Share

BR ~ 4

“Pagi, Mas Sabda,” sapa Indah lebih dulu, ketika melihat pria itu sudah duduk di mejanya di pagi hari seperti sekarang. Padahal, Indah sudah berangkat sangat pagi sekali ke kantor, agar bisa bebas melakukan beberapa hal. Namun, pria itu ternyata sudah lebih dulu berada di mejanya.

“Yang semalam.” Sabda sedikit memundurkan kursi berodanya, lalu bersandar dan bersedekap, menatap Indah. Hari memang masih terlalu pagi, karena itulah mayoritas meja tim dan kubikel di ruang redaksi masih tampak lengang. “Jangan pernah diulangi lagi. Mempertaruhkan pekerjaanmu di sana, itu termasuk langkah yang bodoh.”

“Baik, Mas.” Indah melepas ranselnya lalu meletakkan di lantai. Duduk di kursinya, lalu menyalakan perangkat komputer miliknya. Tidak akan membantah, agar tidak ada perdebatan di luar ranah profesionalisme.

Sabda mendesis kecil, karena Indah ternyata agak susah ditebak. Tadinya, ia sempat mengira Indah akan memberi argumen terkait perbuatannya tadi malam. Namun, gadis itu justru menuruti ucapannya.

“Sudah sarapan?” tanya Sabda.

“Sudah, Mas.”

“Kalau gitu temani aku sarapan di bawah.” Sabda beranjak dari tempatnya. Meninggalkan Indah lebih dulu, tanpa menunggu jawaban dari gadis itu.

Indah menarik napas panjang. Mau tidak mau, ia harus meninggalkan mejanya dan menyusul Sabda.

“Apa tujuanmu, In?” tanya Sabda ketika gadis itu sudah berada di sampingnya.

“Tujuan saya?” Indah mulai memasang sinyal waspada. Sabda pasti sedang membahas perihal tadi malam.

“Masuk ke area indoor dan main dengan Wahyu.” Sabda berbelok menuju tangga dan tidak menggunakan lift. “Aku yakin, undangan pernikahan itu cuma alasan.”

Indah berhenti sebelum kakinya menuruni anak tangga dan tidak berniat menyusul Sabda. Jika pria itu sudah curiga dengan Indah, lantas bagaimana dengan Wahyu?

Indah harus memutar haluan dan harus menjaga jaraknya dengan Sabda jika seperti ini. Menjaga hubungan mereka tetap berada di ranah profesinalisme dan menghindari semua pembicaraan di luar itu.

“Maaf, tapi sebaiknya Mas Sabda sarapan sendiri.” Indah belum berbalik pergi, karena masih menunggu pria itu berhenti menuruni tangga dan berbalik menatapnya. Ketika hal itu sudah terjadi, barulah Indah melanjutkan ucapannya. “Dan saya minta maaf kalau semalam sudah lancang dan merepotkan. Permisi, Mas. Saya balik dulu, karena ada liputan yang harus saya review ulang.”

“Kamu masih terhitung magang di sini.” Sabda baru menyadari, Indah ternyata tidak sepolos penampilannya. Kendati tidak terlihat menonjol, tetapi gadis itu memiliki keberanian yang tidak terduga. “Kamu nggak khawatir dengan penilaian di akhir masa magangmu nanti?”

Indah memperbaiki posisi kacamata yang tidak bergeser ke mana pun. “Saya percaya, Mas Sabda pasti bisa memilah antara urusan pribadi dan profesional. Kalau memang kinerja saya selama tiga bulan ke depan dinilai tidak baik, silakan buat penilaian dan akhiri kontrak kerja saya. Permisi.”

~~~~~~~~~~~~

Sejak saat itu, Indah benar-benar menjaga jarak dengan Sabda. Namun, Indah tetap menjaga profesionalismenya dalam bekerja dan menjalankan semua tanggung jawabnya dengan baik. Terlebih lagi, ketika Indah tahu Sabda adalah anak dari direktur Warta, Budiman.

Andai pada akhirnya Sabda memberi penilaian buruk padanya, maka Indah tidak akan melontarkan protes sama sekali. Ia sudah memiliki rencana cadangan, agar bisa tetap berada di Jakarta untuk menyelidiki kejanggalan terkait perusahaan yang dulu pernah dijalankan oleh papanya.

“Sudah terima undangan?”

Indah mengerjap pelan. Menoleh pada sosok pria yang entah sejak kapan berdiri di sampingnya. Ia mendongak, lalu mengangguk perlahan dan kembali melihat layar komputernya. Beruntung, Indah sedang tidak sedang membuka website yang bisa membuat pria itu curiga, jadi ia tidak perlu membuat alasan apa pun.

“Sudah, dari lima hari yang lalu,” jawab Indah pada akhirnya tidak bisa menghindari Sabda. Ia mengira, Sabda tidak berada di kantor karena sejak pagi hingga malam menjelang, pria itu tidak menampakkan batang hidungnya. Namun, Sabda mendadak muncul ketika hampir seluruh karyawan sudah pulang untuk beristirahat.

Indah sepertinya lupa dan tidak memperhatikan jadwal kerja Sabda. Mungkin pria itu baru masuk kerja di sore hari, sehingga Indah tidak melihat Sabda seharian ini.

“Ada teman pergi ke sana?”

“Apa boleh bawa teman?” Indah meraih ponsel di samping monitor komputernya, lalu membuka pesan yang dikirimkan oleh pihak Wedding Organizer pihak Sadhana. “Satu barcode, apa bisa dua orang?” Indah menggumam sendiri dan membaca lagi undangan yang diterimanya.

Andaipun bisa untuk dua orang, tetapi Indah tidak berniat mengajak siapa pun pergi ke sana.

“Aku jemput besok sore,” ujar Sabda mengabaikan pertanyaan Indah. Gadis itu benar-benar menghindarinya sejak pembicaraan di tangga kala itu. “Share loc tempatmu tinggal.”

“Ohh ...” Indah mengambil ransel yang berada di lantai, lalu memasukkan ponselnya ke dalam sana. “Saya bisa berangkat sendiri. Jadi, nggak perlu di jemput.”

Indah memangku ranselnya, lalu mematikan perangkat komputer karena tidak ingin lagi berlama-lama di kantor. Jadwal kerjanya sudah selesai, jadi waktunya untuk segera pulang. “Saya nggak mau bikin gosip.”

“Gosip seperti apa?” balas Sabda bergeser ke hadapan Indah yang baru saja berdiri dan memutar tubuh untuk pergi.

Indah menggeser kursi kerjanya, agar bisa segera menghindar dari Sabda. “Intinya, saya cuma mau pergi sendiri. Itu aja. Jadi, saya mau pulang dulu. Semua kerjaan sudah beres. Permi—”

“Kamu menghindari aku.” Sabda bergeming dan tidak lagi menghalau gadis itu.

“Betul!” jawab Indah tanpa ragu dan harus menunjukkan ketegasannya dari awal. “Tapi untuk urusan pekerjaan, saya tetap profesional.”

“Bukan ...” Sabda menggeleng. “Apa karena masalah obrolan di tangga waktu itu?”

“Bisa saya pulang sekarang?” Indah mengabaikan pertanyaan pria itu, karena merasa tidak perlu memberi penjelasan apa-apa.

Sabda yang geregetan dan mulai kesal dengan Indah, segera menghabiskan jarak. Membuat gadis itu memundurkan langkahnya, tetapi terhalang dengan meja kerja di belakang.

Yang membuat Sabda semakin penasaran ialah, tidak ada sedikit pun rasa takut yang terpancar dari wajah polos itu. Indah hanya membenarkan letak kacamatanya yang tidak bergeser, tetapi tatapannya tetap tertaut tegas pada Sabda.  

Sampai akhirnya, Sabda menyerah di antara keterdiaman Indah. Melangkah mundur tanpa melepas tatapannya, lalu berujar, “jangan ambil dokumentasi apa pun di resepsi besok dan tutup mulut dengan semua yang ada di dalam sana. Sekarang, pergilah.”

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
good Indah.. jangan pernah merasa takut.. toh kamu hanya ingin mencari kebenaran..
goodnovel comment avatar
Siti Juli
part ini kelewat gk terbaca. semangat indah kamu kuat ayok selidiki orang2 yg sudah merampas hak mu
goodnovel comment avatar
Indah Wirdianingsih
suku sama indah, karna dulu di buang sama om nya indah jd perempuan yg mandiri dan berani
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status