Mohon maaf yaaa, kalau babnya kepanjangan, karena koinnya pasti juga jadi ikut nambah ...
“Pergi lagi?” April melempar protes, karena Wahyu selalu sibuk sendiri.Mereka baru saja menikah. Seharusnya masa-masa itu menjadi masa yang paling manis dan membahagiakan, bagi pasangan pengantin baru. Namun, April justru lebih banyak ditinggal pergi, karena sang suami sibuk mengurus sesuatu di luaran sana. “Aku mau ke rumah om Budiman.” Wahyu melepas ponselnya dari magsafe charger. Melihat notifikasi yang masuk dan membaca beberapa yang dianggapnya penting.“Aku ikut.” April menyingkap selimutnya dan segera berlari menuju kamar mandi. Namun, sebelum tubuh polosnya sampai ke tujuan, Wahyu tiba-tiba mencekal tangannya.“Aku ke sana bukan untuk ramah tamah,” ujar Wahyu sambil melepas tangan April. “Ada kerjaan yang harus—”“Aku bisa ketemu tante Syifa,” potong April menghabiskan jarak, lalu mengalungkan kedua tangan pada leher Wahyu. Menempelkan tubuh polosnya dan berharap sang suami membatalkan kepergiannya. “Dan kamu bisa bicara dengan om Budiman. Nggak usah pedulikan aku.”Wahyu m
“Ini hotel.” Indah menatap sopir yang membawanya dari spion tengah. “Pak Wahyu minta ketemu dengan saya di hotel? Mas nggak salah?”Pria itu mengangguk. “Pak Wahyu ada di restoran di lantai tujuh. Ruang VVIP atas nama Kendrick.”Indah mengangguk. Membuka layar ponsel yang sejak tadi berada di genggaman, lalu mengetikkan nama hotel dan restoran tempat ia akan bertemu Wahyu, pada Sabda.Sejak Indah masuk ke dalam mobil, ia sudah meng-share lokasinya pada Sabda secara langsung. Jadi, kapan pun pria itu membaca pesannya, Sabda pasti tahu posisi Indah saat ini.Semua itu untuk berjaga-jaga, jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada Indah.“Makasih, Pak.” Indah keluar dari mobil dan segera menuju tempat tujuan. Masih bertanya-tanya, mengapa Sabda tidak membalas pesan yang Indah kirim, meskipun pria itu sudah membacanya.Pada akhirnya, pertanyaan tersebut terjawab sudah, ketika Indah baru memasuki ruang yang dimaksud. Di dalam sana, ternyata Sabda sudah duduk berhadapan dengan Wahyu dan
“Wahyu belum pulang?” tanya Sabda ketika melihat April menemuinya di ruang tamu. Wanita itu menggeleng malas, sembari menghempas tubuhnya di sudut sofa yang berjauhan dengan Sabda. “Padahal aku sudah ngabarin dia dari sore, kalau mau ke sini.”April berdecak. Menumpu pelipisnya dengan tangan dan siku yang yang bertumpu pada lengan sofa. “Nikah nggak nikah, sepertinya sama aja. Tahu gini, aku mana mau nikah sama dia.”“Aku nggak ikut-ikut.” Sabda kembali melihat ponselnya, lalu mengirim pesan pada Wahyu. “Kamu sudah pacaran bertahun-tahun sama dia, harusnya kamu sudah tahu wataknya Wahyu.”“Kami dijodohkan.”“Dijodoh-jodohkan,” ulang Sabda meluruskan ucapan April, karena tahu sejarah kedua mereka sehingga bisa menjalin hubungan sampai menikah. “Tapi karena kalian tertarik satu sama lain, ya, sekalian dijodohin.”“Bukan gitu, Sab.” April meralat. “Kami memang sudah dijodohin dari lama, karena sama-sama anak tunggal. Kalingga, Sadhana. Nggak tahulah! Aku malas bahasnya.”Alis Sabda sediki
Kali ini, Indah benar-benar terjebak. Tidak bisa mengelak dan terpaksa pergi bersama Sabda ke kediaman Wisesa. Duduk tertunduk di ruang keluarga, menahan rasa malu yang tidak terkira.Kenapa juga harus ada teman Syifa yang melihat dan melaporkan kegiatan mereka di supermarket pagi ini? Terlebih, ada “bumbu-bumbu” yang ikut disertakan, sehingga Syifa semakin berpikir yang tidak-tidak.“Coba lihat ini.” Syifa menyodorkan ponselnya pada Sabda. “Itu foto-foto kalian berdua, kan? Bajunya sama. Sama seperti yang kalian pake sekarang. Tante Lida nelpon sekitar jam tujuh dan rambut Indah masih basah.”Indah mengangkat wajah. Terdiam menatap layar ponsel yang digenggam Sabda, lalu melihat foto dirinya di sana. Rambut Indah memang masih terlihat basah dan hal tersebut pasti membuat Syifa berpikir macam-macam.“Kira-kira, apa yang Mama pikirkan waktu lihat kalian berdua ada di supermarket sepagi itu, berdua, dan rambut sama-sama basah,” tambah Syifa.“Ada yang bisa jawab?” sambar Budiman masih b
Indah melihat nama Sabda pada layar ponsel yang ia genggam setelah mencuci tangan. Berpikir sejenak sembari keluar dari toilet, lalu memutuskan untuk menerima panggilan tersebut demi profesionalismenya.Dengan satu earbuds yang sejak tadi terpasang di telinga, Indah pun menerima panggilan tersebut.“Hal—”“Posisi, In.”Indah menekan earbudsnya lebih dalam, lalu menjawab pertanyaan Sabda. Berjalan pelan menyusuri lobi, yang mulai terlihat lengang karena pertemuan di dalam sana telah selesai. “Masih di JCC, Mas. Apa ada tugas tambahan? Mumpung belum pulang?”“Kira-kir—”“Inndah ...”Indah berbalik dan mematung. “Om ... Om Regan ...” Begitu sadar, Indah segera menggeleng. “Maaf, Pak Regan.”“Sudah saya bilang, panggil saja Om Regan,” ujarnya mengingatkan obrolan singkat di pernikahan putrinya kala itu. Tadinya, Regan tidak yakin jika gadis berseragam Warta dan memakai kacamata adalah Indah. Namun, firasat Regan mengusiknya dan menghampiri salah satu karyawan yang menggunakan seragam yang
Tatapan Indah bersirobok dengan Wahyu, yang pagi ini ada di lobi Warta. Enggan bertanya-tanya, perihal kedatangan pria yang tidak lepas menatapnya dari kejauhan.Semalam, Sabda sudah memberi map hasil investigasi Wahyu tentang dirinya. Jika sudah begini, Indah sepertinya harus lebih waspada dan menjaga jarak. Ia tidak ingin membuat masalah dengan Wahyu, agar pria itu tidak semakin mengulik kehidupan yang Indah jalani selama ini.Namun, dari berkas yang sudah Indah baca, Wahyu sepertinya tidak akan mengetahui identitasnya, karena pria yang bernama Jalil telah meninggal dunia.Entah siapa pria itu, karena Indah tidak pernah mendengar namanya sama sekali. Akan tetapi, pria yang bernama Jalil pasti memiliki keterkaitan dengan Bahar. Indah yakin sekali akan hal tersebut.“In!”“Pagi, Mas.” Sedikit terkejut, karena Sabda tahu-tahu sudah berada di sampingnya. Namun, Indah dengan cepat mengumpulkan kesadarannya dan fokus pada Sabda. Semalam, pria itu pulang ke kediaman Wisesa, setelah mengant
Dalam diam, Indah mengikuti langkah Bahar yang terburu. Pria itu memintanya mengikuti, sembari menjaga sedikit jarak. Hingga sampailah mereka di sudut area parkir, yang situasinya lumayan sepi.“Pak, Bapak masih ingat saya?” tanya Indah terburu dan penuh keyakinan.“Non Anggun ...” Bahar merasa jantungnya seolah keluar dari rongga, ketika melihat mantan majikan kecilnya berada di depan mata.“Bapak kenal saya!” Tiba-tiba Indah tidak mengerti dengan perasaannya saat ini. Entah harus bahagia atau gelisah ketika Bahar dengan yakin menyebut namanya. “Bapak masih ingat saya.”“Non ngapain di sini?” Bahar melihat jam tangannya dengan gelisah. “Pak Regan sebentar lagi keluar.”“Om Regan makan siang di dalam.”“Nggak, Non,” sanggah Bahar. “Bapak ada janji sama orang di dekat sini.”“Pak. Bapak harus jelasin ke saya—”“Non Anggun kenapa balik ke Jakarta?” putus Bahar kembali melihat jam tangannya dengan gelisah. “Harusnya tetap tinggal di Surabaya.”“Pak, perusahaan papa nggak bangkrut.” Ada b
“Halo, Pak, kapan kita bisa ketemu?” Indah langsung bertanya dan tidak ingin berbasa-basi pada Bahar. Penantian selama 15 tahun, membuat Indah tidak lagi memiliki kesabaran untuk mengetahui semua hal dari Bahar.“Senin depan gimana, Non?” tanya Bahar. “Pak Regan keluar kota.”Indah menggeleng sambil menatap kamarnya dari tengah tangga. “Nggak bisa besok malam, Pak? Saya bisa ketemu Bapak kapan aja.”“Non, jangan keluar malam-malam,” larang Bahar. “Baha—”“Saya sudah biasa pulang malam kalau ngantor,” putus Indah. “Jadi nggak masalah buat saya.”“Non—”“Besok malam, ya, Pak,” mohon Indah tidak sabar. “Kabari saya di mana dan jam berapa, biar saya bisa langsung ke sana. Please, Pak, please.”Bahar mengembuskan napas besar. “Kalau begitu, besok saya kabari kalau pulang dari rumah pak Regan.”“Makasih banyak, Pak! Makasih,” ucap Indah dengan rasa yang tidak bisa diungkap. Tinggal sedikit lagi, Indah akan mengetahui semua yang terjadi di masa lalu.Setelah mengakhiri pembicaraan singkatnya
“Tarik napas.”“Aku tahu, aku dengeerr,” rintih Anggun di sela-sela proses persalinannya. Tatapan kesalnya ia tujukan pada Wahyu, karena suaminya selalu mengulang perintah dari dokter.Padahal, Anggun juga mendengar semua perkataan dokter, tetapi Wahyu tetap saja tidak mau menutup mulutnya. Kalau tahu begini, lebih baik Syifa saja yang menemaninya melahirkan seperti dahulu kala, karena wanita itu begitu sabar ketika menemani Anggun. Tidak seperti Wahyu yang hanya bisa memberi perintah padanya.“Sedikit lagi, Bu,” ujar sang dokter yang sejak tadi tetap sabar menghadapi pasien dan suaminya.“Sedikit lagi, Sweet—”“Dieeem kamu, Mas!” Anggun menggenggam tangan Wahyu dengan kekuatan yang cukup membuat pria itu meringis kesakitan. Dengan sengaja, ia menancapkan kuku-kukunya agar Wahyu juga merasakan nyeri yang kini dirasakan Anggun.Meskipun sakit yang dirasakan Wahyu mungkin tidak seberapa, tetapi Anggun cukup merasa senang ketika melihat pria itu meringis menatapnya. Penderitaan Wahyu saat
“Papa ...” Putra berseru girang, berlari kecil ke arah Wahyu yang baru saja melangkah masuk ke ruang keluarga. Tanpa menunggu aba-aba, bocah kecil itu melompat ke dalam gendongan Wahyu, tangannya yang mungil menunjuk ke arah mainan barunya dengan semangat yang menggebu.“Boana banak!” Putra mengoceh tanpa jeda, menunjuk tenda bermotif Cars, dengan terowongan yang mengarah ke bak besar penuh bola.“Dibeliin eyangnya,” ujar Anggun yang hanya duduk di sofa sambil menyelonjorkan kedua kaki. Kehamilan keduanya hampir-hampir tidak ada keluhan, karena semua rasa tidak nyaman di kala kehamilan diambil alih oleh Wahyu. Dan ya, Anggun tetap mengatakan jika semua itu adalah karma yang harus diterima. “Mereka baru pulang sejam yang lalu.”“Sudah kubilang, kan, kalau kita memang harus beli rumah di sebelah.” Wahyu menurunkan Putra di dalam kubangan bola kecilnya, lalu menghampiri Anggun. Berlutut di samping sofa lalu meletakkan telinganya di perut yang sudah cukup besar itu. Saat merasakan pergerak
“Ssshh ...” Anggun meletakkan telunjuk di bibirnya sambil menunduk. Memberi isyarat pada Putra, agar tidak membuat keributan setelah membuka pintu kamar. “Papa bobok, nggak boleh ribut.”Putra geleng-geleng, sambil menirukan sikap Anggun. Ikut meletakkan telunjuk kecilnya di bibir. “Papa bobok.”“Iya,” ucap Anggun lalu membuka pintu dengan perlahan dan membiarkan Putra masuk lebih dulu. Hanya lampu tidur yang menyala di dalam sana, memancarkan cahaya redup yang membuat suasana kamar terasa tenang dan hangat.Namun, perintah Anggun ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Putra memang tidak mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya, tetapi balita itu justru berlari menuju tempat tidur dan berbaring di samping Wahyu. Memeluk sang papa.“Mas, ayo bobok di kasur bawah sama Mama,” ujar Anggun dengan suara yang sangat pelan. “Papa—”“Nggak papa,” sela Wahyu tanpa membuka mata dan membalas pelukan Putra. “Dia mau tidur sama papanya. Lagian baunya Putra enak, bau minyak telon.”Anggun tertawa de
Wahyu memeluk Anggun begitu erat. Tangannya masih menggenggam tespek yang baru saja ditunjukkan oleh sang istri. Menatap dua garis merah yang muncul di sana, walaupun salah satunya masih tampak samar.“Sepertinya rumah sebelah bakal aku beli.” Wahyu tersenyum lebar. “Kita jebol temboknya supaya makin luas dan bisa dipake anak-anak main.”Anggun memutar bola matanya. “Mas, Putra masih kecil dan—”“Sebentar lagi dia punya adek,” sela Wahyu sembari mengurai pelukannya dan mengangkup kedua bahu Anggun. Tangan kanannya masih memegang sebuah tespek, seolah tidak ingin melepas benda itu dari genggaman. “Gimana kalau oma sama eyangnya mau nginap di sini? Rumahnya jadi kurang luas.”“Papa!” Putra mulai menarik-narik jemari Wahyu dengan tidak sabar. “Ayok, ayok”“Mas—”“Nggak papa.” Wahyu kembali menyela, lalu menunduk dan menggendong Putra. “Nanti aku langsung hubungi pak Johan biar urusan cepat.”“Dengerin aku dulu.” Nada bicara Anggun mulai meninggi. Ia kesal karena Wahyu selalu memutus ucap
Pagi itu, tawa kecil dan suara decitan sandal karet Putra yang berbunyi khas, terdengar sejak tadi dari area depan rumah. Bocah yang sebentar lagi berusia dua tahun itu sedang menyibukkan diri dengan bermain bola bersama Wahyu, sembari menunggu Desty yang akan menjemput.“Yayaaa ...” Putra segera bangkit ketika melihat Desty memasuki pagar. Berlari kecil menghampiri, tetapi tubuhnya langsung ditangkap oleh Darwin dan membawa ke dalam gendongannya.“Sudah siap?” tanya Darwin pada Putra.“Iaap!” jawab Putra bersemangat.“Dia sudah nunggu dari tadi,” ujar Anggun menghampiri sambil membawa tas ransel kecil milik Putra. “Kacamata sama topi kesayangannya ada di dalam,” ucapnya sambil menyerahkan tas kecil tersebut pada sang mama mertua.Desty terkekeh saat membuka tas ransel Putra dan melihat topi merah dengan tiga tanduk kuning yang warnanya sudah memudar. Topi yang akan selalu dipakai Putra, ketika berpergian ke mana pun.Desty kemudian mengeluarkan topi tersebut, beserta kacamata berwarn
“Ayo, Ma,” ajak Wahyu dengan senyuman penuh semangat.Anggun hanya menggeleng pelan sambil memegang gelas susunya. “Aku nggak ikut. Capek.” jawabnya tegas. Menolak ajakan Wahyu bersepeda pagi di hari libur, seperti yang biasa pria itu.Anggun hanya ingin menikmati harinya dengan bersantai, karena Putra biasanya akan pergi berkeliling bersama Wahyu dengan sepedenya. Putra akan duduk di depan dengan helm kecilnya, lengkap dengan kacamata mungil yang membuat balita itu semakin menggemaskan.“Me time, aku mau rebahan aja di rumah,”“Oke.” Wahyu menatap Putra yang berada di gendongannya sambil tersenyum. “Nanti kita ke pantai dan main bola sama tante-tante bule di sana!”“Ohhh ... jadi itu kegiatan kalian berdua kalau jalan-jalan pagi?” Anggun meletakkan gelas susunya dengan perlahan. Namun, tatapannya tertuju tajam pada Wahyu. Kemudian, ia menunjuk ke arah tanah kosong yang berada di sebelah dapur. Tepatnya berada setelah kolam renang. “Kalau mau main bola, main bola di sana.”“No,” ucap W
“Aku deja vu,” ujar Anggun setelah berpamitan pada tamu yang menghampirinya. “Jadi ingat nikahanmu sama April waktu itu.” Anggun menatap Wahyu yang berjalan di sebelahnya. “Konsepnya sama, kan?”Wahyu memaksakan senyumnya ketika menatap Anggun. “Dari dulu, kamu itu memang suka cari gara-gara.” Sebenarnya, hanya konsep pernikahannya yang sama. Selain itu, menurut Wahyu semuanya jelas berbeda. Dari dekorasi, gaun, suasana, bahkan perasaan yang menyelubungi hatinya saat ini juga jauh berbeda. Pernikahan sebelumnya terasa seperti formalitas dan prosesi yang dijalaninya terasa tanpa makna. Namun, kali ini, setiap detail memancarkan kehangatan dan memiliki arti yang mendalam.“Aku bicara fakta.” Anggun kembali tersenyum saat tatapannya bertemu dengan seorang tamu.“Nggak usah merusak suasana,” kata Wahyu berbisik tepat di telinga Anggun. “Nikmati aja yang ada sekarang dan nggak usah bahas masa lalu.”“Aku tahu.”“Aku tahu, tapi masih aja dibahas,” sindir Wahyu.“Kamu mau kita ribut?”“Ngg
“Kenapa harus pindah?” Syifa menekuk wajah ketika Wahyu menyampaikan maksudnya. Sudah terbiasa tinggal bersama Anggun dan Putra, membuatnya berat untuk melepas kedua orang itu.Syifa bukannya tidak paham dengan keputusan yang disampaikan Wahyu. Namun, ia pasti akan merasa sangat kehilangan jika Anggun dan Putra benar-benar pindah dari kediaman Wisesa.“Ma, rumahnya dekat,” ujar Wahyu harus memberi pemahaman. “Jalan kaki cuma 10 menit. Cuma nyebrang jalan ke kompleks depan. Kalau mau naik motor lebih cepat lagi.”“Kamu setuju, Nggun?” tanya Syifa beralih pada Anggun.“A—”“Anggun setuju, Ma.” Wahyu segera menyerobot, karena melihat sang istri masih ragu untuk pindah rumah. “Tadi sudah cocok juga dengan rumahnya karena ada kolam renang. Jadi, Putra bisa sekalian belajar berenang juga.”“Mama tanya Anggun.” Syifa memutar bola matanya. Kalau sudah ada maunya, Wahyu memang sering bersikap seperti itu.“Cuma 10 menit dari sini, Ma,” sambar Budiman sudah paham dengan keinginan Wahyu. Mereka
“Aku punya tiga pilihan.” Wahyu menyerahkan sebuah brosur yang sudah diterima dari Farhat pada Anggun. “Resepsi di ruang tertutup, terbuka dengan view pantai, atau terbuka dengan view alam. Kamu yang pilih karena buatku di semua sama aja.”“Aku terserah aja,” ujar Anggun sembari membuka brosur yang baru diterimanya. “Lihat undangannya dulu, ada berapa orang terus disesuaikan aja tempatnya.”“25 orang.”“Katanya 50?”“Kalau 25 orang datang bawa pasangan, jumlahnya jadi 50.”“Iya, sih.” Anggun jadi merasa bodoh sendiri karena tidak memikirkan hal tersebut. “Jangan di pantai deh, aku nggak mau Putra masuk angin karena acaranya biasanya sore jelang malam gitu, kan? Jadi, view pantai dicoret dari list.”“View alam juga nggak jauh beda.” Wahyu dengan sigap menangkap Putra yang melepas baby walker dan berjalan ke arahnya. “Anginnya lumayan.”“Kalau gitu indoor aja.” Karena sudah memutuskan, Anggun meletakkan brosurnya di lantai begitu saja.“Kenapa kamu nggak tidur-tidur hem?” Wahyu merebahk