Tubuh Roya menggelepar di atas seprai yang kusut. Aku terus memainkan jariku di atas titik sensitifnya serta menggoyangkan pinggul sesekali untuk menggerakkan milikku yang terbenam di dalam liang sempitnya.
“Lima belas,” kataku keras-keras.
Jariku yang tadinya bermain-main di titik sensitifnya kini kupindahkan ke bawah, mendorong masuk ke dalam liangnya yang menganggur. Awalnya hanya dua jari yang kulesakkan ke dalam, tetapi aku mulai menambah jari ketiga dan keempat pada saat yang hampir bersamaan. Aku menggerakkan empat jariku yang terbenam di liang basahnya beriringan dengan entakkan pinggulku sendiri. Permukaan jariku sudah basah dan terasa lengket karena sudah terjadi percampuran antara cairan milik Roya dan juga benih yang kutumpahkan di dalam dirinya sebanyak dua kali.
Empat jariku kuganti posisinya dari yang semula hanya menusuk keluar masuk biasa menjadi menukik dan berusaha merogoh satu titik di dalam liangnya yang kabarnya jauh lebih sensi
Aku terjaga dan tidak ada lagi Roya di atas tubuhku. Atau di sisi mana pun di atas ranjang. Di kamar mandi juga dia tidak ada. Itu berarti dia telah pergi meninggalkan aku sendirian di kamar ini. Aku mengintip layar telepon genggam dan mendapati bahwa sudah lewat tengah malam. Aku tidak tahu pukul berapa Roya menyelinap pergi tapi kuharap dia bisa pulang dengan selamat sampai ke rumahnya. Apa pun yang akan terjadi pada rumah tangganya, aku tidak berhak untuk ikut campur terlalu jauh. Maka dari itu aku memutuskan untuk tidak menghubunginya sampai dia sendiri yang memberiku kabar.Karena rasa lengket di sekujur tubuhku, aku memutuskan untuk membilas tubuh. Tidak ada tanda-tanda bahwa kamar mandi ini terpakai selain bathtub. Itu artinya Roya pulang tanpa membersihkan diri sama sekali. Tidak bisa kubayangkan jika aku jadi Abu, entah apa yang akan kulakukan kepada Roya yang kembali ke rumah dalam keadaan berantakan dan bekas perselingkuhan tampak jelas di setiap jengkal tubuhnya.
Hari sudah gelap ketika aku menepikan mobil di pekarangan rumah. Di teras terlihat Xai dan beberapa remaja yang tinggal di sekitar sini sedang bernyanyi sambil memetik gitar. Aku menyapa mereka sebentar lalu masuk ke dalam rumah. Rati sudah menyiapkan makan malam dan aku langsung mengambil piring lalu makan sendirian di meja makan. Rati tidak menyambutku seperti biasanya. Dia berdiam diri di kamar dan aku tidak keberatan sama sekali.Aku melirik Rati sekilas saat mengambil handuk yang tergantung di kamar. Dia tampak sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya. Aku mandi dan menggosok seluruh bagian tubuhku keras-keras seakan ingin meluruhkan dosa dari permukaan kulit meski hal semacam itu mustahil terjadi.Hanya dengan memakai handuk yang terlilit di pinggang, aku kembali ke kamar dan terkejut saat melihat Rati yang tidak lagi sibuk bekerja. Dia sepertinya sudah menungguku dan langsung mengunci pintu dari dalam. Aku terlalu heran dibuatnya sampai-sampai tidak sadar ketika R
Aku tiba di indekos menjelang tengah malam dan tidak ada seorang pun yang melihatku datang. Aku langsung masuk dan membanting pintu dari dalam hingga tertutup rapat. Tidak akan kubiarkan seorang pun mengganggu hidupku mulai saat ini. Aku tidak akan segan lagi memberikan balasan langsung di tempat jika ada yang berani mencoba mengusik hidupku. Aku akan memulai menata hidup yang baru di tempat ini dan hal yang pertama yang paling kubutuhkan saat ini adalah tidur. Aku tidak peduli sekalipun seprai kasurnya kusut dan beraroma agak sengit karena bekas dipakai beberapa hari yang lalu dan tak sempat diganti. Aku butuh istirahat setelah serangkaian kejadian tak terduga malam ini dan kuharap kejutan yang datang beruntun ini berhenti sekarang juga jika aku sudah terlelap. Entah sudah berapa lama aku tertidur tapi sepertinya di luar sudah lewat tengah hari. Aku terjaga dengan badan yang terasa jauh lebih segar. Saat aku turun dari ranjang dan memeriksa telepon ge
“Sebelum magang di Daimen kamu kerja di mana?” Saras menyelipkan rambutnya ke balik daun telinga sebelum menjawabku. “Di SPBU, Pak,” jawabnya tanpa ragu. “Pasti banyak yang langganan beli bahan bakar karena kamu yang melayani.” Saras tersenyum manis kemudian tertawa saja. Dia tidak mengiakan, tapi tidak pula membantah. Dugaanku memang benar. Kecantikannya mengundang banyak pria jadi tertarik dan berusaha melakukan apa pun untuk menarik perhatiannya. Apalagi dirinya memang cukup andal dalam memberikan pelayanan. “Biasanya kalau melayani pembeli di SPBU bilang apa?” Saras tersenyum rikuh, tapi dia menjawab, “Dimulai dari nol, ya, Pak.” Aku balas tersenyum dan kuusap anak rambutnya yang terlepas dari balik daun telinga. Dengan sengaja aku berlama-lama menelusuri rambutnya yang halus dengan ujung jariku. “Silakan, mari kita mulai dari nol,” balasku. Saras diam saja dan kembali mengabaikanku. Dia asyik sendiri padahal aku masih ingi
Setelah tubuhku bersih dan wangi, aku merayap naik ke ranjang. Istriku sudah terlelap entah sudah sejak beberapa jam yang lalu. Kuelus betisnya, tapi tidak ada reaksi. Kujamah pahanya, dia masih saja tak merespon. Akhirnya, aku nekat naik ke atas tubuhnya, mengunci dia di bawah tubuhku menggunakan kaki dan lenganku. Sengaja aku bernapas tepat di atas wajahnya dan dugaanku benar, dia pun akhirnya terbangun. Hari ini adalah perayaan. Aku akan libur setelah menyelesaikan syuting FTV Siksa Batin Seorang Istri yang rutin tayang di salah satu stasiun televisi. “Sudah pulang kamu?” Masih dari atas tubuhnya, aku terkekeh. “Sudah lama, dan aku juga sudah mandi.” Istriku menjangkau telepon genggamnya di atas nakas, melirik petunjuk waktu di sana. Tiga dini hari. Aku ingat karena memang biasanya aku pulang selarut ini. Diletakkannya kembali ponsel itu lalu tatapannya diarahkan padaku lagi. Aku memberinya senyum semanis mungkin. Kemudian, aku menelusuri tulang rahangnya
“Belasan tahun menikah denganmu, aku tidak pernah meminta apa pun. Aku bahkan tidak mempersulitmu selama hamil dengan menuntut dipenuhi apa pun ketika mendadak mengidam apa pun. Aku minta satu kali ini saja padamu, ikutlah bersama kami. Jaga aku dan Xai selama kita di sana. Bahkan kalau kamu tidak bekerja untuk sementara waktu pun tidak apa-apa. Walaupun kita tinggal di sebuah kampung, setidaknya kita bisa sejahtera dengan penghasilanku sebagai abdi negara.” Untuk pertama kalinya aku melihat sisi Rati yang ini. Dia begitu percaya diri bisa menjamin hidup kami bertiga dengan penghasilannya sebagai PNS. Kalau memang seperti itu, aku akan coba menuruti kemauannya. “Baiklah, kita berangkat pagi ini,” putusku dengan setengah hati. Rati tersenyum. Tidak semringah seperti yang kuduga. Hanya senyum simpul biasa, tetapi aku bisa melihat ada kelegaan di sorot matanya. Rati naik lagi ke tempat tidur dan menarikku untuk ikut rebah bersamanya. Bersisian di atas ranjang, Rati meli
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kami pergi bertiga bersama-sama. Namun, aku dan Rati terlambat menyadari bahwa kini Xavier sudah terlalu besar untuk duduk di bagian depan sepeda motor hasil meminjam pada tetangga sebelah kontrakan. Karena tidak ada pilihan lain, aku memaksa Xavier dan Rati untuk naik ke boncengan. “Sudah hampir terlambat ini. Cepat naik, jangan kebanyakan mikir!” Untunglah sepeda motor yang kami pinjam ini jenis yang berkopling. Joknya lumayan panjang dan cukup kuat membawa kami bertiga. “Kamu tahu rutenya, kan?” tanyaku pada istriku. Butuh waktu cukup lama sampai akhirnya aku mendengar Rati mengiakan. Perjalanan tidak memakan waktu lama karena rupanya sekolah Xavier tidak terlalu jauh dan jalurnya hanya lurus terus sampai tiba di sebuah persimpangan dengan empat jalur, berbelok ke kiri dan sampailah ke sebuah sekolah yang rindang karena setiap jengkalnya ditanami pepohonan. Bangunannya cukup bagus dan megah untuk hitungan sekolah
“Ini bukti kalau aku cinta sama kamu,” kataku. Rati memutar bola matanya. Aku selalu kesal setiap kali dia melakukan itu. Membuatku teringat pada pemeran antagonis di FTV yang aku mainkan. “Ada banyak cara untuk membuktikan cinta, Owen. Seks bukanlah satu-satunya.” “Ketertarikan seksual adalah hal yang menjadi dasar dari semua hubungan di dunia ini, dan berhubungan seks adalah bukti paling puncak dari segalanya.” Rati memutar bola matanya sekali lagi. Meski wajahnya masam, dia lantas meloloskan kancing demi kancing untuk membuka dasternya. “Ya sudah, ayo cepat sini!” Aku tidak mengerti kenapa Rati mengira bahwa momen setelah bercinta adalah waktu yang tepat untuk mendiskusikan sesuatu yang penting. Itu justru merusak segalanya. Setelah aku mencapai puncak dan Rati selesai membersihkan dirinya, dia menahanku untuk tetap rebah di sisinya di tempat tidur. Dia bilang ada sesuatu yang penting yang perlu kami bicarakan. Perihal tempat tinggal untuk kami ber