Mataku membola. Apa-apaan itu tadi! Apa dia baru saja mengakui bahwa dirinya bercinta dengan dua orang sekaligus di hadapan Bapak barusan? Selain maniak seks, cewek ini rupanya juga tidak waras.
“Yang penting jangan sampai overdosis,” ucap Bapak sembari berlalu. “Yuk, Owen. Kamu belum rekaman untuk konten hari ini, kan? Kita ke ruangan tim promosi sekarang, biar aku bisa memberikan arahan langsung pada mereka.”
“Bapak duluan saja, Pak. Biar aku tunggu minuman Bapak dan sekalian nanti kubawa ke sana,” kataku beralasan.
“Biar nanti dia antar saja langsung atau bisa minta tolong Gina.”
“Anu... mungkin ada yang perlu Bapak sampaikan pada dua orang itu, sebelum....”
Senyum langsung mengembang di wajah Bapak. “Ah, terima kasih karena sudah mengingatkan. Aku akan katakan langsung pada mereka. Biar mereka bisa bersiap-siap juga. Siapa tahu salah satunya mau mendaftar.”
Setelah Bapak pergi dari lobi, Gina langsung mengembuskan napas lega dan me
Setelah melewati malam dengan ketegangan yang tak tersalurkan, aku bangun tidur dengan kepala yang nyeri tak tertahankan. Rati yang mencoba membangunkanku seperti biasanya pun kubentak supaya dia pergi meninggalkanku dan membiarkan aku tidur lebih lama. Namun, keributan yang terjadi di luar akhirnya membuatku tak lagi bisa nyenyak. Tanpa tenaga aku keluar dari kamar, menyeret langkah demi langkah. “Ibuk, sih. Kenapa bikin susunya pakai air panas,” keluh Xai. Rati hanya mengerang kesal, lalu menyingkirkan gelas susu yang masih penuh dari meja makan. “Ibuk lupa. Ini bukan masalah yang harus kamu besar-besarkan, Xai. Ibuk bisa buatkan kamu susu yang lain. Enggak pakai air panas.” “Enggak usah! Aku sudah telat!” “Tapi....” Begitu Xai hendak meninggalkan meja makan, dia menyadari kehadiranku yang berdiri di belakangnya. Aku menahan bahunya, mencengkramnya di sana dengan sedikit tenaga yang tersisa, mendorongnya untuk kembali duduk ke tempatnya semu
Kehidupanku di kampung yang jauh dari keramaian ini semakin lama makin suram. Aku diam di kamar sepanjang waktu. Hanya keluar jika ingin ke kamar mandi atau makan. Pada hari kedua, Gina menghubungiku. Dia bilang, Bapak mencariku. Aku dikira kecewa pada bayaran yang kuterima darinya dan memutuskan untuk melarikan diri. Kujelaskan pada Gina bahwa aku hanya sedang tidak sehat dan dia percaya. Mana mungkin aku berkata jujur padanya bahwa aku dan istriku sedang ribut. Bisa-bisa aku ditertawakan olehnya terus Bapak akan menganggapku tidak profesional.Sudah berbagai cara kulakukan untuk meminta maaf pada Rati, mengelus bahu, memijat betis, bahkan sampai kutawarkan untuk memuaskannya secara oral, tetapi dia tetap saja mengabaikan semua usahaku. Kalau begini caranya, aku tidak punya pilihan selain benar-benar pergi meninggalkannya.Pada hari keempat, telepon genggamku berbunyi. Ternyata Bapak yang menghubungiku. “Aku tidak tahu di mana kau tinggal, jadi tidak bisa membes
Dan Rati bilang tidak ada hubungan apa-apa di antara mereka berdua. Omong kosong. Tingkahnya membuatku semakin penasaran. Sudah sejauh apa hubungan mereka berjalan?Ketika Rati kembali masuk kamar, dia berlagak seolah tidak terjadi apa-apa. “Kami cuma membahas soal pekerjaan. Enggak lebih dari itu. Aku enggak akan menjelaskan apa pun selain itu, jadi kamu enggak perlu banyak tanya.”“Terserah,” sahutku seraya merebahkan diri di ranjang. “Kamu pergi saja dan aku akan jaga Xai. Akan kubilang pada Bapak kalau aku enggak akan berangkat ke Jakarta sampai kamu pulang.”“Jangan! Kamu bujuk saja supaya diundur sampai aku pulang. Bisa, kan?”Aku tidak menanggapi. Kuabaikan usaha Rati yang memintaku mandi dulu atau setidaknya makan malam saja. Namun, rupanya aku kelepasan tertidur sampai pagi. Aku terjaga ketika mendengar suara Rati menyeret kopernya keluar kamar.Selain karena nyawa yang belum sepenuhnya terku
Sakit hati akibat ditinggalkan Rati begitu saja membuatku terpaksa bertahan dan menyesuaikan diri. Aku mengabaikan semua telepon dan pesan masuk darinya di awal-awal minggu kepergiannya. Setelah itu, Rati berhenti mengirimiku pesan dan dia berkomunikasi hanya dengan Xai saja. Sebisa mungkin aku memenuhi kebutuhan Xai sehari-hari. Untuk makanan, kami hanya akan makan mi instan untuk sarapan—aku tahu ini tidak bagus untuk ototku—makan siang di luar, dan makan malam aku akan membawakannya dari kafe bawah.Kami berbagi mengerjakan tugas rumah. Aku akan mencuci pakaian dan menjemur, sementara Xai mengurus piring kotor, membuang sampah, juga menyapu rumah. Selama nyaris tiga minggu berjalan, semuanya baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.Sesekali ketika aku butuh pelepasan, aku akan pulang ke rumah setelah mengantar Xai ke sekolahnya. Aku akan memuaskan diri sendiri—kadang bisa sampai dua kali jika sedang benar-benar menggila—di rumah ka
Dengan wajah yang penuh air mata, Rati terus mengulangi permintaan maafnya. “Maafkan aku, Owen.”Aku tidak tahu harus berkata apa. Yang kulakukan hanyalah menutup telepon darinya dan kembali ke kamar. Besok. Biar besok saja kami membicarakannya kalau memang perlu. Aku akan memberinya kesempatan untuk bicara besok setelah dia kembali.Pasti akan sempat. Kalau dia berangkat pagi dari kota, setidaknya dia akan tiba sedikit lewat dari tengah hari. Kami punya beberapa jam untuk bicara... dan mungkin untuk bercinta, jika memang penjelasan Rati cukup bisa kumengerti. Sorenya, aku akan pergi ke Jakarta untuk ikut pelatihanku sendiri.Aku tidak perlu bangun pagi hari ini. Xai sedang libur sekolah karena akhir pekan dan Bapak memintaku tidak usah datang ke Daimen supaya bisa berangkat ke bandara tepat waktu. Diberi waktu istirahat seperti ini tentu saja akan kumanfaatkan dengan sebaik-baiknya.Kalau ada Rati sekarang, kami pasti bisa bercinta seharian d
Untuk pertama kalinya aku jauh dari Rati dan Xai. Sepanjang perjalanan menuju bandara, aku memikirkan satu hal. Sore tadi, ketika Rati tiba dan menurunkan kopernya dan barang-barang yang lain dari bagasi sendirian, aku melihat sesuatu yang tidak seharusnya,Pantulan wajah Atmi di kaca spion. Dia tersenyum entah kepada siapa. Namun, satu hal yang bisa kupastikan, dia senang karena telah membuat aku dan Rati berada di dalam posisi sekarang ini. Jika tidak harus berangkat ke luar kota seperti sekarang ini, aku pasti sudah menghajarnya habis-habisan. Bisa-bisanya dia merasa senang merusak rumah tangga orang lain.Aku masih tidak bisa merasa tenang bahkan setelah melakukan boarding dan menunggu keberangkatan. Perasaan gelisah ini masih tidak mampu kusingkirkan selama berada di dalam pesawat. Ketika akhirnya mendarat, aku langsung membuka telepon genggamku dan menemukan jawabannya.Xai mengirimiku sebuah video berukuran besar.Saat kuputar, aku terkeju
Tapi aku tidak melakukannya.Aku tidak menelepon atau sekadar mengirim pesan untuk menanyakan kabarnya.Kenapa?Karena Rati tidak melakukan hal yang sama.Dia tampak tidak keberatan sama sekali sekalipun sudah lebih dari sebulan kami tidak saling bicara. Dan hidupnya terlihat baik-baik saja.Satu-satunya orang yang kuhubungi pada waktu senggangku adalah Xai. Hubungan kami sekarang sudah jauh lebih baik. Aku ingin memastikan kepadanya bahwa aku tidak akan pernah meninggalkannya.Ya, aku memutuskan untuk kembali. Setelah kupikir-pikir, mau sampai kapan juga aku mengejar karierku di Jakarta? Aku sudah pasti bahagia menjalaninya, tapi kalau anakku sendiri tersiksa dan harus hidup bersama orang asing sekalipun orang itu mencintai ibuknya, aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.Aku akan kembali dan membuat hubungan jelas apa pun yang dijalani Rati dan Atmi tidak mudah. Dan karena itu aku harus kembali ke sisinya dan berada di sana setid
Niatku untuk pamer tidak jadi kulakukan. Buat apa juga memamerkan bahwa aku sekarang pelatih kebugaran tersertifikasi. Aku akan kerja di sebuah kota kecil yang jauh dari Jakarta dan mereka tidak mungkin melihatku lagi setelah hari ini. Karena itu aku memilih untuk menerima setiap pujian yang datang dari rekan artis dan kru tanpa banyak bicara.“Lo enggak mau balik main ftv lagi? Emangnya gaji lo cukup untuk biaya hidup lo? Gue libuar syuting seminggu aja udah uring-uringan karena enggak ada pemasukan.”Mendapat pertanyaan itu membuatku bungkam. Jika ditanya apakah mau kembali, aku tentu saja mau. Tapi alasannya bukan karena penghasilan yang kurang mencukupi, tapi karena aku merasa akting adalah jalanku.“Mungkin nanti. Sekarang anak gue baru masuk SMA. GUe harus mengawasinya supaya enggak salah jalan kayak bapaknya dulu.”Jawabanku itu mengundang gelak tawa semua orang. Namun, tidak lama, semua orang terdiam dan kembali ke tempat m