Harga diriku terluka. Secara tidak langsung, Rati sedang berusaha merendahkan aku dengan berencana membuat aku mengerjakan semua tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Memangnya kalau dia jadi pegawai negeri, dia akan sibuk sepanjang hari? Sejauh yang aku tahu, guru di sekolah pun jam kerjanya masih normal. Tidak ada istilah lembur seperti karyawan kantoran atau kejar tayang seperti aktor dan aktris di sebuah produksi sinetron atau FTV.
Aku meninggalkan rumah dan berencana mencari pinjaman sepeda motor dari tetangga. Aku ingin berkeliling kota saja sekalian, daripada diam di rumah dan diperlakukan begitu rendah oleh Rati. Namun, semuanya hanya jadi rencana. Tidak ada lagi yang mau meminjamkan sepeda motor padanya karena ulah Rati yang begitu pelit tadi siang. Karena itu aku hanya bisa berjalan-jalan di sekitar rumah. Membalas sapaan ibu-ibu tetangga yang duduk santai di depan rumah.
Selama berjalan, aku jadi memikirkan seperti apa besok Xavier berangkat sekolah. Mau naik apa dia? Sekolahnya terlalu jauh kalau harus ditempuh dengan berjalan kaki. Kalau sudah begini, membeli sepeda motor adalah jalan keluar satu-satunya.
Ketika aku pulang, ada seorang cowok asing entah siapa. Dia tampak semringah dan membiarkan Rati naik ke atas boncengan sepeda motornya. Belum sempat aku berteriak untuk menghentikan mereka, sepeda motor itu melaju kencang. Rati dibawa pergi oleh cowok asing itu entah ke mana. Bahkan tidak terpikir olehnya untuk berpamitan denganku.
“Itu tadi siapa?” tanyaku saat memasuki rumah.
Xavier yang sedang menata barang-barang pribadinya di lemari berkaki pendek yang dibelikan khusus oleh Rati untuknya. Tanpa gambar atau warna mencolok sesuai permintaannya tadi pagi. “Teman Ibuk. Katanya Ibuk minta ditemani beli motor.”
“Beli motor? Memangnya Ibukmu punya uang?”
Xavier masih mengusap-usap permukaan lemari yang halus. Sesayang itu dia pada sebuah lemari? “Punya. Ibuk punya tabungan, walaupun tidak sampai ratusan juta kayak Ayah.”
Jawaban Owen membungkamku. Sejak kapan bocah ini belajar menyakiti orang lain lewat ucapannya. Sindirannya membuat aku tersadar, dia bisa mendengarkan apa pun yang aku dan Rati bicarakan, dia juga bisa menyimpan segalanya dan menjadikan itu sebagai senjata untuk menyerang balik kapan pun dia harus melakukannya. Dan dia baru saja membuktikan hal itu padaku.
“Setidaknya tatap lawan bicaramu kalau memang sedang ingin membuatnya sakit hati. Itu akan membuatmu terkesan berani dan lebih jantan dari yang seharusnya,” ucapku seraya duduk di dekatnya.
“Maksud Ayah aku kurang jantan?”
Aku terkekeh pelan. “Kamu salah paham. Bukan itu yang Ayah maksud.”
Xavier terdiam kali ini. Namun, dia tidak bergerak pergi dan menjauh dariku.
“Menurut kamu apa yang salah dengan keinginan Ayah untuk terus tinggal di Jakarta?” imbuhku kemudian.
Xavier hanya mengangkat bahu. “Aku enggak mau memihak siapa-siapa. Kalian orangtuaku. Bukan tugasku untuk menilai siapa yang benar dan siapa yang salah, tapi tugas kalian memastikan aku hidup dengan layak dan cukup perhatian.”
“Tapi kesannya kamu menyalahkan Ayah sekarang,” simpulku.
Kali ini Xavier mengangguk. “Dari aku kecil Ayah sibuk akting terus, jarang ada di rumah. Sekarang, ada kesempatan untuk gantian Ibuk yang kerja dan Ayah bisa punya waktu buat aku. Kenapa Ayah enggak mau memanfaatkannya?”
Aku terdiam cukup lama dibuatnya. Sungguh, aku tidak pernah tahu bahwa anakku yang selama ini kupikir masih bocah, ternyata bisa berpikir seperti layaknya orang dewasa.
Karena aku tidak kunjung memberi tanggapan, Xavier pun bicara lagi. “Ayah bisa memulai dengan memanggilku Xai. Enggak sesulit itu, kok.”
Aku terkekeh pelan, lalu berdeham. “Akan jadi sulit karena Ayah yang memberimu nama Xavier. Ayah ingin kamu jadi orang yang cerdas dan dihormati seperti Profesor X di serial kesukaan Ayah waktu muda dulu.” Aku bermaksud memancingnya bercerita. Aku tahu dia dirisak karena perkara nama oleh teman-teman di sekolah lamanya di Jakarta dulu. Aku ingin mendengarkan cerita itu dari mulut Xavier sendiri.
“Dan teman-temanku terus menanyakan kenapa aku tidak botak dan tidak duduk di kursi roda,” sahut Xavier dengan ringan.
Tidak ada cerita sedih penuh drama seperti yang kuharapkan. Aku memang tidak berharap anakku ini akan menjadi cengeng dan menangis di hadapanku, menceritakan masalah yang dihadapinya di sekolah, tapi aku juga tidak ingin dia menganggapnya seringan itu. Dia punya aku. Aku ayahnya. Kalau dia mau, dia bisa menceritakan apa pun yang dia inginkan dan aku akan berusaha menjadi pendengar yang baik. Namun, Xavier sepertinya tidak mengharapkan hal semacam itu dariku.
“Aku juga capek dirisak karena Ayah jadi orang jahat di FTV. Lebih baik aku dirisak karena Ayahku pengangguran dan benar-benar jahat daripada jahatnya pura-pura dan hanya di depan kamera.”
Aku akhirnya hanya bisa mengesah. “Oke, Ayah akan coba bertahan di sini. Demi kamu, Xa....”
“Xai,” bimbingnya. “Enggak sulit, Yah. X. A. I. Xai.”
Aku melemaskan lidah untuk menirukannya. “Xai.”
Selepas itu, anakku tidak membiarkanku sendirian dan membuang waktu dengan membayangkan apa yang dilakukan oleh Rati dan teman barunya itu karena sampai sesore ini masih saja belum kembali.
“Kamu tahu sesuatu, yang jadi alasan Ibukmu merasa kita harus pindah secepat mungkin meninggalkan Jakarta?”
Xavier menatapku dengan ekspresi yang aneh di wajahnya. “Ibuk diterima jadi pegawai negeri di sini, alasan apa lagi yang lebih bagus dari itu?”
“Ayah hanya berpikir, mungkin ada alasan yang lain. Kamu yang paling dekat dengan Ibukmu, pasti kamu tahu lebih banyak daripada semua orang, termasuk Ayah. Atau kamu tahu sesuatu tentang cowok yang tadi menjemput Ibukmu?”
“Aku enggak tahu kenapa Ayah menanyakan hal aneh semacam ini, tapi aku bukanlah cowok pecundang yang akan membongkar rahasia siapa pun. Itu bukan cara yang tepat untuk diakui sebagai cowok jantan.” Sekali lagi Xavier menyindirku. “Dan aku tidak tahu cowok mana yang Ayah maksud. Setahuku Ibuk pergi sama rekan kerjanya yang baru.”
Ah, sepertinya benar-benar tidak ada jalan untuk mengorek informasi dari Xavier. Pilihan satu-satunya hanyalah kembali ke Jakarta dan bertanya pada siapa pun yang mengenal Rati. Mereka pasti tahu sesuatu.
Kami membahas apa saja yang diinginkan oleh Xai—kurasa aku harus membiasakan diri jika tidak ingin dia marah lagi—termasuk menjawab rasa penasarannya seperti apa kesibukan seorang penyanyi. Rupanya, selama ini Xai menyimpan keinginan untuk menjadi musisi, tetapi tidak pernah percaya diri untuk memulainya. Aku tidak pernah mendengarnya bernyanyi secara langsung sehingga aku tidak bisa memutuskan apa yang baik untuknya. Namun, akhirnya aku malah mengusulkan padanya untuk ikut audisi pencarian bakat.
“Sekarang, kan, banyak acara pencarian bakat di hampir semua stasiun televisi besar. Itu cara mudah untuk jadi terkenal. Tapi kamu harus punya tampang. Kalau Ayah lihat, kamu enggak jelek-jelek banget, kok. Tinggal dirapikan sana-sini, mungkin kamu bisa tampil dengan persona anak baik-baik. Apalagi kalau kamu memakai status Ayah sebagai seorang artis untuk menaikan nilai jual.”
Xai menggeleng cepat. “Aku enggak suka cara instan seperti itu, Yah. Apalagi kalau sampai menjual nama orangtua.”
Ketika aku hendak menanggapi, suara klakson di luar rumah membuat aku dan Xai berlari mengintip dari jendela. Sebuah mobil pick up lain datang lagi, kali ini membawa satu unit sepeda motor baru. Sepeda motor matik berukuran besar keluaran terbaru dengan warna biru tua. Kesukaanku.
Xai membuka pintu rumah dan berlari menyambut Rati yang baru turun dari boncengan sepeda motor si cowok asing. Tanpa berpamitan, cowok itu berbalik dan pergi begitu saja setelah Rati mengucapkan terima kasih padanya.
“Boleh aku bawa ke sekolah, Buk?” tanya Xai kegirangan.
Aku mendatangi Rati dan Xai, ingin mendengarkan jawabannya. “Ini sogokan buat Ayahmu. Supaya dia mau tinggal di sini,” terangnya.
Setelah sepeda motor itu berhasil diturunkan, aku langsung duduk di atasnya. Mencoba menyalakannya dan memastikan segala fungsinya bekerja dengan baik. Xai langsung naik ke boncengan dan melonjak-lonjak di atasnya. Xai langsung meminta aku untuk turun agar dia bisa mencobanya.
“Kamu lihat tetangga di rumah yang sana—jangan menoleh, dilirik saja. Mereka mengamati kita sejak pick up yang pertama datang tadi. Aku yakin tidak lama lagi kita akan digosipkan sebagai pasangan suami istri yang melakukan pesugihan atau semacamnya,” bisikku pada Rati.
“Mereka tahu aku CPNS, kok. Tadi kami sempat mengobrol sebelum aku pergi beli motor.”
Kutatap Rati, berpura-pura menyelidikinya. “Terus siapa cowok yang tadi jemput kamu?”
Dia tidak perlu tahu bahwa aku sudah tahu siapa orang itu. Namun, aku ingin mendengar jawaban langsung dari mulutnya. Aku akan memastikan haruskah aku menyingkirkan orang itu sebelum hal yang tidak diinginkan berkembang terlalu jauh.
“Cuma teman. Rekan kerja di sekolah,” jawab Rati.“Baik amat mau mengantar kamu beli motor segala?” Dengan sengaja aku tidak menyembunyikan nada penasaran pada pertanyaanku. Aku ingin dia mengerti bahwa tindakannya ini mau dilihat dari sisi mana pun akan tetap salah.“Sudah, deh. Jangan membesar-besarkan masalah. Kalau memang enggak suka dikasih sepeda motor biar aku jual lagi.”“Jangan!”Upayaku mencegah Rati agar tidak menjual lagi sepeda motor hadiahnya ini tentu saja berhasil. Setelah mengantar Xai ke sekolahnya, aku memanfaatkan sepeda motor ini untuk berkeliling kota kecil yang tadi hanya sempat kulihat sekilas saja. Aku belum berani menelusur masuk ke gang-gang atau jalan kecil selain jalan utama yang terbelah dua oleh marka jalan. Lewat dari pasar yang tadi kami datangi, aku terkejut melihat jembatan yang menghubungkan dua buah pasar modern yang terletak di kedua sisi jalan. Di tengah-tengah jembatan
Rati menarikku keluar dari rumah kontrakan.“Jadi sekarang kamu mantan istriku? Kalau aku boleh tahu, sejak kapan kamu memutuskan kita sudah berpisah? Terakhir yang kuingat semalam kamu masih tidur denganku. Kamu bahkan meneriakkan namaku waktu kamu mencapai punc—”“Diam, Owen!” Kemudian dengan nada berbisik, dia meminta maaf. “Kemarin si Atmi telanjur bohong sama bagian marketing. Dia mengaku suami aku supaya prosesnya lebih cepat dan motornya bisa langsung dibawa pulang.”“Kenapa kamu baru bilang sekarang!” tanyaku berang. “Dan sepertinya kau enggak keberatan sama sekali, Rati.”“Aku juga marah, Owen. Dia bertindak seenaknya begitu mana mungkin aku enggak marah. Makanya kemarin dia langsung pulang tanpa pamit sama kamu.”“Aku enggak peduli. Dia sudah cari masalah kalau begini.”Rati mendelik. “Sejak kapan kamu jadi cemburuan begini, sih?”
Rati serius dengan ucapannya beberapa hari yang lalu. Dia membebaskanku untuk melakukan apa pun sesukaku. Aku memanfaatkan kartu keanggotaanku di pusat kebugaran Daimen setiap hari. Lima hari seminggu, setelah mengantar Xai ke sekolah aku akan ke Daimen untuk berolahraga. Tidak sepanjang waktu, tentu saja. Maksimal waktu berolahragaku hanya dua jam saja. Selebihnya aku manfaatkan untuk duduk-duduk di kafe bawah, mengamati cewek-cewek cantik dan muda yang hilir mudik dengan sesamanya.Aku heran juga, kenapa cewek cantik selalu berkumpul dengan yang cantik juga. Kalaupun ada yang berteman dengan yang biasa saja, yang tidak terlalu cantik, biasanya mereka akan jadi yang paling menonjol sendiri. Paling menarik perhatian.Jangan kira aku akan nekat mendekati salah satu dari yang cantik itu sekalipun mereka sudah memberi kode padaku untuk digoda. Sekalipun belakangan ini sikapnya menyebalkan, tidak pernah sedikitpun aku berniat berpaling untuk mencari ganti. Aku cinta pada R
“Uang tabungan Xai bukan hak kita berdua, Owen. Beda sama tabungan kamu. Sebagiannya juga hakku karena aku istrimu,” ucap Rati sambil membereskan meja.Aku sedang tidak ingin memperbesar masalah. Aku pun menarik Xai, merengkuhnya, lalu mengecup dahinya sebagai ucapan terima kasihku padanya. Xai mengelak sembari terus tertawa. Wajahnya bersemu merah karena malu dicium oleh ayahnya sendiri. Anakku sudah sebesar ini ternyata.“Tapi aku belikan Ayah ponsel baru bukan untuk lihat cewek-cewek seksi di TikTok, lho. Siapa tahu Ayah mau daftar jadi ojek online. Kan pas, tuh. Motornya sudah ada, ponselnya juga. Tinggal daftar pasti langsung diterima.”Aku kembali menyerang Xai. Membalasnya dengan cara ingin memberinya ciuman lagi karena sudah mengerjaiku. Dia berkelit, mengelak sekuat tenaganya. Rati sampai kewalahan karena kami berdua terus berlari mengelilingi dapur yang sempit, menghalangi usahanya membersihkan sisa makan malam kami.Aku
Suara guyuran air di dalam kamar mandi membuat aku bersiap-siap. Duduk tegak di salah satu kursi plastik yang biasa digunakan untuk makan, tapi tentu saja aku tidak menghadap ke meja makan saat ini. Aku menatap lurus ke pintu kamar mandi yang dapat terbuka kapan saja.Tadinya, kupikir aku akan mendengar suara ritsleting yang dipasang atau semacamnya, tapi rupanya tidak. Pintu itu terayun membuka lebih cepat dari yang aku kira. Xai muncul dari kamar mandi hanya dengan kaus tanpa lengan yang menutupi tubuhnya. Sisanya? Jangan ditanya.Anakku benar-benar sudah besar rupanya.“Eh, Ayah!”Teriakan Xai langsung diiringi dengan gerakan menutupi tubuh bagian bawahnya. Siapa yang menyangka. Anak kecil yang dulu sering bertanya kapan cumi-cuminya gendut seperti punya ayahnya, kini sudah bertumbuh hampir menyerupai milik ayahnya. Tambah sedikit ketebalannya, mungkin akan sama persis.“Sudah selesai?” tanya kami pada satu sama
Rasanya baru beberapa menit memejamkan mata, tiba-tiba saja kudengar suara Rati kembali membangunkanku. “Owen, cepat bangun. Kita beri kejutan untuk Xai. Hari ini ulang tahunnya.”Apa seseorang baru saja bilang ulang tahun?“Apa? Ulang tahun siapa?”Rati tertawa kecil, lalu menarik tubuhku untuk bangkit. Usaha yang sia-sia jika mengingat perbedaan ukuran tubuh kami berdua. Karena itu aku bangun dari ranjang, duduk sambil mengucek mata berulang kali. “Xai ulang tahun?”Rati mengiakan dan berusaha menarikku meninggalkan ranjang. Aku turuti keinginannya berdiri di sisinya. Aku lupa kapan terakhir kali aku berdiri di sisi istriku sendiri dan hal itu membuatku langsung teringat pada alasan kami berdua tertarik pada satu sama lain. Tubuhnya yang mungil membuatku selalu membayangkan apa saja yang dapat kulakukan padanya dan tubuhku yang menjulang baginya, membuat Rati rupanya diam-diam membayangkan seperti apa rasanya saat mem
Orang gila! Pelatih pribadiku yang bernama Cahyo ini benar-benar gila. Entah apa yang menjadi penyebabnya sampai dia mengira aku bisa mengangkat barbel dengan tambahan berat lebih sepuluh kilo dari yang biasanya kugunakan. “Aku tidak akan bisa mengangkatnya,” kataku bersikeras. “Jadi kau mengaku lemah sekarang, Bocah Jakarta?” Sekalipun tubuhnya penuh otot dan terlihat sekeras baja, aku sama sekali tidak merasakan ancaman. Matanya memelotot, barangkali menginginkan aku tunduk lalu nekat mengangkat barbel sialan itu. Aku tidak akan memberikan apa pun untuk memuaskan egonya. Kudatangi dia. Berdiri tegak di hadapannya. Tinggi kami tidak jauh berbeda. Aku hanya lebih beberapa senti saja darinya. Dia tahu kalau urusan tenaga aku pasti kalah jauh darinya, tapi yang sedang dimainkannya bukanlah adu kekuatan. Dia ingin mengadu mental denganku. Cahyo terkejut saat kucengkram kausnya yang ketat dan kutarik dia mendekatiku. “Walaupun lo pelatih p
Aku terkekeh saja dan membayar. Setelah mendapatkan yang kubutuhkan, aku pun pulang. Beberapa meter dari mini market, aku menoleh ke restoran cepat saji dan menemukan sepasang pegawai negeri—aku mengenali dari seragamnya yang mirip dengan punya Rati—naik ke atas sepeda motor dengan membawa bungkusan besar. Wajahnya tak bisa kulihat dengan jelas karena tertutup helm. Namun, dari perawakannya, aku merasa bahwa si perempuan sangat mirip dengan Rati. Marka jalan terus mengular sampai beberapa meter ke depan. Kalau aku nekat menyusul dua orang itu, mereka pasti tidak ada lagi di sana. Karena itu kuputuskan untuk pulang saja. Mungkin hanya kebetulan saja. Pegawai negeri yang datang ke restoran cepat saji pada jam istirahat bukan cuma Rati. Xai menatapku jengkel saat dia mendatangiku yang menunggu di depan gerbang sekolahnya. Dia bilang ada janji sama temannya dan tidak ingin langsung pulang. “Coba hubungi dulu temanmu, Ayah yakin dia enggak keberatan menunda