Lima belas tahun kemudian.
~~~~~~~~
Jakarta.
Akhirnya, Anggun kembali menginjakkan kaki di tempat dia dilahirkan, setelah 15 tahun berada di Surabaya. Hidup tertatih, dengan semua kekurangan dan harus mengganti identitas menjadi Indah Kurnia, seperti yang disarankan oleh Sita.
Anggun Kalingga, sudah tiada. Ia dititipkan Bahar ke seseorang di Surabaya dan rutin mengirimkan uang sampai Anggun lulus SMA.
Namun, setelahnya Bahar tidak lagi mengirimkan uang dan hilang begitu saja. Sementara Sita, Anggun sudah tidak tahu menahu tentang wanita itu sejak mereka berpisah di bus kala itu.
“Belum selesai, In?” tanya Sabda, eksekutif produser yang menangani program debat politik – Retorika – di Warta. Salah satu perusahaan media ternama, di ibukota yang terkenal dengan liputan mendalam dan kontroversinya.
Indah terkesiap, ketika seseorang menepuk pundak dan sudah berdiri di sampingnya. Tidak bisa mengganti layar komputer, karena Sabda pasti sudah melihat apa yang Indah lakukan.
“Kalingga?” tanya Sabda lalu menunduk. Mensejajarkan kepalanya dengan Indah yang masih duduk di kursinya. “Nggak ada berita politik di sana.”
Indah tersenyum formal. Menggeser kursi berodanya sedikit menjauh, untuk menjaga jarak mereka. “Saya dengar, anaknya yang punya Kalingga Grup mau nikah sama pengacara ... siapa, Mas, namanya?” tanyanya pura-pura tidak tahu.
“Mau apa tanya-tanya?” Sabda menarik napas dalam dan kembali berdiri tegak. Ia bersedekap, menatap tajam ke arah Indah yang hanya memberikan senyum kecil, senyum yang terlihat begitu formal dan berjarak.
"Kamu asli Surabaya atau cuma kuliah dan kebetulan kerja di sana?” Sabda masih saja dalam mode selidik dan tetap menjaga wibawanya. “Padahal asli sini?”
“Asli Suroboyo!” seru Indah sambil mengeluarkan logat Jawanya yang dipelajarinya selama tinggal di daerah tersebut. “Saya dengar dari anak-anak aja, sih, Mas. Katanya acaranya tertutup. Nggak boleh diliput.”
Sabda menghela panjang dan mengangguk. “Mereka butuh privacy.”
Indah tersenyum samar dan kembali ke posisinya. Menutup browser di layar, lalu mematikan perangkat komputernya. “Oia, Mas Sabda ada perlu sama saya?”
“Sudah mau pulang? Atau masih ada yang mau dikerjain?”
“Pulang.” Indah mengambil ranselnya yang tergeletak di lantai lalu memakainya. “Tapi mau makan bentar di kantin bawah.”
“Ayo!” Sabda sudah berbalik pergi meninggalkan Indah lebih dulu. “Aku traktir makan di atas, bukan di bawah.”
~~~~~~~~~~~~
“Sadhana.” Sabda membuka obrolan ketika lift sudah melesat ke atas.
“Sadhana?” Indah mengulang ucapan Sabda dengan pelan, karena tidak asing dengan dengan nama tersebut. Masih bertanya-tanya, mengapa Sabda mendadak mengajaknya makan di rooftop kantor? “Kenapa dengan Sadhana?”
“Keluarga Sadhana punya 10 persen saham di perusahaan ini,” terang Sabda tanpa menoleh dan hanya menatap lurus ke arah pintu. “Jadi, kita nggak bisa sembarangan memberitakan mereka.”
“Oke.” Empat tahun menjadi reporter, Indah sudah paham akan politik yang tersembunyi di balik pemberitaan yang tersebar di masyarakat. “Dan kenapa kita mendadak bicarain mereka?”
Sabda keluar lebih dulu ketika pintu lift terbuka, tanpa memberi jawaban pada Indah. Ia berhenti sejenak untuk melihat meja kosong, tetapi, tatapannya terhenti pada satu meja yang berada di area indoor yang sepi. Hanya ada dua orang yang berada di dalamnya dan mereka berada tepat di tengah ruang.
“Karena kamu sedang melihat website Kalingga Grup.” Sabda kembali membuka suara, ketika Indah sudah berada di sampingnya. Kemudian, telunjuknya mengarah pada area indoor restoran. “Lihat di sana.”
Indah memicing sambil menurunkan sedikit kacamatanya. Melihat dua orang pria yang sedang duduk berseberangan, tetapi anehnya tidak ada siapa pun di dalam sana kecuali mereka.
“Mereka—”
“Wahyu Sadhana. Kemeja hitam,” putus Sabda. “Dia pengacara yang akan menikah dengan Aprilia Kalingga dua minggu lagi.
Kedua tangan Indah mengepal erat saat mendengar nama sepupunya. “Terus, siapa yang ada di depan pak Wahyu?”
“Direktur Warta yang selalu datang nggak dijemput, pulang nggak diantar.” Sabda kembali meninggalkan Indah menuju meja kosong yang berada tidak jauh dari area indoor.
“Ha?” Indah segera mengejar pria itu. “Kok, kayak jelangkung?”
“Pak Budiman memang begitu,” ujar Sabda menarik kursi lalu mendudukinya. “Dia itu seperti jelangkung. Nggak tahu kapan datang dan kapan pulangnya. Suka-suka dia. Duduk.”
Indah menggeleng. Menatap area indoor yang sepi dari pengunjung. “Saya mau duduk di dalam.”
“Nggak ada satu orang pun yang boleh ke dalam, kalau ada mereka di sana,” larang Sabda.
“Kenapa?” Semakin dilarang, Indah semakin penasaran. Terlebih, ketika melihat kedua pria itu hanya terdiam dan berkonsentrasi dengan bidak-bidak catur di hadapan.
“Karena memang begitu peraturannya.”
“Saya nggak tahu ada peraturan seperti itu.”
Gambling.
Indah tersenyum samar dan berjalan cepat meninggalkan Sabda. Kesempatan yang ada di depan mata, tidak boleh terbuang sia-sia. Dengan wajah polosnya, ia memasuki area indoor dan memesan minuman terlebih dahulu.
“Mas, saya pesan—”
“Silakan pesan di luar, Kak,” ujar seorang pria yang berada di belakang meja bar. “Di sini—”
“Tapi saya mau di—”
“Ruangan ini sudah di reservasi sama pak Budiman.”
Indah berbalik. Kembali memasang wajah polos dan melihat ke arah yang dimaksud. Tatapannya langsung bersirobok dengan pria yang memakai kemeja hitam. Wahyu Sadhana.
“Kamu! Anak baru di sini?” tanya Wahyu datar.
Indah mengangguk. Membenarkan kacamatanya, lalu memegang kedua tali ranselnya dengan erat. Sejurus itu, ia berpaling dari Wahyu karena suara decakan pria yang baru saja membuka pintu.
“Maaf,” ucap Sabda hanya memberi lirikan pada Wahyu yang menatapnya. “Dia anak baru, nggak tahu apa-apa.” Ketika sudah berada di samping Indah, Sabda segera meraih siku gadis itu lalu menariknya keluar.
“Sabda,” panggil pria yang duduk berseberangan dengan Wahyu. “Duduk di sini.”
“Aku lapar, mau makan di luar,” jawab Sabda.
Indah bertahan di tempat. Kembali bertanya-tanya tentang Sabda, yang berani menjawab sang direktur tanpa formalitas sama sekali. Sepertinya, ada hal yang terlewat oleh Indah.
“Duduk di sini.” Wahyu menarik kursi yang berada di antara dirinya dan Budiman. Kemudian, mengangkat satu tangan guna memanggil seorang pelayan. “Skakmat. Gantikan pak Budiman.”
Sabda menarik napas panjang dan melepas lengan Indah. “Aku traktir lain kali. Pulang sana.”
Bukannya melangkah keluar resto, Indah justru melangkah pelan menghampiri meja Wahyu dan Budiman. “Boleh saya yang gantiin pak Budiman?”
Wahyu dan Budiman menatap Indah bersamaan. Dengan kompaknya, mereka menelisik penampilan Indah dari ujung rambut hingga kaki.
“Kami main, bukan untuk sekadar main-main.” Wahyu beralih pada bidak-bidak di papan catur dan menyusunnya kembali. “Ada yang dipertaruhkan di sini. Jadi, keluar.”
“In, pulanglah,” titah Sabda agak khawatir dengan nasib Indah karena sudah lancang mengganggu Budiman dan Wahyu. “Sampai ketemu besok.”
“Apa ... yang jadi taruhan?” tanya Indah tetap memasang wajah polosnya. “Uang?”
“In—”
“Pekerjaanmu,” Wahyu menyela Sabda untuk mengancam gadis yang menurutnya hanya mencari perhatian. “Kamu boleh gantikan pak Budiman, asal taruhannya pekerjaanmu. Kalah 10 langkah, pergi dari Warta dan jangan kembali lagi.”
“Indah, pulang sekarang!” titah Sabda masih mencoba sabar. “Jangan—”
“Oke!” Indah duduk di kursi yang seharusnya untuk Sabda. “Tapi kalau saya masih bertahan dalam 10 langkah, apa yang saya dapat?”
Wahyu tersenyum miring. Beranjak dari kursinya lalu duduk berhadapan dengan Indah. Wahyu ingin lihat, sampai di mana gadis tersebut bisa menyombongkan diri. “Apa pun ... yang kamu mau.”
“Oke.” Indah mengangguk pelan dan tetap berusaha terlihat canggung, juga bodoh di depan Wahyu maupun Budiman. “Ayo kita mulai!”
“Done. 10 langkah!” Indah mempertahankan wajah polosnya dan tidak menampilkan senyum sedikitpun. Tetap terlihat canggung dan pura-pura bodoh di depan ketiga pria yang sedang menatapnya. “Jadi ... saya menang, kan?”Wahyu menarik napas dalam-dalam. Meletakkan kedua siku di lengan kursi dan menyatukan kesepuluh jemarinya di depan dada. Menelisik ekspresi Indah yang tidak terbaca, dengan seksama.Jarang-jarang ada gadis di zaman sekarang, yang bisa bermain catur seperti Indah. Beberapa mungkin hanya bisa bermain, tetapi Indah sungguh-sungguh memasang strateginya. Gadis itu tidak berjalan semaunya, tetapi memikirkan setiap langkah ketika memainkan bidak caturnya.“Kamu sering main catur?” tanya Budiman mulai tertarik dengan penampilan Indah yang tidak mencolok.Indah menggeleng. Sejurus itu, ia mengangguk dan sengaja membuat bingung pria yang menanti jawabannya. “Waktu kecil, sering. Tapi, makin ke sini, sudah jarang.”“Waktu kecil?” tanya Sabda akhirnya bisa bernapas lega dan cukup terkej
“Pagi, Mas Sabda,” sapa Indah lebih dulu, ketika melihat pria itu sudah duduk di mejanya di pagi hari seperti sekarang. Padahal, Indah sudah berangkat sangat pagi sekali ke kantor, agar bisa bebas melakukan beberapa hal. Namun, pria itu ternyata sudah lebih dulu berada di mejanya.“Yang semalam.” Sabda sedikit memundurkan kursi berodanya, lalu bersandar dan bersedekap, menatap Indah. Hari memang masih terlalu pagi, karena itulah mayoritas meja tim dan kubikel di ruang redaksi masih tampak lengang. “Jangan pernah diulangi lagi. Mempertaruhkan pekerjaanmu di sana, itu termasuk langkah yang bodoh.”“Baik, Mas.” Indah melepas ranselnya lalu meletakkan di lantai. Duduk di kursinya, lalu menyalakan perangkat komputer miliknya. Tidak akan membantah, agar tidak ada perdebatan di luar ranah profesionalisme.Sabda mendesis kecil, karena Indah ternyata agak susah ditebak. Tadinya, ia sempat mengira Indah akan memberi argumen terkait perbuatannya tadi malam. Namun, gadis itu justru menuruti ucapa
Indah menarik napas panjang setelah keluar dari taksi. Segera menaiki pelataran hotel agar tidak mengganggu kedatangan tamu lainnya. Kemudian, ia berdiam lebih dulu untuk mengontrol lonjakan emosi yang tidak bisa dimengerti. Debaran jantungnya mendadak bertalu, membuat Indah harus berpikir ulang mengenai banyak hal.Haruskan ia masuk ke dalam dan bertemu dengan keluarganya? Memperkenalkan diri sebagai Anggun Kalingga dan meminta semua hak yang sudah dirampas darinya selama ini?Atau, tetap bersembunyi dengan identitas barunya dan membalas semuanya dalam diam.Di saat-saat seperti ini, mengapa perasaan Indah menjadi goyah?Tidak ... Indah tidak boleh berubah haluan.Ia menggeleng cepat, untuk menyadarkan diri. Mengingat kembali akan kesakitan hidup yang dideritanya selama ini. Terusir dari rumah dengan semua privilege yang dimilikinya dan menjalani hidup pas-pasan, bahkan kekurangan. Untuk itulah, Indah lantas melangkah maju. Mengangkat dagu dan berjalan dengan dengan elegan menuju ru
“Saya ... Indah.”Tidak bisa berkelit, akhirnya Indah mengikuti sandiwara yang dilakukan Sabda. Dengan terpaksa dan tanpa persiapan, Indah mau tidak mau mengulurkan tangannya lebih dulu pada Regan untuk memperkenalkan diri. Berusaha keras menutupi kegugupannya, walaupun tangannya kini terasa beku tidak terkira. Mungkin, Regan bisa merasakan hal itu ketika menjabat tangan Indah.“Panggil saya Om Regan kalau begitu.” Kendati sempat terkejut dan curiga, Regan akhirnya menyambut uluran tangan Indah dengan hangat setelah tahu gadis itu adalah kekasih Sabda. “Akhirnya, bawa pacar juga kamu, Sab!”“Iya, Om!” Sabda semakin merapatkan tubuh Indah, ketika melihat tatapan datar Wahyu padanya. “Akhirnya.”“Buruan nyusul Wahyu!” Regan tersenyum ramah dan memberi anggukan kecil. Setelahnya, ia kembali beralih pada Wahyu dan bertanya mengenai putrinya. “Ke mana April, Yu?”Wahyu menarik panjang napasnya sambil menatap papa mertuanya. “Sama MUA-nya. Ada yang lepas di rambutnya, jadi ke belakang sebent
"Si-siapa kalian ..." suara Indah bergetar, matanya melirik panik pada kedua pria yang kini mengapitnya. Terlebih lagi, ketika pria yang berada di samping kanannya mengeluarkan pisau lipat dengan cepat, lalu menodong sopir di depannya.“Jalan dan diam!”“I-iya, Bang!” Sopir tidak mampu berkutik, karena sisi pisau sudah berada di lehernya. Meskipun mereka berada di tempat umum, tetapi ia tidak boleh gegabah. Salah sedikit, mungkin saja nyawanya yang menjadi taruhan. “Ka-kalian mau apa?” Indah mencoba menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.“Jauhi Wahyu Sadhana,” titah pria di sisi kiri Indah sambil mengeluarkan pisau lipat kecil. Ia menjalankan pisau itu perlahan di sepanjang sisi wajah Indah, membuatnya gemetar.Indah menahan napas, merasakan dinginnya logam di kulitnya. “Wa-Wahyu Sadhana ... Si-siapa yang—”“Diam!” desis pria yang sama seraya menekan ujung pisaunya di pipi Indah, hingga goresan kecil muncul dan darah tipis mulai merembes. “Ini peringatan pertama.”Indah men
“Kamu nyuruh orang ngancam Indah.” Wahyu bukan bertanya, melainkan memberi pernyataan sambil memasukkan ponsel ke saku celana. Mengingat kembali, saat April berpamitan pergi ketika resepsi berlangsung, dengan alasan membenarkan tatanan rambutnya.Sebenarnya, Wahyu tidak terkejut dengan hal seperti ini, karena pernah mengalami hal yang sama dahulu kala. April memang seposesif itu dan tidak ingin semua yang jadi miliknya diganggu atau disentuh orang lain.“Ah! Aku benar, kan!” April menghabiskan jarak. “Perempuan yang diaku-aku pacar sama Sabda, ternyata juga mainanmu. Jadi, kalian sharing atau gimana?”“Suamimu pengacara, tapi kamu dengan entengnya melanggar hukum?” Wahyu menarik napas panjang, berusaha menahan emosinya dan mengabaikan ucapan April.“Kamu punya bukti?” April bersedekap, tersenyum angkuh. “Andaipun ada bukti, apa kamu mau menuntut istri SAHmu, demi mainanmu itu?”“Kamu pikir aku takut?” Wahyu menunjuk bahu April dan memberi dorongan kecil. “Ini terakhir kalinya, Pril! J
Wahyu meninggalkan April di malam pertama mereka?Sabda bergeming memikirkan hal tersebut. Memiringkan sedikit kepalanya dan bertolak pinggang setelah mengakhiri panggilan April secara sepihak. Malam memang telah sangat larut, tetapi pikiran Sabda belum bisa terpejam sejak tadi.Karena siapa lagi, kalau bukan karena memikirkan Indah. Gadis biasa, yang mulai menarik perhatian Sabda sejak permainan catur malam itu.Di kantor, Indah bukanlah sosok wanita yang mencolok. Tidak banyak protes, maupun mencari perhatian seperti kebanyakan pekerja di kantor. Kinerjanya cenderung lambat, tetapi untuk hasil akhir, Sabda bisa memberi acungan jempol. Hampir sempurna.Karena itulah, malam itu Sabda ingin mentraktir Indah untuk membicarakan kekurangan gadis itu secara santai. Sebuah kebiasaan Sabda, yang sudah sejak dulu ia lakukan pada karyawan yang berada di bawah kepemimpinannya.Namun, sikap tidak terduga Indah malam itu mengubah semua sudut pandang Sabda. Indah bukanlah gadis biasa yang bisa dian
“April sialan,” maki Sabda tetapi tanpa emosi dan terdengar santai, setelah mendengar cerita singkat dari Indah. Gadis itu bercerita dengan malas, sambil menyantap mi instannya seorang diri tanpa menawari Sabda.“Aku sudah cerita.” Indah meletakkan cup mi instan yang baru saja habis tidak bersisa, di meja belajar. “Jadi, Mas Sabda sudah bisa pulang.”“Kamu nggak takut tinggal sendirian di sini?” tanya Sabda masih duduk di tepi kasur. “Mereka bilang masih ngawasin kamu dan Wahyu baru dari sini.”Indah menggeleng. Meskipun takut, tetapi ia tidak akan menunjukkan hal tersebut pada siapa pun. “Pak Wahyu bilang, dia juga sudah nyuruh orang buat ngawasin aku. Tapi nggak tahu.” Indah mengendik. Menekuk kedua kakinya ke atas, lalu memeluknya. “Beneran apa, nggak.”“Gimana kalau nggak?” Sabda sengaja membuat Indah bimbang. Walaupun ia tahu benar, Wahyu tidak pernah main-main dengan ucapannya. Jika pria itu mengatakan sudah menyuruh orang mengawasi Indah, itu artinya gadis itu benar-benar dalam
“Tarik napas.”“Aku tahu, aku dengeerr,” rintih Anggun di sela-sela proses persalinannya. Tatapan kesalnya ia tujukan pada Wahyu, karena suaminya selalu mengulang perintah dari dokter.Padahal, Anggun juga mendengar semua perkataan dokter, tetapi Wahyu tetap saja tidak mau menutup mulutnya. Kalau tahu begini, lebih baik Syifa saja yang menemaninya melahirkan seperti dahulu kala, karena wanita itu begitu sabar ketika menemani Anggun. Tidak seperti Wahyu yang hanya bisa memberi perintah padanya.“Sedikit lagi, Bu,” ujar sang dokter yang sejak tadi tetap sabar menghadapi pasien dan suaminya.“Sedikit lagi, Sweet—”“Dieeem kamu, Mas!” Anggun menggenggam tangan Wahyu dengan kekuatan yang cukup membuat pria itu meringis kesakitan. Dengan sengaja, ia menancapkan kuku-kukunya agar Wahyu juga merasakan nyeri yang kini dirasakan Anggun.Meskipun sakit yang dirasakan Wahyu mungkin tidak seberapa, tetapi Anggun cukup merasa senang ketika melihat pria itu meringis menatapnya. Penderitaan Wahyu saat
“Papa ...” Putra berseru girang, berlari kecil ke arah Wahyu yang baru saja melangkah masuk ke ruang keluarga. Tanpa menunggu aba-aba, bocah kecil itu melompat ke dalam gendongan Wahyu, tangannya yang mungil menunjuk ke arah mainan barunya dengan semangat yang menggebu.“Boana banak!” Putra mengoceh tanpa jeda, menunjuk tenda bermotif Cars, dengan terowongan yang mengarah ke bak besar penuh bola.“Dibeliin eyangnya,” ujar Anggun yang hanya duduk di sofa sambil menyelonjorkan kedua kaki. Kehamilan keduanya hampir-hampir tidak ada keluhan, karena semua rasa tidak nyaman di kala kehamilan diambil alih oleh Wahyu. Dan ya, Anggun tetap mengatakan jika semua itu adalah karma yang harus diterima. “Mereka baru pulang sejam yang lalu.”“Sudah kubilang, kan, kalau kita memang harus beli rumah di sebelah.” Wahyu menurunkan Putra di dalam kubangan bola kecilnya, lalu menghampiri Anggun. Berlutut di samping sofa lalu meletakkan telinganya di perut yang sudah cukup besar itu. Saat merasakan pergerak
“Ssshh ...” Anggun meletakkan telunjuk di bibirnya sambil menunduk. Memberi isyarat pada Putra, agar tidak membuat keributan setelah membuka pintu kamar. “Papa bobok, nggak boleh ribut.”Putra geleng-geleng, sambil menirukan sikap Anggun. Ikut meletakkan telunjuk kecilnya di bibir. “Papa bobok.”“Iya,” ucap Anggun lalu membuka pintu dengan perlahan dan membiarkan Putra masuk lebih dulu. Hanya lampu tidur yang menyala di dalam sana, memancarkan cahaya redup yang membuat suasana kamar terasa tenang dan hangat.Namun, perintah Anggun ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Putra memang tidak mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya, tetapi balita itu justru berlari menuju tempat tidur dan berbaring di samping Wahyu. Memeluk sang papa.“Mas, ayo bobok di kasur bawah sama Mama,” ujar Anggun dengan suara yang sangat pelan. “Papa—”“Nggak papa,” sela Wahyu tanpa membuka mata dan membalas pelukan Putra. “Dia mau tidur sama papanya. Lagian baunya Putra enak, bau minyak telon.”Anggun tertawa de
Wahyu memeluk Anggun begitu erat. Tangannya masih menggenggam tespek yang baru saja ditunjukkan oleh sang istri. Menatap dua garis merah yang muncul di sana, walaupun salah satunya masih tampak samar.“Sepertinya rumah sebelah bakal aku beli.” Wahyu tersenyum lebar. “Kita jebol temboknya supaya makin luas dan bisa dipake anak-anak main.”Anggun memutar bola matanya. “Mas, Putra masih kecil dan—”“Sebentar lagi dia punya adek,” sela Wahyu sembari mengurai pelukannya dan mengangkup kedua bahu Anggun. Tangan kanannya masih memegang sebuah tespek, seolah tidak ingin melepas benda itu dari genggaman. “Gimana kalau oma sama eyangnya mau nginap di sini? Rumahnya jadi kurang luas.”“Papa!” Putra mulai menarik-narik jemari Wahyu dengan tidak sabar. “Ayok, ayok”“Mas—”“Nggak papa.” Wahyu kembali menyela, lalu menunduk dan menggendong Putra. “Nanti aku langsung hubungi pak Johan biar urusan cepat.”“Dengerin aku dulu.” Nada bicara Anggun mulai meninggi. Ia kesal karena Wahyu selalu memutus ucap
Pagi itu, tawa kecil dan suara decitan sandal karet Putra yang berbunyi khas, terdengar sejak tadi dari area depan rumah. Bocah yang sebentar lagi berusia dua tahun itu sedang menyibukkan diri dengan bermain bola bersama Wahyu, sembari menunggu Desty yang akan menjemput.“Yayaaa ...” Putra segera bangkit ketika melihat Desty memasuki pagar. Berlari kecil menghampiri, tetapi tubuhnya langsung ditangkap oleh Darwin dan membawa ke dalam gendongannya.“Sudah siap?” tanya Darwin pada Putra.“Iaap!” jawab Putra bersemangat.“Dia sudah nunggu dari tadi,” ujar Anggun menghampiri sambil membawa tas ransel kecil milik Putra. “Kacamata sama topi kesayangannya ada di dalam,” ucapnya sambil menyerahkan tas kecil tersebut pada sang mama mertua.Desty terkekeh saat membuka tas ransel Putra dan melihat topi merah dengan tiga tanduk kuning yang warnanya sudah memudar. Topi yang akan selalu dipakai Putra, ketika berpergian ke mana pun.Desty kemudian mengeluarkan topi tersebut, beserta kacamata berwarn
“Ayo, Ma,” ajak Wahyu dengan senyuman penuh semangat.Anggun hanya menggeleng pelan sambil memegang gelas susunya. “Aku nggak ikut. Capek.” jawabnya tegas. Menolak ajakan Wahyu bersepeda pagi di hari libur, seperti yang biasa pria itu.Anggun hanya ingin menikmati harinya dengan bersantai, karena Putra biasanya akan pergi berkeliling bersama Wahyu dengan sepedenya. Putra akan duduk di depan dengan helm kecilnya, lengkap dengan kacamata mungil yang membuat balita itu semakin menggemaskan.“Me time, aku mau rebahan aja di rumah,”“Oke.” Wahyu menatap Putra yang berada di gendongannya sambil tersenyum. “Nanti kita ke pantai dan main bola sama tante-tante bule di sana!”“Ohhh ... jadi itu kegiatan kalian berdua kalau jalan-jalan pagi?” Anggun meletakkan gelas susunya dengan perlahan. Namun, tatapannya tertuju tajam pada Wahyu. Kemudian, ia menunjuk ke arah tanah kosong yang berada di sebelah dapur. Tepatnya berada setelah kolam renang. “Kalau mau main bola, main bola di sana.”“No,” ucap W
“Aku deja vu,” ujar Anggun setelah berpamitan pada tamu yang menghampirinya. “Jadi ingat nikahanmu sama April waktu itu.” Anggun menatap Wahyu yang berjalan di sebelahnya. “Konsepnya sama, kan?”Wahyu memaksakan senyumnya ketika menatap Anggun. “Dari dulu, kamu itu memang suka cari gara-gara.” Sebenarnya, hanya konsep pernikahannya yang sama. Selain itu, menurut Wahyu semuanya jelas berbeda. Dari dekorasi, gaun, suasana, bahkan perasaan yang menyelubungi hatinya saat ini juga jauh berbeda. Pernikahan sebelumnya terasa seperti formalitas dan prosesi yang dijalaninya terasa tanpa makna. Namun, kali ini, setiap detail memancarkan kehangatan dan memiliki arti yang mendalam.“Aku bicara fakta.” Anggun kembali tersenyum saat tatapannya bertemu dengan seorang tamu.“Nggak usah merusak suasana,” kata Wahyu berbisik tepat di telinga Anggun. “Nikmati aja yang ada sekarang dan nggak usah bahas masa lalu.”“Aku tahu.”“Aku tahu, tapi masih aja dibahas,” sindir Wahyu.“Kamu mau kita ribut?”“Ngg
“Kenapa harus pindah?” Syifa menekuk wajah ketika Wahyu menyampaikan maksudnya. Sudah terbiasa tinggal bersama Anggun dan Putra, membuatnya berat untuk melepas kedua orang itu.Syifa bukannya tidak paham dengan keputusan yang disampaikan Wahyu. Namun, ia pasti akan merasa sangat kehilangan jika Anggun dan Putra benar-benar pindah dari kediaman Wisesa.“Ma, rumahnya dekat,” ujar Wahyu harus memberi pemahaman. “Jalan kaki cuma 10 menit. Cuma nyebrang jalan ke kompleks depan. Kalau mau naik motor lebih cepat lagi.”“Kamu setuju, Nggun?” tanya Syifa beralih pada Anggun.“A—”“Anggun setuju, Ma.” Wahyu segera menyerobot, karena melihat sang istri masih ragu untuk pindah rumah. “Tadi sudah cocok juga dengan rumahnya karena ada kolam renang. Jadi, Putra bisa sekalian belajar berenang juga.”“Mama tanya Anggun.” Syifa memutar bola matanya. Kalau sudah ada maunya, Wahyu memang sering bersikap seperti itu.“Cuma 10 menit dari sini, Ma,” sambar Budiman sudah paham dengan keinginan Wahyu. Mereka
“Aku punya tiga pilihan.” Wahyu menyerahkan sebuah brosur yang sudah diterima dari Farhat pada Anggun. “Resepsi di ruang tertutup, terbuka dengan view pantai, atau terbuka dengan view alam. Kamu yang pilih karena buatku di semua sama aja.”“Aku terserah aja,” ujar Anggun sembari membuka brosur yang baru diterimanya. “Lihat undangannya dulu, ada berapa orang terus disesuaikan aja tempatnya.”“25 orang.”“Katanya 50?”“Kalau 25 orang datang bawa pasangan, jumlahnya jadi 50.”“Iya, sih.” Anggun jadi merasa bodoh sendiri karena tidak memikirkan hal tersebut. “Jangan di pantai deh, aku nggak mau Putra masuk angin karena acaranya biasanya sore jelang malam gitu, kan? Jadi, view pantai dicoret dari list.”“View alam juga nggak jauh beda.” Wahyu dengan sigap menangkap Putra yang melepas baby walker dan berjalan ke arahnya. “Anginnya lumayan.”“Kalau gitu indoor aja.” Karena sudah memutuskan, Anggun meletakkan brosurnya di lantai begitu saja.“Kenapa kamu nggak tidur-tidur hem?” Wahyu merebahk