Dahayu menangis sesenggukan di hadapan Sukma. Sukma tampak tidak bisa berbuat apa-apa.“Ibu tidak tahu harus bagaimana, Dahayu.”Dahayu mengelap air matanya lalu menatap wajah ibunya dengan lekat.“Aku ingin pergi dari sini, Bu. Aku ingin mencari Bimantara, aku yakin kami akan menemukan cara untuk melepas kutukan ini,” ucap Dahayu yang mulai kembali terisak.“Andai ibu bisa meminta ayahmu untuk membiarkanmu pergi ke luar sana, ibu menyerahkan semua keputusan padamu, Nak.”“Kenapa ayah mengingkari janjinya? Ayah jahat padaku, ibu,” isak Dahayu.“Ayah melakukan ini semua karena beliau tidak mau kamu terjebak ke alam peri untuk selama-lamanya dan ayah memikirkan nasib Putra Mahkota. Satu-satunya pewaris tahta kerajaan ini,” jawab Sukma.Dahayu semakin terisak mendengar itu. Tak lama kemudian terdengar suara pintu terbuka. Dahayu dan Sukma menoleh ke arah pintu dengan terkejut. Panglima Sada sudah berdiri di ambang pintu dengan raut bingungnya.“Pergilah jika kau ingin pergi dari istana i
Dahayu memaksa tersenyum pada Pangeran Sakai.“Tidak ada yang mengancamku dan keluargaku. Ini keputusanku,” jawab Dahayu.“Ceritakan padaku jika ada yang mengancammu, Dahayu! Aku tidak mau kau terpaksa atas semua ini. Aku tidak mau menanggung beban karena menyakiti Bimantara karena ini,” tanya Pangeran Sakai dengan tegas.Akhirnya Dahayu menangis.“Apalagi yang harus aku lakukan? Bimantara tidak tahu di mana? Di menghilang! Aku berkali-kali meraga sukma untuk menemuinya, tapi dia sengaja menggunakan ajian dinding pembatas hingga siapapun tidak bisa menembusnya dengan ajian apapun! Dia telah menyerahkan aku pada ayahku saat itu. Itu artinya Bimantara tidak lagi menginginkan aku!” isak Dahayu.“Bimantara bukan tidak menginginkan kamu lagi Dahayu, dia berkorban demi kamu. Dia ingin kamu tetap hidup!” ucap Pangeran Sakai.“Sudahlah! Kita hentikan saja rencana kita! Kita harus menikah agar semuanya selesai!” pinta Dahayu.“Aku akan mencari Bimantara! Kemana pun dia pergi aku akan mencariny
Bimantara sedang terbaring lemah di pinggir kolam di dalam sebuah gua. Di luar sana tampak sudah gelap. Gua yang pernah dikunjunginya bersama Kepala Perguruan sewaktu peperangan terjadi di lautan Nusantara. Wajahnya tampak kumal dikotori debu. Matanya hampir tak berkedip memandangi langit-langit gua itu. Sudah berhari-hari dia bersembunyi di sana sejak menyerahkan Dahayu pada Panglima Sada. Dia mengurungkan niatnya untuk mengunjungi kakeknya di kediaman Tuan Kepala Wilayah. Tak lama kemudian tongkat hitamnya tegak sendiri. Bimantara tak peduli. Tongkat hitamnya kemudian terangkat ke atas sendiri. Tiba-tiba ujung tongkatnya tampak mengeluarkan cahaya seolah menjadi obor penerangan untuk gua itu. “Jangan nyalakan cahaya itu!” tegas Bimantara. Cahaya di tongkatnya tiba-tiba menghilang lalu tongkat itu jatuh ke atas tanah kembali ke tempatnya semula. Tak lama kemudain Bimantara mendengar suara kuda. Dia duduk dengan heran. Tongkatnya berjalan sendiri ke arahnya seolah bersiap untuk mem
Dewa angin mendekat padanya. Bimantara bersiap dengan tongkatnya.“Setiap seratus tahun sekali kami mencari manusia yang bisa melindungi bumi dari kejahatan manusia itu sendiri,” ucap Dewa angin padanya. “Kami tidak boleh ikut campur atas urusan manusia. Kami hanya dapat mengutus satu manusia untuk menjadi penegak kedamaian di muka bumi ini.”“Carilah manusia yang lain saja,” tegas Bimantara. “Aku tidak pantas untuk itu dan aku tidak memiliki keinginan untuk menjadi Candaka Uddhiharta.”Dewa angin tertawa. Dia bisa menangkap di mata Bimantara kalau jiwanya sedang terganggu karena kesedihan yang dialaminya.“Aku akan datang lagi diwaktu yang tepat dan nanti aku akan bertanya lagi,” ucap Dewa Angin.“Seribu kali kau datang padaku, aku tetap pada keputusanku saat ini,” tegas Bimantara.“Dasar darah muda,” umpat Dewa Angin padanya lalu dengan cepat berubah kembali menjadi cahaya. Tak lama kemudian cahaya itu menghilang lalu gua itu dipenuhi tiupan angin. Bimantara tampak kedinginan. Seket
Burung garuda itu mendarat di hadapan mata air abadi. Malam sebentar lagi usai. Bimantara turun dari punggung burung garuda lalu berdiri menatap air terjun di hadapannya. Burung garuda itu pun mengepakkan sayapnya kembali meninggalkannya di sana.“Ratu Peri, keluarlah!” teriak Bimantara.Tak ada siapapun yang datang.“Ratu Peri! Keluarlaaah!!!” teriak Bimantara.Ratu Peri pun tak datang padanya. Tak lama kemudian seorang perempuan datang padanya keluar dari dalam hutan. Perempuan itu terbelalak mendapati Bimantara ada di sana. Ya, dia adalah Dhaksayini, istri mendiang Pangeran Kantata. Seorang Ratu Peri yang sudah menjelma menjadi manusia.“Bimantara?” panggilnya tak percaya.Bimantara terkejut lalu menoleh padanya.“Kau! Siapa kau?” tanya Bimantara dengan heran.“Jika kau ingin memanggil Ratu Peri, dia tak akan pernah datang menemui! Pintu kerajaan peri ini telah ditutup sejak aku menjadi manusia dan menikah dengan Pangeran Kantata,” ucap Dhaksayini.Bimantara terbelalak mendengarnya
“Kau tidak bersedia memenuhi syarat dariku?” tanya Bimantara.“Cinta memang membutakan manusia! Itulah kelemahanmu Bimantara! Kau belum bisa mengendalikan dirimu darinya!”Bimantara terdiam mendengar itu.“Baiklah!” ucap Dewa Angin. “Aku akan mengabulkan permintaanmu jika kau lulus menjadi Chadaka Uddhiharta!”Bimantara tampak senang mendengarnya. Dia pun langsung bersujud pada Dewa Angin dengan haru.“Terima kasih, Dewa agung,” ucap Bimantara.“Jangan senang dulu! Kau pun belum tentu lulus dari ujian kami!” ucap Dewa Angin.“Aku akan melakukannya dengan baik! Aku pasti bisa menjadi Chandaka Uddhiharta di abad ini,” ucap Bimantara dengan penuh keyakinan.Dewa Angin Pun tertawa.“Datanglah ke bukit naga. Kami menunggumu di sana,” pinta Dewa Angin padanya.“Baik, Dewa Agung,” jawab Bimantara.Dewa Angin pun berubah menjadi cahaya. Tak lama kemudian cahaya itu menghilang lalu berubah menjadi angin. Perlahan angin itu keluar dari celah-celah gua. Bimantara menatap tongkatnya.“Sebelum kit
Bimantara berdiri di hadapan gerbang pertama kerajaan Nusantara Timur dengan tongkat hitamnya. Tak lama kemudian pintu gerbang itu terbuka. Prajurit penjaga meminta Bimantara masuk ke dalam. Saat Bimantara melangkah memasuki gerbang, dia melihat Pangeran Sakai sudah berdiri sambil tersenyum menatapnya. Bimantara bergegas mendekatinya.“Aku kira kau tak akan ke sini,” ucap Pangeran Sakai. “Aku kira kau lelaki pengecut yang tidak pantas mendapat gelar pendekar dari perguruan matahari.”“Aku tidak seperti itu!” ucap Bimantara.“Aku tahu,” sahut Pangeran Sakai. “Kau sudah menemukan jalan keluarnya?”Bimantara mengangguk. Pangeran Sakai lega mendengarnya.“Ikut aku, biar aku antarkan langsung menghadap ayahku,” ajak Pangeran Sakai.Bimantara mengangguk lalu berjalan mengikuti langkah Pangeran Sakai dengan tongkatnya menuju kediaman Raja Dwilaga. Saat mereka sudah tiba di depan kediaman Sang Raja, prajurit langsung masuk ke dalam untuk melaporkan pada sang raja bahwa Pangeran hendak menemui
Kakek itu berdiri menghadap lautan di hadapannya. Penguasa kegelapan itu sedang menyamar menjadi seorang kakek berjanggut putih seperti biasanya. Walat datang mendekatinya dengan napas terengah-engah.“Aku sudah memindahkan batu-batu dari ujung pulau arah timur ke ujung pulau arah barat, Tuan Guru,” ucap Walat.Kakek itu menoleh padanya dengan raut bingung.“Kau harus secepatnya menguasai semua ilmu dariku,” ucap kakek itu.Walat terbelalak mendengarnya.“Bukan kah Tuan Guru pernah bilang kalau semua itu tidak bisa dilakukan dengan cepat?” tanya Walat heran.“Tidak ada waktu lagi! Pemuda itu sudah pergi menuju bukit naga! Dia akan menemui para dewa di sana! Jika dia berhasil menjadi Candaka Uddhiharta, kau harus sudah menguasai semua ilmu dariku! Jika tidak, selamanya pedang perak cahaya merah itu tak akan bisa kurebut darinya!” teriak kakek itu.Walat tampak gemetar mendengarnya.“Baiklah, Tuan Guru,” ucap walat.“Aku punya cara untuk mengganggu konsentrasi pemuda itu agar dia tidak