Setelah tubuhku bersih dan wangi, aku merayap naik ke ranjang. Istriku sudah terlelap entah sudah sejak beberapa jam yang lalu. Kuelus betisnya, tapi tidak ada reaksi. Kujamah pahanya, dia masih saja tak merespon. Akhirnya, aku nekat naik ke atas tubuhnya, mengunci dia di bawah tubuhku menggunakan kaki dan lenganku. Sengaja aku bernapas tepat di atas wajahnya dan dugaanku benar, dia pun akhirnya terbangun. Hari ini adalah perayaan. Aku akan libur setelah menyelesaikan syuting FTV Siksa Batin Seorang Istri yang rutin tayang di salah satu stasiun televisi.
“Sudah pulang kamu?”
Masih dari atas tubuhnya, aku terkekeh. “Sudah lama, dan aku juga sudah mandi.”
Istriku menjangkau telepon genggamnya di atas nakas, melirik petunjuk waktu di sana. Tiga dini hari. Aku ingat karena memang biasanya aku pulang selarut ini. Diletakkannya kembali ponsel itu lalu tatapannya diarahkan padaku lagi. Aku memberinya senyum semanis mungkin. Kemudian, aku menelusuri tulang rahangnya dengan batang hidungku yang bangir. Rati, satu-satunya perempuan yang aku cintai, mulai bergerak gelisah di bawah tubuhku. Dia tidak pernah suka tiap kali kuperlakukan seperti ini. Bersikap mesra dan menunjukkan kasih sayang lewat sentuhan sama sekali bukan gayanya.
“Udah, sana. Kamu enggak ngantuk?”
Aku berbisik tepat di lubang telinganya. Kukatakan, “Aku enggak ngantuk sama sekali kalau sedang berdua sama kamu.”
Sekeras apa pun Rati menyembunyikannya, aku tahu tubuhnya bergidik akibat ucapanku. Entah karena geli atau jijik. Sementara, di bawah sana, tubuh kami berdua hanya dibatasi oleh selembar kain saja. Celana dalamnya.
“Aku menginginkanmu, Sayang.” Aku berbisik, lalu mengigit cuping telinganya.
Kusingkap pembatas di antara kami dan aku mendorong tubuhku maju. Rati tak bisa lagi mengelak. Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, kami bercinta lagi. Aku tidak tahu sudah berapa lama tepatnya sejak malam pertama kami melakukannya, tapi aku tidak pernah absen barang satu kali pun menunjukkan cintaku padanya.
Ketika aku telah selesai dan memisahkan diri darinya, Rati terdiam menatap langit-langit kamar cukup lama. Napasnya masih terengah-engah. “Besok kita berangkat,” ucapnya lirih.
“Berangkat ke mana?” tanyaku di sela-sela napas yang tak beraturan.
Rati bangkit, lalu duduk di tepi ranjang. Dia menunjuk kotak tisu di sebelah telepon genggamnya di atas nakas. Meminta aku mengambilkan tisu untuknya. “Bukannya aku sudah cerita? Aku lulus seleksi CPNS dan harus segera pergi ke daerah itu karena aku akan mulai mengajar lusa nanti.”
“Oh, waktu kamu sibuk bolak-balik ke luar pulau itu, ya? Harus secepat ini berangkatnya? Seburu-buru ini? Kok kesannya kita sedang melarikan diri dari sesuatu?”
Rati tidak menanggapi. Dia terlalu sibuk menyeka sisa-sisa percintaan kami di tubuhnya. Mengelapnya sampai bersih, lalu berjalan ke kamar mandi yang letaknya di dekat dapur dengan berkimono mandi. Aku putuskan untuk mengecek buku agenda di dalam laci nakas, tepat Rati biasa mencatat jadwal syutingku. Dan ternyata memang benar. Setelah syuting FTV yang seharusnya berakhir kemarin—tetapi terpaksa mundur karena pemeran utamanya menghilang selama beberapa jam—aku tidak punya jadwal apa-apa lagi. Kutemukan tiga lembar tiket pesawat terselip di halaman berikutnya yang masih kosong. Tidak ada pilihan. Aku harus ikut bersamanya, meninggalkan Jakarta.
Jadi inilah akhirnya. Karierku di dunia seni peran harus kandas di tangan istri yang sekaligus manajerku sendiri. Apa tidak ada cara lain agar aku bisa bertahan?
Rati kembali setelah membasuh tubuh dan mukanya. Dia melirik tiket di tanganku lalu satu alisnya terangkat naik. “Jangan bilang kamu tidak mau ikut dan sedang memikirkan cara lain supaya bisa bertahan di sini?”
Tidak ada salahnya mencoba, kan? Aku pun melancarkan serangan pertama. “Sejak kapan aku setuju akan ikut pindah?”
Rati melepaskan kimono, lalu menggantungnya kembali di balik pintu. “Kamu bilang aku harus mengaturnya sendiri karena kamu percaya aku pasti bisa.”
“Itu bukan berarti aku setuju, kan?” serangku untuk kedua kali. “Sudah kubilang, ini terlalu terburu-buru. Seolah kamu sedang berusaha membawaku melarikan diri. Kamu tidak melakukan kesalahan yang besar di sini, kan?”
Rati tidak menanggapiku.
“Kamu enggak menipu orang atau punya banyak utang, kan? Atau jangan-jangan kamu ketahuan selingkuh sama suami orang dan sekarang istrinya sudah tahu?”
Wajah Rati kali ini mengeras. Namun, lagi-lagi dia tetap bersikeras tidak mau menanggapi pertanyaanku. Membuatku semakin mencurigainya. Setidaknya satu dari tuduhanku pasti ada yang benar. Jika tidak, untuk apa Rati jadi murka seperti sekarang? Benar, kan?
Kesalahan apa yang dia lakukan? Menipu? Punya utang? Selingkuh?
“Terus kamu maunya apa? Tinggal sendirian di sini, sementara anak dan istrimu di pulau seberang. Mau sampai kapan? Sudahlah, Owen. Sebaiknya kita tidur saja. besok pagi kita harus ke bandara sebelum terjebak macet,” sergah Rati dengan gusar.
Untuk ketiga kalinya, aku menyerang lagi. “Kenapa tidak bisa? Banyak, kok, keluarga yang bertahan walaupun harus berpisah jauh. kamu tahu sendiri karierku sedang bagus belakangan ini. Dan bisa-bisanya kamu membelikan aku tiket padahal aku belum tentu mau ikut.”
Rati mengesah. Dia tidak jadi merebahkan tubuhnya lagi di ranjang. Dia duduk tegak, tangannya dengan cepat menyambar tiket dari tanganku. “Kamu bilang akan ikut apa pun keputusanku. Ingat?”
Kutatap halaman agenda yang kosong di tanganku. Tiba-tiba saja rasanya seperti hidupku direnggut paksa. Yang tadinya penuh dengan jadwal syuting jadi kosong sama sekali. bagaimana aku akan bertahan hidup setelah ini? “Kamu menelepon waktu aku sedang syuting, sialan!”
“Tidak perlu kasar begitu, Owen!”
“Salahmu sendiri! Memangnya tidak bisa kita bicara seperti sepasang manusia normal? Kamu enggak tahu seperti apa rasanya hidupmu dipaksa berubah dalam seketika?”
Upayaku untuk membuat Rati merasa bersalah malah berujung sebaliknya. Dia semakin meradang. Wajahnya merah padam. Sudah lama sekali aku tidak melihat Rati semarah ini. “Coba tanyakan pada dirimu sendiri, Owen. Bisa tidak satu hari saja kamu pulang syuting lebih awal dan kita bicara seperti pasangan pada umumnya? Yang ada kamu pulang dini hari, minta bercinta terus tidur. Atau malah pulang pagi untuk bercinta lagi. Seolah dalam hidupmu yang mahapenting itu tugasku hanya sebagai pemuas nafsu saja,” cecar Rati.
Kali ini aku yang terdiam. Kalau dia sudah membahas hal yang satu itu, aku semakin yakin salah satu tuduhanku ada yang tepat. Dia ketakutan dan berusaha melindungi dirinya sendiri dengan balas menyerangku. Kebiasaannya.
Jangan bilang Rati berselingkuh di belakangku. Dia benar-benar berengsek jika melakukan hal itu. Bertahun-tahun menjalani karier sebagai aktor, banyak sekali godaan yang datang tapi tidak pernah sekalipun aku menghianatinya. Kalau dia benar-benar selingkuh, aku akan membalasnya. Aku akan tidur dengan banyak cewek dan membuat Rati menyesali perbuatannya!
Tapi aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa dia benar-benar berselingkuh? Dengan siapa? Sudah berapa lama? Ah, benarkah hal itu yang terjadi?
“Oh iya, kalau kamu lupa, biar aku ingatkan lagi. Aku sangat tahu seperti apa rasanya hidupku dipaksa berubah dalam seketika. Semua itu terjadi ketika aku tahu ada bayi di rahimku di umur sembilan belas tahun. Masa depanku yang masih panjang direnggut oleh kekeraskepalaanmu yang tidak sudi memakai kondom!”
“Rati!” Aku terkejut bukan main mendengarnya mengungkit masalah itu.
“Kenapa? Sekalian saja kalau kamu mau ribut, ayo kita ribut sampai pagi. Atau kalau kamu maunya kita mengobrol seperti orang normal, akan kulayani kamu mengobrol senormal mungkin yang kamu mau asalkan pagi ini kita tetap berangkat.”
“Sepenting itu, ya, jadi PNS?”
Ucapanku itu niatnya murni hanya pertanyaan, tetapi bagi Rati itu malah terdengar seperti serangan. Dampaknya barangkali lebih keras daripada tiga seranganku sebelumnya. Dia mulai menangis. Rati sama sekali tidak berusaha menyeka air mata yang mulai mengalir melintasi pipinya.
“Bagi kamu yang merasa dunia gemerlap keartisan adalah segalanya, mungkin bukan hal yang penting. Berbeda dengan aku, dan jutaan orang di luar sana. Jadi PNS bagaikan mimpi indah yang bisa dijalani seumur hidup. Aku rindu mengajar, Owen. Aku juga ingin merasakan sensasi mengerjakan sesuatu yang kucintai, seperti yang kamu rasakan selama belasan tahun terakhir.”
Aku terdiam. Kucoba memahami maksud dari pengakuannya, kata demi kata, kalimat demi kalimat. Ketika Rati menyebut perihal sensasi mengerjakan sesuatu yang kucintai, bisa kurasakan sesuatu meleleh di dalam dadaku. Ya, aku mengerti. Atau setidaknya aku mencoba mengerti.
Yang tidak bisa kupahami adalah, jika dia serindu itu ingin mengajar, kenapa tidak mencoba melamar ke sekolah di Jakarta saja? Kenapa kami semua harus pindah? Kenapa aku harus ikut pindah? Aku yakin, bukan cuma itu alasannya. Bapakku—atau harus kubilang mantan Bapak?—adalah seorang pegawai negeri dan gajinya tidak sebesar itu. Aku yakin Rati hanya ingin melarikan diri dari sesuatu di Jakarta ini, tapi aku tidak punya apa pun untuk membuktikan kecurigaanku.
“Belasan tahun menikah denganmu, aku tidak pernah meminta apa pun. Aku bahkan tidak mempersulitmu selama hamil dengan menuntut dipenuhi apa pun ketika mendadak mengidam apa pun. Aku minta satu kali ini saja padamu, ikutlah bersama kami. Jaga aku dan Xai selama kita di sana. Bahkan kalau kamu tidak bekerja untuk sementara waktu pun tidak apa-apa. Walaupun kita tinggal di sebuah kampung, setidaknya kita bisa sejahtera dengan penghasilanku sebagai abdi negara.” Untuk pertama kalinya aku melihat sisi Rati yang ini. Dia begitu percaya diri bisa menjamin hidup kami bertiga dengan penghasilannya sebagai PNS. Kalau memang seperti itu, aku akan coba menuruti kemauannya. “Baiklah, kita berangkat pagi ini,” putusku dengan setengah hati. Rati tersenyum. Tidak semringah seperti yang kuduga. Hanya senyum simpul biasa, tetapi aku bisa melihat ada kelegaan di sorot matanya. Rati naik lagi ke tempat tidur dan menarikku untuk ikut rebah bersamanya. Bersisian di atas ranjang, Rati meli
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kami pergi bertiga bersama-sama. Namun, aku dan Rati terlambat menyadari bahwa kini Xavier sudah terlalu besar untuk duduk di bagian depan sepeda motor hasil meminjam pada tetangga sebelah kontrakan. Karena tidak ada pilihan lain, aku memaksa Xavier dan Rati untuk naik ke boncengan. “Sudah hampir terlambat ini. Cepat naik, jangan kebanyakan mikir!” Untunglah sepeda motor yang kami pinjam ini jenis yang berkopling. Joknya lumayan panjang dan cukup kuat membawa kami bertiga. “Kamu tahu rutenya, kan?” tanyaku pada istriku. Butuh waktu cukup lama sampai akhirnya aku mendengar Rati mengiakan. Perjalanan tidak memakan waktu lama karena rupanya sekolah Xavier tidak terlalu jauh dan jalurnya hanya lurus terus sampai tiba di sebuah persimpangan dengan empat jalur, berbelok ke kiri dan sampailah ke sebuah sekolah yang rindang karena setiap jengkalnya ditanami pepohonan. Bangunannya cukup bagus dan megah untuk hitungan sekolah
“Ini bukti kalau aku cinta sama kamu,” kataku. Rati memutar bola matanya. Aku selalu kesal setiap kali dia melakukan itu. Membuatku teringat pada pemeran antagonis di FTV yang aku mainkan. “Ada banyak cara untuk membuktikan cinta, Owen. Seks bukanlah satu-satunya.” “Ketertarikan seksual adalah hal yang menjadi dasar dari semua hubungan di dunia ini, dan berhubungan seks adalah bukti paling puncak dari segalanya.” Rati memutar bola matanya sekali lagi. Meski wajahnya masam, dia lantas meloloskan kancing demi kancing untuk membuka dasternya. “Ya sudah, ayo cepat sini!” Aku tidak mengerti kenapa Rati mengira bahwa momen setelah bercinta adalah waktu yang tepat untuk mendiskusikan sesuatu yang penting. Itu justru merusak segalanya. Setelah aku mencapai puncak dan Rati selesai membersihkan dirinya, dia menahanku untuk tetap rebah di sisinya di tempat tidur. Dia bilang ada sesuatu yang penting yang perlu kami bicarakan. Perihal tempat tinggal untuk kami ber
Harga diriku terluka. Secara tidak langsung, Rati sedang berusaha merendahkan aku dengan berencana membuat aku mengerjakan semua tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Memangnya kalau dia jadi pegawai negeri, dia akan sibuk sepanjang hari? Sejauh yang aku tahu, guru di sekolah pun jam kerjanya masih normal. Tidak ada istilah lembur seperti karyawan kantoran atau kejar tayang seperti aktor dan aktris di sebuah produksi sinetron atau FTV. Aku meninggalkan rumah dan berencana mencari pinjaman sepeda motor dari tetangga. Aku ingin berkeliling kota saja sekalian, daripada diam di rumah dan diperlakukan begitu rendah oleh Rati. Namun, semuanya hanya jadi rencana. Tidak ada lagi yang mau meminjamkan sepeda motor padanya karena ulah Rati yang begitu pelit tadi siang. Karena itu aku hanya bisa berjalan-jalan di sekitar rumah. Membalas sapaan ibu-ibu tetangga yang duduk santai di depan rumah. Selama berjalan, aku jadi memikirkan seperti apa besok Xavier berangkat sekolah. Mau naik
“Cuma teman. Rekan kerja di sekolah,” jawab Rati.“Baik amat mau mengantar kamu beli motor segala?” Dengan sengaja aku tidak menyembunyikan nada penasaran pada pertanyaanku. Aku ingin dia mengerti bahwa tindakannya ini mau dilihat dari sisi mana pun akan tetap salah.“Sudah, deh. Jangan membesar-besarkan masalah. Kalau memang enggak suka dikasih sepeda motor biar aku jual lagi.”“Jangan!”Upayaku mencegah Rati agar tidak menjual lagi sepeda motor hadiahnya ini tentu saja berhasil. Setelah mengantar Xai ke sekolahnya, aku memanfaatkan sepeda motor ini untuk berkeliling kota kecil yang tadi hanya sempat kulihat sekilas saja. Aku belum berani menelusur masuk ke gang-gang atau jalan kecil selain jalan utama yang terbelah dua oleh marka jalan. Lewat dari pasar yang tadi kami datangi, aku terkejut melihat jembatan yang menghubungkan dua buah pasar modern yang terletak di kedua sisi jalan. Di tengah-tengah jembatan
Rati menarikku keluar dari rumah kontrakan.“Jadi sekarang kamu mantan istriku? Kalau aku boleh tahu, sejak kapan kamu memutuskan kita sudah berpisah? Terakhir yang kuingat semalam kamu masih tidur denganku. Kamu bahkan meneriakkan namaku waktu kamu mencapai punc—”“Diam, Owen!” Kemudian dengan nada berbisik, dia meminta maaf. “Kemarin si Atmi telanjur bohong sama bagian marketing. Dia mengaku suami aku supaya prosesnya lebih cepat dan motornya bisa langsung dibawa pulang.”“Kenapa kamu baru bilang sekarang!” tanyaku berang. “Dan sepertinya kau enggak keberatan sama sekali, Rati.”“Aku juga marah, Owen. Dia bertindak seenaknya begitu mana mungkin aku enggak marah. Makanya kemarin dia langsung pulang tanpa pamit sama kamu.”“Aku enggak peduli. Dia sudah cari masalah kalau begini.”Rati mendelik. “Sejak kapan kamu jadi cemburuan begini, sih?”
Rati serius dengan ucapannya beberapa hari yang lalu. Dia membebaskanku untuk melakukan apa pun sesukaku. Aku memanfaatkan kartu keanggotaanku di pusat kebugaran Daimen setiap hari. Lima hari seminggu, setelah mengantar Xai ke sekolah aku akan ke Daimen untuk berolahraga. Tidak sepanjang waktu, tentu saja. Maksimal waktu berolahragaku hanya dua jam saja. Selebihnya aku manfaatkan untuk duduk-duduk di kafe bawah, mengamati cewek-cewek cantik dan muda yang hilir mudik dengan sesamanya.Aku heran juga, kenapa cewek cantik selalu berkumpul dengan yang cantik juga. Kalaupun ada yang berteman dengan yang biasa saja, yang tidak terlalu cantik, biasanya mereka akan jadi yang paling menonjol sendiri. Paling menarik perhatian.Jangan kira aku akan nekat mendekati salah satu dari yang cantik itu sekalipun mereka sudah memberi kode padaku untuk digoda. Sekalipun belakangan ini sikapnya menyebalkan, tidak pernah sedikitpun aku berniat berpaling untuk mencari ganti. Aku cinta pada R
“Uang tabungan Xai bukan hak kita berdua, Owen. Beda sama tabungan kamu. Sebagiannya juga hakku karena aku istrimu,” ucap Rati sambil membereskan meja.Aku sedang tidak ingin memperbesar masalah. Aku pun menarik Xai, merengkuhnya, lalu mengecup dahinya sebagai ucapan terima kasihku padanya. Xai mengelak sembari terus tertawa. Wajahnya bersemu merah karena malu dicium oleh ayahnya sendiri. Anakku sudah sebesar ini ternyata.“Tapi aku belikan Ayah ponsel baru bukan untuk lihat cewek-cewek seksi di TikTok, lho. Siapa tahu Ayah mau daftar jadi ojek online. Kan pas, tuh. Motornya sudah ada, ponselnya juga. Tinggal daftar pasti langsung diterima.”Aku kembali menyerang Xai. Membalasnya dengan cara ingin memberinya ciuman lagi karena sudah mengerjaiku. Dia berkelit, mengelak sekuat tenaganya. Rati sampai kewalahan karena kami berdua terus berlari mengelilingi dapur yang sempit, menghalangi usahanya membersihkan sisa makan malam kami.Aku