Kepala Perguruan tampak berdiri di hadapan semuanya. Semua sudah duduk di hadapannya. “Telah tiba harinya kepada murid-murid angakatan Bimantara untuk diterbangkan ke alam lepas hari ini,” ucap Kepala Perguruan dengan nada sedih. Bimantara menatapnya dengan sayu. Para guru utama pun mendengarnya dengan sedih. “Telah banyak kejadian yang kita lewati bersama di perguruan ini. Kalian semua telah menorehkan sejarah yang tidak bisa kita lupakan di tempat suci ini. Telah banyak suka dan duka kita lalui bersama. Satu guru besar telah tiada, satu guru utama bahkan hampir merengang nyawa. Satu murid telah meninggalkan kita semuanya.” Semua terdiam sedih mendengarnya. “Setelah ini, mungkin para raja akan mengirimkan surat pada kalian untuk diberi kesempatan mengabdi di istana. Itu pilihan dan buka sebuah kewajiban. Yang paling wajib kalian harus membawa nama baik perguruan matahari di luar sana. Dan ingat, para leluhur akan selalu bersama kalian. Jadilah pendekar yang baik dan suci.” Kanci
Ritual pengukuhan kelulusan telah selesai dilaksanakan. Bimantara dan keenam murid seangkatan dengannya pun melakukan salam terakhir kepada Semua guru di sana. Utusan dari kerajaan Nusantara Timur dan Barat sudah menunggu di dermaga pulau seberang. Semua keluarga dari mereka pun telah menunggu di dermaga pulau seberang, bersiap membawa mereka ke rumah masing-masing. Hanya Kakek Sangkala yang tidak terlihat di sana, padahal setiap keluarga sudah dikirimi surat oleh pihak perguruan bahwa hari itu mereka akan meninggalkan perguruan matahari.Bimantara berdiri di dekat makam Ki Walang. Dia mengangkat tongkatnya, seolah ingin menunjukkan pada Tuan Guru Besarnya bahwa dia telah berhasil melakukan semua tugas di sana. Tak lama kemudian air mata Bimantara mulai menetes. Dia teringat saat pertama kali Ki Walang memilihnya sebagai murid. Saat itu Bimantara tidak percaya bisa melakukan semua yang diajarkan gurunya mengingat kepincangannya. Namun berkat semangat dan ketegasan Ki Walang akhirnya B
Dermaga pulau seberang tampak ramai. Mereka semua hendak menyaksikan keluarga mereka yang baru lulus dari perguruan matahari. Panglima Sada tampak menunggu Dahayu dan Pangeran Sakai bersama prajuritnya. Panglima Aras bersama prajuritnya juga tampak berdiri menunggu kedatangan Kancil alisan pangeran Pangaraban.Kapal layar yang membawa Pangeran Sakai, Kancil dan yang lainnya sudah berlabuh di dermaga pulau seberang. Keluarga masing-masing langsung mendekat ke sisi kapal. Panglima Sada tampak heran tidak melihat Dahayu di sana. Dia mendekat ke Pangeran Sakai dengan heran.“Kemana Dahayu, Pangeran?” tanya Panglima Sada dengan heran.Pangeran Sakai tampak bingung menjelasakannya.“Kenapa Dahayu tidak ikut denganmu?” tanya Panglima Sada sekali lagi menahan kebingungannya.“Dahayu tidak ikut bersamaku,” jawab Pangeran Sakai.Panglima Sada tampak terkejut mendengarnya.“Kenapa?”“Dia kubiarkan pergi bersama Bimantara,” jawab Pangeran Sakai.Panglima Sada terbelalak mendengarnya.“Kenapa kau
“Turunkan Dahayu dari kudamu!” tegas Panglima Sada. Dia tidak gentar terhadap binatang-binatang buas di hadapan mereka yang mengawal Bimantara yang sedang mengancam dengan suara-suara mengerikan.“Biar aku pergi bersama Bimantara, Ayah!” pinta Dahayu.“Kau harus kembali ke istana! Bimantara bukan cinta sejatimu! Kau akan kembali ke alam peri untuk selamanya jika hidup bersama Bimantara! Kau juga kan membunuh Putra Mahkota!” tegas Panglima Sada.“Aku tidak akan menyentuhnya! Beri kami waktu untuk mencari cara agar terlepas dari kutukan cinta sejati itu,” pinta Bimantara.“Sampai kapan pun kalian tak akan menemukan cara untuk melepaskan takdir itu!” tegas Panglima Sada.“Aku akan masuk ke alam peri dan aku akan mencari caranya di sana!” ucap Bimantara.“Itu akan membunuh dirimu sendiri Bimantara! Mengalah lah! Dahayu bukan jodohmu! Kalian tak akan bisa bersama! Kau hanya akan membunuh Dahayu dan Putra Mahkota! Pikirkan kerajaan Nusantara! Hanya Putra Mahkota Pangeran Sakai yang bisa men
Dahayu menangis sesenggukan di hadapan Sukma. Sukma tampak tidak bisa berbuat apa-apa.“Ibu tidak tahu harus bagaimana, Dahayu.”Dahayu mengelap air matanya lalu menatap wajah ibunya dengan lekat.“Aku ingin pergi dari sini, Bu. Aku ingin mencari Bimantara, aku yakin kami akan menemukan cara untuk melepas kutukan ini,” ucap Dahayu yang mulai kembali terisak.“Andai ibu bisa meminta ayahmu untuk membiarkanmu pergi ke luar sana, ibu menyerahkan semua keputusan padamu, Nak.”“Kenapa ayah mengingkari janjinya? Ayah jahat padaku, ibu,” isak Dahayu.“Ayah melakukan ini semua karena beliau tidak mau kamu terjebak ke alam peri untuk selama-lamanya dan ayah memikirkan nasib Putra Mahkota. Satu-satunya pewaris tahta kerajaan ini,” jawab Sukma.Dahayu semakin terisak mendengar itu. Tak lama kemudian terdengar suara pintu terbuka. Dahayu dan Sukma menoleh ke arah pintu dengan terkejut. Panglima Sada sudah berdiri di ambang pintu dengan raut bingungnya.“Pergilah jika kau ingin pergi dari istana i
Dahayu memaksa tersenyum pada Pangeran Sakai.“Tidak ada yang mengancamku dan keluargaku. Ini keputusanku,” jawab Dahayu.“Ceritakan padaku jika ada yang mengancammu, Dahayu! Aku tidak mau kau terpaksa atas semua ini. Aku tidak mau menanggung beban karena menyakiti Bimantara karena ini,” tanya Pangeran Sakai dengan tegas.Akhirnya Dahayu menangis.“Apalagi yang harus aku lakukan? Bimantara tidak tahu di mana? Di menghilang! Aku berkali-kali meraga sukma untuk menemuinya, tapi dia sengaja menggunakan ajian dinding pembatas hingga siapapun tidak bisa menembusnya dengan ajian apapun! Dia telah menyerahkan aku pada ayahku saat itu. Itu artinya Bimantara tidak lagi menginginkan aku!” isak Dahayu.“Bimantara bukan tidak menginginkan kamu lagi Dahayu, dia berkorban demi kamu. Dia ingin kamu tetap hidup!” ucap Pangeran Sakai.“Sudahlah! Kita hentikan saja rencana kita! Kita harus menikah agar semuanya selesai!” pinta Dahayu.“Aku akan mencari Bimantara! Kemana pun dia pergi aku akan mencariny
Bimantara sedang terbaring lemah di pinggir kolam di dalam sebuah gua. Di luar sana tampak sudah gelap. Gua yang pernah dikunjunginya bersama Kepala Perguruan sewaktu peperangan terjadi di lautan Nusantara. Wajahnya tampak kumal dikotori debu. Matanya hampir tak berkedip memandangi langit-langit gua itu. Sudah berhari-hari dia bersembunyi di sana sejak menyerahkan Dahayu pada Panglima Sada. Dia mengurungkan niatnya untuk mengunjungi kakeknya di kediaman Tuan Kepala Wilayah. Tak lama kemudian tongkat hitamnya tegak sendiri. Bimantara tak peduli. Tongkat hitamnya kemudian terangkat ke atas sendiri. Tiba-tiba ujung tongkatnya tampak mengeluarkan cahaya seolah menjadi obor penerangan untuk gua itu. “Jangan nyalakan cahaya itu!” tegas Bimantara. Cahaya di tongkatnya tiba-tiba menghilang lalu tongkat itu jatuh ke atas tanah kembali ke tempatnya semula. Tak lama kemudain Bimantara mendengar suara kuda. Dia duduk dengan heran. Tongkatnya berjalan sendiri ke arahnya seolah bersiap untuk mem
Dewa angin mendekat padanya. Bimantara bersiap dengan tongkatnya.“Setiap seratus tahun sekali kami mencari manusia yang bisa melindungi bumi dari kejahatan manusia itu sendiri,” ucap Dewa angin padanya. “Kami tidak boleh ikut campur atas urusan manusia. Kami hanya dapat mengutus satu manusia untuk menjadi penegak kedamaian di muka bumi ini.”“Carilah manusia yang lain saja,” tegas Bimantara. “Aku tidak pantas untuk itu dan aku tidak memiliki keinginan untuk menjadi Candaka Uddhiharta.”Dewa angin tertawa. Dia bisa menangkap di mata Bimantara kalau jiwanya sedang terganggu karena kesedihan yang dialaminya.“Aku akan datang lagi diwaktu yang tepat dan nanti aku akan bertanya lagi,” ucap Dewa Angin.“Seribu kali kau datang padaku, aku tetap pada keputusanku saat ini,” tegas Bimantara.“Dasar darah muda,” umpat Dewa Angin padanya lalu dengan cepat berubah kembali menjadi cahaya. Tak lama kemudian cahaya itu menghilang lalu gua itu dipenuhi tiupan angin. Bimantara tampak kedinginan. Seket