“Belasan tahun menikah denganmu, aku tidak pernah meminta apa pun. Aku bahkan tidak mempersulitmu selama hamil dengan menuntut dipenuhi apa pun ketika mendadak mengidam apa pun. Aku minta satu kali ini saja padamu, ikutlah bersama kami. Jaga aku dan Xai selama kita di sana. Bahkan kalau kamu tidak bekerja untuk sementara waktu pun tidak apa-apa. Walaupun kita tinggal di sebuah kampung, setidaknya kita bisa sejahtera dengan penghasilanku sebagai abdi negara.”
Untuk pertama kalinya aku melihat sisi Rati yang ini. Dia begitu percaya diri bisa menjamin hidup kami bertiga dengan penghasilannya sebagai PNS. Kalau memang seperti itu, aku akan coba menuruti kemauannya. “Baiklah, kita berangkat pagi ini,” putusku dengan setengah hati.
Rati tersenyum. Tidak semringah seperti yang kuduga. Hanya senyum simpul biasa, tetapi aku bisa melihat ada kelegaan di sorot matanya. Rati naik lagi ke tempat tidur dan menarikku untuk ikut rebah bersamanya. Bersisian di atas ranjang, Rati melingkarkan tangannya di lengan atasku dan kepalanya disandarkan pada bahuku.
Ada yang kamu sembunyikan dariku, Rati. Dan aku tidak tahu harus melakukan apa untuk membuktikannya. Tetap di Jakarta mungkin bisa membuatku mengorek semuanya lebih jauh dan menemukan alasanmu ingin kabur dari sini sesegera mungkin. Tapi, aku tidak akan melakukannya. Aku akan menuruti keinginanmu sekali ini saja.
Kami terlelap selama beberapa jam yang terasa seperti beberapa menit saja. Begitu aku terjaga, Rati sudah mempersiapkan segalanya dan kami tinggal berangkat. Aku baru menyadari bahwa kami tidak memiliki sebagian besar perabot di rumah kontrakan ini. Semuanya adalah milik juragan kontrakan yang disewakan beserta rumah petak yang kami tempati selama bertahun-tahun ini.
Penerbangan yang kurang dari dua jam dilanjutkan dengan perjalanan darat yang lebih panjang. Butuh waktu berjam-jam sampai kami tiba di kampung yang akan jadi tempat tinggal kami sementara, tempat sekolah istriku akan mulai mengajar lusa nanti. Matahari hampir terbenam ketika kami akhirnya diturunkan oleh sopir mobil travel yang disewa khusus untuk membawa kami dari bandara ke tempat ini.
“Tulang-tulangku rasanya mau patah, Yah,” keluh anakku, Xavier.
Kuusap sekilas rambutnya. “Sama, Ayah juga.”
Rumah bedeng yang akan kami tinggali tidak berbeda jauh dengan rumah lama di Jakarta. Bedanya, yang ini kosong melompong. Perabotan dan perlengkapan rumah tangga tidak disertakan dalamnya. Jadi, rupanya di sini kami hanya menyewa rumah yang nyaris kosong. Hanya ada satu lemari, ranjang beserta kasur, serta sebuah ember dan gayung di kamar mandi. Selebihnya, kami yang akan mengurus sendiri.
“Sudah, kita istirahat saja dulu untuk malam ini. Biar besok saja beres-beresnya setelah Xai masuk sekolah,” ucap Rati dengan senyum lebar.
Aku dan Xavier sama-sama menoleh padanya. “Besok sudah masuk sekolah? Kapan daftarnya?!” seru kami serentak.
“Zaman sudah canggih. Semuanya bisa dilakukan lewat surel dan lampiran dokumen yang sudah di-scan.” Rati tertawa kecil. Dia lantas menyeret dua koper sekaligus.
Firasatku semakin kuat. Dia bisa tersenyum dan tertawa selepas ini setelah tidak lagi berada di Jakarta. Apa yang membuatmu sampai seperti ini, Rati? Aku menyusulnya dengan menyeret koper yang tersisa. “Sejak kapan kamu jadi manusia canggih begini? Biasanya mencatat jadwal syutingku di agenda, macam penagih utang.”
Rati tidak menanggapiku. Dia membongkar semua barang yang kami bawa, meletakkannya di beberapa tempat untuk sementara. Tidak lupa dia mengganti seprai kasur dengan yang baru. Malam ini, kami terpaksa tidur terpisah. Rati sendirian di satu-satunya kamar yang ada di rumah kontrakan ini, sementara aku menemani Xavier tidur di ruang depan dengan beralaskan selembar seprai bersih.
Tidak butuh waktu lama bagi Xavier untuk terlelap. Dia benar-benar kelelahan meskipun sepanjang perjalanan tadi dia tidur terus. Sejak kecil Xavier memang jarang dibawa pergi jauh, sehingga dia tidak terbiasa melakukan perjalanan panjang seperti tadi. Beberapa kali kami terpaksa menepi karena Xavier muntah-muntah. Kalau anakku ini cewek, aku pasti akan menepuk kepalanya karena mengira dia hamil. Caranya muntah benar-benar menggelikan. Membuat aku teringat pada masa ketika Rati hamil muda. Yang kemudian membuat kami dipaksa menikah oleh RT dan warga setempat. Gayanya persis sama. Setelah selesai, dia kemudian kembali bergelung dengan kepala bersandar di pangkuan ibunya. Benar-benar manja.
Setelah mendengar Xavier mulai mendengkur keras, aku menyelinap ke kamar untuk meminta jatah harianku. Biasalah. Dan rupanya Rati belum tertidur di dalam kamar. Ketika aku masuk, dia sedang melamun, menatap layar telepon genggamnya yang bersinar di tengah ruangan yang gelap. Dia sedang berkirim pesan singkat dengan seseorang. Aku mendekat untuk mengintip nama lawan bicara Rati. Namun, yang membuatku terkejut adalah namaku sendiri yang tertera sebagai pengirimnya. Padahal, saat ini aku tengah mengendap-endap di sisi ranjang dan tidak memegang telepon genggamku sendiri.
“Selamat malam, Sayang?”
“Astaga, Owen! Kamu membuatku takut!” kata Rati dengan keterkejutan yang tampak jelas di wajahnya. Telepon genggamnya dia tempelkan ke dada, membuatku tidak bisa membaca kelanjutan pesan singkat yang barus aja dia terima.
“Takut?” selidikku. “Kamu takut karena aku yang muncul tiba-tiba atau karena aku membaca pesan itu?”
Alis Rati saling bertaut, lalu dilemparkannya telepon genggam itu jauh-jauh. “Kalau kamu sudah membaca isinya, pasti kamu bisa lihat siapa pengirimnya, kan? Aku sedang membaca pesan-pesan lama yang kamu kirim.”
“Aku enggak pernah berkirim pesan semacam itu denganmu,” kilahku. Seingatku pesan yang kukirimkan padanya tidak pernah semesra itu, karena aku lebih suka menunjukkan kasih sayang langsung lewat sentuhan fisik dan bercinta.
“Dulu! Dulu kamu semesra itu, Sayang. Sini naik ke ranjang. Aku sudah tahu kamu pasti akan datang setelah Xai tidur.”
“Xai? Dari kemarin kamu bilang Xai, Xai terus. Siapa itu Xai?”
“Xavier, Owen. Cuma kamu satu-satunya yang masih memanggil dia Xavier. Sudah setahun terakhir ini dia minta dipanggil Xai saja. Itu karena nama pemberianmu membuat dia dirisak oleh teman-temannya di sekolah yang lama. Bukan sekali dua kali aku memergoki Xai ditanyai oleh teman-temannya kenapa kakinya tidak cacat dan memakai kursi roda seperti Xavier di film mutan kesukaanmu itu. Beberapa kali mereka mencoba melukai kakinya dan untunglah aku datang tepat waktu. Itulah yang menjadi penyebab aku ingin pindah secepat mungkin ke sini, selain karena pekerjaanku juga karena ingin Xai memulai hidupnya di lingkungan baru yang jauh lebih baik.”
Aku benar-benar baru mengetahui hal ini. Dan ini bukan pertama kalinya. Aku selalu tertinggal setiap kali ada kabar terbaru di antara keluarga kecil ini. Aku pasti benar-benar sibuk syuting saat itu. Dan penjelasan Rati mengenai kondisi Xai membuatku melupakan sesuatu yang penting yang sebelumnya ingin kutanyakan pada Rati. Berkali-kali kucoba untuk mengingatnya, aku tetap saja lupa.
“Sini, naik ke ranjang dan peluk aku, Owen.” Ajakan Rati itu membuatku akhirnya berhenti berusaha mengingat. Aku naik ke ranjang kemudian menyingkap satu-satunya penghalang yang ada, seperti biasa.
“Kamu tahu aku akan datang? Kamu menungguku?”
Rati mengangguk pelan. Dia membekap mulutnya sendiri ketika aku mulai bergerak di atasnya. “Tidak peduli selelah apa pun dirimu, kamu selalu datang.”
“Benar juga,” sahutku diiringi tawa.
Entah telah berapa lama kami melakukannya, tapi Rati menepuk bahuku sebelum aku selesai. Bunyi berkeriut dari sudut-sudut ranjang selama aku bergerak di atasnya terdengar begitu nyaring. Dan aku baru menyadari bahwa dengkur Xavier yang samar-samar pun tidak lagi terdengar setelah aku benar-benar berhenti bergerak.
“Tanggung, sedikit lagi,” ucapku sambil kembali bergerak.
Bunyi berkeriut itu terdengar begitu nyaring dan membuatku seolah disemangati. Aku terbakar dan mengakhirinya dengan lebih cepat dari biasanya. Aku terlalu lelah untuk kembali ke sebelah Xavier. Kubiarkan diriku terlelap sampai pagi di sisi Rati. Berharap aku bisa mengingat hal yang kulupakan, yang membuatku kesulitan berkonsentrasi selama bercinta dengannya.
Pagi harinya, terjadi kehebohan karena Rati tidak bisa memasak apa pun untuk sarapan kami seperti biasanya. Belum ada peralatan dapur untuk digunakan. Aku terpaksa bangun dari ranjang dan berjalan mendekati sumber keributan.
“Tinggal cari yang jual sarapan di sekitar sini, terus beli. Yang begitu, kok, dibuat sulit,” keluhku setelah menguap lebar.
“Owen!” pekik Rati tiba-tiba.
Dia lantas mendorong tubuhku mundur. Tubuhku yang besar dan berat biasanya tidak mudah diperlakukan begitu, tapi kali ini dia mendorongku dengan mudah karena aku masih belum sadar sepenuhnya. Samar-samar aku mendengar tawa Xavier di latar belakang. Aku mengucek mataku sendiri, ingin melihat penyebab hal yang menjadi penyebab anakku bisa tertawa sebahagia itu sepagi ini.
“Kamu kenapa, sih?” desisku pada Rati yang terus mendorongku sampai masuk ke kamar. “Xavier kenapa tertawa begitu? Apa yang dia tertawakan? Aku penasaran.”
Rati menatapku seolah tak percaya. Dia menggeleng lalu mencubit pinggangku keras-keras. Lemak sudah menumpuk di bagian sana rupanya. Dulu dia kesulitan melakukan itu karena hanya ada otot di perut dan pinggangku. “Yang dia tertawakan itu kamu!”
Aku sudah tidak melakukan hal-hal yang lucu belakangan ini. Ada sutradara yang bilang aku tidak perlu mencoba melawak karena tingkahku saat mencoba melucu malah membangkitkan keinginan untuk memukul pada orang yang melihat. “Memangnya apa yang kulakukan?”
“Sebelum keluar kamar setidaknya pakai dulu celanamu!” serunya gemas.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kami pergi bertiga bersama-sama. Namun, aku dan Rati terlambat menyadari bahwa kini Xavier sudah terlalu besar untuk duduk di bagian depan sepeda motor hasil meminjam pada tetangga sebelah kontrakan. Karena tidak ada pilihan lain, aku memaksa Xavier dan Rati untuk naik ke boncengan. “Sudah hampir terlambat ini. Cepat naik, jangan kebanyakan mikir!” Untunglah sepeda motor yang kami pinjam ini jenis yang berkopling. Joknya lumayan panjang dan cukup kuat membawa kami bertiga. “Kamu tahu rutenya, kan?” tanyaku pada istriku. Butuh waktu cukup lama sampai akhirnya aku mendengar Rati mengiakan. Perjalanan tidak memakan waktu lama karena rupanya sekolah Xavier tidak terlalu jauh dan jalurnya hanya lurus terus sampai tiba di sebuah persimpangan dengan empat jalur, berbelok ke kiri dan sampailah ke sebuah sekolah yang rindang karena setiap jengkalnya ditanami pepohonan. Bangunannya cukup bagus dan megah untuk hitungan sekolah
“Ini bukti kalau aku cinta sama kamu,” kataku. Rati memutar bola matanya. Aku selalu kesal setiap kali dia melakukan itu. Membuatku teringat pada pemeran antagonis di FTV yang aku mainkan. “Ada banyak cara untuk membuktikan cinta, Owen. Seks bukanlah satu-satunya.” “Ketertarikan seksual adalah hal yang menjadi dasar dari semua hubungan di dunia ini, dan berhubungan seks adalah bukti paling puncak dari segalanya.” Rati memutar bola matanya sekali lagi. Meski wajahnya masam, dia lantas meloloskan kancing demi kancing untuk membuka dasternya. “Ya sudah, ayo cepat sini!” Aku tidak mengerti kenapa Rati mengira bahwa momen setelah bercinta adalah waktu yang tepat untuk mendiskusikan sesuatu yang penting. Itu justru merusak segalanya. Setelah aku mencapai puncak dan Rati selesai membersihkan dirinya, dia menahanku untuk tetap rebah di sisinya di tempat tidur. Dia bilang ada sesuatu yang penting yang perlu kami bicarakan. Perihal tempat tinggal untuk kami ber
Harga diriku terluka. Secara tidak langsung, Rati sedang berusaha merendahkan aku dengan berencana membuat aku mengerjakan semua tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Memangnya kalau dia jadi pegawai negeri, dia akan sibuk sepanjang hari? Sejauh yang aku tahu, guru di sekolah pun jam kerjanya masih normal. Tidak ada istilah lembur seperti karyawan kantoran atau kejar tayang seperti aktor dan aktris di sebuah produksi sinetron atau FTV. Aku meninggalkan rumah dan berencana mencari pinjaman sepeda motor dari tetangga. Aku ingin berkeliling kota saja sekalian, daripada diam di rumah dan diperlakukan begitu rendah oleh Rati. Namun, semuanya hanya jadi rencana. Tidak ada lagi yang mau meminjamkan sepeda motor padanya karena ulah Rati yang begitu pelit tadi siang. Karena itu aku hanya bisa berjalan-jalan di sekitar rumah. Membalas sapaan ibu-ibu tetangga yang duduk santai di depan rumah. Selama berjalan, aku jadi memikirkan seperti apa besok Xavier berangkat sekolah. Mau naik
“Cuma teman. Rekan kerja di sekolah,” jawab Rati.“Baik amat mau mengantar kamu beli motor segala?” Dengan sengaja aku tidak menyembunyikan nada penasaran pada pertanyaanku. Aku ingin dia mengerti bahwa tindakannya ini mau dilihat dari sisi mana pun akan tetap salah.“Sudah, deh. Jangan membesar-besarkan masalah. Kalau memang enggak suka dikasih sepeda motor biar aku jual lagi.”“Jangan!”Upayaku mencegah Rati agar tidak menjual lagi sepeda motor hadiahnya ini tentu saja berhasil. Setelah mengantar Xai ke sekolahnya, aku memanfaatkan sepeda motor ini untuk berkeliling kota kecil yang tadi hanya sempat kulihat sekilas saja. Aku belum berani menelusur masuk ke gang-gang atau jalan kecil selain jalan utama yang terbelah dua oleh marka jalan. Lewat dari pasar yang tadi kami datangi, aku terkejut melihat jembatan yang menghubungkan dua buah pasar modern yang terletak di kedua sisi jalan. Di tengah-tengah jembatan
Rati menarikku keluar dari rumah kontrakan.“Jadi sekarang kamu mantan istriku? Kalau aku boleh tahu, sejak kapan kamu memutuskan kita sudah berpisah? Terakhir yang kuingat semalam kamu masih tidur denganku. Kamu bahkan meneriakkan namaku waktu kamu mencapai punc—”“Diam, Owen!” Kemudian dengan nada berbisik, dia meminta maaf. “Kemarin si Atmi telanjur bohong sama bagian marketing. Dia mengaku suami aku supaya prosesnya lebih cepat dan motornya bisa langsung dibawa pulang.”“Kenapa kamu baru bilang sekarang!” tanyaku berang. “Dan sepertinya kau enggak keberatan sama sekali, Rati.”“Aku juga marah, Owen. Dia bertindak seenaknya begitu mana mungkin aku enggak marah. Makanya kemarin dia langsung pulang tanpa pamit sama kamu.”“Aku enggak peduli. Dia sudah cari masalah kalau begini.”Rati mendelik. “Sejak kapan kamu jadi cemburuan begini, sih?”
Rati serius dengan ucapannya beberapa hari yang lalu. Dia membebaskanku untuk melakukan apa pun sesukaku. Aku memanfaatkan kartu keanggotaanku di pusat kebugaran Daimen setiap hari. Lima hari seminggu, setelah mengantar Xai ke sekolah aku akan ke Daimen untuk berolahraga. Tidak sepanjang waktu, tentu saja. Maksimal waktu berolahragaku hanya dua jam saja. Selebihnya aku manfaatkan untuk duduk-duduk di kafe bawah, mengamati cewek-cewek cantik dan muda yang hilir mudik dengan sesamanya.Aku heran juga, kenapa cewek cantik selalu berkumpul dengan yang cantik juga. Kalaupun ada yang berteman dengan yang biasa saja, yang tidak terlalu cantik, biasanya mereka akan jadi yang paling menonjol sendiri. Paling menarik perhatian.Jangan kira aku akan nekat mendekati salah satu dari yang cantik itu sekalipun mereka sudah memberi kode padaku untuk digoda. Sekalipun belakangan ini sikapnya menyebalkan, tidak pernah sedikitpun aku berniat berpaling untuk mencari ganti. Aku cinta pada R
“Uang tabungan Xai bukan hak kita berdua, Owen. Beda sama tabungan kamu. Sebagiannya juga hakku karena aku istrimu,” ucap Rati sambil membereskan meja.Aku sedang tidak ingin memperbesar masalah. Aku pun menarik Xai, merengkuhnya, lalu mengecup dahinya sebagai ucapan terima kasihku padanya. Xai mengelak sembari terus tertawa. Wajahnya bersemu merah karena malu dicium oleh ayahnya sendiri. Anakku sudah sebesar ini ternyata.“Tapi aku belikan Ayah ponsel baru bukan untuk lihat cewek-cewek seksi di TikTok, lho. Siapa tahu Ayah mau daftar jadi ojek online. Kan pas, tuh. Motornya sudah ada, ponselnya juga. Tinggal daftar pasti langsung diterima.”Aku kembali menyerang Xai. Membalasnya dengan cara ingin memberinya ciuman lagi karena sudah mengerjaiku. Dia berkelit, mengelak sekuat tenaganya. Rati sampai kewalahan karena kami berdua terus berlari mengelilingi dapur yang sempit, menghalangi usahanya membersihkan sisa makan malam kami.Aku
Suara guyuran air di dalam kamar mandi membuat aku bersiap-siap. Duduk tegak di salah satu kursi plastik yang biasa digunakan untuk makan, tapi tentu saja aku tidak menghadap ke meja makan saat ini. Aku menatap lurus ke pintu kamar mandi yang dapat terbuka kapan saja.Tadinya, kupikir aku akan mendengar suara ritsleting yang dipasang atau semacamnya, tapi rupanya tidak. Pintu itu terayun membuka lebih cepat dari yang aku kira. Xai muncul dari kamar mandi hanya dengan kaus tanpa lengan yang menutupi tubuhnya. Sisanya? Jangan ditanya.Anakku benar-benar sudah besar rupanya.“Eh, Ayah!”Teriakan Xai langsung diiringi dengan gerakan menutupi tubuh bagian bawahnya. Siapa yang menyangka. Anak kecil yang dulu sering bertanya kapan cumi-cuminya gendut seperti punya ayahnya, kini sudah bertumbuh hampir menyerupai milik ayahnya. Tambah sedikit ketebalannya, mungkin akan sama persis.“Sudah selesai?” tanya kami pada satu sama