Dahayu dan Pangeran Sakai baru saja berlayar dari dermaga pulau seberang menuju dermaga pulau Perguruan Matahari. Para prajurit tampak berjaga di atas kapal. Mereka sudah berhasil memotong kayu besar yang menghalangi perjalanan mereka tadi.Laut malam itu tampak gelap. Dahayu berdiri di pinggir kapal sambil menatap lautan malam di samping Pangeran Sakai. Pangeran Sakai menoleh padanya dengan penuh simpati. Dia tahu apa yang tengah berada di dalam pikirian gadis itu.“Sudahlah, jangan terlalu kau pikirkan lagi,” pinta Pangeran Sakai.Dahayu menoleh padanya.“Bagaimana jika kita tidak menemukan cara untuk terlepas dari kutukan cinta sejati itu?” tanya Dahayu dengan bingung.“Bukan kah Tuan Guru Besar mengajarkan kita bahwa setiap ada masalah pasti ada jalan keluarnya. Dahulu semua mengkhawatirkanmu saat kau menghilang ke alam peri. Tapi jika Sang Hyang Agung menghendakimu untuk kembali ke alam manusia ini, akhirnya kau bisa kembali juga bersama kita di perguruan matahari ini,” ucap Pang
Pagi sekali pejabat istana datang ke kediaman Raja Dwilaga. Dia berlutut di hadapan Raja Dwilaga dengan wajah dipenuhi keringat dingin. Raja Dwilaga menatapnya dengan heran.“Ampun yang mulia raja. Hamba sengaja datang menemui yang mulia karena semalam peramal istana mendapatkan mimpi buruk mengenai Pangeran Sakai,” ucap pejabat istana itu pada sang Raja.Raja Dwilaga mengernyit mendengarnya.“Dia mendapatkan mimpi buruk yang bagaimana?” tanya Raja Dwilaga penasaran. Selama ini dia sangat percaya dengan peramal istana. Ilmu kebathinan yang dimiliki peramal itu sudah tidak diragukannya lagi karena sudah berkali-kali terbukti. Pada peramal itu lah dia sering berdiskusi jika mendapatkan kebuntuan untuk menentukan keputusan. Dia juga bukan sebagai peramal istana, sang raja juga telah mengangkatnya menjadi penasehat raja berkat kemampuannya itu.“Dia bermimpi Putra Mahkota ditarik ke alam peri oleh bangsa peri,” jawab pejabat istana itu.Raja Dwilaga mengernyit mendengarnya.“Lalu?”“Lalu
Dahayu sedang berjalan menuju ruangan ritual. Langit di perguruan matahari tampak mendung. Mungkin mereka ikut sedih melihat perguruan matahari hari ini akan melepas para murid terbaiknya. Tak lama kemudian Welas berlari padanya sambil memanggil-manggil namanya.“Dahayu! Dahayu!” teriak Welas dari arah belakang.Dahayu berhenti melangkah lalu menoleh ke belakang. Dia terkejut mendapati Welas yang menunjukkan wajah bingungnya.“Ada apa Welas? Kalau ingin mengucap kata perpisahan, kan sudah aku bilang kelak kita pasti akan bertemu di istana karena kudengar siapapun yang dekat dengan Pangeran Sakai akan diminta mengabdi di istana setelah kita keluar dari sini,” ucap Dahayu.“Aku bukan ingin mengatakan itu,” ucap Welas.Dahayu mengernyit mendengarnya.“Kau mau mengatakan apa?” tanya Dahayu penasaran.Welas memegang tangan Dahayu dengan lembut. Dia menatap kedua bola mata Dahyu dengan sayu. Dahayu bertanya-tanya dalam hatinya tentang apa yang ingin dikatakan oleh Welas. Dia sudah tak sabar
Kepala Perguruan tampak berdiri di hadapan semuanya. Semua sudah duduk di hadapannya. “Telah tiba harinya kepada murid-murid angakatan Bimantara untuk diterbangkan ke alam lepas hari ini,” ucap Kepala Perguruan dengan nada sedih. Bimantara menatapnya dengan sayu. Para guru utama pun mendengarnya dengan sedih. “Telah banyak kejadian yang kita lewati bersama di perguruan ini. Kalian semua telah menorehkan sejarah yang tidak bisa kita lupakan di tempat suci ini. Telah banyak suka dan duka kita lalui bersama. Satu guru besar telah tiada, satu guru utama bahkan hampir merengang nyawa. Satu murid telah meninggalkan kita semuanya.” Semua terdiam sedih mendengarnya. “Setelah ini, mungkin para raja akan mengirimkan surat pada kalian untuk diberi kesempatan mengabdi di istana. Itu pilihan dan buka sebuah kewajiban. Yang paling wajib kalian harus membawa nama baik perguruan matahari di luar sana. Dan ingat, para leluhur akan selalu bersama kalian. Jadilah pendekar yang baik dan suci.” Kanci
Ritual pengukuhan kelulusan telah selesai dilaksanakan. Bimantara dan keenam murid seangkatan dengannya pun melakukan salam terakhir kepada Semua guru di sana. Utusan dari kerajaan Nusantara Timur dan Barat sudah menunggu di dermaga pulau seberang. Semua keluarga dari mereka pun telah menunggu di dermaga pulau seberang, bersiap membawa mereka ke rumah masing-masing. Hanya Kakek Sangkala yang tidak terlihat di sana, padahal setiap keluarga sudah dikirimi surat oleh pihak perguruan bahwa hari itu mereka akan meninggalkan perguruan matahari.Bimantara berdiri di dekat makam Ki Walang. Dia mengangkat tongkatnya, seolah ingin menunjukkan pada Tuan Guru Besarnya bahwa dia telah berhasil melakukan semua tugas di sana. Tak lama kemudian air mata Bimantara mulai menetes. Dia teringat saat pertama kali Ki Walang memilihnya sebagai murid. Saat itu Bimantara tidak percaya bisa melakukan semua yang diajarkan gurunya mengingat kepincangannya. Namun berkat semangat dan ketegasan Ki Walang akhirnya B
Dermaga pulau seberang tampak ramai. Mereka semua hendak menyaksikan keluarga mereka yang baru lulus dari perguruan matahari. Panglima Sada tampak menunggu Dahayu dan Pangeran Sakai bersama prajuritnya. Panglima Aras bersama prajuritnya juga tampak berdiri menunggu kedatangan Kancil alisan pangeran Pangaraban.Kapal layar yang membawa Pangeran Sakai, Kancil dan yang lainnya sudah berlabuh di dermaga pulau seberang. Keluarga masing-masing langsung mendekat ke sisi kapal. Panglima Sada tampak heran tidak melihat Dahayu di sana. Dia mendekat ke Pangeran Sakai dengan heran.“Kemana Dahayu, Pangeran?” tanya Panglima Sada dengan heran.Pangeran Sakai tampak bingung menjelasakannya.“Kenapa Dahayu tidak ikut denganmu?” tanya Panglima Sada sekali lagi menahan kebingungannya.“Dahayu tidak ikut bersamaku,” jawab Pangeran Sakai.Panglima Sada tampak terkejut mendengarnya.“Kenapa?”“Dia kubiarkan pergi bersama Bimantara,” jawab Pangeran Sakai.Panglima Sada terbelalak mendengarnya.“Kenapa kau
“Turunkan Dahayu dari kudamu!” tegas Panglima Sada. Dia tidak gentar terhadap binatang-binatang buas di hadapan mereka yang mengawal Bimantara yang sedang mengancam dengan suara-suara mengerikan.“Biar aku pergi bersama Bimantara, Ayah!” pinta Dahayu.“Kau harus kembali ke istana! Bimantara bukan cinta sejatimu! Kau akan kembali ke alam peri untuk selamanya jika hidup bersama Bimantara! Kau juga kan membunuh Putra Mahkota!” tegas Panglima Sada.“Aku tidak akan menyentuhnya! Beri kami waktu untuk mencari cara agar terlepas dari kutukan cinta sejati itu,” pinta Bimantara.“Sampai kapan pun kalian tak akan menemukan cara untuk melepaskan takdir itu!” tegas Panglima Sada.“Aku akan masuk ke alam peri dan aku akan mencari caranya di sana!” ucap Bimantara.“Itu akan membunuh dirimu sendiri Bimantara! Mengalah lah! Dahayu bukan jodohmu! Kalian tak akan bisa bersama! Kau hanya akan membunuh Dahayu dan Putra Mahkota! Pikirkan kerajaan Nusantara! Hanya Putra Mahkota Pangeran Sakai yang bisa men
Dahayu menangis sesenggukan di hadapan Sukma. Sukma tampak tidak bisa berbuat apa-apa.“Ibu tidak tahu harus bagaimana, Dahayu.”Dahayu mengelap air matanya lalu menatap wajah ibunya dengan lekat.“Aku ingin pergi dari sini, Bu. Aku ingin mencari Bimantara, aku yakin kami akan menemukan cara untuk melepas kutukan ini,” ucap Dahayu yang mulai kembali terisak.“Andai ibu bisa meminta ayahmu untuk membiarkanmu pergi ke luar sana, ibu menyerahkan semua keputusan padamu, Nak.”“Kenapa ayah mengingkari janjinya? Ayah jahat padaku, ibu,” isak Dahayu.“Ayah melakukan ini semua karena beliau tidak mau kamu terjebak ke alam peri untuk selama-lamanya dan ayah memikirkan nasib Putra Mahkota. Satu-satunya pewaris tahta kerajaan ini,” jawab Sukma.Dahayu semakin terisak mendengar itu. Tak lama kemudian terdengar suara pintu terbuka. Dahayu dan Sukma menoleh ke arah pintu dengan terkejut. Panglima Sada sudah berdiri di ambang pintu dengan raut bingungnya.“Pergilah jika kau ingin pergi dari istana i