Share

BR ~ 3

“Done. 10 langkah!” Indah mempertahankan wajah polosnya dan tidak menampilkan senyum sedikitpun. Tetap terlihat canggung dan pura-pura bodoh di depan ketiga pria yang sedang menatapnya. “Jadi ... saya menang, kan?”

Wahyu menarik napas dalam-dalam. Meletakkan kedua siku di lengan kursi dan menyatukan kesepuluh jemarinya di depan dada. Menelisik ekspresi Indah yang tidak terbaca, dengan seksama.

Jarang-jarang ada gadis di zaman sekarang, yang bisa bermain catur seperti Indah. Beberapa mungkin hanya bisa bermain, tetapi Indah sungguh-sungguh memasang strateginya. Gadis itu tidak berjalan semaunya, tetapi memikirkan setiap langkah ketika memainkan bidak caturnya.

“Kamu sering main catur?” tanya Budiman mulai tertarik dengan penampilan Indah yang tidak mencolok.

Indah menggeleng. Sejurus itu, ia mengangguk dan sengaja membuat bingung pria yang menanti jawabannya. “Waktu kecil, sering. Tapi, makin ke sini, sudah jarang.”

“Waktu kecil?” tanya Sabda akhirnya bisa bernapas lega dan cukup terkejut dengan kemampuan Indah.

“Almarhum papa.” Indah menunduk. Menyembunyikan kesedihan sejenak, lalu kembali mengangkat wajah.

“Maaf,” ucap Sabda tidak mengetahui jika Indah sudah tidak memiliki seorang ayah.

“Jadi, apa yang kamu mau?” tanya Wahyu enggan mendengar kisah sedih seseorang untuk menarik simpati. Semua sandiwara seperti itu, sudah sering kali Wahyu dengar sepanjang karirnya sebagai pengacara.

“Boleh ... saya datang ke resepsi pernikahan pak Wahyu?”

Satu alis Wahyu terangkat tipis. Tidak menduga Indah akan meminta hal seperti itu.

“Nggak mau minta yang lain?” Budiman semakin penasaran. “Wahyu bilang, dia akan ngasih apa pun! Kamu bisa minta motor, mobil, rumah, apartemen?”

Indah menggigit bibir atasnya seraya menggeleng. “Saya cuma mau datang ke undangan pak Wahyu.”

“Kenapa?” tanya Wahyu masih bertahan dengan posisinya. “Kamu mau bawa “sesuatu” ke sana?”

Indah akhirnya terkekeh pelan dan formal. “Saya cuma penasaran sama pernikahan orang-orang kaya, karena belum pernah kebagian jatah ngeliput langsung. Tapi, kalau pak Wahyu keberatan, saya nggak masalah.”

“Ingatkan Sabda untuk hubungi aku, seminggu sebelum tanggal pernikahan,” ujar Wahyu belum bisa percaya sepenuhnya dengan ucapan gadis itu. “Kasih nama lengkap dan no hapemu ke dia, nanti pihak WO akan kirim barcodenya.”

“Terima kasih, Pak.” Indah memundurkan kursinya dan tidak ingin berlama-lama, karena satu tujuannya akhirnya tercapai. Tanpa hambatan. “Kalau gitu, saya pergi dulu. Permi—”

“Permainannya belum selesai,” putus Wahyu menatap datar. “Sekarang giliranku.”

“Maaf, Pak.” Indah berdiri dan memberi senyum formal. “Sesuai perjanjian awal, kita cuma sampai 10 langkah. Karena ini sudah malam, saya mohon undur—”

“Aku antar kamu pulang, kalau kamu bisa kalahkan aku.” Wahyu kembali menyela, memancing Indah. Memangnya, wanita mana yang tidak ingin diantar pulang oleh Wahyu? Mungkin saja, justru hal tersebut yang menjadi incaran Indah.

“Maaf, saya nggak bisa. Saya mau pulang.” Indah menunduk sopan dan bersiap pergi. “Permisi.”

“Tetap duduk di tempatmu, Sab,” titah Wahyu sambil menatap punggung Indah yang menjauh pergi. Dugaan Wahyu salah. Gadis itu tidak serta merta menunjukkan ketertarikannya pada Wahyu. Indah sepertinya mengulur waktu, agar tidak terlihat mencolok karena dia masih karyawan baru di Warta. “Sudah berapa lama dia Warta?”

“Seminggu,” jawab Sabda tidak jadi menyusul Indah. “Dia dari Surabaya. Tribun Kota.”

“Nama lengkapnya?” tanya Wahyu lagi.

“Indah Kurnia.”

Budiman merespons jawaban Sabda dengan kekehan. “Sejak kapan kamu hafal dengan nama lengkap karyawan di sini, Sab? Mau Papa lamarkan langsung ke ibunya? Lumayan, kan, Papa bisa punya teman main catur kalau lagi di rumah.”

“Andaipun aku nikah, aku sama istriku pasti tinggal di rumah sendiri,” terang Sabda. “Aku nggak mau istriku—”

“Aku pergi dulu.” Wahyu bangkit lalu menunjuk Sabda. “Ingatkan bawahanmu tadi. Jangan ambil gambar apa pun di resepsiku dengan April. Dan pastikan, dia tutup mulut.”

~~~~~~~~~~~~~

Sita dan Bahar.

Indah harus mencari tahu kabar dan keberadaan kedua orang tersebut. Sudah seminggu berada di Jakarta, tetapi Indah tidak bisa melacak dan menemukan jejak keduanya.

Di mana Sita dan Bahar tinggal saat ini? Dan apa yang mereka lakukan selama 15 tahun terakhir, setelah “melepas” Indah di terminal bus kala itu.

Entah dari mana Indah harus mulai mencari, karena belum memiliki akses liputan dengan pihak Kalingga. Ia ditempatkan di desk hukum dan politik, sehingga belum bisa langsung mencari tahu perihal keluarga Kalingga dengan leluasa.

Namun, Indah akan sabar menunggu resepsi pernikahan Wahyu dan April bulan depan, agar bisa masuk dan melihat wajah-wajah yang sudah membohonginya selama ini. Ternyata, perusahaan Kalingga baik-baik saja dan tidak pernah diterpa isu bangkrut sama sekali.

Sebuah suara klakson mobil, membuat lamunan Indah yang sedang berjalan keluar area gedung terkesiap. Indah menoleh pada mobil yang berhenti di sebelahnya, lalu menunduk ketika kaca jendela penumpang bagian depan sudah terbuka sempurna.

“Masuk.”

Indah mengerjap. Masih menatap pria di belakang kemudi dengan menahan letupan emosinya, ketika memikirkan keluarga Kalingga.

“Untuk?” tanya Indah menatap Wahyu tanpa memberi senyum. Hanya ada ekspresi polos, sambil membenarkan posisi kacamata yang tidak berpindah ke mana pun.

“Masuk,” titah Wahyu sekali lagi. “Dan kamu nggak perlu lagi sandiwara.”

Akhirnya Indah mengerti. Wahyu hampir bisa membaca pikirannya dan ingin memperjelas semuanya dengan bicara langsung. Dengan begini, Indah tidak boleh gegabah karena rencananya bisa berantakan.

Indah mendekat, tetapi tidak berniat masuk. Memberi ekspresi datar pada Wahyu, karena tidak perlu berpura-pura polos lagi di depan pria itu.

“Maaf, tapi nggak ada yang perlu kita bicarakan kecuali masalah janji pak Wahyu untuk mengundang saya bulan depan,” ujar Indah tegas. “Selamat malam pak Wahyu, selamat beristirahat.”

Wahyu terdiam menatap datar. Menahan rasa kesal sekaligus penasaran, karena gadis tersebut dengan mudah menolak perintahnya. Indah benar-benar menolak dan memberi sebuah tatapan tegas tanpa ragu. Bukan sebuah kepura-puraan, seperti yang dilakukannya selama mereka bermain catur.

Ada hal yang gadis itu sembunyikan, tetapi Wahyu belum bisa berasumsi apa pun. Tadinya, Wahyu mengira Indah sengaja berada di area indoor rooftop, untuk mencuri perhatiannya seperti wanita kebanyakan. Namun, setelah melihat bagaimana Indah menatap dan bicara padanya barusan, gadis itu tidak memiliki “ketertarikan” seperti itu pada Wahyu.

“Oke, selamat malam juga dan selamat beristirahat,” ucap Wahyu kembali meluruskan pandangan ke depan sembari menutup kaca jendelanya. Pergi dari hadapan Indah dan melajukan roda empatnya pulang ke rumah untuk beristirahat. Namun, Wahyu segera menghubungi seseorang sambil terus berkonsentrasi dengan kemudinya. Ketika panggilannya diterima, ia segera memberi perintah tanpa basa-basi. "Ken! Cari tahu tentang Indah Kurnia! Karyawan baru Warta, pindahan dari Tribun Kota, Surabaya! Jangan sampai ada yang terlewat!"

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Adita Yani
aq sangat suka alur ceritanya
goodnovel comment avatar
Iin Rahayu
Awas lhooooo mas Wahyu nanti anda jatuh cinta sama mba Indah, Bersaing sama mas Sabda wkwkwkw....
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
kaaan bener klo perusahaan bapaknya Indah baik² saja.. pasti om nya Indah pengen menguasai harta papanya..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status