Tak lama kemudian Bimantara memajukan wajahnya ke wajah Dahayu. Dua bibirnya bertemu. Bimantara memeluk Dahayu dengan erat. Tangan Dahayu meremas punggung Bimantara dalam pelukannya. Untuk pertama kalinya Bimantara lupa akan semuanya. Kunang-kunang berdatangan menerangi ruangan gua. Angin sepoi-sepoi memasuki ruangan gua dari arah mulut gua. Sepasangan kekasih itu memadu kasih tak ada yang bisa menghentikannya. Dua birahi muda itu merajai mereka.
Cahaya putih datang lalu membentuk bulatan yang menutupi sepasang kekasih yang masih sibuk memadu kasih. Mereka terkurung di dalam bulatan cahaya putih itu hingga ruangan gua tampak sangat terang seolah cahaya bulan dipindahkan ke dalam sana.
***
Hari sudah malam. Bimantara dan Dahayu terbaring lelap di atas jerami. Tubuh Dahayu memeluk erat tubuh Bimantara dengan meletakkan tangannya di dada Bimantara. Mereka sudah tidak mengenakan sehelai benang pun lagi. Sesaat kemudian Dahayu terbangun. Dia buru-buru bangkit d
Dahayu keluar dari mulut gua. Dia terkejut mendapati Pangeran Sakai berdiri di hadapannya. Dahayu tidak tahu sejak kapan Pangeran Sakai berada di sana.“Apa yang kamu lakukan di dalam?” tanya Pangeran Sakai geram.“Memangnya kenapa?”“Kau calon istriku, tak pantas berada di dalam gua bersama lelaki lain,” bentak Pangeran Sakai.“Kau tidak berhak melarangku untuk melakukan apapun yang ingin aku lakukan,” jawab Dahayu.“Setelah ujian terakhir kita mencari kitab sakti selesai, kita akan menikah. Tak ada yang bisa mencegahnya,” ucap Pangeran Sakai geram.“Aku akan mencoba melawannya! Karena aku tidak mencintaimu!” tegas Dahayu.“Tapi ini semua karena ulahmu yang telah membohongiku!”“Katakan saja kepada Yang Mulia Raja kalau aku tidak mencintaimu. Katakan saja kepada yang mulia raja kalau aku telah membohongimu! Aku lebih baik mendapatkan huku
Pasukan Gajendra tengah memacukan kuda masing-masing untuk kembali ke tempatnya di atas perbukitan. Kuda Gajendra berhenti saat melihat Pangeran Kantata tengah duduk di atas kudanya menunggu kedatangan mereka.“Aku tak butuh lagi dengan Pedang Perak Cahaya Merahmu,” kata Gajendra kepada Pangeran Kantata. “Minggir dari sana! Kami mau lewat!”“Tapi kalian perlu kekuatanku untuk bersama-sama menghancurkan Nusantara!” teriak Pangeran Kantata.Gajendra tertawa. “Dan aku tidak mau tunduk padamu! Akulah penguasa Nusantara! Dan akulah yang akan menjadi Raja di satu-satunya Kerajaan Nusantara yang kelak akan aku bangun sendiri setelah tiga kerajaan Nusantara berhasil aku hancurkan!” ancam Gajendra.Pangeran Kantata geram medengarnya. Matanya bercahaya. Angin puting beliung mulai berdatangan. Para pengikut Gajendra tampak takut di atas kuda masing-masing. Saat Angin puting beliung membesar dan mulai mendekat Gajendra
“Tuan Guru Pendekar Tendangan Seribu pernah bilang padaku, kehebatan bukan untuk dicarikan siapa pemenangnya, tapi untuk seberapa banyak bisa menolong sesama!” tegas Bimantara. “Aku yakin kau tidak mau bertarung denganku karena kau takut kalah!” tantang Pangeran Sakai. “Tidak pantas untuk sesama murid perguruan matahari saling mengalahkan!” Pangeran Sakai geram. Dia langsung mengarahkan pedangnya ke arah Bimantara. Bimantara meraih tongkatnya. Tongkat pemberian dari kakek tua di dalam gua lembah gunung Munara. Bimantara melawan pedang Pangeran Sakai dengan tongkatnya itu. Wira dan Rajo heran bagaimana mungkin tongkat dari kayu itu mampu menangkis pedang milik Pangeran Sakai yang terkenal tajam dan kuat, hingga pedang itu tak berhasil mematahkan tongkat Bimantara. Pangeran Sakai akhirnya menggunakan kakinya untuk menendang kaki satu Bimantara. Namun Bimantara berhasil melompat dan menghindarinya. “Berhentiiii!!!!” Semua berhenti. Panger
“Kakek?!” teriak Pangeran Dawuh tak percaya.Mayat hidup Raja Prawara tampak diam melotot ke semuanya. Pejabat istana langsung menarik Pangeran Dawuh untuk menjauh darinya.“Jangan dekati, Yang Mulia, Pangeran. Beliau telah dibangkitkan oleh ajian Pembangkit kematian! Aku rasa beliau lah yang membunuh Yang Mulia Raja,” pinta pejabat istana penuh hormat.Tak lama kemudian mayat hidup Raja Prawara menyerang prajurit yang menjaga di sana. Prajurit itu langsung terkapar dan wajahnya dipenuhi borok bernanah, sama seperti yang Mulia Raja di atas ranjang sana.Pangeran Dawuh langsung menyingkirkan pejabat istana darinya. Dia langsung menarik selimut di ranjang yang mulia raja lalu mengarahkannya ke mayat hidup raja Prawara. Selimut itu berhasil menggulung tubuh mayat Raja Prawara hingga tubuhnya terjatuh ke atas lantai. Semua yang ada di kamar itu tercengang melihat kehebatan Pangeran Dawuh. Mereka tidak tahu kalau Pangeran Dawuh sudah me
Pangeran Dawuh masih berdiri kaku menatap mayat hidup raja Prawara yang kini kaki dan tangannya terikat oleh rantai. Pejabat istana di sebelahnya tampak berdiri bingung melihatnya.“Jika mendiang kakekku bangkit dari ajian pembangkit kematian dalam kondisi begini, berarti mendiang kakekku dahulunya orang jahat,” ucap Pangeran Dawuh.Pejabat istana tampak terkejut mendengarnya. “Ampun, Pangeran. Tak pantas bicara begitu di hadapan Yang Mulia raja,” nasehat pejabat istana padanya.“Dia sudah bukan kakekku! Raganya telah dirasuki iblis! Jika kakekku orang baik, dia akan mewujud arwah yang tenang saat ajian pembangkit kematian itu dibacakan!” ucap Pangeran Dawuh.“Lalu kenapa Pangeran mengurungnya di sini dan tidak membunuhnya?” tanya pejabat istana heran.“Aku hanya ingin tahu bagaimana ajian pembangkit kematian itu bekerja dan bagaimana kelemahannya,” jawab Pangeran Dawuh.Tak lama ke
Pangeran Dawuh pun bergabung dengan Bimantara dan para prajurit cahayanya. Satu persatu mayat-mayat hidup itu tumbang. Pangeran Dawuh mulai menyerang satu persatu mayat hidup itu. Bimantara masih bertarung dengan mayat hidup Panglima Cakara. Bimantara pun menggunakan tendangannya untuk menyerang Panglima Cakara, namun dia mampu mengelaknya hingga berhasil menarik tangan Bimantara.Bimantara terjatuh ke atas tanah. Panglima Cakara hendak menggigitnya. Dua mayat hidup lain mendekat ke Bimantara. Namun dengan kekuatan kaki cahayanya Bimantara menendang Panglima Cakara dan dua mayat hidup itu bersamaan hingga mereka bertiga terpental jauh. Bimantara mencabut pedangnya lalu melompat jauh menuju mayat Panglima Cakara dan langsung menebas leher Panglima Cakara hingga kepalanya terpelanting jauh dan tubuh Panglima Cakara tak lagi bergera.Bimantara menoleh ke Pangeran Dawuh yang sedang menghadapi kelima mayat hidup di hadapannya. Bimantara melompat ke sana lalu membantu Panger
Kepala perguruan berdiri di hadapan para guru utama di ruangannya. Di tangannya terdapat sebuah surat dari Kerajaan Nusantara Barat.“Yang Mulia Raja dari kerajaan Nusantara Barat telah mengirim surat padaku untuk menunda tugas terakhir murid-murid baru untuk mencari kitab pusaka peninggalan para leluhur,” ucap Pendekar Tangan Besi di hadapan semuanya.“Jika ditunda, maka akan lebih lama lagi kita bisa meluluskan mereka, Tuan Guru Besar,” protes Pendekar Rambut Emas.“Tapi mungkin perkataan Yang Mulia Raja Banggala benar. Ini demi keselamatan para pangeran yang berada di perguruan,” ucap Pendekar Pedang Emas.“Apa sebaiknya kita tanyakan juga kepada Yang Mulia Raja dari Kerajaan Nusantara Tengah dan Timur?” tanya guru utama lainnya.“Jika satu tidak setuju, akan tidak adil jika kita hanya memberangkatkan para murid yang berasal dari dua kerjaan saja,” ucap Pendekar Tangan Besi. “Mung
Bimantara datang kepada Pangeran Sakai yang masih terikat lemas di batang pohon. Bimantara mendongak padanya ke atas sana.“Kau mau aku bantu melepaskan ikatan tali itu?” tanya Bimantara.Pangeran Sakai menatap Bimantara ke bawah dengan kesal.“Jika kau mau membantu aku, kenapa tidak kemarin malam saja?” tanya Pangeran Sakai kesal.Bimantara tersenyum lalu melompat ke atas, dengan cepat dia menarik tali yang mengikat tubuh Pangeran Sakai lalu membawanya turun ke bawah dengan mendarat sempurna. Pangeran Sakai tampak sempoyongan. Bimantara menahan tubuhnya agar tidak rubuh. Pangeran Sakai malah menepis tangan Bimantara dengan kesal.“Jangan sentuh aku,” ucap Pangeran Sakai ketus.Bimantara menghela napas menahan sabarnya. Tak lama kemudian Pendekar Tangan Besi datang dengan heran.“Rupanya kalian berhasil meloloskan diri dari hukuman?” tanya Pendekar Tangan Besi.Bimantara dan Pange
Bimantara berjalan dengan tongkat hitamnya di pedesaan pinggir laut itu. Dia sudah tidak lagi menggunakan kaki cahaya naganya. Dia melihat di pulau seberang sudah tidak ada lagi bangunan tinggi yang memiliki menara yang menjulang. Bagunan Perguruan Matarhari telah lenyap di sana. Perkampungannya tampak sunyi. Beberapa rumah tampak sudah hancur berkeping-keping. Hanya ada beberapa rumah yang tampak baik-baik saja.Bimantara tidak tahu siapa yang masih hidup di negeri itu. Setelah dia memeriksa tiga kerajaan Nusantara yang hancur berkeping-keping, dia mengendalikan naganya untuk kembali ke kampung halamanannya.Bimantara berdiri di sisi tebing itu. Dia teringat saat menemui Dahayu di sana dahulu."Tahun depan aku akan menjadi murid di sana!" ucap Bimantara tiba-tiba. Memecah lamunan tiga remaja di hadapannya itu. Seolah ingin menunjukkan pada Dahayu bahwa tanpa kaki satu, dia masih layak mengejar impiannya. Tiga remaja itu menoleh ke arah Bimantara bersamaan. Saat menyadari yang bicara
Setelah itu keadaan menjadi hening. Putra Mahkota Iblis dan keempat saudaranya benar-benar sudah mati. Bahari tersenyum.“Sekarang aku bisa mati dengan tenang,” ucap Bahari.Bahari pun memejamkan matanya. Kini Bimantara, Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang kembali merasakan dingin.Sementara Bimantara langsung berlari menuju Raja Dawuh yang tidak lagi bernyawa itu. Dia memeriksa tubuhnya. Denyut nadinya sudah berhenti. Bimantara menangis sambil memeluk mayatnya.“Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu!” isak Bimantara.Tanaka, Pendekar Dua Alam dan Pendekar Sungai Panjang berjalan mendekat ke arahnya.“Kita sudah berhasil Bimantara,” ucap Tanaka.Bimantara pun menutup mata Raja Dawuh lalu berdiri di hadapan ketiga Panglimanya yang tersisa itu.“Tapi kita tidak berhasil mencegah mereka menghancurkan setiap kerajaan di atas muka bumi ini,” ucap Bimantara menyayangkannya. “Dan aku tidak berhasil menjaga Bahari dan Raja Dawuh.”“Aku yakin mereka akan tenang di nirwana kar
“Aku bisa melakukannya tanpa harus membangkitkan Dahayu kembali,” ucap Bimantara.Pendekar Dua Alam mengernyit mendengarnya.“Cahaya di tubuh Dahayu sangat berguna untukmu, Bimantara. Jika cahaya kalian menyatu maka tidak ada satupun yang bisa melawan kalian, termasuk para Iblis itu,” protes Pendekar Dua Alam.“Dahayu telah mengalirkan cahayanya kepadaku,” ujar Bimantara.“Tapi cahayanya telah menyusut di tubuhmu,” protes Pendekar Dua Alam.Raja Dawuh pun bangkit.“Jika kau menolaknya karena sudah mengkhianatinya, aku rasa Dahayu akan mengerti, Bimantara. Kita tidak memiliki cara lain untuk membunuh mereka!” tambah Raja Dawuh.“Jangan paksa aku!” teriak Bimantara.Bimantara pun mengeluarkan tenaga dalamnya, dia pun langsung mengalirkannya pada Pendekar Dua Alam, Raja Dawuh, Bahari, Pendekar Sungai Panjang dan Tanaka.“Jangan lakukan itu, jika tidak tenagamu akan habis!” protes Tanaka yang menerima aliran tenaga dalam dari Bimantara.Bimantara tidak menggubris perkataan Tanaka. Tenaga
“Jangan menangis,” pinta Ki Walang.“Aku tidak berhasil menjadi Chandaka Uddhiharata, Tuan Guru,” isak Bimantara. “Dunia sudah dihancurkan anak-anak iblis itu. Tiga kerajaan Nusantara telah habis terbakar, juga istana-istana di kerajaan lain. Sebentar lagi semua manusia akan mati. Mungkin aku juga akan mati. Padahal aku sudah membawa kelima Panglima terbaik di dunia ini.”“Apakah seperti ini akhirnya seorang murid yang sangat aku banggakan itu?” ucap Ki Walang sedikit marah. “Dahulu aku kagum padanya karena keterbatasannya dia memiliki cita-cita begitu agung untuk menjadi seorang pendekar yang berguna bagi sesama. Pahadal dia hanya memiliki kaki satu, tapi dia ingin memiliki jurus tendangan seribu.”Bimantara terdiam mendengar itu.“Hal yang tidak mungkin. Siapapun yang mendengarnya pasti akan tertawa karena ketidakpercayaannya. Tapi aku percaya akan itu. Akhirnya aku ajarkan semua ilmuku padamu. Dan kini, kau mengeluh disaat nyawa masih berada di dalam ragamu?!” teriak Ki Walang.“Ap
Bimantara kembali menyerang Putra Mahkota Iblis yang tampak geram. Dia menggunakan segala jurus yang dia punya untuk melawannya. Sekuat tega Bimantara lakukan sendirian untuk melawannya. Berbagai serangan yang dilakukan Bimantara berhasil dilawannya dengan baik. Bimantara tampak kewalahan dan hampir saja kehilangan tenaga.“Kita harus membantunya,” pinta Raja Dawuh yang tampak khawatir pada Bimantara.“Aku tahu kau seorang raja,” sahut Tanaka. “Tapi yang paling penting dari sebuah tim adalah mengikuti arahan Pimpinannya. Sekarang kau bukan seorang raja lagi. Kau harus mengikuti permintaan Bimantara yang meminta kita menjaga Pendekar Dua Alam sampai dia selesai melakukan ritualnya. Nyawa kita sekarang untuk Pendekar Dua Alam.”“Tapi dia bisa mati melawan Putra Mahkota Iblis itu sendirian,” ucap Raja Dawuh semakin khawatir.“Percaya saja,” pinta Tanaka menenangkannya.Sementara Pendekar Sungai Panjang masih berusaha menggunakan tenaga dalamnya untuk mengembalikan tulang-tulang yang pata
Bimantara terbang ke atas langit. Tubuhnya mengeluarkan cahaya. Sesaat kemudian dia meluncur ke bawah lalu menggunakan jurus tendangan seribunya untuk menghalau roh-roh hitam yang menyerang mereka. Satu persatu dari roh-roh hitam itu terpelanting jauh dan terbakar.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang terngaga melihatnya. Bimantara pun kembali mendarat di dekat mereka dengan sorot mata yang masih menyala. Putra Mahkota Iblis di dalam benteng itu tampak geram. Dia berteriak lalu mengeluarkan cahaya di tubuhnya. Gemanya hampir saja memecahkan dinding pembatas tak terlihat.“Sekarang saatnya kau harus memecahkan dinding pembatas tak terlihat itu,” pinta Bahari.Bimantara mengangguk.“Semuanya segera bersiap!” pinta Bimantara pada kedua Panglima yang menemaninya itu.Bahari dan Pendekar Sungai Panjang mengangguk. Mereka pun sudah bersiap dengan jurus masing-masing.Bimantara menoleh pada Tanaka dan Raja Dawuh yang masih menjaga Pendekar Dua Alam yang sedang membangkitkan para pendekar sakti
Putra Mahkota Iblis itu berhenti berlari menuju benteng yang terbuka itu. Iblis itu menatap kepada empat saudaranya yang ikut berhenti.“Berpencarlah kalian semuanya,” pinta Putra Mahkota Iblis. “Hancurkan semua kerajaan di muka bumi ini! Biar aku saja yang menghadapi musuh kita di depan benteng sana!”“Tapi mereka telah membunuh adik bungsu kita,” protes salah satu dari mereka. “Kita harus bersama-sama membunuh mereka sebelum kita keluar dari negeri ini dan menghancurkan semua kerajaan di atas muka bumi ini!”“Diriku sendiri sudah cukup untuk membunuh semuanya! Ikuti perintahku jika kalian masih menganggapku sebagai pengganti Raja!” teriak Putra Mahkota Iblis itu pada adik-adiknya.“Baiklah,” jawab salah satu dari mereka.Empat anak-anak Iblis yang perkasa itu pun langsung melompati benteng yang luas nan tinggi itu. Mereka berpencar ke empat penjuru untuk menghancurkan kerajaan-kerajaan di berbagai wilayah.Sementara Bimantara di luar benteng itu tampak terkejut melihat para Iblis it
“Biar aku saja yang menghadapinya,” ucap Tanaka pada Bimantara.Bimantara mengangguk. Tanaka pun langsung melompat dari punggung naga lalu terbang melawan Pendekar Tombak Angin. Tanaka mengeluarkan golok hitamnya, sementara Pendekar Tombak Angin mengeluarkan pedangnya. Mereka berdua bertarung di atas langit.Bimantara menoleh pada Bahari, Pendekar Sungai Panjang, Pendekar Dua Alam dan Raja Dawuh.“Kalian serang prajurit mereka!” perintah Bimantara.Keempat Panglimanya itu mengangguk. Mereka langsung mengendalikan naga masing-masing lalu naga-naga yang ditunggangi mereka itu menghembuskan api dari mulut mereka untuk membakar ribuan prajurit yang berusaha memecahkan benteng tinggi itu. Sebagian prajuritnya mati terbakar karenanya. Para prajurit yang lain berusaha menyerang mereka dengan senjata masing-masing.Dengan sigap Raja Dawuh menggunakan kekuatannya untuk melelehkan pedang dan senjata lainnya yang digunakan para prajurit itu. Seketika senjata mereka meleleh.Sementara Bimantara l
Ribuan burung besar yang membawa Pendekar Tombak Angin dan pasukan roh-nya telah tiba di daratan negeri salju itu. Angin dingin berhembus menusuk tulang. Pendekar Tombak angin yang berada paling depan di punggung burung besar itu tampak menggigil. Ribuan tentaranya pun tampak kedinginan. Burung-burung besar itu pun tampak sudah lemah memasuki negeri salju itu, mereka tidak kuat akan dinginnya negeri itu.Pendekar Tombak Angin melihat patung es raksasa yang sedang memegang tongkat di hadapan benteng tinggi yang memutih. Ribuan prajurit di dekatnya pun mematung, mereka bagai patung es yang dipahat oleh seorang seniman yang masyhur.“Apakah dia Bubungkala?” tanya Pendekar Tombak Angin pada tiga makhluk hitam yang kedinginan di dekatnya. Tiga makhluk hitam itu terbang mengikutinya.“Benar, Tuanku,” jawab Makhluk hitam itu. “Dia yang paling bungsu dari ke enam saudara Iblismu.”Pendekar Tombak Angin tampak tidak kuat lagi karena dinginnya tempat itu.“Sekarang keluarkan batu dari neraka it