nggak punya urusan lagi.”Wahyu bersandar pada kursi besi lalu menyilang kaki. Mereka tidak bertemu di tempat para pengunjung biasa bertemu, karena itu ia bisa dengan bebas menatap dan menelisik penampilan Regan yang sangat jauh berbeda.Tubuh Regan tampak semakin kurus dengan cekungan mata hitam yang semakin membuat raganya terlihat renta. Rambut putih yang sudah menghiasi kepala, semakin menegaskan tanda-tanda penuaan yang tidak lagi bisa disembunyikan.Semua sudah berubah. Tidak ada lagi Regan yang selalu tampil rapi dan bugar di setiap kesempatan. Semua telah musnah, termakan usia dan karma yang didapat di dalam penjara.“Aku mau menikah dengan Anggun,” jawab Wahyu tidak mau berputar-putar. “Dan aku butuh pak Regan untuk jadi walinya,” ucapnya berusaha menjaga kesopanan di depan Regan.Regan menghela pelan dan memejam sejenak. “Apa kamu ngg
“Lamaran apa ini!” Anggun melihat cincin yang tersemat di jari manisnya dengan mencebik. Mengingat kembali, momen tidak terduga yang terjadi sore tadi. Yakni ketika Wahyu melamarnya di sela-sela ulang tahun Putra yang terjeda. “Ck! Ada orang ngelamar mode maksa begitu.”“Ada,” jawab Wahyu santai, sekaligus lega karena sudah menyematkan sebuah cincin di jari wanita itu.Mungkin caranya tidak biasa dan jauh dari kata romantis. Namun, hal itu akan menjadi momen yang tidak akan terlupakan dalam perjalanan mereka di masa depan nanti.“Ah!” Anggun masih saja kesal karena lamaran Wahyu sungguh berada di luar ekspektasinya. Meskipun begitu, ia tetap menerima lamaran tersebut karena tidak bisa memungkiri rasa nyaman yang ada ketika berada bersama Wahyu.Entah apa itu cinta dan bagaimana cara menjelaskannya. Yang Anggun tahu hanyalah, ada perasaan hangat yang tidak biasa jika pria itu ada bersamanya. Terlebih ketika melihat interaksi Wahyu dengan Putra. Semua itu mampu meruntuhkan kebekuan yang
Sebenarnya, sejak kepindahannya ke Bali, Anggun sudah dua kali pergi ke Jakarta bersama Syifa dan Budiman. Mereka bergantian mengunjungi makam Sabda, lalu kembali lagi ke Bali.Namun, kali ini berbeda. Seluruh keluarga besar pergi ke Jakarta karena Budiman dan Darwin akan menghadiri rapat pemegang saham di Warta. Satu-satunya perusahaan keluarga yang tersisa dan Budiman masih menjadi pemegang saham mayoritas di sana.“Harusnya Ken juga disuruh ke Jakarta,” ujar Anggun sembari menempelkan balon-balon yang sudah diberi double-tape ke dinding. Ia sedang membuat dekorasi sederhana, di salah satu dinding ruang keluarga untuk merayakan hari ulang tahun Putra yang pertama.“Dia lagi sibuk ngurusin resor,” ucap Wahyu yang hanya berbaring di karpet menemani Putra bermain dengan balon-balon kecil yang baru ditiupnya. “Memangnya kenapa Ken disuruh ke Jakarta juga?” tanya Desty yang juga ikut sibuk menempel bendera kertas berbentuk segitiga warna warni di dinding.“Anggun dari dulu mau jodohin
“Masih panas?” tanya Wahyu ketika Anggun baru saja membuka pintu kamar. Belum sempat Anggun menjawab, ia langsung merangsek masuk dan mendapati Putra masih terlelap di tempat tidur. “Rewel nggak?”“Nggak terlalu.” Anggun berbalik dan berjalan lesu menuju tempat tidurnya. “Titip bentar, ya, Mas. Aku mau mandi.”“Mandilah dulu.” Melihat Putra masih anteng di tempatnya, Wahyu mematikan pendingin ruangan dan beralih menuju jendela. Menarik tirainya, lalu membuka daun jendela lebar-lebar. Membiarkan udara pagi nan segar masuk ke dalam kamar.Sembari menunggu Anggun, Wahyu duduk bersandar pada bingkai jendela, menekuk satu kakinya. Menikmati embusan udara pagi dengan senyum lebar yang tersemat bahagia. Hati Anggun yang selama ini membatu, akhirnya menunjukkan retakan-retakan kecil yang memberi harapan. Wahyu tahu, semua itu bukanlah proses yang mudah. Namun, ini adalah sebuah langkah kecil yang membawa mereka lebih dekat pada kebahagiaan yang baru.“Udah gila, Mas?” tanya Anggun sembari kel
“Mama, bisa bicara sebentar,” pinta Anggun mendatangi Syifa yang berada di kamar, ketika keluarga Sadhana sudah kembali ke rumahnya. Hanya Wahyu yang menetap dan akan menginap, karena ingin memantau perkembangan Putra.“Masuk sini,” ucap Syifa pada Anggun yang berdiri di bibir pintu. Ia tahu, Anggun pasti sedang mengalami kegundahan, akibat pertemuan keluarga yang terjadi beberapa waktu lalu. “Putra sama Wahyu?”“Iya.” Anggun mengangguk sembari melangkah masuk. Ia duduk pada sofa panjang yang baru ditunjuk Syifa. Sementara, wanita itu sedang duduk di depan meja rias dan melakukan ritual malamnya sebelum tidur. “Mereka di kamar.”“Sebentar, ya.” Syifa buru-buru meratakan pelembab di wajahnya dengan gerakan cepat, lalu beranjak menghampiri Anggun. Setelah duduk di samping sang menantu, barulah Syifa mempersilakan Anggun bicara lebih dulu dengan lembut. “Silakan, kamu pasti mau bicara masalah pertemuan tadi, kan?”Lagi-lagi Anggun mengangguk. Tanpa mau membuang waktu, ia lantas mengeluar
“Tante, ini nggak seperti—”“Kami lagi bicara.” Wahyu menyela tanpa melepas pelukannya. “Mama mau ngapain?”“Mau jenguk Putra.” Desty mengangguk-angguk, tidak terpengaruh sedikit pun dengan apa yang disaksikannya di depan mata. Baginya, hal seperti itu sudah sangat umum terlihat dalam pergaulan saat ini. Bahkan, hubungan Wahyu dengan April dahulu kala hanya bisa membuat Desty geleng-geleng kepala.Lantas, Desty beralih melihat pintu kamar Anggun yang terbuka dan menunjuknya. “Katanya demam, ya? Tante boleh masuk, kan?”“Boleh,” jawab Wahyu lalu melepas kedua tangannya. Namun, Wahyu dengan segera meraih pergelangan tangan Anggun agar wanita itu tidak pergi darinya. “Masuk aja, Ma. Putra baru aja tidur.”“Oke ...” Desty melangkah melewati kedua orang yang masih berdiri di tempatnya. “Nanti kita bicarakan masalah barusan. Langsung dengan keluarga besar, karena mama juga sudah tahu apa yang terjadi tadi pagi. Jadi, silakan lanjutkan bicaranya.”“Maaas!” Anggun mendesis. Merapatkan geligin