“Pagi, Mas Sabda,” sapa Indah lebih dulu, ketika melihat pria itu sudah duduk di mejanya di pagi hari seperti sekarang. Padahal, Indah sudah berangkat sangat pagi sekali ke kantor, agar bisa bebas melakukan beberapa hal. Namun, pria itu ternyata sudah lebih dulu berada di mejanya.
“Yang semalam.” Sabda sedikit memundurkan kursi berodanya, lalu bersandar dan bersedekap, menatap Indah. Hari memang masih terlalu pagi, karena itulah mayoritas meja tim dan kubikel di ruang redaksi masih tampak lengang. “Jangan pernah diulangi lagi. Mempertaruhkan pekerjaanmu di sana, itu termasuk langkah yang bodoh.”
“Baik, Mas.” Indah melepas ranselnya lalu meletakkan di lantai. Duduk di kursinya, lalu menyalakan perangkat komputer miliknya. Tidak akan membantah, agar tidak ada perdebatan di luar ranah profesionalisme.
Sabda mendesis kecil, karena Indah ternyata agak susah ditebak. Tadinya, ia sempat mengira Indah akan memberi argumen terkait perbuatannya tadi malam. Namun, gadis itu justru menuruti ucapannya.
“Sudah sarapan?” tanya Sabda.
“Sudah, Mas.”
“Kalau gitu temani aku sarapan di bawah.” Sabda beranjak dari tempatnya. Meninggalkan Indah lebih dulu, tanpa menunggu jawaban dari gadis itu.
Indah menarik napas panjang. Mau tidak mau, ia harus meninggalkan mejanya dan menyusul Sabda.
“Apa tujuanmu, In?” tanya Sabda ketika gadis itu sudah berada di sampingnya.
“Tujuan saya?” Indah mulai memasang sinyal waspada. Sabda pasti sedang membahas perihal tadi malam.
“Masuk ke area indoor dan main dengan Wahyu.” Sabda berbelok menuju tangga dan tidak menggunakan lift. “Aku yakin, undangan pernikahan itu cuma alasan.”
Indah berhenti sebelum kakinya menuruni anak tangga dan tidak berniat menyusul Sabda. Jika pria itu sudah curiga dengan Indah, lantas bagaimana dengan Wahyu?
Indah harus memutar haluan dan harus menjaga jaraknya dengan Sabda jika seperti ini. Menjaga hubungan mereka tetap berada di ranah profesinalisme dan menghindari semua pembicaraan di luar itu.
“Maaf, tapi sebaiknya Mas Sabda sarapan sendiri.” Indah belum berbalik pergi, karena masih menunggu pria itu berhenti menuruni tangga dan berbalik menatapnya. Ketika hal itu sudah terjadi, barulah Indah melanjutkan ucapannya. “Dan saya minta maaf kalau semalam sudah lancang dan merepotkan. Permisi, Mas. Saya balik dulu, karena ada liputan yang harus saya review ulang.”
“Kamu masih terhitung magang di sini.” Sabda baru menyadari, Indah ternyata tidak sepolos penampilannya. Kendati tidak terlihat menonjol, tetapi gadis itu memiliki keberanian yang tidak terduga. “Kamu nggak khawatir dengan penilaian di akhir masa magangmu nanti?”
Indah memperbaiki posisi kacamata yang tidak bergeser ke mana pun. “Saya percaya, Mas Sabda pasti bisa memilah antara urusan pribadi dan profesional. Kalau memang kinerja saya selama tiga bulan ke depan dinilai tidak baik, silakan buat penilaian dan akhiri kontrak kerja saya. Permisi.”
~~~~~~~~~~~~
Sejak saat itu, Indah benar-benar menjaga jarak dengan Sabda. Namun, Indah tetap menjaga profesionalismenya dalam bekerja dan menjalankan semua tanggung jawabnya dengan baik. Terlebih lagi, ketika Indah tahu Sabda adalah anak dari direktur Warta, Budiman.
Andai pada akhirnya Sabda memberi penilaian buruk padanya, maka Indah tidak akan melontarkan protes sama sekali. Ia sudah memiliki rencana cadangan, agar bisa tetap berada di Jakarta untuk menyelidiki kejanggalan terkait perusahaan yang dulu pernah dijalankan oleh papanya.
“Sudah terima undangan?”
Indah mengerjap pelan. Menoleh pada sosok pria yang entah sejak kapan berdiri di sampingnya. Ia mendongak, lalu mengangguk perlahan dan kembali melihat layar komputernya. Beruntung, Indah sedang tidak sedang membuka website yang bisa membuat pria itu curiga, jadi ia tidak perlu membuat alasan apa pun.
“Sudah, dari lima hari yang lalu,” jawab Indah pada akhirnya tidak bisa menghindari Sabda. Ia mengira, Sabda tidak berada di kantor karena sejak pagi hingga malam menjelang, pria itu tidak menampakkan batang hidungnya. Namun, Sabda mendadak muncul ketika hampir seluruh karyawan sudah pulang untuk beristirahat.
Indah sepertinya lupa dan tidak memperhatikan jadwal kerja Sabda. Mungkin pria itu baru masuk kerja di sore hari, sehingga Indah tidak melihat Sabda seharian ini.
“Ada teman pergi ke sana?”
“Apa boleh bawa teman?” Indah meraih ponsel di samping monitor komputernya, lalu membuka pesan yang dikirimkan oleh pihak Wedding Organizer pihak Sadhana. “Satu barcode, apa bisa dua orang?” Indah menggumam sendiri dan membaca lagi undangan yang diterimanya.
Andaipun bisa untuk dua orang, tetapi Indah tidak berniat mengajak siapa pun pergi ke sana.
“Aku jemput besok sore,” ujar Sabda mengabaikan pertanyaan Indah. Gadis itu benar-benar menghindarinya sejak pembicaraan di tangga kala itu. “Share loc tempatmu tinggal.”
“Ohh ...” Indah mengambil ransel yang berada di lantai, lalu memasukkan ponselnya ke dalam sana. “Saya bisa berangkat sendiri. Jadi, nggak perlu di jemput.”
Indah memangku ranselnya, lalu mematikan perangkat komputer karena tidak ingin lagi berlama-lama di kantor. Jadwal kerjanya sudah selesai, jadi waktunya untuk segera pulang. “Saya nggak mau bikin gosip.”
“Gosip seperti apa?” balas Sabda bergeser ke hadapan Indah yang baru saja berdiri dan memutar tubuh untuk pergi.
Indah menggeser kursi kerjanya, agar bisa segera menghindar dari Sabda. “Intinya, saya cuma mau pergi sendiri. Itu aja. Jadi, saya mau pulang dulu. Semua kerjaan sudah beres. Permi—”
“Kamu menghindari aku.” Sabda bergeming dan tidak lagi menghalau gadis itu.
“Betul!” jawab Indah tanpa ragu dan harus menunjukkan ketegasannya dari awal. “Tapi untuk urusan pekerjaan, saya tetap profesional.”
“Bukan ...” Sabda menggeleng. “Apa karena masalah obrolan di tangga waktu itu?”
“Bisa saya pulang sekarang?” Indah mengabaikan pertanyaan pria itu, karena merasa tidak perlu memberi penjelasan apa-apa.
Sabda yang geregetan dan mulai kesal dengan Indah, segera menghabiskan jarak. Membuat gadis itu memundurkan langkahnya, tetapi terhalang dengan meja kerja di belakang.
Yang membuat Sabda semakin penasaran ialah, tidak ada sedikit pun rasa takut yang terpancar dari wajah polos itu. Indah hanya membenarkan letak kacamatanya yang tidak bergeser, tetapi tatapannya tetap tertaut tegas pada Sabda.
Sampai akhirnya, Sabda menyerah di antara keterdiaman Indah. Melangkah mundur tanpa melepas tatapannya, lalu berujar, “jangan ambil dokumentasi apa pun di resepsi besok dan tutup mulut dengan semua yang ada di dalam sana. Sekarang, pergilah.”
Indah menarik napas panjang setelah keluar dari taksi. Segera menaiki pelataran hotel agar tidak mengganggu kedatangan tamu lainnya. Kemudian, ia berdiam lebih dulu untuk mengontrol lonjakan emosi yang tidak bisa dimengerti. Debaran jantungnya mendadak bertalu, membuat Indah harus berpikir ulang mengenai banyak hal.Haruskan ia masuk ke dalam dan bertemu dengan keluarganya? Memperkenalkan diri sebagai Anggun Kalingga dan meminta semua hak yang sudah dirampas darinya selama ini?Atau, tetap bersembunyi dengan identitas barunya dan membalas semuanya dalam diam.Di saat-saat seperti ini, mengapa perasaan Indah menjadi goyah?Tidak ... Indah tidak boleh berubah haluan.Ia menggeleng cepat, untuk menyadarkan diri. Mengingat kembali akan kesakitan hidup yang dideritanya selama ini. Terusir dari rumah dengan semua privilege yang dimilikinya dan menjalani hidup pas-pasan, bahkan kekurangan. Untuk itulah, Indah lantas melangkah maju. Mengangkat dagu dan berjalan dengan dengan elegan menuju ru
“Saya ... Indah.”Tidak bisa berkelit, akhirnya Indah mengikuti sandiwara yang dilakukan Sabda. Dengan terpaksa dan tanpa persiapan, Indah mau tidak mau mengulurkan tangannya lebih dulu pada Regan untuk memperkenalkan diri. Berusaha keras menutupi kegugupannya, walaupun tangannya kini terasa beku tidak terkira. Mungkin, Regan bisa merasakan hal itu ketika menjabat tangan Indah.“Panggil saya Om Regan kalau begitu.” Kendati sempat terkejut dan curiga, Regan akhirnya menyambut uluran tangan Indah dengan hangat setelah tahu gadis itu adalah kekasih Sabda. “Akhirnya, bawa pacar juga kamu, Sab!”“Iya, Om!” Sabda semakin merapatkan tubuh Indah, ketika melihat tatapan datar Wahyu padanya. “Akhirnya.”“Buruan nyusul Wahyu!” Regan tersenyum ramah dan memberi anggukan kecil. Setelahnya, ia kembali beralih pada Wahyu dan bertanya mengenai putrinya. “Ke mana April, Yu?”Wahyu menarik panjang napasnya sambil menatap papa mertuanya. “Sama MUA-nya. Ada yang lepas di rambutnya, jadi ke belakang sebent
"Si-siapa kalian ..." suara Indah bergetar, matanya melirik panik pada kedua pria yang kini mengapitnya. Terlebih lagi, ketika pria yang berada di samping kanannya mengeluarkan pisau lipat dengan cepat, lalu menodong sopir di depannya.“Jalan dan diam!”“I-iya, Bang!” Sopir tidak mampu berkutik, karena sisi pisau sudah berada di lehernya. Meskipun mereka berada di tempat umum, tetapi ia tidak boleh gegabah. Salah sedikit, mungkin saja nyawanya yang menjadi taruhan. “Ka-kalian mau apa?” Indah mencoba menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.“Jauhi Wahyu Sadhana,” titah pria di sisi kiri Indah sambil mengeluarkan pisau lipat kecil. Ia menjalankan pisau itu perlahan di sepanjang sisi wajah Indah, membuatnya gemetar.Indah menahan napas, merasakan dinginnya logam di kulitnya. “Wa-Wahyu Sadhana ... Si-siapa yang—”“Diam!” desis pria yang sama seraya menekan ujung pisaunya di pipi Indah, hingga goresan kecil muncul dan darah tipis mulai merembes. “Ini peringatan pertama.”Indah men
“Kamu nyuruh orang ngancam Indah.” Wahyu bukan bertanya, melainkan memberi pernyataan sambil memasukkan ponsel ke saku celana. Mengingat kembali, saat April berpamitan pergi ketika resepsi berlangsung, dengan alasan membenarkan tatanan rambutnya.Sebenarnya, Wahyu tidak terkejut dengan hal seperti ini, karena pernah mengalami hal yang sama dahulu kala. April memang seposesif itu dan tidak ingin semua yang jadi miliknya diganggu atau disentuh orang lain.“Ah! Aku benar, kan!” April menghabiskan jarak. “Perempuan yang diaku-aku pacar sama Sabda, ternyata juga mainanmu. Jadi, kalian sharing atau gimana?”“Suamimu pengacara, tapi kamu dengan entengnya melanggar hukum?” Wahyu menarik napas panjang, berusaha menahan emosinya dan mengabaikan ucapan April.“Kamu punya bukti?” April bersedekap, tersenyum angkuh. “Andaipun ada bukti, apa kamu mau menuntut istri SAHmu, demi mainanmu itu?”“Kamu pikir aku takut?” Wahyu menunjuk bahu April dan memberi dorongan kecil. “Ini terakhir kalinya, Pril! J
Wahyu meninggalkan April di malam pertama mereka?Sabda bergeming memikirkan hal tersebut. Memiringkan sedikit kepalanya dan bertolak pinggang setelah mengakhiri panggilan April secara sepihak. Malam memang telah sangat larut, tetapi pikiran Sabda belum bisa terpejam sejak tadi.Karena siapa lagi, kalau bukan karena memikirkan Indah. Gadis biasa, yang mulai menarik perhatian Sabda sejak permainan catur malam itu.Di kantor, Indah bukanlah sosok wanita yang mencolok. Tidak banyak protes, maupun mencari perhatian seperti kebanyakan pekerja di kantor. Kinerjanya cenderung lambat, tetapi untuk hasil akhir, Sabda bisa memberi acungan jempol. Hampir sempurna.Karena itulah, malam itu Sabda ingin mentraktir Indah untuk membicarakan kekurangan gadis itu secara santai. Sebuah kebiasaan Sabda, yang sudah sejak dulu ia lakukan pada karyawan yang berada di bawah kepemimpinannya.Namun, sikap tidak terduga Indah malam itu mengubah semua sudut pandang Sabda. Indah bukanlah gadis biasa yang bisa dian
“April sialan,” maki Sabda tetapi tanpa emosi dan terdengar santai, setelah mendengar cerita singkat dari Indah. Gadis itu bercerita dengan malas, sambil menyantap mi instannya seorang diri tanpa menawari Sabda.“Aku sudah cerita.” Indah meletakkan cup mi instan yang baru saja habis tidak bersisa, di meja belajar. “Jadi, Mas Sabda sudah bisa pulang.”“Kamu nggak takut tinggal sendirian di sini?” tanya Sabda masih duduk di tepi kasur. “Mereka bilang masih ngawasin kamu dan Wahyu baru dari sini.”Indah menggeleng. Meskipun takut, tetapi ia tidak akan menunjukkan hal tersebut pada siapa pun. “Pak Wahyu bilang, dia juga sudah nyuruh orang buat ngawasin aku. Tapi nggak tahu.” Indah mengendik. Menekuk kedua kakinya ke atas, lalu memeluknya. “Beneran apa, nggak.”“Gimana kalau nggak?” Sabda sengaja membuat Indah bimbang. Walaupun ia tahu benar, Wahyu tidak pernah main-main dengan ucapannya. Jika pria itu mengatakan sudah menyuruh orang mengawasi Indah, itu artinya gadis itu benar-benar dalam
“Ada maunya, baru pulang ke rumah.” Budiman menyindir putranya yang baru duduk di meja makan dan mengambil piring tanpa basa-basi.“Buah jatuh nggak jauh dari pohonnya.” Syifa balas menyindir sang suami, yang juga pernah bersikap seperti Sabda dahulu kala. “Aku minta saham Warta.” Sabda mengambil nasi dan lauk yang sudah tersedia di meja.Belum sempat membalas ucapan istrinya, Budiman langsung diserang oleh Sabda. Namun, Budiman tidak serta merta membahas permasalahan saham, karena ada yang ingin ia tanyakan lebih dulu.“Kamu pacaran sama Indah?” tanya Budiman memastikan, karena Syifa sempat bertemu gadis itu tadi malam dan tidak dengan dirinya. “Indah yang anak baru itu? Yang main catur dengan Wahyu.”“Hm.” Sabda mulai menyantap sarapannya. Ia tidak bisa mengelak, karena sandiwara tersebut sudah terlanjur terlontar dari mulutnya tadi malam. “Kenapa? Papa nggak setuju aku pacaran sama karyawan?”“Nggak ada masalah,” balas Budiman melirik pada istrinya. “Tapi, kalau bisa nggak usah lam
“Pagi, Mas,” sapa Indah lebih dulu, ketika melihat Sabda memasuki dapur. Pria itu berjalan mendekat, sambil mengusap rambut basahnya dengan handuk kecil. Terlihat sangat santai, karena hanya memakai kaos dan celana pendek.“Pagi,” balas Sabda melihat sepiring nasi goreng sosis di kitchen island dan ransel Indah di stool bar. Selain itu, Indah juga sudah terlihat rapi, dengan kacamata yang menghiasi wajah seperti biasa.“Ini, sarapan buat Mas Sabda.” Indah menggeser piring ke sisi pria itu. Wangi sabun yang menguar dari tubuh Sabda, sangat mengusik konsentrasinya. “Aku sudah sarapan barusan.”“Jangan menghindar karena masalah tadi malam,” pinta Sabda sedikit merasa kecewa, karena Indah tidak menunggunya untuk sarapan pagi ini. “Kamu sendiri yang minta waktu untuk berpikir selama satu minggu. Jadi, harusnya kamu nggak perlu seperti ini. Kita bisa makan bareng dan aku nggak akan tanya apa pun, sampai satu minggu ke depan.”“Bukan menghindar.” Indah mencoba meluruskan, sambil membenarkan l
“Pagi Papa Wahyu,” sapa Anggun ketika melihat pria itu membuka mata. “Gimana tidurnya? Nyenyak?” tanyanya dengan nada meledek.Wahyu hanya membuka mata. Melihat Anggun yang tampak sudah segar dan baru saja duduk di depan meja rias. Ia masih mengumpulkan kesadaran dan tidak bergerak karena kedua kaki Putra melintang di dadanya.Tidak hanya itu, Wahyu bahkan beberapa kali merasakan tendangan dari kaki mungil itu ketika tidur tadi malam. Putranya itu, ternyata tidak bisa tidur dengan anteng dan terus bergerak ke mana-mana.Jadi, bagaimana bisa Wahyu tidur nyenyak tadi malam, jika wajah, dada, perut, dan bagian tubuh lain kerap mendapatkan tendangan dengan tiba-tiba.“Apa dia selalu mutar-mutar begini kalau tidur?” tanya Wahyu dengan suara berat.“Sudah ngerasain tendangan Putra belum.” Anggun terkekeh sembari memakai pelembabnya. “Pasti sudah, kan?”Wahyu ikut terkekeh. Menyingkirkan kedua kaki mungil itu dengan perlahan, lalu meregangkan tubuh dan menatap langit-langit kamar Anggun.“Har
“Mas! Kamu itu nggak ada kerjaan apa?” desis Anggun melotot pada Wahyu yang selalu mengekorinya sejak tadi.“Nggak ada,” jawab Wahyu cuek dan terus berada di sisi Anggun yang sedang membuka lemari pendingin.Ia memang sengaja mengikuti sang istri sejak tadi, karena masih saja kesal dengan ulah Anggun yang menutup pintu pintu kamar dan mengunci Wahyu dari dalam.“Apa kamu lupa kalau aku lagi cuti, jadi memang nggak ada kerjaan,” lanjut Wahyu menambahkan. “Maunya ngerjain kamu. Apalagi Putra lagi sama oma opanya. Sepertinya, mereka memang ngasih kita waktu buat berdua.”Setelah meletakkan kantung ASI-nya di freezer dan menutup pintunya, Anggun bersedekap. “Apa kamu lupa, aku juga lagi ‘cuti’?” ucap Anggun mengingatkan perkataannya siang tadi. “Jadi—”“Banyak jalan menuju Roma,” putus Wahyu tetap tenang. “Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Setiap ada masalah, pasti ada solusinya. Masa’ yang begitu aja nggak tahu. Apa perlu aku ajari? Kalau perlu bilang, karena aku bisa jadi gu
Sah.Akhirnya, penantian Wahyu selama ini berbuah manis. Setelah melewati berbagai rintangan terutama ketidakpastian, akhirnya hari ini datang juga. Hari dimana ia mengucapkan ikrar suci pernikahan, dengan wanita yang selama ini telah menjadi ratu di hatinya.“Sekarang, manggilnya juga harus mama sama papa,” ucap Desty ketika mereka sudah berada di parkiran Lembaga Pemasyarakatan. “Nggak usah sungkan. Kalau Wahyu macam-macam, kamu tinggal adukan sama Mama.”“Makasih, Ma.” Anggun mengangguk. Merasa sedikit aneh, karena panggilannya pada Desty harus berubah.“Sekali lagi selamat, ya,” ujar Darwin menepuk bahu Anggun dua kali. “Semoga Wahyu nggak bikin ulah lagi. Dan tolong sabar ngadapin dia yang suka seenaknya. Tapi kalau dia sampai kelewatan, langsung telpon Papa.”“Iya, Pa.” Anggun kembali mengangguk. “Makasih juga.”“Kami balik duluan, ya,” pamit Desty sembari memeluk Anggun dengan singkat, pun dengan Wahyu. “Jaga Anggun dan nggak usah lagi macam-macam.”“Memangnya kapan aku pernah
“Mau apa kamu ke sini?” Regan hanya bisa diam di kursi roda. Menatap mantan menantu yang tiba-tiba datang menjenguknya di penjara. “Kita sudah nggak punya urusan lagi.”Wahyu bersandar pada kursi besi lalu menyilang kaki. Mereka tidak bertemu di tempat para pengunjung biasa bertemu, karena itu ia bisa dengan bebas menatap dan menelisik penampilan Regan yang sangat jauh berbeda.Tubuh Regan tampak semakin kurus dengan cekungan mata hitam yang semakin membuat raganya terlihat renta. Rambut putih yang sudah menghiasi kepala, semakin menegaskan tanda-tanda penuaan yang tidak lagi bisa disembunyikan.Semua sudah berubah. Tidak ada lagi Regan yang selalu tampil rapi dan bugar di setiap kesempatan. Semua telah musnah, termakan usia dan karma yang didapat di dalam penjara.“Aku mau menikah dengan Anggun,” jawab Wahyu tidak mau berputar-putar. “Dan aku butuh pak Regan untuk jadi walinya,” ucapnya berusaha menjaga kesopanan di depan Regan.Regan menghela pelan dan memejam sejenak. “Apa kamu ngg
“Lamaran apa ini!” Anggun melihat cincin yang tersemat di jari manisnya dengan mencebik. Mengingat kembali, momen tidak terduga yang terjadi sore tadi. Yakni ketika Wahyu melamarnya di sela-sela ulang tahun Putra yang terjeda. “Ck! Ada orang ngelamar mode maksa begitu.”“Ada,” jawab Wahyu santai, sekaligus lega karena sudah menyematkan sebuah cincin di jari wanita itu.Mungkin caranya tidak biasa dan jauh dari kata romantis. Namun, hal itu akan menjadi momen yang tidak akan terlupakan dalam perjalanan mereka di masa depan nanti.“Ah!” Anggun masih saja kesal karena lamaran Wahyu sungguh berada di luar ekspektasinya. Meskipun begitu, ia tetap menerima lamaran tersebut karena tidak bisa memungkiri rasa nyaman yang ada ketika berada bersama Wahyu.Entah apa itu cinta dan bagaimana cara menjelaskannya. Yang Anggun tahu hanyalah, ada perasaan hangat yang tidak biasa jika pria itu ada bersamanya. Terlebih ketika melihat interaksi Wahyu dengan Putra. Semua itu mampu meruntuhkan kebekuan yang
Sebenarnya, sejak kepindahannya ke Bali, Anggun sudah dua kali pergi ke Jakarta bersama Syifa dan Budiman. Mereka bergantian mengunjungi makam Sabda, lalu kembali lagi ke Bali.Namun, kali ini berbeda. Seluruh keluarga besar pergi ke Jakarta karena Budiman dan Darwin akan menghadiri rapat pemegang saham di Warta. Satu-satunya perusahaan keluarga yang tersisa dan Budiman masih menjadi pemegang saham mayoritas di sana.“Harusnya Ken juga disuruh ke Jakarta,” ujar Anggun sembari menempelkan balon-balon yang sudah diberi double-tape ke dinding. Ia sedang membuat dekorasi sederhana, di salah satu dinding ruang keluarga untuk merayakan hari ulang tahun Putra yang pertama.“Dia lagi sibuk ngurusin resor,” ucap Wahyu yang hanya berbaring di karpet menemani Putra bermain dengan balon-balon kecil yang baru ditiupnya. “Memangnya kenapa Ken disuruh ke Jakarta juga?” tanya Desty yang juga ikut sibuk menempel bendera kertas berbentuk segitiga warna warni di dinding.“Anggun dari dulu mau jodohin
“Masih panas?” tanya Wahyu ketika Anggun baru saja membuka pintu kamar. Belum sempat Anggun menjawab, ia langsung merangsek masuk dan mendapati Putra masih terlelap di tempat tidur. “Rewel nggak?”“Nggak terlalu.” Anggun berbalik dan berjalan lesu menuju tempat tidurnya. “Titip bentar, ya, Mas. Aku mau mandi.”“Mandilah dulu.” Melihat Putra masih anteng di tempatnya, Wahyu mematikan pendingin ruangan dan beralih menuju jendela. Menarik tirainya, lalu membuka daun jendela lebar-lebar. Membiarkan udara pagi nan segar masuk ke dalam kamar.Sembari menunggu Anggun, Wahyu duduk bersandar pada bingkai jendela, menekuk satu kakinya. Menikmati embusan udara pagi dengan senyum lebar yang tersemat bahagia. Hati Anggun yang selama ini membatu, akhirnya menunjukkan retakan-retakan kecil yang memberi harapan. Wahyu tahu, semua itu bukanlah proses yang mudah. Namun, ini adalah sebuah langkah kecil yang membawa mereka lebih dekat pada kebahagiaan yang baru.“Udah gila, Mas?” tanya Anggun sembari kel
“Mama, bisa bicara sebentar,” pinta Anggun mendatangi Syifa yang berada di kamar, ketika keluarga Sadhana sudah kembali ke rumahnya. Hanya Wahyu yang menetap dan akan menginap, karena ingin memantau perkembangan Putra.“Masuk sini,” ucap Syifa pada Anggun yang berdiri di bibir pintu. Ia tahu, Anggun pasti sedang mengalami kegundahan, akibat pertemuan keluarga yang terjadi beberapa waktu lalu. “Putra sama Wahyu?”“Iya.” Anggun mengangguk sembari melangkah masuk. Ia duduk pada sofa panjang yang baru ditunjuk Syifa. Sementara, wanita itu sedang duduk di depan meja rias dan melakukan ritual malamnya sebelum tidur. “Mereka di kamar.”“Sebentar, ya.” Syifa buru-buru meratakan pelembab di wajahnya dengan gerakan cepat, lalu beranjak menghampiri Anggun. Setelah duduk di samping sang menantu, barulah Syifa mempersilakan Anggun bicara lebih dulu dengan lembut. “Silakan, kamu pasti mau bicara masalah pertemuan tadi, kan?”Lagi-lagi Anggun mengangguk. Tanpa mau membuang waktu, ia lantas mengeluar
“Tante, ini nggak seperti—”“Kami lagi bicara.” Wahyu menyela tanpa melepas pelukannya. “Mama mau ngapain?”“Mau jenguk Putra.” Desty mengangguk-angguk, tidak terpengaruh sedikit pun dengan apa yang disaksikannya di depan mata. Baginya, hal seperti itu sudah sangat umum terlihat dalam pergaulan saat ini. Bahkan, hubungan Wahyu dengan April dahulu kala hanya bisa membuat Desty geleng-geleng kepala.Lantas, Desty beralih melihat pintu kamar Anggun yang terbuka dan menunjuknya. “Katanya demam, ya? Tante boleh masuk, kan?”“Boleh,” jawab Wahyu lalu melepas kedua tangannya. Namun, Wahyu dengan segera meraih pergelangan tangan Anggun agar wanita itu tidak pergi darinya. “Masuk aja, Ma. Putra baru aja tidur.”“Oke ...” Desty melangkah melewati kedua orang yang masih berdiri di tempatnya. “Nanti kita bicarakan masalah barusan. Langsung dengan keluarga besar, karena mama juga sudah tahu apa yang terjadi tadi pagi. Jadi, silakan lanjutkan bicaranya.”“Maaas!” Anggun mendesis. Merapatkan geligin