Beranda / Pernikahan / Besar Kema(l)uan dari Kemampuan / Mustahil Owen Bosan Bercinta

Share

Mustahil Owen Bosan Bercinta

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kami pergi bertiga bersama-sama. Namun, aku dan Rati terlambat menyadari bahwa kini Xavier sudah terlalu besar untuk duduk di bagian depan sepeda motor hasil meminjam pada tetangga sebelah kontrakan. Karena tidak ada pilihan lain, aku memaksa Xavier dan Rati untuk naik ke boncengan.

“Sudah hampir terlambat ini. Cepat naik, jangan kebanyakan mikir!”

Untunglah sepeda motor yang kami pinjam ini jenis yang berkopling. Joknya lumayan panjang dan cukup kuat membawa kami bertiga. “Kamu tahu rutenya, kan?” tanyaku pada istriku.

Butuh waktu cukup lama sampai akhirnya aku mendengar Rati mengiakan. Perjalanan tidak memakan waktu lama karena rupanya sekolah Xavier tidak terlalu jauh dan jalurnya hanya lurus terus sampai tiba di sebuah persimpangan dengan empat jalur, berbelok ke kiri dan sampailah ke sebuah sekolah yang rindang karena setiap jengkalnya ditanami pepohonan. Bangunannya cukup bagus dan megah untuk hitungan sekolah di kampung kecil.

Rati turun dari boncengan. Seolah bisa membaca pikiranku, dia berkata, “Sekolah ini memang dibangun untuk warga di perkampungan sekitar ini. Tapi beberapa ratus meter lagi dari persimpangan tadi, kita akan sampai ke jalan utama, kok. Beberapa meter dari sana kita memasuki kawasan kota kecil yang sedang berkembang pesat. Namanya....”

“Nanti saja penjelasannya. Sekarang kamu antar Xavier ke ruang kepala sekolah. Aku mau meluruskan kaki dulu,” putusku.

Xavier memprotesku, “Xai, Yah.”

“Terserah kamu mau pakai nama apa saja di hadapan orang lain. Bagi Ayah, kamu Xavier selamanya. Mengerti?”

Xavier tidak menanggapi. Dia berbalik pergi meninggalkan aku dan Rati berdua saja. “Sehari saja enggak bikin masalah, bisa nggak?” bentak Rati yang segera berbalik pergi, menyusul Xavier.

Aku langsung mencari tempat duduk di bawah pepohonan rindang, memantik rokok yang kuambil dari tempat persembunyian rahasia, lalu menyesapnya dalam-dalam. Kuembuskan asap halus pelan-pelan dari mulut dan hidung. Lega. Akhirnya, aku bisa merasakannya lagi setelah hampir dua puluh empat jam aku berpuasa rokok. Dari kemarin, mulutku terasa sangat asam. Di depan Rati, aku bilang sudah lama berhenti merokok. Namun, dia tidak perlu tahu kebenarannya selama kami berjauhan, kan? Dan sekarang, aku tidak punya jadwal syuting, sialan, aku bahkan tidak punya pekerjaan. Aku tidak bisa diam-diam merokok lagi di belakang Rati.

Berselang setengah jam kemudian, Rati kembali sendirian. Tidak ada Xavier di sisinya. Cepat-cepat kujejaskan rokok keempat yang belum habis setengahnya pada batang pohon terdekat. Aku membuka sebungkus permen yang sengaja kusiapkan di saku celana. Tidak lupa kusembunyikan lagi bungkus rokokku jauh-jauh dalam lipatan kaus yang selalu kumasukkan ke dalam celana jins.

“Sudah selesai? Kok cepat?”

“Ini hari pertama sekolah. Owen. Dan anak kita sudah SMA. Kita datang untuk mengantarnya saja sudah terbilang aneh. Apalagi kalau berlama-lama menungguinya,” terang Rati.

“Sejak kapan anak kita masuk SMA? Bukannya dia belum lama ini masuk SMP? Lagian dia juga berangkat tadi pakai seragam SMP, tuh!”

“Hari pertama orientasi sekolah memang masih harus pakai seragam sekolah asalnya sekarang. Selesai orientasi nanti baru pakai seragam baru. Aku tahu kamu sibuk, tapi jangan sampai keterlaluan begitu! Masa anak sendiri sudah SMA kamu enggak tahu!”

Aku terkekeh lalu mencari cara untuk berkilah. “Aku cuma bercanda.”

Rati tidak menanggapi, lalu tatapannya berubah jadi curiga. Hidungnya mulai kembang kempis. Gawat, nih! Aku tidak harus menjelaskan apa-apa selagi dia belum menangkap basah diriku dengan rokok di tangan. Aku naik lagi ke atas sepeda motor pinjaman dan menyalakannya. “Langsung pulang?”

“Ke pasar dulu, letaknya di kota kecil. Kita harus belanja kebutuhan rumah,” sahut Rati.

Aku tak mampu mengatakan apa pun lagi setelah mendengar ucapan Rati. Kupikir dia akan marah atau setidaknya melakukan sesuatu untuk mempermalukanku karena kembali merokok. Yang dia lakukan hanyalah mengabaikan kesalahanku dan itu membuatku semakin curiga padanya. Tidak pernah Rati sepemaaf ini. Jika dia membiarkanku melakukan kesalahan, cenderung mengabaikannya, itu bisa jadi disebabkan karena dirinya melakukan kesalahan yang jauh lebih besar dan ingin aku memaafkannya juga. Sayangnya, aku tidak tahu kesalahan macam apa yang diperbuat oleh Rati karena dia sama sekali tidak mengatakannya padaku.

Aku mengarahkan sepeda motor itu menelusuri jalanan sempit yang di kiri kanannya masih terdapat kebun yang rimbun. Semua itu akhirnya berganti menjadi deretan rumah penduduk setelah beberapa menit berkendara. Ketika kami tiba di persimpangan dan masuk ke jalan yang lebih besar, aku dibuat kaget karena lalu lintas kendaraan yang jauh lebih ramai daripada yang kuduga.

“Ini yang kamu bilang kota kecil?”

Rati mengiakan, lalu sibuk sendiri di belakang boncengan.

“Mirip daerah pinggiran Jakarta,” ucapku tanpa sadar. Tapi, aku tidak asal bicara. Dengan keramaian kendaraan dan bangunan yang kulihat di sepanjang jalan, kota ini rasanya lebih dari sekadar kota kecil. Hei, bahkan ada kilang minyak di sini!

“Sejak kapan kamu merokok lagi?”

Aku diam saja. berpura-pura tidak mendengarkannya. Namun, ketika Rati mencengkram kuat-kuat bungkus rokok di balik kausku, melumatnya, aku tidak bisa lagi berkilah. Ketika aku sedang mengarang alasan, Rati bilang dia tidak akan mempermasalahkannya selama aku tidak merokok ketika sedang bersamanya.

“Dan yang tadi adalah terakhir kalinya kita naik motor bertiga bersama Xai. Dengar? Aku tidak nyaman setiap kali tubuhku tidak sengaja menempel ke punggungnya. Dia sudah besar, Owen.”

Aku terkekeh. “Besar apanya? Dia masih anak-anak bagiku.”

“Sebentar lagi dia lima belas tahun. Kamu dulu seusia dia waktu kita pacaran dan membuat aku memiliki Xai di dalam kandunganku,” ucap Rati dengan suara bergetar.

Kenapa dia selalu gugup seperti itu setiap kali mengungkit masa lalu?

Rati berbelanja di pasar kota kecil itu selama berjam-jam. Dia memaksaku ikut bersamanya, berkeliling untuk memilih barang-barang, mendebatkan pilihan warna dan harga, lalu akhirnya memutuskan sendiri barang yang akan dibeli. Untuk apa mengajakku berdebat kalau memang bisa pilih sendiri? Dasar perempuan!

Kami pulang ke rumah hampir tengah hari, diiringi oleh mobil pick up yang membawa barang-barang yang dibeli Rati. Mobil itu terpaksa disewa pada salah satu toko pecah belah tempat kami memborong karena mustahil membawa semuanya dengan sepeda motor.

“Belanjanya banyak amat, Bang,” tanya tetangga pemilik motor. Dia lantas cengengesan. “Bensinnya diisi penuh, sih. Tapi mulut saya asam, nih. Siapa tahu ada uang rokoknya sekalian.”

Rati tiba-tiba merogoh ke dalam kausku dari lingkaran kerah, mencari rokok yang kusembunyikan di sana. “Uang rokoknya enggak ada, Pak. Adanya rokok betulan, nih.”

“Uang rokok itu hanya istilah, Dek. Artinya cuma sampai di kata pertama, kok,” jelas si bapak. “Pasti ada, kan? Belanjanya semobil begitu, pasti banyak uang, nih!”

“Uangnya sudah dibelikan bensin sebagai ucapan terima kasih, dan saya tawarkan rokok pula. Ini sudah cukup, kan, Pak?”

Si bapak tetangga melirikku yang diam saja mengamati perdebatannya dengan istriku. Dia akhirnya mengalah lalu mencomot rokok dari tangan istriku. “Dasar orang kota kere,” ejeknya. Si bapak langsung melompat naik ke atas sepeda motornya dan pergi begitu saja.

Dengan bantuan sopir dan karyawan toko yang sengaja ikut bersama kami, semua barang itu diangkut ke dalam rumah bedeng yang kosong. Setelah selesai dan memberikan tip kepada dua orang itu, Rati memaksaku untuk membantunya membongkar barang dan membereskan segalanya. Membuat rumah tempat tinggal yang baru ini sampai layak disebut sebagai rumah.

Melihat Rati yang bergerak mundur selama mengepel lantai. Membuat bagian belakang tubuhnya tercetak jelas pada bahan daster yang tipis, aku langsung menganggap itu sebagai panggilan alam. Xavier masih sekolah setidaknya sampai beberapa jam lagi dan ini adalah kesempatan emas.

“Yang ada di kepala kamu itu bercinta mulu, ih! Enggak bosan? Aku capek, butuh istirahat juga.”

Aku terkejut. Untuk pertama kalinya, Rati menolak ajakanku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status