“Ini bukti kalau aku cinta sama kamu,” kataku.
Rati memutar bola matanya. Aku selalu kesal setiap kali dia melakukan itu. Membuatku teringat pada pemeran antagonis di FTV yang aku mainkan. “Ada banyak cara untuk membuktikan cinta, Owen. Seks bukanlah satu-satunya.”
“Ketertarikan seksual adalah hal yang menjadi dasar dari semua hubungan di dunia ini, dan berhubungan seks adalah bukti paling puncak dari segalanya.”
Rati memutar bola matanya sekali lagi. Meski wajahnya masam, dia lantas meloloskan kancing demi kancing untuk membuka dasternya. “Ya sudah, ayo cepat sini!”
Aku tidak mengerti kenapa Rati mengira bahwa momen setelah bercinta adalah waktu yang tepat untuk mendiskusikan sesuatu yang penting. Itu justru merusak segalanya. Setelah aku mencapai puncak dan Rati selesai membersihkan dirinya, dia menahanku untuk tetap rebah di sisinya di tempat tidur. Dia bilang ada sesuatu yang penting yang perlu kami bicarakan. Perihal tempat tinggal untuk kami bertiga. Dia ingin membeli tanah lalu membangun rumah menggunakan uang hasil jerih payah yang kukumpulkan selama bertahun-tahun.
“Jadi kamu mau selamanya tinggal di rumah bedeng seperti ini?” desaknya.
“Aku tidak mau. Tapi bukan berarti tabunganku yang harus dikorbankan demi memenuhi hasrat pribadimu. Kamu tahu sendiri belasan tahun aku berhemat dan menabung untuk membeli rumah di kawasan elit Jakarta.”
“Aku tahu! Karena kamu sibuk menabung dan berhemat, aku terpaksa memakai uang yang kamu sebut sebagai gajiku sebagai manajer untuk membiayai kebutuhan kita sehari-hari selama di Jakarta. Aku bahkan harus melakukan berbagai cara karena kamu bahkan tidak mau mengeluarkan uang lebih untuk memenuhi kebutuhan sekolah Xai,” cecar Rati. “Aku harus bangun lebih pagi untuk menyiapkan kebutuhan anak dan suamiku setiap harinya, tapi aku masih harus melakukan pekerjaan tambahan dengan menjual makanan ringan di lokasi syuting. Aku sampai harus mencari pinjaman ke sana-kemari setiap kali semester baru dimulai. Gali lubang tutup lubang, begitu terus sampai aku kelelahan sendiri dan kamu tidak pernah peduli. Untunglah masih ada orang baik di Jakarta sana dan membuatku bertahan sampai detik ini.”
Aku mengesah. Jadi, sekarang dia menyalahkan aku? Dan orang baik, dia bilang? Apa dia sedang mengisyaratkan kepadaku bahwa ada pria lain yang membantunya untuk tetap kuat selama ini, dan pria itulah yang membantunya tanpa sepengetahuanku? Aku ingin tahu lebih banyak, tapi entah kenapa rasanya sulit sekali menerima kenyataan jika Rati benar-benar selingkuh dariku.
“Mau sampai kapan kamu bermimpi punya rumah di kawasan elit itu? Kamu bahkan sudah enggak di Jakarta lagi sekarang!”
“Ini hanya sementara. Aku akan kembali ke Jakarta jika memang sudah waktunya,” sahutku dengan tidak kalah keras.
Rati tampak terkejut mendengar ucapanku. Dia lantas menudingkan jarinya ke arahku. “Jadi kamu berencana meninggalkan kami berdua di sini?”
“Rati, kamu tahu sendiri aku tidak bisa melakukan apa pun selain akting, kan? Aku harus kembali ke Jakarta. Tempat ini bukan untukku, bukan duniaku!”
“Kupikir di mana pun kami berada, kamu akan senang. Lagi pula, memangnya bisa hidup tanpa bercinta denganku sehari saja?”
“Aku bisa menyesuaikan diri dan mengandalkan tanganku!”
“Kalau untuk urusan seks yang kamu gilai setengah mati saja kamu bisa menyesuaikan diri, kenapa untuk pekerjaan dan tempat tinggal kamu tidak bisa! Dibandingkan dengan penghasilanmu sekali syuting, mungkin gajiku tidak seberapa, tapi kamu bisa mengandalkan aku. Aku terima gaji rutin dan belum lagi dapat tambahan penghasilan dan tunjangan yang lain. Di masa tua, kamu bisa hidup tenang makan uang pensiunku kalau aku mati lebih dulu, Owen. Demi Tuhan, berhenti mementingkan dirimu sendiri!”
“Jangan bawa-bawa Tuhan saat ini,” cegahku.
Rati terlihat seperti hendak menjerit, tetapi dia berhasil mengendalikan dirinya dan tetap bungkam. Sejak saat itu kami berdua terdiam. Saat mendengar suara pintu depan dibuka, aku dan Rati langsung kalang kabut memakai kembali pakaian kami. Untungnya Xavier tidak langsung membuka pintu kamar setelah dia tidak mendengar kami menjawab panggilannya.
Xavier merengek minta makan pada Rati, sementara aku diam saja bersandar pada kamar untuk mengamati mereka. Mendengar mereka berdua menertawakan sesuatu yang tidak kumengerti membuat aku sadar bahwa aku sudah terlalu lama jauh dari anak dan istriku sendiri.
“Kamu butuh berapa? Bangun rumah kecil saja, dua kamar. Cukup, kan?”
Rati melirikku, juga Xavier. “Tidak masalah.”
Aku kembali ke kamar untuk tidur siang. Sudah lama sejak terakhir kali aku punya waktu untuk melakukannya. Aku tidak benar-benar nyenyak selama tertidur. Aku bermimpi mendengarkan Rati berbicara dengan seseorang di telepon genggamnya.
Diam-diam, selama dia memunggungiku, aku bangkit dari ranjang. Rati tidak menyadari bahwa aku sedang mendengarkan dia. Rati memberi tahu orang itu bahwa dirinya baik-baik saja sekarang dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kepada orang yang tidak kuketahui siapa, Rati berjanji akan memulai hidup yang lebih baik di tempat yang baru. Di dalam mimpiku, aku mengendap-endap di belakang Rati untuk mendengarkan dari jarak yang lebih dekat. Meski samar-samar, aku mendengar suara seseorang yang tidak asing bagiku.
Pak Rajesh. Pria paruh baya yang telah banyak membantuku sampai bisa masuk ke dunia seni peran. Dia yang paling berjasa dalam hidupku dan ternyata di belakangku dia main gila dengan istriku sendiri!
“Aku sayang kamu. Makasih karena sudah membantuku menyelamatkan diri dari cengkraman istrimu yang gila itu. Kalau bukan karena kamu, mungkin aku sudah digantungnya di lokasi syuting sekarang,” ucap Rati setengah merengek.
Aku mematung di belakangnya. Dengan tubuhku yang jauh lebih tinggi dari Rati, aku terpaksa membungkuk agar bisa membaca nama di layar telepon genggam Rati ketika dia mengakhiri sambungan teleponnya dan menatap layar begitu lama. Dan benar saja, di layar itu aku melihat nama Pak Rajesh yang disertai dengan ikon hati.
Rati berbalik, tapi sama sekali tidak terkejut menemukanku yang berdiri di belakangnya. Dia tersenyum lebar. “Seberapa banyak kamu mendengar?”
“Segalanya,” sahutku kemudian.
Rati malah tertawa. Tanpa menghapus senyum dari wajahnya, Rati terus tertawa. Membuatnya terlihat begitu mengerikan. Aku melangkah mundur karena diserang rasa takut. Dia bukan istriku!
Aku membuka mata dan terjaga dari tidur yang melelahkan itu. Aku bermimpi dan mendadak terjaga, membuat kepalaku diserang rasa sakit. Seperti di dalam mimpiku tadi, aku mendengarkan Rati bicara pada seseorang di telepon genggamnya.
Apa yang seperti ini benar-benar bisa terjadi? Hal yang sama persis di dalam mimpiku berulang kembali dan aku tidak benar-benar yakin apakah ini alam mimpi atau sesungguhnya aku sudah terjaga?
“Kalau bukan karena kamu....”
Baru saja aku hendak bangkit dan mendekatinya agar bisa mendengarkan dengan lebih jelas, kaki ranjang berkeriut karena terdorong oleh bobot tubuhku. Hal itu membuat Rati langsung berbalik dan menyembunyikan telepon genggamnya sekali lagi. Ah, aku ingat apa yang semalam kulupakan! Aku ingin mempertanyakan dengan siapa Rati berkirim pesan, itu sama sekali bukan pesan-pesan lama dariku karena ketika aku memergokinya pesan itu baru saja masuk ke ponsel Rati.
“Kamu sudah bangun?”
Rati mendekatiku dan mengamati wajahku yang berkerut. Dia meletakkan tangannya di dahiku, menyeka keringat yang menumpuk di sana. “Kamu demam. Sebaiknya kamu tidur lagi, nanti akan kubawakan obat,” ucap Rati seraya melempar telepon genggamnya ke sudut terjauh di atas ranjang.
Aku pun berkata, “Kamu selingkuh.”
Rati terdiam. Wajahnya memucat. Dia tidak lagi mengusap-usap dahiku. “Seberapa banyak kamu mendengar?”
Pada saat yang bersamaan, aku menambahkan, “Di dalam mimpiku, kamu selingkuh.”
“Oh!”
Kami berdua bungkam cukup lama. Apa dia secara tidak langsung mengakui tuduhanku? Dan bodohnya, aku tidak mampu menahan mulutku sendiri setidaknya beberapa detik saja agar bisa mendengarkan segalanya dengan lebih jelas. Rati mungkin saja akan mengakui segalanya jika tadi aku tidak bilang bahwa aku menuduhnya selingkuh itu karena terjadi di dalam mimpiku.
“Kamu kelelahan, Owen. Sebaiknya kamu istirahat lagi. Tidur saja sebanyak mungkin. Aku akan carikan obat dulu ke warung terdekat.”
Kamu benar-benar melakukannya, kan, Rati? Semuanya terlihat jelas di wajahmu saat ini. Kamu bukanlah pembohong yang andal.
“Kalau kamu benar-benar selingkuh, aku akan balas selingkuh juga darimu. Mata dibalas mata. Aku akan tidur dengan banyak sekali cewek karena kamu yang lebih dulu melakukannya di belakangku. Dan sebagai balasan, aku tidak akan merahasiakannya darimu. Kamu akan mendengarkan setiap detail bagaimana aku memuaskan cewek-cewek di luar sana, aku akan membuat kamu menderita dengan cara itu. Kamu tidak akan kubiarkan pergi karena itulah yang kamu lakukan selama berselingkuh di belakangku. Kamu tetap berada di sisiku, merahasiakannya, membuatku merasakan jejak yang ditinggalkan orang lain di tubuhmu. Aku akan membalasmu dengan cara yang tak bisa kamu bayangkan sebelumnya.”
Rati hanya menggelengkan kepalanya saja sementara dia terus mendorong tubuhku sampai rebah kembali di ranjang. “Kamu meracau, Owen. Kalau sedang sakit, kamu selalu begini. Karena di dalam mimpimu aku selingkuh, bukan berarti aku yang nyata akan melakukannya juga, kan?”
Aku menepis tangannya. “Telepon genggammu! Aku yakin bisa menemukan buktinya di sana! Berikan padaku!”
Rati menyambar benda itu lalu mendorongku sampai rebah kembali ke ranjang. “Jangan bertingkah, Owen! Sebaiknya kamu tidur saja, nanti akan kubangunkan kalau makan siang sudah siap.”
Rati pun pergi meninggalkan kamar setelah itu. Aku tidak tahu apa penyebabnya, tapi tenagaku seolah terkuras habis dan rasanya benar-benar lelah. Rupanya, aku terlelap lagi dan Rati membangunkanku setelah hari hampir gelap. Rati menawarkan obat dan segelas air, yang langsung kutolak. Itu karena aku merasa tubuhku sudah lebih baik sekarang.
Bersama sepiring nasi, aku duduk di sebelah Xavier di lantai. Sudah lama sekali aku tidak makan dari piring yang asli dan memakan masakan rumahan. Biasanya, aku harus berpuas diri makan nasi kotak dari katering setiap harinya. Kadang, aku baru sempat makan ketika lauknya hampir basi. Berbeda perlakuan dengan pemeran utama, atau artis sinetron panjang yang dianggap setengah dewa. Kami artis FTV biasanya hanya dianggap setengah manusia.
Aku makan dengan lahap. Setelah habis satu piring, aku minta tambah nasi dan lauk seporsi lagi pada Rati. Bukan salahku kalau aku bertingkah seperti pengangguran mulai saat ini. Dia sendiri yang menginginkanku seperti ini dan aku akan menghayati peranku dengan sangat baik.
Bukan hal yang sulit untuk bertingkah berengsek nan menyebalkan karena selama ini peranku di FTV hampir selalu seperti itu. Kalau tidak berperan sebagai kekasih gelap dari seorang perusak rumah tangga, aku biasanya jadi suami pengangguran yang menuntut banyak hal dari seorang istri yang rela melakukan apa saja karena takut kusiksa. Sebagai seorang kuli ekspresi, memainkan peran menjadi pengangguran bukanlah hal yang sulit untukku.
Kuli ekspresi. Aku selalu memakai istilah itu setiap kali membicarakan pekerjaan pada sesama artis FTV. Dan biasanya mereka akan menatapku dengan ekspresi aneh, sebelum pergi dan tidak mau bicara padaku lagi.
Rati membawakan piring berisi tambahan nasi dan lauk untukku. Dari ekspresinya, dia tampak tidak senang. Sekali lagi, ini bukan salahku. Dia sendiri yang bilang bahwa kami akan hidup sejahtera dan berkecukupan dengan gajinya sebagai pegawai negeri. Dia tidak keberatan jika aku menjadi pengangguran dan diam di rumah saja, hidup hanya dengan mengandalkan gajinya.
“Owen, kamu tidak keberatan kalau nanti cuci piring, kan? Aku harus mempersiapkan pakaian dan perlengkapan kerjaku. Besok hari pertama aku kerja dan akan ada penyambutan dari kepala sekolah. Aku harus tampil cantik dan meyakinkan. Kamu mau, kan?” bujuk Rati.
Aku membiarkan sendok menyangkut di bibirku, lalu mengerang keras sebagai jawaban. Rati lantas berjalan setengah melompat ke kamar. Dia tampak bersemangat sekali. Padahal hari masih cukup panjang dan dia bisa melakukan persiapan sore atau malam ini. Jangan-jangan dia berencana menjadikan aku sebagai pembantu rumah tangga mulai hari ini?
Dengan setengah hati aku mencuci seluruh benda yang tertumpuk di atas wastafel. Setelah selesai, aku masuk ke kamar dan menemukan Rati sedang tidur-tiduran di ranjang sambil bermain telepon genggam. Wajahnya yang ceria langsung berubah begitu aku datang.
“Katanya mau persiapan?”
“Aku sedang diskusi dengan calon rekan kerjaku yang baru. Kami bingung harus pakai baju apa besok. Hitam putih seperti saat pelantikan CPNS, memakai batik KORPRI, atau seragam kuning khaki sesuai jadwal.”
“Aku sudah cuci piring lebih dari setengah jam tapi masih belum selesai diskusi?” selidikku.
“Kamu enggak ikhlas? Cuma cuci piring, lho. Aku belum minta kamu masak atau cuci baju.”
“Belum? Jadi kamu berencana melakukannya?”
Rati hanya mengangkat bahu. “Kamu kan enggak kerja,” jawab acuh tak acuh.
Telepon genggamnya. Rati tidak pernah melepaskan telepon genggamnya walau sedetik saja. Aku yakin bisa menemukan sesuatu di sana. Namun, untuk sementara, aku harus membuat Rati lupa bahwa aku mencurigai dirinya. Aku harus mengalihkan perhatiannya. “Aku enggak kerja tapi bukan berarti aku bersedia kamu jadikan pembantu rumah tangga, Rati.”
Harga diriku terluka. Secara tidak langsung, Rati sedang berusaha merendahkan aku dengan berencana membuat aku mengerjakan semua tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Memangnya kalau dia jadi pegawai negeri, dia akan sibuk sepanjang hari? Sejauh yang aku tahu, guru di sekolah pun jam kerjanya masih normal. Tidak ada istilah lembur seperti karyawan kantoran atau kejar tayang seperti aktor dan aktris di sebuah produksi sinetron atau FTV. Aku meninggalkan rumah dan berencana mencari pinjaman sepeda motor dari tetangga. Aku ingin berkeliling kota saja sekalian, daripada diam di rumah dan diperlakukan begitu rendah oleh Rati. Namun, semuanya hanya jadi rencana. Tidak ada lagi yang mau meminjamkan sepeda motor padanya karena ulah Rati yang begitu pelit tadi siang. Karena itu aku hanya bisa berjalan-jalan di sekitar rumah. Membalas sapaan ibu-ibu tetangga yang duduk santai di depan rumah. Selama berjalan, aku jadi memikirkan seperti apa besok Xavier berangkat sekolah. Mau naik
“Cuma teman. Rekan kerja di sekolah,” jawab Rati.“Baik amat mau mengantar kamu beli motor segala?” Dengan sengaja aku tidak menyembunyikan nada penasaran pada pertanyaanku. Aku ingin dia mengerti bahwa tindakannya ini mau dilihat dari sisi mana pun akan tetap salah.“Sudah, deh. Jangan membesar-besarkan masalah. Kalau memang enggak suka dikasih sepeda motor biar aku jual lagi.”“Jangan!”Upayaku mencegah Rati agar tidak menjual lagi sepeda motor hadiahnya ini tentu saja berhasil. Setelah mengantar Xai ke sekolahnya, aku memanfaatkan sepeda motor ini untuk berkeliling kota kecil yang tadi hanya sempat kulihat sekilas saja. Aku belum berani menelusur masuk ke gang-gang atau jalan kecil selain jalan utama yang terbelah dua oleh marka jalan. Lewat dari pasar yang tadi kami datangi, aku terkejut melihat jembatan yang menghubungkan dua buah pasar modern yang terletak di kedua sisi jalan. Di tengah-tengah jembatan
Rati menarikku keluar dari rumah kontrakan.“Jadi sekarang kamu mantan istriku? Kalau aku boleh tahu, sejak kapan kamu memutuskan kita sudah berpisah? Terakhir yang kuingat semalam kamu masih tidur denganku. Kamu bahkan meneriakkan namaku waktu kamu mencapai punc—”“Diam, Owen!” Kemudian dengan nada berbisik, dia meminta maaf. “Kemarin si Atmi telanjur bohong sama bagian marketing. Dia mengaku suami aku supaya prosesnya lebih cepat dan motornya bisa langsung dibawa pulang.”“Kenapa kamu baru bilang sekarang!” tanyaku berang. “Dan sepertinya kau enggak keberatan sama sekali, Rati.”“Aku juga marah, Owen. Dia bertindak seenaknya begitu mana mungkin aku enggak marah. Makanya kemarin dia langsung pulang tanpa pamit sama kamu.”“Aku enggak peduli. Dia sudah cari masalah kalau begini.”Rati mendelik. “Sejak kapan kamu jadi cemburuan begini, sih?”
Rati serius dengan ucapannya beberapa hari yang lalu. Dia membebaskanku untuk melakukan apa pun sesukaku. Aku memanfaatkan kartu keanggotaanku di pusat kebugaran Daimen setiap hari. Lima hari seminggu, setelah mengantar Xai ke sekolah aku akan ke Daimen untuk berolahraga. Tidak sepanjang waktu, tentu saja. Maksimal waktu berolahragaku hanya dua jam saja. Selebihnya aku manfaatkan untuk duduk-duduk di kafe bawah, mengamati cewek-cewek cantik dan muda yang hilir mudik dengan sesamanya.Aku heran juga, kenapa cewek cantik selalu berkumpul dengan yang cantik juga. Kalaupun ada yang berteman dengan yang biasa saja, yang tidak terlalu cantik, biasanya mereka akan jadi yang paling menonjol sendiri. Paling menarik perhatian.Jangan kira aku akan nekat mendekati salah satu dari yang cantik itu sekalipun mereka sudah memberi kode padaku untuk digoda. Sekalipun belakangan ini sikapnya menyebalkan, tidak pernah sedikitpun aku berniat berpaling untuk mencari ganti. Aku cinta pada R
“Uang tabungan Xai bukan hak kita berdua, Owen. Beda sama tabungan kamu. Sebagiannya juga hakku karena aku istrimu,” ucap Rati sambil membereskan meja.Aku sedang tidak ingin memperbesar masalah. Aku pun menarik Xai, merengkuhnya, lalu mengecup dahinya sebagai ucapan terima kasihku padanya. Xai mengelak sembari terus tertawa. Wajahnya bersemu merah karena malu dicium oleh ayahnya sendiri. Anakku sudah sebesar ini ternyata.“Tapi aku belikan Ayah ponsel baru bukan untuk lihat cewek-cewek seksi di TikTok, lho. Siapa tahu Ayah mau daftar jadi ojek online. Kan pas, tuh. Motornya sudah ada, ponselnya juga. Tinggal daftar pasti langsung diterima.”Aku kembali menyerang Xai. Membalasnya dengan cara ingin memberinya ciuman lagi karena sudah mengerjaiku. Dia berkelit, mengelak sekuat tenaganya. Rati sampai kewalahan karena kami berdua terus berlari mengelilingi dapur yang sempit, menghalangi usahanya membersihkan sisa makan malam kami.Aku
Suara guyuran air di dalam kamar mandi membuat aku bersiap-siap. Duduk tegak di salah satu kursi plastik yang biasa digunakan untuk makan, tapi tentu saja aku tidak menghadap ke meja makan saat ini. Aku menatap lurus ke pintu kamar mandi yang dapat terbuka kapan saja.Tadinya, kupikir aku akan mendengar suara ritsleting yang dipasang atau semacamnya, tapi rupanya tidak. Pintu itu terayun membuka lebih cepat dari yang aku kira. Xai muncul dari kamar mandi hanya dengan kaus tanpa lengan yang menutupi tubuhnya. Sisanya? Jangan ditanya.Anakku benar-benar sudah besar rupanya.“Eh, Ayah!”Teriakan Xai langsung diiringi dengan gerakan menutupi tubuh bagian bawahnya. Siapa yang menyangka. Anak kecil yang dulu sering bertanya kapan cumi-cuminya gendut seperti punya ayahnya, kini sudah bertumbuh hampir menyerupai milik ayahnya. Tambah sedikit ketebalannya, mungkin akan sama persis.“Sudah selesai?” tanya kami pada satu sama
Rasanya baru beberapa menit memejamkan mata, tiba-tiba saja kudengar suara Rati kembali membangunkanku. “Owen, cepat bangun. Kita beri kejutan untuk Xai. Hari ini ulang tahunnya.”Apa seseorang baru saja bilang ulang tahun?“Apa? Ulang tahun siapa?”Rati tertawa kecil, lalu menarik tubuhku untuk bangkit. Usaha yang sia-sia jika mengingat perbedaan ukuran tubuh kami berdua. Karena itu aku bangun dari ranjang, duduk sambil mengucek mata berulang kali. “Xai ulang tahun?”Rati mengiakan dan berusaha menarikku meninggalkan ranjang. Aku turuti keinginannya berdiri di sisinya. Aku lupa kapan terakhir kali aku berdiri di sisi istriku sendiri dan hal itu membuatku langsung teringat pada alasan kami berdua tertarik pada satu sama lain. Tubuhnya yang mungil membuatku selalu membayangkan apa saja yang dapat kulakukan padanya dan tubuhku yang menjulang baginya, membuat Rati rupanya diam-diam membayangkan seperti apa rasanya saat mem
Orang gila! Pelatih pribadiku yang bernama Cahyo ini benar-benar gila. Entah apa yang menjadi penyebabnya sampai dia mengira aku bisa mengangkat barbel dengan tambahan berat lebih sepuluh kilo dari yang biasanya kugunakan. “Aku tidak akan bisa mengangkatnya,” kataku bersikeras. “Jadi kau mengaku lemah sekarang, Bocah Jakarta?” Sekalipun tubuhnya penuh otot dan terlihat sekeras baja, aku sama sekali tidak merasakan ancaman. Matanya memelotot, barangkali menginginkan aku tunduk lalu nekat mengangkat barbel sialan itu. Aku tidak akan memberikan apa pun untuk memuaskan egonya. Kudatangi dia. Berdiri tegak di hadapannya. Tinggi kami tidak jauh berbeda. Aku hanya lebih beberapa senti saja darinya. Dia tahu kalau urusan tenaga aku pasti kalah jauh darinya, tapi yang sedang dimainkannya bukanlah adu kekuatan. Dia ingin mengadu mental denganku. Cahyo terkejut saat kucengkram kausnya yang ketat dan kutarik dia mendekatiku. “Walaupun lo pelatih p