Naga Hitam dan Naga penghuni lautan itu saling menyemburkan api. Keduanya bertarung di atas langit. Bimantara dan yang lainnya tampak tercengang melihatnya di bawah sana. Sementara kakek kepala perguruan Elang Putih bersama para muridnya tampak terbelalak melihatnya.“Hanya Candaka Uddhiharta yang bisa mengendalikan naga dari laut itu,” ucap kakek kepala perguruan Elang Putih pada murid-muridnya.“Utusan terpilih?” tanya muridnya.“Iya, utusan tepilih. Para leluhur akan mengirimkan utusan terpilih setiap seratus tahun sekali. Pemuda yang datang bersama sekawanannya dari perguruan matahari itu bukan orang sembarangan! Dia adalah Canda Uddhiharta yang dinanti-nantikan selama ini! Beruntungnya aku bisa melihatnya hari ini!” ucap kakek itu dengan takjub sambil memandangi Bimantara yang tengah sibuk mengawasi pertarungan naga di atas langit sana.“Ayo, Tuan Nagaaa!” teriak Bimantara.Naga Hitam menyerang Naga Emas itu hingga mendorong tubuhnya ke bawah dan menghantam tanah. Bimantara dan y
Gajendra berdiri dengan geram di dalam gua tempat persembunyiannya. Kelelawar berterbangan ketakutan. Para muridnya pun berdiri menghadapnya dengan takut.“Mereka menantangku untuk keluar dari persembunyian!” teriak Gajendra. “Naga hitamku sudah dikalahkan oleh mereka! Itu artinya kita tak bisa lagi diam! Kita harus keluar dari persembunyian dan kerahkan semua para pendekar untuk melawan mereka!”“Tapi, Tuan Guru, bukan kah misi kita hendak memusnahkan seluruh penduduk dulu dengan para mayat hidup, baru setelah itu kita keluar dari persembunyian?” tanya salah satu muridnya dengan bingung.Gajendra geram mendengarnya. “Kita harus musnahkan dulu pemuda pemilik ajian penakluk binatang dan tiga putra mahkota itu! Jika didiamkan, mereka akan mengacaukan semua rencana kita!”“Ba... baik, Tuan Guru!” ucapnya ketakutan.“Mari kita keluar dari sini! Kita cari mereka sekarang juga!” perintah Gajendra.“Siap!”Gua itu pun bergetar. Gajendra dan pasukannya pun bergegas keluar dari dalam gua itu u
Ratusan murid Gajendra yang sudah mengenakan topeng tampak berbaris rapih di hadapan gua di lembah hitam itu. Gajendra berdiri di hadapannya sambil memeriksa semuanya. Kuda-kuda sudah siap membawa mereka pergi dari sana.“Apakah hanya kita yang akan pergi menyerang pasukan dari perguruan matahari itu, Tuan Guru?” tanya salah satu dari muridnya.“Tidak hanya kita! Sebentar lagi pasukan lain akan bergabung bersama kita! Kita tunggu saja!” jawab Gajendra lalu tertawa.Tak lama kemudian semuanya mendengar suara ribut dari kejauhan sana. Semua tercengang saat melihat macan hitam berdatangan lalu bergabung bersama mereka. Ratusan murid itu tampak gemetar ketakutan melihat sekawanan harimau hitam itu. Gajendra tertawa melihat kedatangan mereka.Dan beberapa saat kemudian lagi, mereka semua mendengar suara langkah kaki dari dalam hutan menuju ke arah mereka. Semua murid Gajendra tampak bingung.“Siapa lagi yang akan datang?” tanya salah satu murid pada temannya.“Aku tidak tahu,” jawabnya.Ti
Panglima Sada dan pasukannya keluar dari hutan lalu kini mereka melewati padang rumput yang luas. Panglima Sada langsung menghentikan kudanya saat melihat di ujung sana dia melihat pasukan berkuda berjalan menuju ke arah mereka. Para prajuritnya pun ikut menghentikan kuda masing-masing dengan heran.“Siapa mereka, Panglima?” tanya prajuritnya. Karena mereka tidak bisa melihat dengan jelas karena jaraknya sangat jauh.“Kita tunggu dulu,” jawab Panglima Sada. Dia pun menoleh kepada para prajuritnya di belakang. “Semuanya! Atur formasi dan bersiap untuk menyerang!”“Siap!”Para prajurit itupun langsung memajukan kudanya lalu berbaris horizontal mengapit Panglima Sada yang berada di tengah-tengah. Mereka semua menatap ke arah kejauhan sana.Ternyata pasukan berkuda itu adalah Gajendra dan pasukannya. Gajendra berhenti saat melihat barisan pasukan Panglima Sada di kejauhan sana. Semua pasukannya yang terdiri dari para pendekar bertopeng, mayat-mayat hidup dan binatang-binatang buas ikut be
Harimau-harimau hitam bertumbangan di atas tanah. Sekawanan harimau yang barus datang itu telah memenangkan pertarungan. Kini mereka menyerang mayat-mayat hidup yang hampir tiba di dekat pasukan Panglima Sada.Gajendra geram melihatnya. Dia pun membacakan mantra hingga harimau-harimau itu berlarian kembali ke dalam hutan.Panglima Sada dan pasukannya heran melihat harimau-harimau yang menyelamatkan mereka itu pergi meninggalkan mereka. Mayat-mayat hidup sudah kian mendekat pada mereka.“Seraaaang!” teriak Panglima Sada.Pasukannya langsung mengarahkan anak panah ke arah mayat-mayat hidup itu. Namun dengan tangkasnya mereka mampu menangkap ratusan anak panah yang melesat cepat ke arah mereka. Namun biar begitu, pasukan Panglima Sada tidak gentar, mereka terus saja melesatkan anak panah ke arah mayat-mayat hidup itu.Gajendra tertawa melihat kehebatan mayat-mayat hidupnya yang berhasil menghindar dengan sempurna dari serangan Panglima Sada dan pasukannya.“Kalian tak akan bisa melawan m
Bimantara terkejut melihat Gajendra mendekat dengan kudanya sendirian. Pangeran Sakai mendekat ke Bimantara dengan kudanya.“Kau pemimpin kami di sini, Bimantara! Jangan diam saja! Perintahkan pada kami apa yang harus kami lakukan!” ucap Pangeran Sakai.“Kita tunggu saja kedatangannya ke sini! Sepertinya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan padaku!” jawab Bimantara.“Tapi bagiamana jika dia tiba-tiba menyerang kita?! Kita harus bersiap melawannya!” protes Pangeran Sakai.“Ikuti saja apa maunya Bimantara!” sahut Pangeran Dawuh.Pangeran Sakai geram mendengarnya. Dia menatap semuanya. “Sekarang siapkan senjata kalian! Kita harus berjaga jika mendadak Gajendra melakukan serangan!” pinta Pangeran Sakai.Semua terdiam dan tidak mengikuti perintah Pangeran Sakai. Pangeran Sakai pasrah dengan kecewa. Saat kuda Gajendra hampir sampai di hadapannya, dia menghentikan kudanya sambil menatap Bimantara.Pasukan dari Panglima Aras bersiap dengan anak panahnya.“Turunkan anak panah kalian!” pinta Bi
Gejendra menghentak bumi. Bimantara sudah mulai ancang-ancang untuk menyerangnya. Sementara pasukan Bimantara dari Perguruan matahari yang menyaksikannya tampak mulai tegang. Begitupun Panglima Aras dan Pasukannya. Panglima Sada bersama Kakek Kepala Perguruan Elang Hitam tampak tenang menyaksikannya.Pasukan Perguruan tengkorak berteriak memberi semangat pada Kepala Perguruannya ; Gajendra.“Tungguuuu!” teriak seseorang bersama suara langkah kudanya dari belakang pasukan Bimantara. Semua menoleh ke arah suara.Bimantara tercengang melihat ayahnya datang sambil menunggangi kuda dalam bentuk mayat hidup namun bisa sadar seperti manusia biasa. Pangeran Dawuh pun tak percaya melihat Naga Wali berhasil lolos dari kurungan penjara di istananya.“Ayah?!” teriak Bimantara.Gajendra tertawa melihatnya. Naga Wali memacukan kudanya menuju mereka, menembus barisan pasukan Bimantara yang tercengan melihatnya.Naga Wali turun dari kuda lalu berdiri di depan garis lingkaran yang mengurung Bimantara
“Kau hendak mencabut kalungku?” tanya Gajendra yang sudah tahu maksud serangan dari Bimantara tadi.Bimantara heran mendengar Gajendra sudah tahu niatnya. Gajendra tertawa. Dia mencabut kalungnya lalu menjatuhkannya ke atas tanah.“Kau pikir kekuatanku berasal dari kalung itu?” tanya Gajendra sambil tersenyum jahat. “Kau salah!”Bimantara diam saja mendengarnya. Dia mencoba tenang agar tidak terpancing emosi lagi.Gajendra kembali melanjutkan kata-katanya. “Begitu pun dengan gelangku.” Gajendra langsung melepas gelangnya lalu menjatuhkannya ke atas tanah. “Kekuatanku bukan berasal dari dua benda itu, tapi dari dalam diriku sendiri!”Bimantara terdiam mendengarnya. Semua yang menyaksikan pertarungan itu pun terdiam.“Kau pasti bisa melawannya, Bimantara!” teriak Pangeran Dawuh memberinya semangat.Mendengar itu semua pasukan Bimantara pun berteriak memberinya semangat. Para prajurit Panglima Aras pun tak kalah semangat memberi Bimantara semangat.Gajendra kembali mengeluarkan jurus-jur