“Kalau enggak muat terus dipaksakan, nanti bisa robek. Bahaya. Percuma pakai pengaman kalau isinya tumpah ke mana-mana.”
“Idih!”
“Kamu sudah besar, Xai. Ayah mencoba melakukan sesuatu yang dibutuhkan oleh anak-anak remaja sekarang dari orangtua mereka tapi enggak dilakukan karena dianggap tabu. Kamu seharusnya dengarkan baik-baik,” keluhku.
Xai akhirnya melepaskan bantal dari wajahnya, tapi diam saja tidak menanggapiku. Dia menatap langit-langit yang sesekali bersinar karena pantulan cahaya dari kendaraan yang sedang melintas di depan rumah kontrakan.
“Kalau ternyata ukuran standar yang dijual di pasaran enggak muat buat kamu, terpaksa kamu cari di internet. Beli ukuran yang lebih besar, kayak Ayah.”
Xai menatapku sangsi, lalu dia kepalanya bergeleng-geleng tak percaya.
“Kenapa? Mau lihat?”
“Ayah!”
“Kalian bisa diam enggak, sih! Ini sudah lewat tengah
“Jadi Ayah sekarang kerja di pusat kebugaran?”Kulirik Xai. Tidak perlu kutanya dari mana dia tahu, sudah pasti dia bisa mendengarkan perdebatan sengit kami dini hari tadi. Aku mengangguk saja sebagai jawaban untuknya.“Aku ikut ke sana boleh, Yah?”“Kalau kamu mau serius, Ayah bisa jemput kamu sepulang sekolah. Tapi, bukannya kamu harus belajar main gitar di rumah temanmu?”Xai mendesah kecewa, tetapi dia tidak menyerah. “Kalau malam bisa, Yah?”“Kamu harus belajar, Xai,” potong Rati.“Aku sudah belajar di sekolah, Buk.”“Kamu masih harus tumbuh tinggi, jangan dulu membentuk tubuh.” Alasan yang digunakan oleh Rati amat sangat salah. Entah dari mana dia mendengar hal semacam itu, tapi itu sama sekali tidak benar. Tidak ada hubungannya berolahraga di pusat kebugaran dengan pertumbuhan tinggi badan. Kalau dilakukan secara berlebihan, ya itu beda lagi cer
Tabungan? Dari mana ia tahu?Rati! Siapa lagi kalau bukan dia!“Karena kamu masih ragu, sepertinya aku harus membatalkan rencanaku.”Aku gelagapan dibuatnya. “Jangan, Pak!”“Jadi?”Aku mengesah. Daripada tabunganku yang harus menjadi tabungan, tidak ada jalan lain selain menerima tawarannya. “Aku akan tinggal, Pak. Aku akan menetap. Aku akan bersama Rati dan Xai. Jangan batalkan rencananya.”Untuk pertama kalinya selama pernikahanku dan Rati digelar, mertuaku tersenyum kepadaku. Bahkan ketika Xai dilahirkan dengan selamat pun ia tidak berbaik hati untuk mengulas senyum padaku. Wajahnya tertekuk, bibirnya terlipat dan disembunyikan dengan baik di balik kumis tebalnya.“Tadinya aku ingin memberimu bantuan modal dan memulai usaha sendiri begitu mendengar kalian akan pindah ke sini, tapi kudengar dari Xai tabunganmu sampai ratusan juta jadi kubatalkan niatku. Apalagi sekarang kamu suda
“Tadi bapakmu nanya, kapan Xai dikasih adik.”Ucapanku membuat Rati langsung menoleh. Wajahnya tiba-tiba merona. “Terus kamu jawab apa?”“Ya kubilang saja kami sudah berusaha setiap malam, tapi belum berhasil.”“Orang gila,” seru Rati padaku.Aku hanya menatapnya. Kenapa jadi aku yang disalahkan? Padahal aku hanya menyampaikan hal yang sebenarnya. Yah, memang beberapa hari kami sempat libur, tapi kalau dihitung sejak kami mulai berhubungan lagi sehabis Rati melahirkan Xai, itu hari-hari kosong tanpa bercinta itu tidak ada apa-apanya.“Kamu bisa bilang kalau aku sibuk di sekolah, atau kamu keasyikan cari kerja, atau yang lainnya. Enggak usah harus jujur segala kamu bilang usaha tiap malam! Mau ditaruh di mana mukaku ini kalau ketemu Bapak lagi? Pantas saja seharian tadi Bapak enggak mau lihat aku setiap kali bicara. Semua gara-gara kamu rupanya!”Aku sudah kehilangan minat untuk mend
Kuabaikan rasa sakit di tanganku. Darah di mana-mana tapi itu tidak lagi penting bagiku.Rati menjerit. Hanya Tuhan dan dirinya sendiri yang tahu apa alasan di balik teriakannya yang membahana itu. Dirinya lantas menarik tanganku, membawa aku masuk ke dalam rumah. Dia tidak membiarkanku memberontak dan pergi. Rati meminta Xai mengambilkan kotak obatSetelah mengobati lukaku, Rati terdiam menatapku. Cukup lama dia bungkam, sampai akhirnya dia menepuk kepalaku sekuat tenaga.“Apa-apaan!”“Ibuk!”“Aku sudah tidak tahan lagi menghadapi kamu, Owen. Aku capek!”Tindakannya membuat aku justru berbalik terdiam.“Aku tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk membuatmu kembali waras. Kamu sudah mempermalukan aku di depan semua orang, mempermalukan dirimu sendiri juga.”Aku tidak pernah direndahkan seperti ini seumur hidupku. Dibuang oleh orangtua sendiri rasanya tidak sebanding dengan apa y
Aku bisa merasakan darah dari bibirnya. Rati terluka dan dia sama sekali tidak menyadarinya. Aku terus membungkamnya dengan ciuman dan tidak membiarkan Rati bersuara kembali. Tubuhnya sudah bergetar hebat untuk kesekian kalinya ketika akhirnya aku mencapai puncak kenikmatanku sendiri.“Aku masih belum selesai,” ucapku.Rati yang sudah kulepaskan dari cengkraman tergolek lemas di lantai. Matanya redup, menatapku tak berdaya. Atau lebih tepatnya, dia menatap bukti gairahku yang masih siaga sekalipun baru saja menembaki Rati amunisi jauh ke dalam dirinya. “Kamu sengaja ingin membunuhku?”Aku terkekeh, lalu kuangkat tubuhnya. Dengan Rati di dalam dekapan, aku melangkah ke kamar. Kubanting tubuh Rati ke atas ranjang. Dia diam saja saat aku datang padanya dengan ketegangan yang sama. Saat aku mendorong masuk, aku lupa membungkam Rati lagi sehingga dia mengerang dengan amat keras.“Aku tidak akan membuat segalanya jadi mudah untukmu
“Aku enggak peduli walaupun Bapak minta cucu sepuluh lagi. Aku bukan sapi, kambing, atau jenis hewan perliharaannya yang lain. Aku mau punya anak karena aku yang mau. Bukan atas perintah siapa pun,” ucap Rati dari dalam kamar mandi.Aku yang duduk menungguinya dengan duduk di salah satu kursi yang melingkari meja makan hanya mengiakan. “Jangan lupa, untuk bikin anaknya itu kau masih perlu aku sebagai rekan kerja. Kecuali kau berencana punya anak dengan orang lain.”“Dan aku baru mau punya anak setelah pekerjaanku yang sekarang enggak terlalu padat lagi. Aku mau mengandung anakku dengan tenang. Menikmati setiap detiknya.”Aku diam saja, tak berminat menjawabnya sama sekali.Rati meninggalkan kamar mandi dengan tubuh yang hanya berbalut selembar handuk. Matanya nyalang menatapku penuh ketidaksukaan. “Aku berencana punya anak dari siapa lagi kalau bukan dari kamu, Owen! Dan tolong jangan panggil aku dengan kau-kau be
Aku pulang lebih awal dan menitipkan sepeda motor pada Xai agar dia bisa dipakainya untuk pulang nanti. Xai kebingungan karena saat ini pun masih belum tengah hari. Xai tidak bertanya kenapa aku pulang cepat dan menitipkan sepeda motor padanya. Dia diam saja melihatku berjalan meninggalkan gerbang sekolahnya dan naik ojek pangkalan ke arah rumah.Aku mengurung diriku sendiri di dalam rumah. Tidak menyalakan lampu atau membuka jendela untuk penerangan tambahan. Aku masuk ke kamar dan mencoba beristirahat. Bahuku tidak bengkak, tapi nyerinya masih terasa. Dan aku berencana menangkap basah apa pun yang dilakukan Rati dan Atmi saat mereka kembali.Entah apa yang merasukiku selama mengompres bahu di balik meja resepsionis. Celotehan Gina perihal survei perselingkuhan ternyata paling banyak terjadi di lingkungan tempat kerja membakar diriku dan membutakan mata hatiku yang sudah berusaha abai terhadap hubungan apa pun yang dimiliki oleh Rati dan temannya itu. Aku ingat bahwa
Aku mengurangi kecepatan treadmill dan menyesuaikan langkahku sendiri. Peluh memenuhi dahi dan juga membasahi bagian tubuhku yang lain. Kaus tanpa lengan yang kupakai pun terasa lengket di dada dan punggung.“Cut!”Teriakan itu membuatku langsung menghentikan treadmill dan melompat turun dari atasnya.“Lihat, hasilnya bagus sekali,” seru si juru kamera yang aku lupa namanya. “Ini bisa jadi konten andalan untuk minggu ini.”Pujian itu menyenangkan hati, tapi tidak membuat lelah hilang dalam seketika dari tubuhku. Dengan napas yang terengah-engah, aku mencari tempat terdekat yang bisa kududuki dan pilihannya jatuh kepada sebuah kursi plastik yang dibawa oleh Gina.“Hei, sana ambil sendiri!”Aku yang masih tersengal-sengal, lantas mencipratkan keringat yang baru saja kuseka dari wajah kepada Gina. Cewek itu langsung berteriak marah padaku. “Bau, Owen!”Tingkahnya berhas