“Done. 10 langkah!” Indah mempertahankan wajah polosnya dan tidak menampilkan senyum sedikitpun. Tetap terlihat canggung dan pura-pura bodoh di depan ketiga pria yang sedang menatapnya. “Jadi ... saya menang, kan?”
Wahyu menarik napas dalam-dalam. Meletakkan kedua siku di lengan kursi dan menyatukan kesepuluh jemarinya di depan dada. Menelisik ekspresi Indah yang tidak terbaca, dengan seksama.
Jarang-jarang ada gadis di zaman sekarang, yang bisa bermain catur seperti Indah. Beberapa mungkin hanya bisa bermain, tetapi Indah sungguh-sungguh memasang strateginya. Gadis itu tidak berjalan semaunya, tetapi memikirkan setiap langkah ketika memainkan bidak caturnya.
“Kamu sering main catur?” tanya Budiman mulai tertarik dengan penampilan Indah yang tidak mencolok.
Indah menggeleng. Sejurus itu, ia mengangguk dan sengaja membuat bingung pria yang menanti jawabannya. “Waktu kecil, sering. Tapi, makin ke sini, sudah jarang.”
“Waktu kecil?” tanya Sabda akhirnya bisa bernapas lega dan cukup terkejut dengan kemampuan Indah.
“Almarhum papa.” Indah menunduk. Menyembunyikan kesedihan sejenak, lalu kembali mengangkat wajah.
“Maaf,” ucap Sabda tidak mengetahui jika Indah sudah tidak memiliki seorang ayah.
“Jadi, apa yang kamu mau?” tanya Wahyu enggan mendengar kisah sedih seseorang untuk menarik simpati. Semua sandiwara seperti itu, sudah sering kali Wahyu dengar sepanjang karirnya sebagai pengacara.
“Boleh ... saya datang ke resepsi pernikahan pak Wahyu?”
Satu alis Wahyu terangkat tipis. Tidak menduga Indah akan meminta hal seperti itu.
“Nggak mau minta yang lain?” Budiman semakin penasaran. “Wahyu bilang, dia akan ngasih apa pun! Kamu bisa minta motor, mobil, rumah, apartemen?”
Indah menggigit bibir atasnya seraya menggeleng. “Saya cuma mau datang ke undangan pak Wahyu.”
“Kenapa?” tanya Wahyu masih bertahan dengan posisinya. “Kamu mau bawa “sesuatu” ke sana?”
Indah akhirnya terkekeh pelan dan formal. “Saya cuma penasaran sama pernikahan orang-orang kaya, karena belum pernah kebagian jatah ngeliput langsung. Tapi, kalau pak Wahyu keberatan, saya nggak masalah.”
“Ingatkan Sabda untuk hubungi aku, seminggu sebelum tanggal pernikahan,” ujar Wahyu belum bisa percaya sepenuhnya dengan ucapan gadis itu. “Kasih nama lengkap dan no hapemu ke dia, nanti pihak WO akan kirim barcodenya.”
“Terima kasih, Pak.” Indah memundurkan kursinya dan tidak ingin berlama-lama, karena satu tujuannya akhirnya tercapai. Tanpa hambatan. “Kalau gitu, saya pergi dulu. Permi—”
“Permainannya belum selesai,” putus Wahyu menatap datar. “Sekarang giliranku.”
“Maaf, Pak.” Indah berdiri dan memberi senyum formal. “Sesuai perjanjian awal, kita cuma sampai 10 langkah. Karena ini sudah malam, saya mohon undur—”
“Aku antar kamu pulang, kalau kamu bisa kalahkan aku.” Wahyu kembali menyela, memancing Indah. Memangnya, wanita mana yang tidak ingin diantar pulang oleh Wahyu? Mungkin saja, justru hal tersebut yang menjadi incaran Indah.
“Maaf, saya nggak bisa. Saya mau pulang.” Indah menunduk sopan dan bersiap pergi. “Permisi.”
“Tetap duduk di tempatmu, Sab,” titah Wahyu sambil menatap punggung Indah yang menjauh pergi. Dugaan Wahyu salah. Gadis itu tidak serta merta menunjukkan ketertarikannya pada Wahyu. Indah sepertinya mengulur waktu, agar tidak terlihat mencolok karena dia masih karyawan baru di Warta. “Sudah berapa lama dia Warta?”
“Seminggu,” jawab Sabda tidak jadi menyusul Indah. “Dia dari Surabaya. Tribun Kota.”
“Nama lengkapnya?” tanya Wahyu lagi.
“Indah Kurnia.”
Budiman merespons jawaban Sabda dengan kekehan. “Sejak kapan kamu hafal dengan nama lengkap karyawan di sini, Sab? Mau Papa lamarkan langsung ke ibunya? Lumayan, kan, Papa bisa punya teman main catur kalau lagi di rumah.”
“Andaipun aku nikah, aku sama istriku pasti tinggal di rumah sendiri,” terang Sabda. “Aku nggak mau istriku—”
“Aku pergi dulu.” Wahyu bangkit lalu menunjuk Sabda. “Ingatkan bawahanmu tadi. Jangan ambil gambar apa pun di resepsiku dengan April. Dan pastikan, dia tutup mulut.”
~~~~~~~~~~~~~
Sita dan Bahar.
Indah harus mencari tahu kabar dan keberadaan kedua orang tersebut. Sudah seminggu berada di Jakarta, tetapi Indah tidak bisa melacak dan menemukan jejak keduanya.
Di mana Sita dan Bahar tinggal saat ini? Dan apa yang mereka lakukan selama 15 tahun terakhir, setelah “melepas” Indah di terminal bus kala itu.
Entah dari mana Indah harus mulai mencari, karena belum memiliki akses liputan dengan pihak Kalingga. Ia ditempatkan di desk hukum dan politik, sehingga belum bisa langsung mencari tahu perihal keluarga Kalingga dengan leluasa.
Namun, Indah akan sabar menunggu resepsi pernikahan Wahyu dan April bulan depan, agar bisa masuk dan melihat wajah-wajah yang sudah membohonginya selama ini. Ternyata, perusahaan Kalingga baik-baik saja dan tidak pernah diterpa isu bangkrut sama sekali.
Sebuah suara klakson mobil, membuat lamunan Indah yang sedang berjalan keluar area gedung terkesiap. Indah menoleh pada mobil yang berhenti di sebelahnya, lalu menunduk ketika kaca jendela penumpang bagian depan sudah terbuka sempurna.
“Masuk.”
Indah mengerjap. Masih menatap pria di belakang kemudi dengan menahan letupan emosinya, ketika memikirkan keluarga Kalingga.
“Untuk?” tanya Indah menatap Wahyu tanpa memberi senyum. Hanya ada ekspresi polos, sambil membenarkan posisi kacamata yang tidak berpindah ke mana pun.
“Masuk,” titah Wahyu sekali lagi. “Dan kamu nggak perlu lagi sandiwara.”
Akhirnya Indah mengerti. Wahyu hampir bisa membaca pikirannya dan ingin memperjelas semuanya dengan bicara langsung. Dengan begini, Indah tidak boleh gegabah karena rencananya bisa berantakan.
Indah mendekat, tetapi tidak berniat masuk. Memberi ekspresi datar pada Wahyu, karena tidak perlu berpura-pura polos lagi di depan pria itu.
“Maaf, tapi nggak ada yang perlu kita bicarakan kecuali masalah janji pak Wahyu untuk mengundang saya bulan depan,” ujar Indah tegas. “Selamat malam pak Wahyu, selamat beristirahat.”
Wahyu terdiam menatap datar. Menahan rasa kesal sekaligus penasaran, karena gadis tersebut dengan mudah menolak perintahnya. Indah benar-benar menolak dan memberi sebuah tatapan tegas tanpa ragu. Bukan sebuah kepura-puraan, seperti yang dilakukannya selama mereka bermain catur.
Ada hal yang gadis itu sembunyikan, tetapi Wahyu belum bisa berasumsi apa pun. Tadinya, Wahyu mengira Indah sengaja berada di area indoor rooftop, untuk mencuri perhatiannya seperti wanita kebanyakan. Namun, setelah melihat bagaimana Indah menatap dan bicara padanya barusan, gadis itu tidak memiliki “ketertarikan” seperti itu pada Wahyu.
“Oke, selamat malam juga dan selamat beristirahat,” ucap Wahyu kembali meluruskan pandangan ke depan sembari menutup kaca jendelanya. Pergi dari hadapan Indah dan melajukan roda empatnya pulang ke rumah untuk beristirahat. Namun, Wahyu segera menghubungi seseorang sambil terus berkonsentrasi dengan kemudinya. Ketika panggilannya diterima, ia segera memberi perintah tanpa basa-basi. "Ken! Cari tahu tentang Indah Kurnia! Karyawan baru Warta, pindahan dari Tribun Kota, Surabaya! Jangan sampai ada yang terlewat!"
“Pagi, Mas Sabda,” sapa Indah lebih dulu, ketika melihat pria itu sudah duduk di mejanya di pagi hari seperti sekarang. Padahal, Indah sudah berangkat sangat pagi sekali ke kantor, agar bisa bebas melakukan beberapa hal. Namun, pria itu ternyata sudah lebih dulu berada di mejanya.“Yang semalam.” Sabda sedikit memundurkan kursi berodanya, lalu bersandar dan bersedekap, menatap Indah. Hari memang masih terlalu pagi, karena itulah mayoritas meja tim dan kubikel di ruang redaksi masih tampak lengang. “Jangan pernah diulangi lagi. Mempertaruhkan pekerjaanmu di sana, itu termasuk langkah yang bodoh.”“Baik, Mas.” Indah melepas ranselnya lalu meletakkan di lantai. Duduk di kursinya, lalu menyalakan perangkat komputer miliknya. Tidak akan membantah, agar tidak ada perdebatan di luar ranah profesionalisme.Sabda mendesis kecil, karena Indah ternyata agak susah ditebak. Tadinya, ia sempat mengira Indah akan memberi argumen terkait perbuatannya tadi malam. Namun, gadis itu justru menuruti ucapa
Indah menarik napas panjang setelah keluar dari taksi. Segera menaiki pelataran hotel agar tidak mengganggu kedatangan tamu lainnya. Kemudian, ia berdiam lebih dulu untuk mengontrol lonjakan emosi yang tidak bisa dimengerti. Debaran jantungnya mendadak bertalu, membuat Indah harus berpikir ulang mengenai banyak hal.Haruskan ia masuk ke dalam dan bertemu dengan keluarganya? Memperkenalkan diri sebagai Anggun Kalingga dan meminta semua hak yang sudah dirampas darinya selama ini?Atau, tetap bersembunyi dengan identitas barunya dan membalas semuanya dalam diam.Di saat-saat seperti ini, mengapa perasaan Indah menjadi goyah?Tidak ... Indah tidak boleh berubah haluan.Ia menggeleng cepat, untuk menyadarkan diri. Mengingat kembali akan kesakitan hidup yang dideritanya selama ini. Terusir dari rumah dengan semua privilege yang dimilikinya dan menjalani hidup pas-pasan, bahkan kekurangan. Untuk itulah, Indah lantas melangkah maju. Mengangkat dagu dan berjalan dengan dengan elegan menuju r
“Saya ... Indah.”Tidak bisa berkelit, akhirnya Indah mengikuti sandiwara yang dilakukan Sabda. Dengan terpaksa dan tanpa persiapan, Indah mau tidak mau mengulurkan tangannya lebih dulu pada Regan untuk memperkenalkan diri. Berusaha keras menutupi kegugupannya, walaupun tangannya kini terasa beku tidak terkira. Mungkin, Regan bisa merasakan hal itu ketika menjabat tangan Indah.“Panggil saya Om Regan kalau begitu.” Kendati sempat terkejut dan curiga, Regan akhirnya menyambut uluran tangan Indah dengan hangat setelah tahu gadis itu adalah kekasih Sabda. “Akhirnya, bawa pacar juga kamu, Sab!”“Iya, Om!” Sabda semakin merapatkan tubuh Indah, ketika melihat tatapan datar Wahyu padanya. “Akhirnya.”“Buruan nyusul Wahyu!” Regan tersenyum ramah dan memberi anggukan kecil. Setelahnya, ia kembali beralih pada Wahyu dan bertanya mengenai putrinya. “Ke mana April, Yu?”Wahyu menarik panjang napasnya sambil menatap papa mertuanya. “Sama MUA-nya. Ada yang lepas di rambutnya, jadi ke belakang sebent
"Si-siapa kalian ..." suara Indah bergetar, matanya melirik panik pada kedua pria yang kini mengapitnya. Terlebih lagi, ketika pria yang berada di samping kanannya mengeluarkan pisau lipat dengan cepat, lalu menodong sopir di depannya.“Jalan dan diam!”“I-iya, Bang!” Sopir tidak mampu berkutik, karena sisi pisau sudah berada di lehernya. Meskipun mereka berada di tempat umum, tetapi ia tidak boleh gegabah. Salah sedikit, mungkin saja nyawanya yang menjadi taruhan. “Ka-kalian mau apa?” Indah mencoba menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.“Jauhi Wahyu Sadhana,” titah pria di sisi kiri Indah sambil mengeluarkan pisau lipat kecil. Ia menjalankan pisau itu perlahan di sepanjang sisi wajah Indah, membuatnya gemetar.Indah menahan napas, merasakan dinginnya logam di kulitnya. “Wa-Wahyu Sadhana ... Si-siapa yang—”“Diam!” desis pria yang sama seraya menekan ujung pisaunya di pipi Indah, hingga goresan kecil muncul dan darah tipis mulai merembes. “Ini peringatan pertama.”Indah men
“Kamu nyuruh orang ngancam Indah.” Wahyu bukan bertanya, melainkan memberi pernyataan sambil memasukkan ponsel ke saku celana. Mengingat kembali, saat April berpamitan pergi ketika resepsi berlangsung, dengan alasan membenarkan tatanan rambutnya.Sebenarnya, Wahyu tidak terkejut dengan hal seperti ini, karena pernah mengalami hal yang sama dahulu kala. April memang seposesif itu dan tidak ingin semua yang jadi miliknya diganggu atau disentuh orang lain.“Ah! Aku benar, kan!” April menghabiskan jarak. “Perempuan yang diaku-aku pacar sama Sabda, ternyata juga mainanmu. Jadi, kalian sharing atau gimana?”“Suamimu pengacara, tapi kamu dengan entengnya melanggar hukum?” Wahyu menarik napas panjang, berusaha menahan emosinya dan mengabaikan ucapan April.“Kamu punya bukti?” April bersedekap, tersenyum angkuh. “Andaipun ada bukti, apa kamu mau menuntut istri SAHmu, demi mainanmu itu?”“Kamu pikir aku takut?” Wahyu menunjuk bahu April dan memberi dorongan kecil. “Ini terakhir kalinya, Pril! J
Wahyu meninggalkan April di malam pertama mereka?Sabda bergeming memikirkan hal tersebut. Memiringkan sedikit kepalanya dan bertolak pinggang setelah mengakhiri panggilan April secara sepihak. Malam memang telah sangat larut, tetapi pikiran Sabda belum bisa terpejam sejak tadi.Karena siapa lagi, kalau bukan karena memikirkan Indah. Gadis biasa, yang mulai menarik perhatian Sabda sejak permainan catur malam itu.Di kantor, Indah bukanlah sosok wanita yang mencolok. Tidak banyak protes, maupun mencari perhatian seperti kebanyakan pekerja di kantor. Kinerjanya cenderung lambat, tetapi untuk hasil akhir, Sabda bisa memberi acungan jempol. Hampir sempurna.Karena itulah, malam itu Sabda ingin mentraktir Indah untuk membicarakan kekurangan gadis itu secara santai. Sebuah kebiasaan Sabda, yang sudah sejak dulu ia lakukan pada karyawan yang berada di bawah kepemimpinannya.Namun, sikap tidak terduga Indah malam itu mengubah semua sudut pandang Sabda. Indah bukanlah gadis biasa yang bisa dian
“April sialan,” maki Sabda tetapi tanpa emosi dan terdengar santai, setelah mendengar cerita singkat dari Indah. Gadis itu bercerita dengan malas, sambil menyantap mi instannya seorang diri tanpa menawari Sabda.“Aku sudah cerita.” Indah meletakkan cup mi instan yang baru saja habis tidak bersisa, di meja belajar. “Jadi, Mas Sabda sudah bisa pulang.”“Kamu nggak takut tinggal sendirian di sini?” tanya Sabda masih duduk di tepi kasur. “Mereka bilang masih ngawasin kamu dan Wahyu baru dari sini.”Indah menggeleng. Meskipun takut, tetapi ia tidak akan menunjukkan hal tersebut pada siapa pun. “Pak Wahyu bilang, dia juga sudah nyuruh orang buat ngawasin aku. Tapi nggak tahu.” Indah mengendik. Menekuk kedua kakinya ke atas, lalu memeluknya. “Beneran apa, nggak.”“Gimana kalau nggak?” Sabda sengaja membuat Indah bimbang. Walaupun ia tahu benar, Wahyu tidak pernah main-main dengan ucapannya. Jika pria itu mengatakan sudah menyuruh orang mengawasi Indah, itu artinya gadis itu benar-benar dalam
“Ada maunya, baru pulang ke rumah.” Budiman menyindir putranya yang baru duduk di meja makan dan mengambil piring tanpa basa-basi.“Buah jatuh nggak jauh dari pohonnya.” Syifa balas menyindir sang suami, yang juga pernah bersikap seperti Sabda dahulu kala. “Aku minta saham Warta.” Sabda mengambil nasi dan lauk yang sudah tersedia di meja.Belum sempat membalas ucapan istrinya, Budiman langsung diserang oleh Sabda. Namun, Budiman tidak serta merta membahas permasalahan saham, karena ada yang ingin ia tanyakan lebih dulu.“Kamu pacaran sama Indah?” tanya Budiman memastikan, karena Syifa sempat bertemu gadis itu tadi malam dan tidak dengan dirinya. “Indah yang anak baru itu? Yang main catur dengan Wahyu.”“Hm.” Sabda mulai menyantap sarapannya. Ia tidak bisa mengelak, karena sandiwara tersebut sudah terlanjur terlontar dari mulutnya tadi malam. “Kenapa? Papa nggak setuju aku pacaran sama karyawan?”“Nggak ada masalah,” balas Budiman melirik pada istrinya. “Tapi, kalau bisa nggak usah lam