Panglima Sada dan pasukannya memacukan kuda menembus jalanan berbatu yang di pinggir kiri dan kanannya adalah hutan rimba. Mereka semua sudah memakai pakaian perang lengkap dengan tameng dan penutup kepala. Tombak dan anak panah sudah dibawa masing-masing prajurit. Panglima Sada yang berada paling depan tampak begitu semangat memacukan kudanya.Hari sudah hampir gelap. Kuda yang ditunggangi Panglima Sada tiba-tiba berhenti dan mengangkat kedua kaki depannya sambil bersuara kencang. Para prajurit di belakangnya pun terpaksa menghentikan kuda masing-masing.“Ada apa, Panglima?” tanya salah satu Prajurit dengan heran.“Aku tidak tahu. Mungkin karena hari sudah mulai gelap, kita harus berhati-hati. Mayat-mayat hidup bisa saja keluar dari hutan lalu tiba-tiba menyerang kita,” jawab Panglima Sada.Para prajurit langsung mengitari tempat itu. Tak lama kemudian kabut putih berdatangan. Pandangan mereka menjadi buram.“Bagaimana ini, Panglima? Apakah kita tetap melanjutkan perjalanan atau isti
Arwah Gantari tiba di hadapan gubuk tuanya dengan sedih. Saat dia melihat selendang hitam yang terkait di gubuk tuanya, Gantari heran lalu menatap selendang itu dengan lekat. Dia ingat, selendang itu adalah milik Nyi Sengkuni.“Sengkuni? Apa dia ke sini mencariku? Aku sudah lama menantinya, kemana dia sekarang?” tanya Gantari sambil mengitari sekitar gubuk. Dia melihat bekas kaki kuda di atas tanah. Gantari pun langsung terbang mencari keberadaan Nyi Sengkuni setelah melihat bekas kuda itu.Sementara itu, Nyi Sengkuni dan Pendekar Rambut Emas masih menunggangi kuda masing-masing menuju mata air abadi. Tak lama kemudian mereka melihat kabut datang. Nyi Sengkuni menghentikan kudanya. Pendekar Rambut Emas pun menghentikan kudanya dengan heran.“Ada apa?” tanya Pendekar Rambut Emas.“Kabut ini adalah kabut dari negeri peri,” jawab Nyi Sengkuni.“Apakah ini pertanda dari ibunya Dahayu?” tanya Pendekar Rambut Emas dengan heran.“Tadi aku telah menaruh selendangku di gubuk tua itu. Mungkin G
Pasukan Panglima Aras dari kerajaan Nusantara Barat memasuki padang ilalang yang luas. Obor api yang menyala terang berada di tangan para prajurit. Langit malam dihiasi bulan sabit. Bintang-bintang tak begitu nampak karena sebagian langit ditutupi awan. Semuanya telah memakai pakaian pelindung baja untuk menghindari gigitan mayat hidup jika mendadak menyerang mereka. Mereka tengah diperintahkan Sang Raja untuk membantu Pangeran Pangaraban alias Kancil dalam misi pencarian tempat persembunyian Perguruan Tengkorak.Panglima Aras tidak tahu kemana Pangeran Pangaraban dan sekawanannya dari Perguruan Matahari menuju. Dia hanya berbekal petunjuk dari penerawangan tetua istana. Arah yang mereka tuju adalah arah yang dikatakan tetua padanya.Mendadak burung gagak beterbangan di atas sana. Panglima Aras menatap ke atas. Kekhawatirannya mulai tampak ketika melihat sekawanan burung gagak di atas sana. Burung gagak adalah petanda kematian. Tiba-tiba Panglima Aras menghentikan kudanya ketika meli
“Kurang cocok bagaimana? Bukan kah itu sudah tepat? Memangnya yang cocok bagaimana?” tanya Pangeran Sakai geram.“Membunuh kedelapan pendekar terlebih dahulu akan memancing yang lainnya untuk membantu. Kita bukan sedang menyerang orang-orang tidur. Di sana tidak semuanya sedang mabuk. Pasti ada yang berjaga dan yang berjaga itu banyak jumlahnya,” ucap Bimantara.“Lalu serangan seperti apa yang harus kita lakukan?” tanya Pangeran Sakai penasaran.“Kalian semua mendekat padaku,” pinta Bimantara.Semua heran lalu mendekat ke Bimantara. Bimantara pun berbisik pada mereka. Semua mendengarkan dengan serius. Tampak diwajah Pangeran Sakai mulai mengakui ide yang dilontarkan Bimantara.“Bagaimana?” tanya Bimantara.“Aku setuju!” jawab Pangeran Dawuh dan Kancil bersamaan.Sementara Pangeran Sakai terdiam. Rajo, Wira, Sanum dan Welas menatap ke Pangeran Sakai. Dalam hati mereka sangat setuju, namun melihat Pangeran Sakai tampak masih kurang setuju, mereka memilih diam karena tidak enak terlihat
Pendekar Rambut Emas tengah memacukan kudanya untuk kembali ke Perguruan Matahari. Mayat-mayat hidup yang hendak menyerangnya dari dalam hutan dia lilit dengan selandangnya lalu dilemparkannya ke kejauhan. Pikirannya masih mengingat apa yang dibicarakan Gantari tentang Dahayu saat dia bertemu dengannya bersama Nyi Sengkuni.“Aku tidak bisa lagi kembai ke sana. Aku sudah menjadi arwah yang sebelum kematianku adalah sosok manusia,” ucap Gantari. “Dan tak ada yang bisa mengembalikan Dahayu ke alam manusia kecuali lelaki yang sangat dicintainya.”“Aku tahu siapa yang dicintainya,” ucap Nyi Sengkuni.“Maksudmu Bimantara?” tanya Gantari.“Iya, dia pernah membawa Dahayu ke tempatku,” jawab Nyi Sengkuni.“Ternyata benar dugaanku,” sahut Pendekar Rambut Emas.“Kita harus meminta Bimantara untuk memanggilnya di mata air abadi,” pinta Gantari.“Tapi waktu itu Bimantara sudah ke sana dan katanya dia tidak berhasil menemukan Dahayu di sana,” ucap Pendekar Rambut Emas heran.Gantari terkejut menden
Sanum dan Welas tengah mengintai arena padepokan Perguruan Tengkorak di bawah sana. Dia melihat para pendekar masih berpesta minuman keras sambi bergoyang mengelilingi api unggun. Penjagaan di di gerbang padepokan tampak tidak begitu ketat. Padepokan itu tidak begitu luas, namun di belakang padepokan terlihat sebuah padang datar yang cukup luas. Padang di tengah bukit. Mereka tidak melihat siapapun di padang rumput itu.“Sepertinya semua orang tengah berkumpul di dekat api unggun itu,” bisik Sanum pada Welas.Namun welas melihat ada bebera pendekar yang berjaga di depan padepokan dan di dekat pagar padepokan bagian dalam.“Masih ada yang berjaga di sekitar pagar,” sahut Welas.Mereka pun kembali mengintai ke arah area padepokan. Tak lama kemudian Sanum meraih secarik kain lalu menuliskan sesuatu dengan arang di permukaan secarik kain itu. Bimantara telah meminta Sanum dan Welas untuk mengintai di sana lalu mengabarkan pada semua tentang apa yang dilihat mereka di dalam sana. Burung-bu
Pangeran Sakai dan Kancil masih sedang mengendap-endap di dekat pagar padepokan sisi barat. Tak lama kemudian burung merpati datang menjatuhkan surat di hadapan mereka. Kancil langsung meraihnya dan membacanya.“Apa kata Sanum dan Welas?” tanya Pangeran Sakai yang sudah tahu itu kiriman dari dua pendekar perempuan itu.“Katanya di sisi pagar barat ini tak ada yang menjaga, kita bisa masuk dari arah mana saja,” jawab Kancil.Pangeran Sakai langsung mengintip ke dalam pagar melalui celah-celahnya. Dia tidak melihat siapapun yang berjaga.“Sanum dan Welas benar,” jawab Pangeran Sakai.“Ingat, tujuan pertama kita dalam pengintaiannya ini untuk mengetahui di mana keberadaan Kepala Guruan berada, karena Bimantara ingin kita langsung menyerangnya terlebih dahulu. Jangan sampai para muridnya tahu, jika tidak, kita akan kewalahan menghadapi muridnya yang banyak,” ucap Kancil mengingatkannya.“Tak perlu kau ingatkan, aku sudah tahu,” kesal Pangeran Sakai.“Aku hanya mengingatkan saja, khawatir
Bimantara dan Pangeran Dawuh masih sedang mengendap-endap mencari tempat pertapaan Kepala Perguruan Tengkorak. Tak lama kemudian seorang kakek melompat dari atas pohon sambil memegang bambu tempat menyimpan air minum lalu mendarat ke hadapan mereka berdua.Bimantara dan Pangeran Dawuh heran. Kakek itu tidak terlihat seperti orang dari perguruan tengkorak.“Ada urusan apa kalian di sini?” tanya kakek-kakek itu sambil sempoyongan. Dia tengah mabuk berat tapi masih bisa bicara dengan mereka dengan tatapan tajam.“Kau siapa?” tanya Bimantara.Kakek-kakek itu tertawa.“Aku kepala perguruan Elang Putih!” jawabnya.Bimantara dan Pangeran Dawuh saling menatap dengan heran lalu kembali menatap kakek-kakek itu.“Ada urusan apa dengan perguruan tengkorak?” tanya Pangeran Dawuh dengan heran.Kakek-kakek itu tertawa.“Aku tidak ada urusan apa-apa dengan perguruan tengkorak,” jawabnya.“Kenapa ada di sini? Kau ke sini pasti ada urusan dengan perguruan tengkorak,” tanya Bimantara dengan heran.“Aku