Aku bisa merasakan darah dari bibirnya. Rati terluka dan dia sama sekali tidak menyadarinya. Aku terus membungkamnya dengan ciuman dan tidak membiarkan Rati bersuara kembali. Tubuhnya sudah bergetar hebat untuk kesekian kalinya ketika akhirnya aku mencapai puncak kenikmatanku sendiri.
“Aku masih belum selesai,” ucapku.
Rati yang sudah kulepaskan dari cengkraman tergolek lemas di lantai. Matanya redup, menatapku tak berdaya. Atau lebih tepatnya, dia menatap bukti gairahku yang masih siaga sekalipun baru saja menembaki Rati amunisi jauh ke dalam dirinya. “Kamu sengaja ingin membunuhku?”
Aku terkekeh, lalu kuangkat tubuhnya. Dengan Rati di dalam dekapan, aku melangkah ke kamar. Kubanting tubuh Rati ke atas ranjang. Dia diam saja saat aku datang padanya dengan ketegangan yang sama. Saat aku mendorong masuk, aku lupa membungkam Rati lagi sehingga dia mengerang dengan amat keras.
“Aku tidak akan membuat segalanya jadi mudah untukmu
“Aku enggak peduli walaupun Bapak minta cucu sepuluh lagi. Aku bukan sapi, kambing, atau jenis hewan perliharaannya yang lain. Aku mau punya anak karena aku yang mau. Bukan atas perintah siapa pun,” ucap Rati dari dalam kamar mandi.Aku yang duduk menungguinya dengan duduk di salah satu kursi yang melingkari meja makan hanya mengiakan. “Jangan lupa, untuk bikin anaknya itu kau masih perlu aku sebagai rekan kerja. Kecuali kau berencana punya anak dengan orang lain.”“Dan aku baru mau punya anak setelah pekerjaanku yang sekarang enggak terlalu padat lagi. Aku mau mengandung anakku dengan tenang. Menikmati setiap detiknya.”Aku diam saja, tak berminat menjawabnya sama sekali.Rati meninggalkan kamar mandi dengan tubuh yang hanya berbalut selembar handuk. Matanya nyalang menatapku penuh ketidaksukaan. “Aku berencana punya anak dari siapa lagi kalau bukan dari kamu, Owen! Dan tolong jangan panggil aku dengan kau-kau be
Aku pulang lebih awal dan menitipkan sepeda motor pada Xai agar dia bisa dipakainya untuk pulang nanti. Xai kebingungan karena saat ini pun masih belum tengah hari. Xai tidak bertanya kenapa aku pulang cepat dan menitipkan sepeda motor padanya. Dia diam saja melihatku berjalan meninggalkan gerbang sekolahnya dan naik ojek pangkalan ke arah rumah.Aku mengurung diriku sendiri di dalam rumah. Tidak menyalakan lampu atau membuka jendela untuk penerangan tambahan. Aku masuk ke kamar dan mencoba beristirahat. Bahuku tidak bengkak, tapi nyerinya masih terasa. Dan aku berencana menangkap basah apa pun yang dilakukan Rati dan Atmi saat mereka kembali.Entah apa yang merasukiku selama mengompres bahu di balik meja resepsionis. Celotehan Gina perihal survei perselingkuhan ternyata paling banyak terjadi di lingkungan tempat kerja membakar diriku dan membutakan mata hatiku yang sudah berusaha abai terhadap hubungan apa pun yang dimiliki oleh Rati dan temannya itu. Aku ingat bahwa
Aku mengurangi kecepatan treadmill dan menyesuaikan langkahku sendiri. Peluh memenuhi dahi dan juga membasahi bagian tubuhku yang lain. Kaus tanpa lengan yang kupakai pun terasa lengket di dada dan punggung.“Cut!”Teriakan itu membuatku langsung menghentikan treadmill dan melompat turun dari atasnya.“Lihat, hasilnya bagus sekali,” seru si juru kamera yang aku lupa namanya. “Ini bisa jadi konten andalan untuk minggu ini.”Pujian itu menyenangkan hati, tapi tidak membuat lelah hilang dalam seketika dari tubuhku. Dengan napas yang terengah-engah, aku mencari tempat terdekat yang bisa kududuki dan pilihannya jatuh kepada sebuah kursi plastik yang dibawa oleh Gina.“Hei, sana ambil sendiri!”Aku yang masih tersengal-sengal, lantas mencipratkan keringat yang baru saja kuseka dari wajah kepada Gina. Cewek itu langsung berteriak marah padaku. “Bau, Owen!”Tingkahnya berhas
Mataku membola. Apa-apaan itu tadi! Apa dia baru saja mengakui bahwa dirinya bercinta dengan dua orang sekaligus di hadapan Bapak barusan? Selain maniak seks, cewek ini rupanya juga tidak waras. “Yang penting jangan sampai overdosis,” ucap Bapak sembari berlalu. “Yuk, Owen. Kamu belum rekaman untuk konten hari ini, kan? Kita ke ruangan tim promosi sekarang, biar aku bisa memberikan arahan langsung pada mereka.” “Bapak duluan saja, Pak. Biar aku tunggu minuman Bapak dan sekalian nanti kubawa ke sana,” kataku beralasan. “Biar nanti dia antar saja langsung atau bisa minta tolong Gina.” “Anu... mungkin ada yang perlu Bapak sampaikan pada dua orang itu, sebelum....” Senyum langsung mengembang di wajah Bapak. “Ah, terima kasih karena sudah mengingatkan. Aku akan katakan langsung pada mereka. Biar mereka bisa bersiap-siap juga. Siapa tahu salah satunya mau mendaftar.” Setelah Bapak pergi dari lobi, Gina langsung mengembuskan napas lega dan me
Setelah melewati malam dengan ketegangan yang tak tersalurkan, aku bangun tidur dengan kepala yang nyeri tak tertahankan. Rati yang mencoba membangunkanku seperti biasanya pun kubentak supaya dia pergi meninggalkanku dan membiarkan aku tidur lebih lama. Namun, keributan yang terjadi di luar akhirnya membuatku tak lagi bisa nyenyak. Tanpa tenaga aku keluar dari kamar, menyeret langkah demi langkah. “Ibuk, sih. Kenapa bikin susunya pakai air panas,” keluh Xai. Rati hanya mengerang kesal, lalu menyingkirkan gelas susu yang masih penuh dari meja makan. “Ibuk lupa. Ini bukan masalah yang harus kamu besar-besarkan, Xai. Ibuk bisa buatkan kamu susu yang lain. Enggak pakai air panas.” “Enggak usah! Aku sudah telat!” “Tapi....” Begitu Xai hendak meninggalkan meja makan, dia menyadari kehadiranku yang berdiri di belakangnya. Aku menahan bahunya, mencengkramnya di sana dengan sedikit tenaga yang tersisa, mendorongnya untuk kembali duduk ke tempatnya semu
Kehidupanku di kampung yang jauh dari keramaian ini semakin lama makin suram. Aku diam di kamar sepanjang waktu. Hanya keluar jika ingin ke kamar mandi atau makan. Pada hari kedua, Gina menghubungiku. Dia bilang, Bapak mencariku. Aku dikira kecewa pada bayaran yang kuterima darinya dan memutuskan untuk melarikan diri. Kujelaskan pada Gina bahwa aku hanya sedang tidak sehat dan dia percaya. Mana mungkin aku berkata jujur padanya bahwa aku dan istriku sedang ribut. Bisa-bisa aku ditertawakan olehnya terus Bapak akan menganggapku tidak profesional.Sudah berbagai cara kulakukan untuk meminta maaf pada Rati, mengelus bahu, memijat betis, bahkan sampai kutawarkan untuk memuaskannya secara oral, tetapi dia tetap saja mengabaikan semua usahaku. Kalau begini caranya, aku tidak punya pilihan selain benar-benar pergi meninggalkannya.Pada hari keempat, telepon genggamku berbunyi. Ternyata Bapak yang menghubungiku. “Aku tidak tahu di mana kau tinggal, jadi tidak bisa membes
Dan Rati bilang tidak ada hubungan apa-apa di antara mereka berdua. Omong kosong. Tingkahnya membuatku semakin penasaran. Sudah sejauh apa hubungan mereka berjalan?Ketika Rati kembali masuk kamar, dia berlagak seolah tidak terjadi apa-apa. “Kami cuma membahas soal pekerjaan. Enggak lebih dari itu. Aku enggak akan menjelaskan apa pun selain itu, jadi kamu enggak perlu banyak tanya.”“Terserah,” sahutku seraya merebahkan diri di ranjang. “Kamu pergi saja dan aku akan jaga Xai. Akan kubilang pada Bapak kalau aku enggak akan berangkat ke Jakarta sampai kamu pulang.”“Jangan! Kamu bujuk saja supaya diundur sampai aku pulang. Bisa, kan?”Aku tidak menanggapi. Kuabaikan usaha Rati yang memintaku mandi dulu atau setidaknya makan malam saja. Namun, rupanya aku kelepasan tertidur sampai pagi. Aku terjaga ketika mendengar suara Rati menyeret kopernya keluar kamar.Selain karena nyawa yang belum sepenuhnya terku
Sakit hati akibat ditinggalkan Rati begitu saja membuatku terpaksa bertahan dan menyesuaikan diri. Aku mengabaikan semua telepon dan pesan masuk darinya di awal-awal minggu kepergiannya. Setelah itu, Rati berhenti mengirimiku pesan dan dia berkomunikasi hanya dengan Xai saja. Sebisa mungkin aku memenuhi kebutuhan Xai sehari-hari. Untuk makanan, kami hanya akan makan mi instan untuk sarapan—aku tahu ini tidak bagus untuk ototku—makan siang di luar, dan makan malam aku akan membawakannya dari kafe bawah.Kami berbagi mengerjakan tugas rumah. Aku akan mencuci pakaian dan menjemur, sementara Xai mengurus piring kotor, membuang sampah, juga menyapu rumah. Selama nyaris tiga minggu berjalan, semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.Sesekali ketika aku butuh pelepasan, aku akan pulang ke rumah setelah mengantar Xai ke sekolahnya. Aku akan memuaskan diri sendiri—kadang bisa sampai dua kali jika sedang benar-benar menggila—di rumah ka