Panglima Sada dan pasukannya keluar dari hutan lalu kini mereka melewati padang rumput yang luas. Panglima Sada langsung menghentikan kudanya saat melihat di ujung sana dia melihat pasukan berkuda berjalan menuju ke arah mereka. Para prajuritnya pun ikut menghentikan kuda masing-masing dengan heran.“Siapa mereka, Panglima?” tanya prajuritnya. Karena mereka tidak bisa melihat dengan jelas karena jaraknya sangat jauh.“Kita tunggu dulu,” jawab Panglima Sada. Dia pun menoleh kepada para prajuritnya di belakang. “Semuanya! Atur formasi dan bersiap untuk menyerang!”“Siap!”Para prajurit itupun langsung memajukan kudanya lalu berbaris horizontal mengapit Panglima Sada yang berada di tengah-tengah. Mereka semua menatap ke arah kejauhan sana.Ternyata pasukan berkuda itu adalah Gajendra dan pasukannya. Gajendra berhenti saat melihat barisan pasukan Panglima Sada di kejauhan sana. Semua pasukannya yang terdiri dari para pendekar bertopeng, mayat-mayat hidup dan binatang-binatang buas ikut be
Harimau-harimau hitam bertumbangan di atas tanah. Sekawanan harimau yang barus datang itu telah memenangkan pertarungan. Kini mereka menyerang mayat-mayat hidup yang hampir tiba di dekat pasukan Panglima Sada.Gajendra geram melihatnya. Dia pun membacakan mantra hingga harimau-harimau itu berlarian kembali ke dalam hutan.Panglima Sada dan pasukannya heran melihat harimau-harimau yang menyelamatkan mereka itu pergi meninggalkan mereka. Mayat-mayat hidup sudah kian mendekat pada mereka.“Seraaaang!” teriak Panglima Sada.Pasukannya langsung mengarahkan anak panah ke arah mayat-mayat hidup itu. Namun dengan tangkasnya mereka mampu menangkap ratusan anak panah yang melesat cepat ke arah mereka. Namun biar begitu, pasukan Panglima Sada tidak gentar, mereka terus saja melesatkan anak panah ke arah mayat-mayat hidup itu.Gajendra tertawa melihat kehebatan mayat-mayat hidupnya yang berhasil menghindar dengan sempurna dari serangan Panglima Sada dan pasukannya.“Kalian tak akan bisa melawan m
Bimantara terkejut melihat Gajendra mendekat dengan kudanya sendirian. Pangeran Sakai mendekat ke Bimantara dengan kudanya.“Kau pemimpin kami di sini, Bimantara! Jangan diam saja! Perintahkan pada kami apa yang harus kami lakukan!” ucap Pangeran Sakai.“Kita tunggu saja kedatangannya ke sini! Sepertinya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan padaku!” jawab Bimantara.“Tapi bagiamana jika dia tiba-tiba menyerang kita?! Kita harus bersiap melawannya!” protes Pangeran Sakai.“Ikuti saja apa maunya Bimantara!” sahut Pangeran Dawuh.Pangeran Sakai geram mendengarnya. Dia menatap semuanya. “Sekarang siapkan senjata kalian! Kita harus berjaga jika mendadak Gajendra melakukan serangan!” pinta Pangeran Sakai.Semua terdiam dan tidak mengikuti perintah Pangeran Sakai. Pangeran Sakai pasrah dengan kecewa. Saat kuda Gajendra hampir sampai di hadapannya, dia menghentikan kudanya sambil menatap Bimantara.Pasukan dari Panglima Aras bersiap dengan anak panahnya.“Turunkan anak panah kalian!” pinta Bi
Gejendra menghentak bumi. Bimantara sudah mulai ancang-ancang untuk menyerangnya. Sementara pasukan Bimantara dari Perguruan matahari yang menyaksikannya tampak mulai tegang. Begitupun Panglima Aras dan Pasukannya. Panglima Sada bersama Kakek Kepala Perguruan Elang Hitam tampak tenang menyaksikannya.Pasukan Perguruan tengkorak berteriak memberi semangat pada Kepala Perguruannya ; Gajendra.“Tungguuuu!” teriak seseorang bersama suara langkah kudanya dari belakang pasukan Bimantara. Semua menoleh ke arah suara.Bimantara tercengang melihat ayahnya datang sambil menunggangi kuda dalam bentuk mayat hidup namun bisa sadar seperti manusia biasa. Pangeran Dawuh pun tak percaya melihat Naga Wali berhasil lolos dari kurungan penjara di istananya.“Ayah?!” teriak Bimantara.Gajendra tertawa melihatnya. Naga Wali memacukan kudanya menuju mereka, menembus barisan pasukan Bimantara yang tercengan melihatnya.Naga Wali turun dari kuda lalu berdiri di depan garis lingkaran yang mengurung Bimantara
“Kau hendak mencabut kalungku?” tanya Gajendra yang sudah tahu maksud serangan dari Bimantara tadi.Bimantara heran mendengar Gajendra sudah tahu niatnya. Gajendra tertawa. Dia mencabut kalungnya lalu menjatuhkannya ke atas tanah.“Kau pikir kekuatanku berasal dari kalung itu?” tanya Gajendra sambil tersenyum jahat. “Kau salah!”Bimantara diam saja mendengarnya. Dia mencoba tenang agar tidak terpancing emosi lagi.Gajendra kembali melanjutkan kata-katanya. “Begitu pun dengan gelangku.” Gajendra langsung melepas gelangnya lalu menjatuhkannya ke atas tanah. “Kekuatanku bukan berasal dari dua benda itu, tapi dari dalam diriku sendiri!”Bimantara terdiam mendengarnya. Semua yang menyaksikan pertarungan itu pun terdiam.“Kau pasti bisa melawannya, Bimantara!” teriak Pangeran Dawuh memberinya semangat.Mendengar itu semua pasukan Bimantara pun berteriak memberinya semangat. Para prajurit Panglima Aras pun tak kalah semangat memberi Bimantara semangat.Gajendra kembali mengeluarkan jurus-jur
Hari sudah mulai gelap. Bimantara dan Gejendra masih dalam posisi pingsan dan tidak sadarkan diri. Pasukan Perguruan Tengkorak tampak khawatir dengan gurunya. Begitupun dengan pasukan Bimantara.“Kita harus bertindak!” ucap Pangeran Dawuh dengan khawatirnya.“Tidak ada yang bisa meruntuhkan dinding pembatas tak terlihat yang melingkari mereka,” sahut Pangeran Sakai dengan putus asa.“Selama kita mencari tahu, kita pasti menemukan caranya,” sahut Kancil.Panglima Sada, Panglima Aras dan Kakek Kepala Perguruan Elang Putih tampak terdiam bingung. Kakek itu menoleh pada semuanya.“Dinding pembatas itu akan abadi jika keduanya sama-sama meninggal. Tak ada yang bisa meruntuhkannya! Mereka akan terjebak di sana sampai tubuh hancur hingga menjadi tulang belulang,” ucap Kakek itu.Semua terkejut mendengarnya.“Aku akan kembali ke istana untuk mencari sebuah kitab di perpustakaan yang menuliskan tentang ajian dinding pembatas itu,” ucap Kancil.“Tak ada yang boleh pergi dari sini sampai misi ki
Pangeran Dawuh sudah duduk bersila bersama yang lainnya menghadap Bimantara dan Gajendra yang masih terkulai di atas tanah di dalam lingkaran pembatas. Semuanya mengeluarkan tenaga dalam masing-masing. Saat semuanya menyerang dinding pembatas tak terlihat itu, cahaya yang mereka keluarkan dari tangan masing-masing ternyata tak bisa menembus dinding pembatas itu. Apalagi untuk meruntuhkannya. Cahaya itu malah memantul dan mengenai sebagian dari mereka.Pasukan Gajendra lega melihatnya.“Bagaimana pun caranya, mereka tak akan berhasil merubuhkan dinding pembatas tak terlihat itu!” teriak salah satu pasukan Gajendra dengan lega.“Tuan Guru kita memang hebat!” puji salah satu pengikut Gajendra.Kancil yang masih berusaha menyerang dinding pembatas dengan tenaga dalamnya kini terpelanting jauh ke belakang terkena pantulan tenaga dalamnya sendiri. Panglima Aras segera berlari ke arah Kancil dengan khawatir dan panik.“Pangeraaaan!” teriak Panglima Aras.Dia segera membantu Kancil berdiri di
Salah satu pejabat istana mendatangi Raja Banggala yang sedang duduk di singgasananya.“Ampun, Yang Mulia Raja. Mata-mata istana telah mengetahui di mana keberadaan Pedang Perak Cahaya Merah itu,” ucap salah satu pejabat istana itu dengan penuh semangat.Raja Banggala berdiri dengan penasaran.“Dimana Pedang Perak Cahaya Merah itu berada?” tanya Raja Banggala dengan penasaran.“Dia sudah dimiliki Pangeran Kantata, yang Mulia. Pangeran dari kerajaan Nusantara Timur,” jawab pejabat istana itu.Raja Banggala terkejut mendengarnya. “Kalau begitu kirimkan surat pada Raja Dwilaga agar memerintahkan Pangeran Kantata untuk membantu Pangeran Pangaraban agar menyelesaikan misi mereka,” perintah Raja Banggala.“Siap, Yang Mulia,” jawab pejabat istana itu.***Raja Dwilaga terbangun di tengah malam saat mendengar suara yang mengetuk-ngetuk pintu kamarnya. Raja Dwilaga dari kerajaan Nusantara Timur itu pun heran. Dia berteriak memanggil prajurit yang berjaga di depan kamarnya.“Prajurit! Periksa d