Dahayu berlari ke arah arwah perempuan berjubah putih itu. Dahayu mencoba memeluknya namun dia tidak bisa menyentuh tubuh ibunya.
“Kau sudah dewasa sekarang,” ucap ibunya.
Dahayu terus saja menangis, dia tak bisa berucap apa-apa lagi. Bimantara tampak haru melihatnya.
“Jangan pernah membenci orang-orang kerajaan yang telah membunuh ibu. Ibulah yang salah, Nak,” kata ibunya. “Harusnya ibu tidak menikah dengan ayahmu!”
“Ibu tidak boleh berkata begitu. Ayah sangat mencintai ibu,” ucap Dahayu.
“Ibu tahu.”
“Setiap tanggal kematian ibu, ayah selalu datang ke pemakan ibu,” ucap Dahayu.
Ibunya menangis mendengarnya.
“Aku akan menuruti nasehatmu, Ibu.”
Ibunya mengangguk lalu menoleh pada Bimantara. “Anak muda,” panggilnya.
Bimantara mendekat padanya. “Iya,” jawab Bimantara.
“Terima kasih telah mempertemu
Tak lama kemudian Bimantara memajukan wajahnya ke wajah Dahayu. Dua bibirnya bertemu. Bimantara memeluk Dahayu dengan erat. Tangan Dahayu meremas punggung Bimantara dalam pelukannya. Untuk pertama kalinya Bimantara lupa akan semuanya. Kunang-kunang berdatangan menerangi ruangan gua. Angin sepoi-sepoi memasuki ruangan gua dari arah mulut gua. Sepasangan kekasih itu memadu kasih tak ada yang bisa menghentikannya. Dua birahi muda itu merajai mereka.Cahaya putih datang lalu membentuk bulatan yang menutupi sepasang kekasih yang masih sibuk memadu kasih. Mereka terkurung di dalam bulatan cahaya putih itu hingga ruangan gua tampak sangat terang seolah cahaya bulan dipindahkan ke dalam sana.***Hari sudah malam. Bimantara dan Dahayu terbaring lelap di atas jerami. Tubuh Dahayu memeluk erat tubuh Bimantara dengan meletakkan tangannya di dada Bimantara. Mereka sudah tidak mengenakan sehelai benang pun lagi. Sesaat kemudian Dahayu terbangun. Dia buru-buru bangkit d
Dahayu keluar dari mulut gua. Dia terkejut mendapati Pangeran Sakai berdiri di hadapannya. Dahayu tidak tahu sejak kapan Pangeran Sakai berada di sana.“Apa yang kamu lakukan di dalam?” tanya Pangeran Sakai geram.“Memangnya kenapa?”“Kau calon istriku, tak pantas berada di dalam gua bersama lelaki lain,” bentak Pangeran Sakai.“Kau tidak berhak melarangku untuk melakukan apapun yang ingin aku lakukan,” jawab Dahayu.“Setelah ujian terakhir kita mencari kitab sakti selesai, kita akan menikah. Tak ada yang bisa mencegahnya,” ucap Pangeran Sakai geram.“Aku akan mencoba melawannya! Karena aku tidak mencintaimu!” tegas Dahayu.“Tapi ini semua karena ulahmu yang telah membohongiku!”“Katakan saja kepada Yang Mulia Raja kalau aku tidak mencintaimu. Katakan saja kepada yang mulia raja kalau aku telah membohongimu! Aku lebih baik mendapatkan huku
Pasukan Gajendra tengah memacukan kuda masing-masing untuk kembali ke tempatnya di atas perbukitan. Kuda Gajendra berhenti saat melihat Pangeran Kantata tengah duduk di atas kudanya menunggu kedatangan mereka.“Aku tak butuh lagi dengan Pedang Perak Cahaya Merahmu,” kata Gajendra kepada Pangeran Kantata. “Minggir dari sana! Kami mau lewat!”“Tapi kalian perlu kekuatanku untuk bersama-sama menghancurkan Nusantara!” teriak Pangeran Kantata.Gajendra tertawa. “Dan aku tidak mau tunduk padamu! Akulah penguasa Nusantara! Dan akulah yang akan menjadi Raja di satu-satunya Kerajaan Nusantara yang kelak akan aku bangun sendiri setelah tiga kerajaan Nusantara berhasil aku hancurkan!” ancam Gajendra.Pangeran Kantata geram medengarnya. Matanya bercahaya. Angin puting beliung mulai berdatangan. Para pengikut Gajendra tampak takut di atas kuda masing-masing. Saat Angin puting beliung membesar dan mulai mendekat Gajendra
“Tuan Guru Pendekar Tendangan Seribu pernah bilang padaku, kehebatan bukan untuk dicarikan siapa pemenangnya, tapi untuk seberapa banyak bisa menolong sesama!” tegas Bimantara. “Aku yakin kau tidak mau bertarung denganku karena kau takut kalah!” tantang Pangeran Sakai. “Tidak pantas untuk sesama murid perguruan matahari saling mengalahkan!” Pangeran Sakai geram. Dia langsung mengarahkan pedangnya ke arah Bimantara. Bimantara meraih tongkatnya. Tongkat pemberian dari kakek tua di dalam gua lembah gunung Munara. Bimantara melawan pedang Pangeran Sakai dengan tongkatnya itu. Wira dan Rajo heran bagaimana mungkin tongkat dari kayu itu mampu menangkis pedang milik Pangeran Sakai yang terkenal tajam dan kuat, hingga pedang itu tak berhasil mematahkan tongkat Bimantara. Pangeran Sakai akhirnya menggunakan kakinya untuk menendang kaki satu Bimantara. Namun Bimantara berhasil melompat dan menghindarinya. “Berhentiiii!!!!” Semua berhenti. Panger
“Kakek?!” teriak Pangeran Dawuh tak percaya.Mayat hidup Raja Prawara tampak diam melotot ke semuanya. Pejabat istana langsung menarik Pangeran Dawuh untuk menjauh darinya.“Jangan dekati, Yang Mulia, Pangeran. Beliau telah dibangkitkan oleh ajian Pembangkit kematian! Aku rasa beliau lah yang membunuh Yang Mulia Raja,” pinta pejabat istana penuh hormat.Tak lama kemudian mayat hidup Raja Prawara menyerang prajurit yang menjaga di sana. Prajurit itu langsung terkapar dan wajahnya dipenuhi borok bernanah, sama seperti yang Mulia Raja di atas ranjang sana.Pangeran Dawuh langsung menyingkirkan pejabat istana darinya. Dia langsung menarik selimut di ranjang yang mulia raja lalu mengarahkannya ke mayat hidup raja Prawara. Selimut itu berhasil menggulung tubuh mayat Raja Prawara hingga tubuhnya terjatuh ke atas lantai. Semua yang ada di kamar itu tercengang melihat kehebatan Pangeran Dawuh. Mereka tidak tahu kalau Pangeran Dawuh sudah me
Pangeran Dawuh masih berdiri kaku menatap mayat hidup raja Prawara yang kini kaki dan tangannya terikat oleh rantai. Pejabat istana di sebelahnya tampak berdiri bingung melihatnya.“Jika mendiang kakekku bangkit dari ajian pembangkit kematian dalam kondisi begini, berarti mendiang kakekku dahulunya orang jahat,” ucap Pangeran Dawuh.Pejabat istana tampak terkejut mendengarnya. “Ampun, Pangeran. Tak pantas bicara begitu di hadapan Yang Mulia raja,” nasehat pejabat istana padanya.“Dia sudah bukan kakekku! Raganya telah dirasuki iblis! Jika kakekku orang baik, dia akan mewujud arwah yang tenang saat ajian pembangkit kematian itu dibacakan!” ucap Pangeran Dawuh.“Lalu kenapa Pangeran mengurungnya di sini dan tidak membunuhnya?” tanya pejabat istana heran.“Aku hanya ingin tahu bagaimana ajian pembangkit kematian itu bekerja dan bagaimana kelemahannya,” jawab Pangeran Dawuh.Tak lama ke
Pangeran Dawuh pun bergabung dengan Bimantara dan para prajurit cahayanya. Satu persatu mayat-mayat hidup itu tumbang. Pangeran Dawuh mulai menyerang satu persatu mayat hidup itu. Bimantara masih bertarung dengan mayat hidup Panglima Cakara. Bimantara pun menggunakan tendangannya untuk menyerang Panglima Cakara, namun dia mampu mengelaknya hingga berhasil menarik tangan Bimantara.Bimantara terjatuh ke atas tanah. Panglima Cakara hendak menggigitnya. Dua mayat hidup lain mendekat ke Bimantara. Namun dengan kekuatan kaki cahayanya Bimantara menendang Panglima Cakara dan dua mayat hidup itu bersamaan hingga mereka bertiga terpental jauh. Bimantara mencabut pedangnya lalu melompat jauh menuju mayat Panglima Cakara dan langsung menebas leher Panglima Cakara hingga kepalanya terpelanting jauh dan tubuh Panglima Cakara tak lagi bergera.Bimantara menoleh ke Pangeran Dawuh yang sedang menghadapi kelima mayat hidup di hadapannya. Bimantara melompat ke sana lalu membantu Panger
Kepala perguruan berdiri di hadapan para guru utama di ruangannya. Di tangannya terdapat sebuah surat dari Kerajaan Nusantara Barat.“Yang Mulia Raja dari kerajaan Nusantara Barat telah mengirim surat padaku untuk menunda tugas terakhir murid-murid baru untuk mencari kitab pusaka peninggalan para leluhur,” ucap Pendekar Tangan Besi di hadapan semuanya.“Jika ditunda, maka akan lebih lama lagi kita bisa meluluskan mereka, Tuan Guru Besar,” protes Pendekar Rambut Emas.“Tapi mungkin perkataan Yang Mulia Raja Banggala benar. Ini demi keselamatan para pangeran yang berada di perguruan,” ucap Pendekar Pedang Emas.“Apa sebaiknya kita tanyakan juga kepada Yang Mulia Raja dari Kerajaan Nusantara Tengah dan Timur?” tanya guru utama lainnya.“Jika satu tidak setuju, akan tidak adil jika kita hanya memberangkatkan para murid yang berasal dari dua kerjaan saja,” ucap Pendekar Tangan Besi. “Mung