Burung garuda itu mendarat di hadapan mata air abadi. Malam sebentar lagi usai. Bimantara turun dari punggung burung garuda lalu berdiri menatap air terjun di hadapannya. Burung garuda itu pun mengepakkan sayapnya kembali meninggalkannya di sana.“Ratu Peri, keluarlah!” teriak Bimantara.Tak ada siapapun yang datang.“Ratu Peri! Keluarlaaah!!!” teriak Bimantara.Ratu Peri pun tak datang padanya. Tak lama kemudian seorang perempuan datang padanya keluar dari dalam hutan. Perempuan itu terbelalak mendapati Bimantara ada di sana. Ya, dia adalah Dhaksayini, istri mendiang Pangeran Kantata. Seorang Ratu Peri yang sudah menjelma menjadi manusia.“Bimantara?” panggilnya tak percaya.Bimantara terkejut lalu menoleh padanya.“Kau! Siapa kau?” tanya Bimantara dengan heran.“Jika kau ingin memanggil Ratu Peri, dia tak akan pernah datang menemui! Pintu kerajaan peri ini telah ditutup sejak aku menjadi manusia dan menikah dengan Pangeran Kantata,” ucap Dhaksayini.Bimantara terbelalak mendengarnya
“Kau tidak bersedia memenuhi syarat dariku?” tanya Bimantara.“Cinta memang membutakan manusia! Itulah kelemahanmu Bimantara! Kau belum bisa mengendalikan dirimu darinya!”Bimantara terdiam mendengar itu.“Baiklah!” ucap Dewa Angin. “Aku akan mengabulkan permintaanmu jika kau lulus menjadi Chadaka Uddhiharta!”Bimantara tampak senang mendengarnya. Dia pun langsung bersujud pada Dewa Angin dengan haru.“Terima kasih, Dewa agung,” ucap Bimantara.“Jangan senang dulu! Kau pun belum tentu lulus dari ujian kami!” ucap Dewa Angin.“Aku akan melakukannya dengan baik! Aku pasti bisa menjadi Chandaka Uddhiharta di abad ini,” ucap Bimantara dengan penuh keyakinan.Dewa Angin Pun tertawa.“Datanglah ke bukit naga. Kami menunggumu di sana,” pinta Dewa Angin padanya.“Baik, Dewa Agung,” jawab Bimantara.Dewa Angin pun berubah menjadi cahaya. Tak lama kemudian cahaya itu menghilang lalu berubah menjadi angin. Perlahan angin itu keluar dari celah-celah gua. Bimantara menatap tongkatnya.“Sebelum kit
Bimantara berdiri di hadapan gerbang pertama kerajaan Nusantara Timur dengan tongkat hitamnya. Tak lama kemudian pintu gerbang itu terbuka. Prajurit penjaga meminta Bimantara masuk ke dalam. Saat Bimantara melangkah memasuki gerbang, dia melihat Pangeran Sakai sudah berdiri sambil tersenyum menatapnya. Bimantara bergegas mendekatinya.“Aku kira kau tak akan ke sini,” ucap Pangeran Sakai. “Aku kira kau lelaki pengecut yang tidak pantas mendapat gelar pendekar dari perguruan matahari.”“Aku tidak seperti itu!” ucap Bimantara.“Aku tahu,” sahut Pangeran Sakai. “Kau sudah menemukan jalan keluarnya?”Bimantara mengangguk. Pangeran Sakai lega mendengarnya.“Ikut aku, biar aku antarkan langsung menghadap ayahku,” ajak Pangeran Sakai.Bimantara mengangguk lalu berjalan mengikuti langkah Pangeran Sakai dengan tongkatnya menuju kediaman Raja Dwilaga. Saat mereka sudah tiba di depan kediaman Sang Raja, prajurit langsung masuk ke dalam untuk melaporkan pada sang raja bahwa Pangeran hendak menemui
Kakek itu berdiri menghadap lautan di hadapannya. Penguasa kegelapan itu sedang menyamar menjadi seorang kakek berjanggut putih seperti biasanya. Walat datang mendekatinya dengan napas terengah-engah.“Aku sudah memindahkan batu-batu dari ujung pulau arah timur ke ujung pulau arah barat, Tuan Guru,” ucap Walat.Kakek itu menoleh padanya dengan raut bingung.“Kau harus secepatnya menguasai semua ilmu dariku,” ucap kakek itu.Walat terbelalak mendengarnya.“Bukan kah Tuan Guru pernah bilang kalau semua itu tidak bisa dilakukan dengan cepat?” tanya Walat heran.“Tidak ada waktu lagi! Pemuda itu sudah pergi menuju bukit naga! Dia akan menemui para dewa di sana! Jika dia berhasil menjadi Candaka Uddhiharta, kau harus sudah menguasai semua ilmu dariku! Jika tidak, selamanya pedang perak cahaya merah itu tak akan bisa kurebut darinya!” teriak kakek itu.Walat tampak gemetar mendengarnya.“Baiklah, Tuan Guru,” ucap walat.“Aku punya cara untuk mengganggu konsentrasi pemuda itu agar dia tidak
Kakek Sangkala masih berdiri di gerbang kediaman Tuan Kepala Wilayah. Senja tampak sedih melihatnya.“Sudahlah, Tuan Guru. Mungkin Bimantara memiliki masalah hingga belum juga mengunjungimu ke sini,” ucap gadis itu.Kakek Sangkala menoleh pada Senja dengan sendu.“Bimantara pasti datang ke sini,” ucap Kakek Sangkala. “Aku merasakan energinya mendekat ke tempat ini.”“Tapi ini sudah berhari-hari Tuan Guru menunggunya di sini. Tuan Guru harus istirahat,” pinta Senja.“Aku harus menyambut kedatangannya. Aku harus mengucapkan selamat padanya yang berhasil lulus dari perguruan matahari. Aku lah keluarga satu-satunya yang Bimantara miliki saat ini,” ucap Kakek itu sudah berapa kalinya dia mengatakan itu pada Senja.Senja pun duduk pasrah. Dialah yang mengantarkan makanan dan minuman untuk kakek itu. Dia tidak ingin tuan guru besarnya itu sakit karena hingga saat ini masih banyak hal yang gadis itu harus pelajari darinya. Sebenarnya bukan hanya itu, dia sudah menganggap kakek itu sebagai kak
Langit di atas bukit naga tampak mendung. Awan hitam hampir saja menutupi seluruh puncak bukit itu. Dewa api berdiri di atas batu besar yang di belakangnya terdapat sebuah kawah yang membumbungkan percikan api. Seorang pemuda berambut panjang sebahu dengan ikat kepala berlambang perguruan matahari datang dengan napas terengah-engah. Dia berjalan mendekati Dewa api yang menatapnya dengan tajam.“Apakah penyamaranmu sudah selesai?” tanya Dewa Api pada pemuda itu.Pemuda itu masih mengatur napasnya. Menjadi sosok manusia telah membuatnya lelah menanjaki bukit itu. Ya, pemuda itu adalah Wira. Sahabat dekat Pangeran Sakai dan Rajo di perguruan matahari.“Sepertinya begitu,” jawab Wira. “Tugasku sudah selesai mencari tahu segala hal tentang pemuda itu.”Dewa Api tertawa.“Bagaimana rasanya menjadi manusia dan harus mengikuti segala hal yang dilakukan manusia di perguruan matahari?” tanya Dewa Api penasaran.“Rasanya sangat sulit,” jawab Wira.“Kau yakin bahwa pemuda itu pantas diuji untuk m
Bimantara sudah berhasil turun dari pohon tinggi itu. Dia membacakan mantra agar kaki cahaya naganya menyala dan bisa berjalan tanpa tongkat untuk mencari keberadaan tongkat hitamnya yang jatuh entah kemana. Sesaat kemudian kaki cahaya naganya menyala. Dia pun langsung berjalan menyusuri hutan yang gelap gara-gara awan hitam masih menyelimuti di atasnya. Hujan masih turun deras. Kilat masih menyambar-nyambar.“Tongkat Hitam! Dimana kau! Tunjukkan keberadaanmu padaku!” teriak Bimantara sambil melihat-lihat ke dalam semak-semak.“Tongkat Hitam! Dimana kau!” teriak Bimantara sekali lagi. Kilat kian terdengar kuar menyambar-nyambar. Bimantara mendongak ke atas langit. Suasana langit hampir mirip ketika dia hendak pergi bersama Kepala Perguruan dulu untuk mencari tempat persembunyian saat perang terjadi di nusantara.“Apakah pelakunya Penguasa Iblis seperti yang dikatakan Guru Besar Nyi Laksita?” tanya Bimantara dengan heran.Dia pun kembali berjalan mengitari hutan mencari tongkat hitamny
Bimantara masih duduk di bawah pohon berusaha mengembalikan tenaga dalamnya. Tak lama kemudian dia mendengar suara jeritan anak rusa bersama suara hujan dan kilat yang menyambar-nyambar. Bimantara membuka matanya. Dia terkejut mendapati anak rusa sedang menahan sakit di perutnya karena anak panah hampir saja menembus ke belakang tubuhnya.Bimantara segera beranjak untuk mendekatinya. Tiba-tiba terdengar suara kuda dari arah samping kanannya. Bimantara terbelalak mendapati Wira tengah menunggangi kuda sambil membawa anak panah.“Wira?” panggil Bimantara tak percaya.Wira pun berpura-pura terkejut melihat Bimantara. Dia yang menyamar menjadi manusia itu berusaha agar Bimantara tetap mengenali dirinya sebagai teman seperguruannya.“Kamu kenapa ada di sini?” tanya Wira langsung turun dari kudanya.“Aku yang harusnya bertanya,” ucap Bimantara.“Aku sedang berburu di hutan ini,” jawab Wira.“Tidak kah kau kasihan melihat anak rusa sekecil itu sudah panah tanpa ampun?” protes Bimantara.Wira