Ritual pengukuhan kelulusan telah selesai dilaksanakan. Bimantara dan keenam murid seangkatan dengannya pun melakukan salam terakhir kepada Semua guru di sana. Utusan dari kerajaan Nusantara Timur dan Barat sudah menunggu di dermaga pulau seberang. Semua keluarga dari mereka pun telah menunggu di dermaga pulau seberang, bersiap membawa mereka ke rumah masing-masing. Hanya Kakek Sangkala yang tidak terlihat di sana, padahal setiap keluarga sudah dikirimi surat oleh pihak perguruan bahwa hari itu mereka akan meninggalkan perguruan matahari.Bimantara berdiri di dekat makam Ki Walang. Dia mengangkat tongkatnya, seolah ingin menunjukkan pada Tuan Guru Besarnya bahwa dia telah berhasil melakukan semua tugas di sana. Tak lama kemudian air mata Bimantara mulai menetes. Dia teringat saat pertama kali Ki Walang memilihnya sebagai murid. Saat itu Bimantara tidak percaya bisa melakukan semua yang diajarkan gurunya mengingat kepincangannya. Namun berkat semangat dan ketegasan Ki Walang akhirnya B
Dermaga pulau seberang tampak ramai. Mereka semua hendak menyaksikan keluarga mereka yang baru lulus dari perguruan matahari. Panglima Sada tampak menunggu Dahayu dan Pangeran Sakai bersama prajuritnya. Panglima Aras bersama prajuritnya juga tampak berdiri menunggu kedatangan Kancil alisan pangeran Pangaraban.Kapal layar yang membawa Pangeran Sakai, Kancil dan yang lainnya sudah berlabuh di dermaga pulau seberang. Keluarga masing-masing langsung mendekat ke sisi kapal. Panglima Sada tampak heran tidak melihat Dahayu di sana. Dia mendekat ke Pangeran Sakai dengan heran.“Kemana Dahayu, Pangeran?” tanya Panglima Sada dengan heran.Pangeran Sakai tampak bingung menjelasakannya.“Kenapa Dahayu tidak ikut denganmu?” tanya Panglima Sada sekali lagi menahan kebingungannya.“Dahayu tidak ikut bersamaku,” jawab Pangeran Sakai.Panglima Sada tampak terkejut mendengarnya.“Kenapa?”“Dia kubiarkan pergi bersama Bimantara,” jawab Pangeran Sakai.Panglima Sada terbelalak mendengarnya.“Kenapa kau
“Turunkan Dahayu dari kudamu!” tegas Panglima Sada. Dia tidak gentar terhadap binatang-binatang buas di hadapan mereka yang mengawal Bimantara yang sedang mengancam dengan suara-suara mengerikan.“Biar aku pergi bersama Bimantara, Ayah!” pinta Dahayu.“Kau harus kembali ke istana! Bimantara bukan cinta sejatimu! Kau akan kembali ke alam peri untuk selamanya jika hidup bersama Bimantara! Kau juga kan membunuh Putra Mahkota!” tegas Panglima Sada.“Aku tidak akan menyentuhnya! Beri kami waktu untuk mencari cara agar terlepas dari kutukan cinta sejati itu,” pinta Bimantara.“Sampai kapan pun kalian tak akan menemukan cara untuk melepaskan takdir itu!” tegas Panglima Sada.“Aku akan masuk ke alam peri dan aku akan mencari caranya di sana!” ucap Bimantara.“Itu akan membunuh dirimu sendiri Bimantara! Mengalah lah! Dahayu bukan jodohmu! Kalian tak akan bisa bersama! Kau hanya akan membunuh Dahayu dan Putra Mahkota! Pikirkan kerajaan Nusantara! Hanya Putra Mahkota Pangeran Sakai yang bisa men
Dahayu menangis sesenggukan di hadapan Sukma. Sukma tampak tidak bisa berbuat apa-apa.“Ibu tidak tahu harus bagaimana, Dahayu.”Dahayu mengelap air matanya lalu menatap wajah ibunya dengan lekat.“Aku ingin pergi dari sini, Bu. Aku ingin mencari Bimantara, aku yakin kami akan menemukan cara untuk melepas kutukan ini,” ucap Dahayu yang mulai kembali terisak.“Andai ibu bisa meminta ayahmu untuk membiarkanmu pergi ke luar sana, ibu menyerahkan semua keputusan padamu, Nak.”“Kenapa ayah mengingkari janjinya? Ayah jahat padaku, ibu,” isak Dahayu.“Ayah melakukan ini semua karena beliau tidak mau kamu terjebak ke alam peri untuk selama-lamanya dan ayah memikirkan nasib Putra Mahkota. Satu-satunya pewaris tahta kerajaan ini,” jawab Sukma.Dahayu semakin terisak mendengar itu. Tak lama kemudian terdengar suara pintu terbuka. Dahayu dan Sukma menoleh ke arah pintu dengan terkejut. Panglima Sada sudah berdiri di ambang pintu dengan raut bingungnya.“Pergilah jika kau ingin pergi dari istana i
Dahayu memaksa tersenyum pada Pangeran Sakai.“Tidak ada yang mengancamku dan keluargaku. Ini keputusanku,” jawab Dahayu.“Ceritakan padaku jika ada yang mengancammu, Dahayu! Aku tidak mau kau terpaksa atas semua ini. Aku tidak mau menanggung beban karena menyakiti Bimantara karena ini,” tanya Pangeran Sakai dengan tegas.Akhirnya Dahayu menangis.“Apalagi yang harus aku lakukan? Bimantara tidak tahu di mana? Di menghilang! Aku berkali-kali meraga sukma untuk menemuinya, tapi dia sengaja menggunakan ajian dinding pembatas hingga siapapun tidak bisa menembusnya dengan ajian apapun! Dia telah menyerahkan aku pada ayahku saat itu. Itu artinya Bimantara tidak lagi menginginkan aku!” isak Dahayu.“Bimantara bukan tidak menginginkan kamu lagi Dahayu, dia berkorban demi kamu. Dia ingin kamu tetap hidup!” ucap Pangeran Sakai.“Sudahlah! Kita hentikan saja rencana kita! Kita harus menikah agar semuanya selesai!” pinta Dahayu.“Aku akan mencari Bimantara! Kemana pun dia pergi aku akan mencariny
Bimantara sedang terbaring lemah di pinggir kolam di dalam sebuah gua. Di luar sana tampak sudah gelap. Gua yang pernah dikunjunginya bersama Kepala Perguruan sewaktu peperangan terjadi di lautan Nusantara. Wajahnya tampak kumal dikotori debu. Matanya hampir tak berkedip memandangi langit-langit gua itu. Sudah berhari-hari dia bersembunyi di sana sejak menyerahkan Dahayu pada Panglima Sada. Dia mengurungkan niatnya untuk mengunjungi kakeknya di kediaman Tuan Kepala Wilayah. Tak lama kemudian tongkat hitamnya tegak sendiri. Bimantara tak peduli. Tongkat hitamnya kemudian terangkat ke atas sendiri. Tiba-tiba ujung tongkatnya tampak mengeluarkan cahaya seolah menjadi obor penerangan untuk gua itu. “Jangan nyalakan cahaya itu!” tegas Bimantara. Cahaya di tongkatnya tiba-tiba menghilang lalu tongkat itu jatuh ke atas tanah kembali ke tempatnya semula. Tak lama kemudain Bimantara mendengar suara kuda. Dia duduk dengan heran. Tongkatnya berjalan sendiri ke arahnya seolah bersiap untuk mem
Dewa angin mendekat padanya. Bimantara bersiap dengan tongkatnya.“Setiap seratus tahun sekali kami mencari manusia yang bisa melindungi bumi dari kejahatan manusia itu sendiri,” ucap Dewa angin padanya. “Kami tidak boleh ikut campur atas urusan manusia. Kami hanya dapat mengutus satu manusia untuk menjadi penegak kedamaian di muka bumi ini.”“Carilah manusia yang lain saja,” tegas Bimantara. “Aku tidak pantas untuk itu dan aku tidak memiliki keinginan untuk menjadi Candaka Uddhiharta.”Dewa angin tertawa. Dia bisa menangkap di mata Bimantara kalau jiwanya sedang terganggu karena kesedihan yang dialaminya.“Aku akan datang lagi diwaktu yang tepat dan nanti aku akan bertanya lagi,” ucap Dewa Angin.“Seribu kali kau datang padaku, aku tetap pada keputusanku saat ini,” tegas Bimantara.“Dasar darah muda,” umpat Dewa Angin padanya lalu dengan cepat berubah kembali menjadi cahaya. Tak lama kemudian cahaya itu menghilang lalu gua itu dipenuhi tiupan angin. Bimantara tampak kedinginan. Seket
Burung garuda itu mendarat di hadapan mata air abadi. Malam sebentar lagi usai. Bimantara turun dari punggung burung garuda lalu berdiri menatap air terjun di hadapannya. Burung garuda itu pun mengepakkan sayapnya kembali meninggalkannya di sana.“Ratu Peri, keluarlah!” teriak Bimantara.Tak ada siapapun yang datang.“Ratu Peri! Keluarlaaah!!!” teriak Bimantara.Ratu Peri pun tak datang padanya. Tak lama kemudian seorang perempuan datang padanya keluar dari dalam hutan. Perempuan itu terbelalak mendapati Bimantara ada di sana. Ya, dia adalah Dhaksayini, istri mendiang Pangeran Kantata. Seorang Ratu Peri yang sudah menjelma menjadi manusia.“Bimantara?” panggilnya tak percaya.Bimantara terkejut lalu menoleh padanya.“Kau! Siapa kau?” tanya Bimantara dengan heran.“Jika kau ingin memanggil Ratu Peri, dia tak akan pernah datang menemui! Pintu kerajaan peri ini telah ditutup sejak aku menjadi manusia dan menikah dengan Pangeran Kantata,” ucap Dhaksayini.Bimantara terbelalak mendengarnya
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it