Aku terkekeh saja dan membayar. Setelah mendapatkan yang kubutuhkan, aku pun pulang. Beberapa meter dari mini market, aku menoleh ke restoran cepat saji dan menemukan sepasang pegawai negeri—aku mengenali dari seragamnya yang mirip dengan punya Rati—naik ke atas sepeda motor dengan membawa bungkusan besar. Wajahnya tak bisa kulihat dengan jelas karena tertutup helm. Namun, dari perawakannya, aku merasa bahwa si perempuan sangat mirip dengan Rati.
Marka jalan terus mengular sampai beberapa meter ke depan. Kalau aku nekat menyusul dua orang itu, mereka pasti tidak ada lagi di sana. Karena itu kuputuskan untuk pulang saja. Mungkin hanya kebetulan saja. Pegawai negeri yang datang ke restoran cepat saji pada jam istirahat bukan cuma Rati.
Xai menatapku jengkel saat dia mendatangiku yang menunggu di depan gerbang sekolahnya. Dia bilang ada janji sama temannya dan tidak ingin langsung pulang.
“Coba hubungi dulu temanmu, Ayah yakin dia enggak keberatan menunda
Kini gantian aku yang bersedekap. “Oh, benarkah? Lihat siapa yang bicara sekarang? Kamu pikir dengan menyalahkanku, kamu bisa cuci tangan dan enggak ikut andil sedikitpun membuat anak kita kenapa-kenapa? Kamu yang pergi sama pria lain. Ingat itu!”“Tadi itu cuma makan siang biasa, berengsek!”Aku mengabaikan Rati. Kembali ke dapur. Menghadapi meja makan yang penuh dengan kentang goreng. Rati menyusulku, memaksaku untuk mendengarkannya.“Jangan abaikan aku! Dengar, itu tadi cuma makan siang biasa. Kami pergi ramai-ramai, tapi tidak ada yang mau ke restoran itu kecuali aku. Atmi berbaik hati menawarkan diri untuk mengantarku. Apa itu salah? Kami bahkan tidak makan siang di tempat. Hanya beli dan langsung pulang.”Aku mencocol sepotong kentang ke saus sambal, lalu mengunyahnya sambil terus menatap Rati. “Aku tidak akan pernah tahu kamu jujur ataupun berbohong saat ini,” ucapku kemudian.“Aku bisa g
Kenapa naga terbang? Karena sebagian besar dari rekan sesama aktor dan aktris yang bermain di FTV bersamaku adalah orang-orang yang sama yang sebelumnya bermain di serial kolosal yang menampilkan naga-naga animasi, yang harus kuakui, memang menggelikan. Animasi berkualitas rendahan yang tidak masuk akal dan editing yang alakadarnya membuat usaha keras aktor dan aktris di tengah kekosongan berupa bidang hijau yang besar, membayangkan keberadaan makhluk ajaib sambil terus berakting sesuai arahan sutradara, menjadi sebuah kesia-siaan.Aku bertahan di kafe itu sampai menjelang waktu tutup. Makanan gratisku tentu saja sudah lama habis. Namun, aku masih harus membayar untuk beberapa gelas minuman—hanya jus dan kopi, bukan alkohol karena aku masih harus berkendara pulang ke rumah—yang kupesan sendiri.“Sudah siap pulang, Mas?” Pertanyaan itu membuat aku berbalik dan menemukan si cewek yang sudah bekerja keras sepanjang malam ini. Tidak ada senyum di wa
Setelah hari-hari tanpa bercinta yang begitu membebaniku, sesuatu yang mengejutkan kemudian datang padaku. Bapak, si pemilik pusat kebugaran Daimen menemuiku lagi dan rupanya selama ini dia ingin menawariku menjadi wajah dari Daimen. Yang dimaksudnya sebagai wajah adalah dia akan merekrutku sebagai model—utama dan satu-satunya—di pusat kebugaran ini. Wajah dan tubuhku akan tampil di iklan yang akan ditayangkan melalui akun Instagram dan Facebook khusus. Tugasku hanyalah berolahraga sambil difoto atau direkam, kemudian mengucapkan sebaris kalimat yang sudah dirancang oleh tim yang bekerja di balik layar. Karena keuntungan yang ditawarkan cukup menggiurkan dan hal ini bisa menambah panjang daftar prestasi di dalam portofolioku.Silih berganti ada sebaris pelanggan Daimen yang menonton selama diriku direkam saat sedang mengangkat barbel atau tengah berlari di atas treadmill. Beberapa orang akhirnya menyadari bahwa ada seorang bintang di tengah-tengah mereka
Setelah puas menertawakan Cahyo yang diseret oleh tiga teman barunya, aku masuk lagi ke ruang ganti untuk berpakaian. Di tempat yang sebagus dan selengkap ini, kamar mandi dan ruang ganti yang terpisah adalah kekurangan besar. Kalau saja aku punya kesempatan untuk merombaknya, maka yang paling duluan sekali akan kuperbaiki dari tempat ini adalah menyatukan ruang ganti dan kamar mandi.Selesai berpakaian, aku hendak meninggalkan Daimen tapi seseorang mencegatku. Cewek yang biasanya menyapaku di lobi, di balik meja resepsionis. Kalau tidak salah namanya Gina.“Bisa bicara sebentar?” tanyanya.Aku berhenti dan mengikutinya untuk duduk di sofa yang diletakkan di sudut lobi. Setelah kami duduk berhadapan, Gina tidak langsung bicara seperti yang dia inginkan. Aku dibuatnya menunggu cukup lama.“Bisa lebih cepat? Aku harus pulang sekarang juga,” kataku dengan sedikit kesal.“Aku tidak peduli ada perjanjian apa pun yang kau bu
“Kalau enggak muat terus dipaksakan, nanti bisa robek. Bahaya. Percuma pakai pengaman kalau isinya tumpah ke mana-mana.”“Idih!”“Kamu sudah besar, Xai. Ayah mencoba melakukan sesuatu yang dibutuhkan oleh anak-anak remaja sekarang dari orangtua mereka tapi enggak dilakukan karena dianggap tabu. Kamu seharusnya dengarkan baik-baik,” keluhku.Xai akhirnya melepaskan bantal dari wajahnya, tapi diam saja tidak menanggapiku. Dia menatap langit-langit yang sesekali bersinar karena pantulan cahaya dari kendaraan yang sedang melintas di depan rumah kontrakan.“Kalau ternyata ukuran standar yang dijual di pasaran enggak muat buat kamu, terpaksa kamu cari di internet. Beli ukuran yang lebih besar, kayak Ayah.”Xai menatapku sangsi, lalu dia kepalanya bergeleng-geleng tak percaya.“Kenapa? Mau lihat?”“Ayah!”“Kalian bisa diam enggak, sih! Ini sudah lewat tengah
“Jadi Ayah sekarang kerja di pusat kebugaran?”Kulirik Xai. Tidak perlu kutanya dari mana dia tahu, sudah pasti dia bisa mendengarkan perdebatan sengit kami dini hari tadi. Aku mengangguk saja sebagai jawaban untuknya.“Aku ikut ke sana boleh, Yah?”“Kalau kamu mau serius, Ayah bisa jemput kamu sepulang sekolah. Tapi, bukannya kamu harus belajar main gitar di rumah temanmu?”Xai mendesah kecewa, tetapi dia tidak menyerah. “Kalau malam bisa, Yah?”“Kamu harus belajar, Xai,” potong Rati.“Aku sudah belajar di sekolah, Buk.”“Kamu masih harus tumbuh tinggi, jangan dulu membentuk tubuh.” Alasan yang digunakan oleh Rati amat sangat salah. Entah dari mana dia mendengar hal semacam itu, tapi itu sama sekali tidak benar. Tidak ada hubungannya berolahraga di pusat kebugaran dengan pertumbuhan tinggi badan. Kalau dilakukan secara berlebihan, ya itu beda lagi cer
Tabungan? Dari mana ia tahu?Rati! Siapa lagi kalau bukan dia!“Karena kamu masih ragu, sepertinya aku harus membatalkan rencanaku.”Aku gelagapan dibuatnya. “Jangan, Pak!”“Jadi?”Aku mengesah. Daripada tabunganku yang harus menjadi tabungan, tidak ada jalan lain selain menerima tawarannya. “Aku akan tinggal, Pak. Aku akan menetap. Aku akan bersama Rati dan Xai. Jangan batalkan rencananya.”Untuk pertama kalinya selama pernikahanku dan Rati digelar, mertuaku tersenyum kepadaku. Bahkan ketika Xai dilahirkan dengan selamat pun ia tidak berbaik hati untuk mengulas senyum padaku. Wajahnya tertekuk, bibirnya terlipat dan disembunyikan dengan baik di balik kumis tebalnya.“Tadinya aku ingin memberimu bantuan modal dan memulai usaha sendiri begitu mendengar kalian akan pindah ke sini, tapi kudengar dari Xai tabunganmu sampai ratusan juta jadi kubatalkan niatku. Apalagi sekarang kamu suda
“Tadi bapakmu nanya, kapan Xai dikasih adik.”Ucapanku membuat Rati langsung menoleh. Wajahnya tiba-tiba merona. “Terus kamu jawab apa?”“Ya kubilang saja kami sudah berusaha setiap malam, tapi belum berhasil.”“Orang gila,” seru Rati padaku.Aku hanya menatapnya. Kenapa jadi aku yang disalahkan? Padahal aku hanya menyampaikan hal yang sebenarnya. Yah, memang beberapa hari kami sempat libur, tapi kalau dihitung sejak kami mulai berhubungan lagi sehabis Rati melahirkan Xai, itu hari-hari kosong tanpa bercinta itu tidak ada apa-apanya.“Kamu bisa bilang kalau aku sibuk di sekolah, atau kamu keasyikan cari kerja, atau yang lainnya. Enggak usah harus jujur segala kamu bilang usaha tiap malam! Mau ditaruh di mana mukaku ini kalau ketemu Bapak lagi? Pantas saja seharian tadi Bapak enggak mau lihat aku setiap kali bicara. Semua gara-gara kamu rupanya!”Aku sudah kehilangan minat untuk mend
“Sebelum magang di Daimen kamu kerja di mana?” Saras menyelipkan rambutnya ke balik daun telinga sebelum menjawabku. “Di SPBU, Pak,” jawabnya tanpa ragu. “Pasti banyak yang langganan beli bahan bakar karena kamu yang melayani.” Saras tersenyum manis kemudian tertawa saja. Dia tidak mengiakan, tapi tidak pula membantah. Dugaanku memang benar. Kecantikannya mengundang banyak pria jadi tertarik dan berusaha melakukan apa pun untuk menarik perhatiannya. Apalagi dirinya memang cukup andal dalam memberikan pelayanan. “Biasanya kalau melayani pembeli di SPBU bilang apa?” Saras tersenyum rikuh, tapi dia menjawab, “Dimulai dari nol, ya, Pak.” Aku balas tersenyum dan kuusap anak rambutnya yang terlepas dari balik daun telinga. Dengan sengaja aku berlama-lama menelusuri rambutnya yang halus dengan ujung jariku. “Silakan, mari kita mulai dari nol,” balasku. Saras diam saja dan kembali mengabaikanku. Dia asyik sendiri padahal aku masih ingi
Aku tiba di indekos menjelang tengah malam dan tidak ada seorang pun yang melihatku datang. Aku langsung masuk dan membanting pintu dari dalam hingga tertutup rapat. Tidak akan kubiarkan seorang pun mengganggu hidupku mulai saat ini. Aku tidak akan segan lagi memberikan balasan langsung di tempat jika ada yang berani mencoba mengusik hidupku. Aku akan memulai menata hidup yang baru di tempat ini dan hal yang pertama yang paling kubutuhkan saat ini adalah tidur. Aku tidak peduli sekalipun seprai kasurnya kusut dan beraroma agak sengit karena bekas dipakai beberapa hari yang lalu dan tak sempat diganti. Aku butuh istirahat setelah serangkaian kejadian tak terduga malam ini dan kuharap kejutan yang datang beruntun ini berhenti sekarang juga jika aku sudah terlelap. Entah sudah berapa lama aku tertidur tapi sepertinya di luar sudah lewat tengah hari. Aku terjaga dengan badan yang terasa jauh lebih segar. Saat aku turun dari ranjang dan memeriksa telepon ge
Hari sudah gelap ketika aku menepikan mobil di pekarangan rumah. Di teras terlihat Xai dan beberapa remaja yang tinggal di sekitar sini sedang bernyanyi sambil memetik gitar. Aku menyapa mereka sebentar lalu masuk ke dalam rumah. Rati sudah menyiapkan makan malam dan aku langsung mengambil piring lalu makan sendirian di meja makan. Rati tidak menyambutku seperti biasanya. Dia berdiam diri di kamar dan aku tidak keberatan sama sekali.Aku melirik Rati sekilas saat mengambil handuk yang tergantung di kamar. Dia tampak sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya. Aku mandi dan menggosok seluruh bagian tubuhku keras-keras seakan ingin meluruhkan dosa dari permukaan kulit meski hal semacam itu mustahil terjadi.Hanya dengan memakai handuk yang terlilit di pinggang, aku kembali ke kamar dan terkejut saat melihat Rati yang tidak lagi sibuk bekerja. Dia sepertinya sudah menungguku dan langsung mengunci pintu dari dalam. Aku terlalu heran dibuatnya sampai-sampai tidak sadar ketika R
Aku terjaga dan tidak ada lagi Roya di atas tubuhku. Atau di sisi mana pun di atas ranjang. Di kamar mandi juga dia tidak ada. Itu berarti dia telah pergi meninggalkan aku sendirian di kamar ini. Aku mengintip layar telepon genggam dan mendapati bahwa sudah lewat tengah malam. Aku tidak tahu pukul berapa Roya menyelinap pergi tapi kuharap dia bisa pulang dengan selamat sampai ke rumahnya. Apa pun yang akan terjadi pada rumah tangganya, aku tidak berhak untuk ikut campur terlalu jauh. Maka dari itu aku memutuskan untuk tidak menghubunginya sampai dia sendiri yang memberiku kabar.Karena rasa lengket di sekujur tubuhku, aku memutuskan untuk membilas tubuh. Tidak ada tanda-tanda bahwa kamar mandi ini terpakai selain bathtub. Itu artinya Roya pulang tanpa membersihkan diri sama sekali. Tidak bisa kubayangkan jika aku jadi Abu, entah apa yang akan kulakukan kepada Roya yang kembali ke rumah dalam keadaan berantakan dan bekas perselingkuhan tampak jelas di setiap jengkal tubuhnya.
Tubuh Roya menggelepar di atas seprai yang kusut. Aku terus memainkan jariku di atas titik sensitifnya serta menggoyangkan pinggul sesekali untuk menggerakkan milikku yang terbenam di dalam liang sempitnya.“Lima belas,” kataku keras-keras.Jariku yang tadinya bermain-main di titik sensitifnya kini kupindahkan ke bawah, mendorong masuk ke dalam liangnya yang menganggur. Awalnya hanya dua jari yang kulesakkan ke dalam, tetapi aku mulai menambah jari ketiga dan keempat pada saat yang hampir bersamaan. Aku menggerakkan empat jariku yang terbenam di liang basahnya beriringan dengan entakkan pinggulku sendiri. Permukaan jariku sudah basah dan terasa lengket karena sudah terjadi percampuran antara cairan milik Roya dan juga benih yang kutumpahkan di dalam dirinya sebanyak dua kali.Empat jariku kuganti posisinya dari yang semula hanya menusuk keluar masuk biasa menjadi menukik dan berusaha merogoh satu titik di dalam liangnya yang kabarnya jauh lebih sensi
Aku menyentak tangan Roya yang sedang ingin berlari menyusul Abu. Kutahan dia agar tidak meninggalkanku begitu saja. Semua mata sudah tertuju kepada kami dan aku tidak punya pilihan selain membawa Roya meninggalkan Daimen, tapi aku harus menunggu sejenak setidaknya sampai si berengsek Abu menghilang.Roya diam saja ketika aku menariknya turun dari Daimen dan membawanya naik ke mobilku. Pandangannya menerawang dan dia menyeka air mata yang baru akan mengalir turun sebelum sempat membasahi pipinya.“Siapa Abu?”Tidak ada jawaban.“Roya, aku tanya sekali lagi. Siapa Abu?”Roya masih terus bungkam, mengatupkan bibirnya rapat-rapat.“Siapa Abu, berengsek!”“Dia suamiku! Apa kamu sebodoh itu untuk menyadarinya! Dia suamiku, sialan!”Jawaban Roya membuatku menjadi terdiam menggantikannya. Kini Roya mulai mengucapkan sumpah serapah yang dia tujukan kepadaku. Lengkap dengan pukulan yang di
Aku bangun lebih siang hari ini dan langsung mandi. Xai dan Rati tentu sudah tidak ada lagi di rumah. Aku memutuskan untuk memakai langsung pakaian olahragaku dan berangkat bekerja setelah selesai sarapan—aku tidak menduga bahwa Rati masih menyisakan makanan untukku setelah apa yang kuucapkan padanya subuh tadi.Sepanjang perjalanan, aku memikirkan akan seperti apa nasib hubunganku bersama Roya setelah ini. Dari apa yang dia katakan sebelum turun dari mobilku, jelas Roya ingin meneruskan. Namun, entah mengapa aku punya firasat bahwa kami tidak akan bertemu lagi setelah ini.Setibanya aku di Daimen, telepon genggamku berbunyi. Panggilan masuk dari Roya.“Aku akan ke Daimen sore ini. Kita tidak bisa lagi menggunakan ruanganmu?” tanya Roya dengan suara berbisik.“Atasanku melarang. Sofaku bahkan diganti dengan yang baru karena warnanya berubah akibat terlalu sering kena keringat dan kamu tahu sendirilah terkena apa lagi,” godaku
Sepanjang perjalanan pulang ke rumahnya, Roya terus saja bungkam. Dia menolak sekalipun aku menanyakan dia ingin makan apa. Kami tidak sempat memesan makan malam karena tidak ada jeda yang cukup untuk memesan makanan. Kami berhubungan badan tanpa henti. Terlebih lagi sesi terakhir yang di luar dugaan karena sejujurnya aku sudah tidak lagi sanggup tetapi aku tidak sudi harga diriku dilukai oleh Roya dengan menganggap aku hanya berada di peringkat tiga besar sekalipun aku telah memberikan begitu banyak kepuasan padanya.Sesi terakhir berlangsung lebih lama dari sesi yang lain setelah digabungkan menjadi satu. Penyebabnya adalah aku telah mencapai puncak lebih banyak dari yang bisa kulakukan dalam satu waktu. Seharusnya kuberikan tubuhku sendiri jeda setidaknya tiga jam sebelum memulai ronde berikutnya, tapi aku terus melakukannya karena ingin membuktikan kepada Roya bahwa aku layak untuk menempati peringat pertama dalam penilaiannya yang sialan itu.Selama melakukannya,
Aku sudah membenahi celana sebelum turun dari mobil, tapi sesampainya di kamar indekos, bahkan sebelum pintu berhasil kututup rapat, Roya sudah menyentak celanaku sampai terlepas lagi. Dia mendorong tubuhku untuk bersandar pada daun pintu dan saat itulah dia mulai berlutut untuk menyerangku sekali lagi. Segala jurus dia lakukan untuk membuatku takluk dan melepaskan benihku di dalam mulutnya. Namun, aku tidak membiarkan hal itu terjadi. Aku mencoba bertahan sekuat tenaga dan tidak membiarkan diriku berada di bawah kendali Roya.Kalaupun aku harus mencapai puncak, aku ingin melakukan di dalam dirinya. Tanpa penghalang.Aku menarik tubuh Roya untuk bangkit dari lantai dan kudorong dia sampai jauh terjerembap di atas kasur. Dengan bagian belakang tubuhnya mengarah ke padaku, Roya langsung menarik kakinya naik ke ranjang dan memosisikan tubuhnya menungging ke arahku. Roya mengundangku untuk datang padanya, tapi aku tidak ingin terburu-buru. Aku berjongkok di hadapan milikny