Pangeran Sakai dan Kancil masih sedang mengendap-endap di dekat pagar padepokan sisi barat. Tak lama kemudian burung merpati datang menjatuhkan surat di hadapan mereka. Kancil langsung meraihnya dan membacanya.“Apa kata Sanum dan Welas?” tanya Pangeran Sakai yang sudah tahu itu kiriman dari dua pendekar perempuan itu.“Katanya di sisi pagar barat ini tak ada yang menjaga, kita bisa masuk dari arah mana saja,” jawab Kancil.Pangeran Sakai langsung mengintip ke dalam pagar melalui celah-celahnya. Dia tidak melihat siapapun yang berjaga.“Sanum dan Welas benar,” jawab Pangeran Sakai.“Ingat, tujuan pertama kita dalam pengintaiannya ini untuk mengetahui di mana keberadaan Kepala Guruan berada, karena Bimantara ingin kita langsung menyerangnya terlebih dahulu. Jangan sampai para muridnya tahu, jika tidak, kita akan kewalahan menghadapi muridnya yang banyak,” ucap Kancil mengingatkannya.“Tak perlu kau ingatkan, aku sudah tahu,” kesal Pangeran Sakai.“Aku hanya mengingatkan saja, khawatir
Bimantara dan Pangeran Dawuh masih sedang mengendap-endap mencari tempat pertapaan Kepala Perguruan Tengkorak. Tak lama kemudian seorang kakek melompat dari atas pohon sambil memegang bambu tempat menyimpan air minum lalu mendarat ke hadapan mereka berdua.Bimantara dan Pangeran Dawuh heran. Kakek itu tidak terlihat seperti orang dari perguruan tengkorak.“Ada urusan apa kalian di sini?” tanya kakek-kakek itu sambil sempoyongan. Dia tengah mabuk berat tapi masih bisa bicara dengan mereka dengan tatapan tajam.“Kau siapa?” tanya Bimantara.Kakek-kakek itu tertawa.“Aku kepala perguruan Elang Putih!” jawabnya.Bimantara dan Pangeran Dawuh saling menatap dengan heran lalu kembali menatap kakek-kakek itu.“Ada urusan apa dengan perguruan tengkorak?” tanya Pangeran Dawuh dengan heran.Kakek-kakek itu tertawa.“Aku tidak ada urusan apa-apa dengan perguruan tengkorak,” jawabnya.“Kenapa ada di sini? Kau ke sini pasti ada urusan dengan perguruan tengkorak,” tanya Bimantara dengan heran.“Aku
“Apa yang sudah kamu lakukan?” tanya Kepala Perguruan dengan geram kepada Pendekar Pedang Emas sekali lagi.Pendekar Pedang Emas terdiam sambil menahan sakit di dalam dadanya. Dia teringat saat Kepala Perguruan sedang mencari Bimantara ke mata air abadi, dia menemui Gajendra di tempat persembunyiannya. Dia mengingatkan kakak kandungnya itu untuk menghentikan ajian pembangkit kematian dan kembali ke jalan yang benar. Namun saat itu Gajendra tetap menolak permintaannya. Ternyata ada satu alasan yang membuat Gajendra geram dan melakukan semuanya. Dia ingin menuntut balas atas apa yang dilakukan sesepuh kerajaan nusantara pada kakeknya dahulu. Itu terjadi sebelum kerajaan nusantara terpecah menjadi tiga kerajaan. Kakeknya adalah keluarga kerajaan yang menjadi putra mahkota pada saat itu. Namun disingkirkan begitu saja oleh saudaranya. Gajendra menilai bahwa penesur tahta kerajaan yang sekarang itu tidak sah, justru keturunan dari kakeknya lah yang harus menjadi raja di kerajaan nusantara.
Bimantara duduk di teras padepokan sambil memandangi kakek kepala perguruan Elang Hitam bersama para muridnya yang masih berpesta minum-minuman keras di dekat api unggun. Pangeran Sakai dan yang lainnya tampak tertidur di belakangnya. Tak lama kemudian Pangeran Dawuh terbangun lalu heran melihat Bimantara tampak melamun sendirian.Pangeran Dawuh bangkit lalu duduk di sebelahnya.“Kau tidak bisa tidur?” tanya Pangeran Dawuh padanya.Bimantara terkejut lalu menoleh padanya. “Aku harus berjaga, bagaimana jika mereka semua jahat kepada kita,” ucap Bimantara sambil menoleh ke arah para pendekar yang tengah mabuk-mabukan itu.Pangeran Dawuh melihat raut wajah Bimantara yang sedih. Dia yakin bukan karena itu Bimantara tidak bisa tidur. Pasti ada sesuatu.“Bagaimana dengan ayahku di istana?” tanya Bimantara kemudian.“Ayahmu sudah aman di dalam kurungan penjara,” jawab Pangeran Dawuh.“Terima kasih telah membantu menyelematkannya,” ucap Bimantara. “Nanti jika urusan ini telah selesai, aku ing
Pendekar Rambut Emas datang ke tempat Tabib Perguruan memeriksa keadaan Pendekar Pedang Emas yang tengah dirawat oleh tabib. Dia menatap wajah Pendekar Pedang Emas dengan kecewa.“Aku harap luka dalamnya bisa segera disembuhkan karena dia telah melakukan pengakuan atas kesalahannya pada Kepala Perguruan,” ucap Tabib Perguruan padanya.Pendekar Rambut Emas terdiam. Tabib Perguruan pergi dari sana. Pendekar Rambut Emas kembali menatap wajah Pendekar Pedang Emas dengan raut kecewanya.“Aku tak percaya kau telah membohongi Bimantara dan teman-temannya! Kau pikir ini main-main? Ini urusan keselamatan Nusantara!” ucapnya.Pendekar Pedang Emas masih dalam keadaan tidak sadarkan diri.“Untung saja Kepala Perguruan memaafkanmu, jika tidak kau akan mati malam ini mendapatkan kutukan dari para leluhur!” ucapnya lagi.Pendekar Rambut Emas pun pergi dari sana menahan kecewanya.***Pendekar bertopeng datang kepada Gajendra yang sedang duduk bersila di dalam gua. Gajendra membuka matanya.“Kepala P
Naga Hitam dan Naga penghuni lautan itu saling menyemburkan api. Keduanya bertarung di atas langit. Bimantara dan yang lainnya tampak tercengang melihatnya di bawah sana. Sementara kakek kepala perguruan Elang Putih bersama para muridnya tampak terbelalak melihatnya.“Hanya Candaka Uddhiharta yang bisa mengendalikan naga dari laut itu,” ucap kakek kepala perguruan Elang Putih pada murid-muridnya.“Utusan terpilih?” tanya muridnya.“Iya, utusan tepilih. Para leluhur akan mengirimkan utusan terpilih setiap seratus tahun sekali. Pemuda yang datang bersama sekawanannya dari perguruan matahari itu bukan orang sembarangan! Dia adalah Canda Uddhiharta yang dinanti-nantikan selama ini! Beruntungnya aku bisa melihatnya hari ini!” ucap kakek itu dengan takjub sambil memandangi Bimantara yang tengah sibuk mengawasi pertarungan naga di atas langit sana.“Ayo, Tuan Nagaaa!” teriak Bimantara.Naga Hitam menyerang Naga Emas itu hingga mendorong tubuhnya ke bawah dan menghantam tanah. Bimantara dan y
Gajendra berdiri dengan geram di dalam gua tempat persembunyiannya. Kelelawar berterbangan ketakutan. Para muridnya pun berdiri menghadapnya dengan takut.“Mereka menantangku untuk keluar dari persembunyian!” teriak Gajendra. “Naga hitamku sudah dikalahkan oleh mereka! Itu artinya kita tak bisa lagi diam! Kita harus keluar dari persembunyian dan kerahkan semua para pendekar untuk melawan mereka!”“Tapi, Tuan Guru, bukan kah misi kita hendak memusnahkan seluruh penduduk dulu dengan para mayat hidup, baru setelah itu kita keluar dari persembunyian?” tanya salah satu muridnya dengan bingung.Gajendra geram mendengarnya. “Kita harus musnahkan dulu pemuda pemilik ajian penakluk binatang dan tiga putra mahkota itu! Jika didiamkan, mereka akan mengacaukan semua rencana kita!”“Ba... baik, Tuan Guru!” ucapnya ketakutan.“Mari kita keluar dari sini! Kita cari mereka sekarang juga!” perintah Gajendra.“Siap!”Gua itu pun bergetar. Gajendra dan pasukannya pun bergegas keluar dari dalam gua itu u
Ratusan murid Gajendra yang sudah mengenakan topeng tampak berbaris rapih di hadapan gua di lembah hitam itu. Gajendra berdiri di hadapannya sambil memeriksa semuanya. Kuda-kuda sudah siap membawa mereka pergi dari sana.“Apakah hanya kita yang akan pergi menyerang pasukan dari perguruan matahari itu, Tuan Guru?” tanya salah satu dari muridnya.“Tidak hanya kita! Sebentar lagi pasukan lain akan bergabung bersama kita! Kita tunggu saja!” jawab Gajendra lalu tertawa.Tak lama kemudian semuanya mendengar suara ribut dari kejauhan sana. Semua tercengang saat melihat macan hitam berdatangan lalu bergabung bersama mereka. Ratusan murid itu tampak gemetar ketakutan melihat sekawanan harimau hitam itu. Gajendra tertawa melihat kedatangan mereka.Dan beberapa saat kemudian lagi, mereka semua mendengar suara langkah kaki dari dalam hutan menuju ke arah mereka. Semua murid Gajendra tampak bingung.“Siapa lagi yang akan datang?” tanya salah satu murid pada temannya.“Aku tidak tahu,” jawabnya.Ti
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it