Aku tiba di indekos menjelang tengah malam dan tidak ada seorang pun yang melihatku datang. Aku langsung masuk dan membanting pintu dari dalam hingga tertutup rapat. Tidak akan kubiarkan seorang pun mengganggu hidupku mulai saat ini. Aku tidak akan segan lagi memberikan balasan langsung di tempat jika ada yang berani mencoba mengusik hidupku. Aku akan memulai menata hidup yang baru di tempat ini dan hal yang pertama yang paling kubutuhkan saat ini adalah tidur.
Aku tidak peduli sekalipun seprai kasurnya kusut dan beraroma agak sengit karena bekas dipakai beberapa hari yang lalu dan tak sempat diganti. Aku butuh istirahat setelah serangkaian kejadian tak terduga malam ini dan kuharap kejutan yang datang beruntun ini berhenti sekarang juga jika aku sudah terlelap.
Entah sudah berapa lama aku tertidur tapi sepertinya di luar sudah lewat tengah hari. Aku terjaga dengan badan yang terasa jauh lebih segar. Saat aku turun dari ranjang dan memeriksa telepon ge
“Sebelum magang di Daimen kamu kerja di mana?” Saras menyelipkan rambutnya ke balik daun telinga sebelum menjawabku. “Di SPBU, Pak,” jawabnya tanpa ragu. “Pasti banyak yang langganan beli bahan bakar karena kamu yang melayani.” Saras tersenyum manis kemudian tertawa saja. Dia tidak mengiakan, tapi tidak pula membantah. Dugaanku memang benar. Kecantikannya mengundang banyak pria jadi tertarik dan berusaha melakukan apa pun untuk menarik perhatiannya. Apalagi dirinya memang cukup andal dalam memberikan pelayanan. “Biasanya kalau melayani pembeli di SPBU bilang apa?” Saras tersenyum rikuh, tapi dia menjawab, “Dimulai dari nol, ya, Pak.” Aku balas tersenyum dan kuusap anak rambutnya yang terlepas dari balik daun telinga. Dengan sengaja aku berlama-lama menelusuri rambutnya yang halus dengan ujung jariku. “Silakan, mari kita mulai dari nol,” balasku. Saras diam saja dan kembali mengabaikanku. Dia asyik sendiri padahal aku masih ingi
Setelah tubuhku bersih dan wangi, aku merayap naik ke ranjang. Istriku sudah terlelap entah sudah sejak beberapa jam yang lalu. Kuelus betisnya, tapi tidak ada reaksi. Kujamah pahanya, dia masih saja tak merespon. Akhirnya, aku nekat naik ke atas tubuhnya, mengunci dia di bawah tubuhku menggunakan kaki dan lenganku. Sengaja aku bernapas tepat di atas wajahnya dan dugaanku benar, dia pun akhirnya terbangun. Hari ini adalah perayaan. Aku akan libur setelah menyelesaikan syuting FTV Siksa Batin Seorang Istri yang rutin tayang di salah satu stasiun televisi. “Sudah pulang kamu?” Masih dari atas tubuhnya, aku terkekeh. “Sudah lama, dan aku juga sudah mandi.” Istriku menjangkau telepon genggamnya di atas nakas, melirik petunjuk waktu di sana. Tiga dini hari. Aku ingat karena memang biasanya aku pulang selarut ini. Diletakkannya kembali ponsel itu lalu tatapannya diarahkan padaku lagi. Aku memberinya senyum semanis mungkin. Kemudian, aku menelusuri tulang rahangnya
“Belasan tahun menikah denganmu, aku tidak pernah meminta apa pun. Aku bahkan tidak mempersulitmu selama hamil dengan menuntut dipenuhi apa pun ketika mendadak mengidam apa pun. Aku minta satu kali ini saja padamu, ikutlah bersama kami. Jaga aku dan Xai selama kita di sana. Bahkan kalau kamu tidak bekerja untuk sementara waktu pun tidak apa-apa. Walaupun kita tinggal di sebuah kampung, setidaknya kita bisa sejahtera dengan penghasilanku sebagai abdi negara.” Untuk pertama kalinya aku melihat sisi Rati yang ini. Dia begitu percaya diri bisa menjamin hidup kami bertiga dengan penghasilannya sebagai PNS. Kalau memang seperti itu, aku akan coba menuruti kemauannya. “Baiklah, kita berangkat pagi ini,” putusku dengan setengah hati. Rati tersenyum. Tidak semringah seperti yang kuduga. Hanya senyum simpul biasa, tetapi aku bisa melihat ada kelegaan di sorot matanya. Rati naik lagi ke tempat tidur dan menarikku untuk ikut rebah bersamanya. Bersisian di atas ranjang, Rati meli
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kami pergi bertiga bersama-sama. Namun, aku dan Rati terlambat menyadari bahwa kini Xavier sudah terlalu besar untuk duduk di bagian depan sepeda motor hasil meminjam pada tetangga sebelah kontrakan. Karena tidak ada pilihan lain, aku memaksa Xavier dan Rati untuk naik ke boncengan. “Sudah hampir terlambat ini. Cepat naik, jangan kebanyakan mikir!” Untunglah sepeda motor yang kami pinjam ini jenis yang berkopling. Joknya lumayan panjang dan cukup kuat membawa kami bertiga. “Kamu tahu rutenya, kan?” tanyaku pada istriku. Butuh waktu cukup lama sampai akhirnya aku mendengar Rati mengiakan. Perjalanan tidak memakan waktu lama karena rupanya sekolah Xavier tidak terlalu jauh dan jalurnya hanya lurus terus sampai tiba di sebuah persimpangan dengan empat jalur, berbelok ke kiri dan sampailah ke sebuah sekolah yang rindang karena setiap jengkalnya ditanami pepohonan. Bangunannya cukup bagus dan megah untuk hitungan sekolah
“Ini bukti kalau aku cinta sama kamu,” kataku. Rati memutar bola matanya. Aku selalu kesal setiap kali dia melakukan itu. Membuatku teringat pada pemeran antagonis di FTV yang aku mainkan. “Ada banyak cara untuk membuktikan cinta, Owen. Seks bukanlah satu-satunya.” “Ketertarikan seksual adalah hal yang menjadi dasar dari semua hubungan di dunia ini, dan berhubungan seks adalah bukti paling puncak dari segalanya.” Rati memutar bola matanya sekali lagi. Meski wajahnya masam, dia lantas meloloskan kancing demi kancing untuk membuka dasternya. “Ya sudah, ayo cepat sini!” Aku tidak mengerti kenapa Rati mengira bahwa momen setelah bercinta adalah waktu yang tepat untuk mendiskusikan sesuatu yang penting. Itu justru merusak segalanya. Setelah aku mencapai puncak dan Rati selesai membersihkan dirinya, dia menahanku untuk tetap rebah di sisinya di tempat tidur. Dia bilang ada sesuatu yang penting yang perlu kami bicarakan. Perihal tempat tinggal untuk kami ber
Harga diriku terluka. Secara tidak langsung, Rati sedang berusaha merendahkan aku dengan berencana membuat aku mengerjakan semua tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Memangnya kalau dia jadi pegawai negeri, dia akan sibuk sepanjang hari? Sejauh yang aku tahu, guru di sekolah pun jam kerjanya masih normal. Tidak ada istilah lembur seperti karyawan kantoran atau kejar tayang seperti aktor dan aktris di sebuah produksi sinetron atau FTV. Aku meninggalkan rumah dan berencana mencari pinjaman sepeda motor dari tetangga. Aku ingin berkeliling kota saja sekalian, daripada diam di rumah dan diperlakukan begitu rendah oleh Rati. Namun, semuanya hanya jadi rencana. Tidak ada lagi yang mau meminjamkan sepeda motor padanya karena ulah Rati yang begitu pelit tadi siang. Karena itu aku hanya bisa berjalan-jalan di sekitar rumah. Membalas sapaan ibu-ibu tetangga yang duduk santai di depan rumah. Selama berjalan, aku jadi memikirkan seperti apa besok Xavier berangkat sekolah. Mau naik
“Cuma teman. Rekan kerja di sekolah,” jawab Rati.“Baik amat mau mengantar kamu beli motor segala?” Dengan sengaja aku tidak menyembunyikan nada penasaran pada pertanyaanku. Aku ingin dia mengerti bahwa tindakannya ini mau dilihat dari sisi mana pun akan tetap salah.“Sudah, deh. Jangan membesar-besarkan masalah. Kalau memang enggak suka dikasih sepeda motor biar aku jual lagi.”“Jangan!”Upayaku mencegah Rati agar tidak menjual lagi sepeda motor hadiahnya ini tentu saja berhasil. Setelah mengantar Xai ke sekolahnya, aku memanfaatkan sepeda motor ini untuk berkeliling kota kecil yang tadi hanya sempat kulihat sekilas saja. Aku belum berani menelusur masuk ke gang-gang atau jalan kecil selain jalan utama yang terbelah dua oleh marka jalan. Lewat dari pasar yang tadi kami datangi, aku terkejut melihat jembatan yang menghubungkan dua buah pasar modern yang terletak di kedua sisi jalan. Di tengah-tengah jembatan
Rati menarikku keluar dari rumah kontrakan.“Jadi sekarang kamu mantan istriku? Kalau aku boleh tahu, sejak kapan kamu memutuskan kita sudah berpisah? Terakhir yang kuingat semalam kamu masih tidur denganku. Kamu bahkan meneriakkan namaku waktu kamu mencapai punc—”“Diam, Owen!” Kemudian dengan nada berbisik, dia meminta maaf. “Kemarin si Atmi telanjur bohong sama bagian marketing. Dia mengaku suami aku supaya prosesnya lebih cepat dan motornya bisa langsung dibawa pulang.”“Kenapa kamu baru bilang sekarang!” tanyaku berang. “Dan sepertinya kau enggak keberatan sama sekali, Rati.”“Aku juga marah, Owen. Dia bertindak seenaknya begitu mana mungkin aku enggak marah. Makanya kemarin dia langsung pulang tanpa pamit sama kamu.”“Aku enggak peduli. Dia sudah cari masalah kalau begini.”Rati mendelik. “Sejak kapan kamu jadi cemburuan begini, sih?”