Dengan wajah yang penuh air mata, Rati terus mengulangi permintaan maafnya. “Maafkan aku, Owen.”
Aku tidak tahu harus berkata apa. Yang kulakukan hanyalah menutup telepon darinya dan kembali ke kamar. Besok. Biar besok saja kami membicarakannya kalau memang perlu. Aku akan memberinya kesempatan untuk bicara besok setelah dia kembali.
Pasti akan sempat. Kalau dia berangkat pagi dari kota, setidaknya dia akan tiba sedikit lewat dari tengah hari. Kami punya beberapa jam untuk bicara... dan mungkin untuk bercinta, jika memang penjelasan Rati cukup bisa kumengerti. Sorenya, aku akan pergi ke Jakarta untuk ikut pelatihanku sendiri.
Aku tidak perlu bangun pagi hari ini. Xai sedang libur sekolah karena akhir pekan dan Bapak memintaku tidak usah datang ke Daimen supaya bisa berangkat ke bandara tepat waktu. Diberi waktu istirahat seperti ini tentu saja akan kumanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Kalau ada Rati sekarang, kami pasti bisa bercinta seharian d
Untuk pertama kalinya aku jauh dari Rati dan Xai. Sepanjang perjalanan menuju bandara, aku memikirkan satu hal. Sore tadi, ketika Rati tiba dan menurunkan kopernya dan barang-barang yang lain dari bagasi sendirian, aku melihat sesuatu yang tidak seharusnya,Pantulan wajah Atmi di kaca spion. Dia tersenyum entah kepada siapa. Namun, satu hal yang bisa kupastikan, dia senang karena telah membuat aku dan Rati berada di dalam posisi sekarang ini. Jika tidak harus berangkat ke luar kota seperti sekarang ini, aku pasti sudah menghajarnya habis-habisan. Bisa-bisanya dia merasa senang merusak rumah tangga orang lain.Aku masih tidak bisa merasa tenang bahkan setelah melakukan boarding dan menunggu keberangkatan. Perasaan gelisah ini masih tidak mampu kusingkirkan selama berada di dalam pesawat. Ketika akhirnya mendarat, aku langsung membuka telepon genggamku dan menemukan jawabannya.Xai mengirimiku sebuah video berukuran besar.Saat kuputar, aku terkeju
Tapi aku tidak melakukannya.Aku tidak menelepon atau sekadar mengirim pesan untuk menanyakan kabarnya.Kenapa?Karena Rati tidak melakukan hal yang sama.Dia tampak tidak keberatan sama sekali sekalipun sudah lebih dari sebulan kami tidak saling bicara. Dan hidupnya terlihat baik-baik saja.Satu-satunya orang yang kuhubungi pada waktu senggangku adalah Xai. Hubungan kami sekarang sudah jauh lebih baik. Aku ingin memastikan kepadanya bahwa aku tidak akan pernah meninggalkannya.Ya, aku memutuskan untuk kembali. Setelah kupikir-pikir, mau sampai kapan juga aku mengejar karierku di Jakarta? Aku sudah pasti bahagia menjalaninya, tapi kalau anakku sendiri tersiksa dan harus hidup bersama orang asing sekalipun orang itu mencintai ibuknya, aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.Aku akan kembali dan membuat hubungan jelas apa pun yang dijalani Rati dan Atmi tidak mudah. Dan karena itu aku harus kembali ke sisinya dan berada di sana setid
Niatku untuk pamer tidak jadi kulakukan. Buat apa juga memamerkan bahwa aku sekarang pelatih kebugaran tersertifikasi. Aku akan kerja di sebuah kota kecil yang jauh dari Jakarta dan mereka tidak mungkin melihatku lagi setelah hari ini. Karena itu aku memilih untuk menerima setiap pujian yang datang dari rekan artis dan kru tanpa banyak bicara.“Lo enggak mau balik main ftv lagi? Emangnya gaji lo cukup untuk biaya hidup lo? Gue libuar syuting seminggu aja udah uring-uringan karena enggak ada pemasukan.”Mendapat pertanyaan itu membuatku bungkam. Jika ditanya apakah mau kembali, aku tentu saja mau. Tapi alasannya bukan karena penghasilan yang kurang mencukupi, tapi karena aku merasa akting adalah jalanku.“Mungkin nanti. Sekarang anak gue baru masuk SMA. GUe harus mengawasinya supaya enggak salah jalan kayak bapaknya dulu.”Jawabanku itu mengundang gelak tawa semua orang. Namun, tidak lama, semua orang terdiam dan kembali ke tempat m
Aku pulang.Setidaknya sampai Xai tamat, aku akan tetap di kampung ini bersama mereka dan aku akan bekerja di Daimen untuk sementara waktu. Setidaknya dua setengah tahun lagi sampai Xai tamat sekolah, aku akan balik lagi ke Jakarta.Tidak. Jangan khwatir aku akan kembali pada Pak Rajesh, mengemis di hadapannya memohon agar diberi peran kecil seperti yang sudah belasan tahun kulakukan. Dia bilang aktingku buruk? Tidak masalah. Aku masih bisa melakukan hal yang lain untuk tetap menyandang status sebagai seorang aktor. Aku bisa main film, atau mencoba peran kecil lainnya di sinetron.Sembari bekerja, aku akan mulai membangun sesuatu untuk memperomosikan diriku sendiri. Aku akan mencoba agar semakin dikenal oleh banyak orang menggunakan akun media sosialku.Gina pernah bilang bahwa ada banyak sekali pelanggan Daimen yang menanyakan akun pribadiku. Dulu, aku tidak mengerti kenapa aku harus repot-repot membuat akun media sosial dan berkomunikasi dengan orang ya
Aku ditolak dua kali pagi ini. Pertama, aku bangun lebih pagi karena sehabis berhubungan badan dengan Rati, aku langsung tertidur. Ketika terjaga, aku menggerayangi tubuh Rati yang terlelap di sebelahku, tapi dia menolak karena harus menyiapkan sarapan untuk kami bertiga. Yang kedua, ketika aku bilang pada Xai akan mengantarnya dengan mobil baru, dia tidak mau. Padahal, sudah kubilang aku tidak akan mengantar sampai masuk ke parkiran sekolah, hanya sampai di depan gerbang, tapi dia tetap menolak.Karena tidak harus mengantar Xai hari ini, aku memutuskan untuk datang lebih siang ke Daimen. Aku masih sempat mandi di rumah sendiri, lalu berleha-leha sejenak sebelum berangkat. Ketika aku melangkahkan kaki masuk ke Daimen, Gina bersorak heboh. Membuat semua orang menatapnya heran.“Lihat tubuhmu sekarang. Kau jadi makin seksi!”Aku hanya tertawa saja, lalu berjalan masuk ke ruangan pribadiku. Ya, sekarang aku punya ruangan sendiri. Seharusnya aku be
Aku berpura-pura tidak pernah mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Rati. Dia pun melakukan hal yang kurang lebih serupa, bersikap seolah tidak pernah menanyakan apakah aku benar-benar membencinya. Pagi ini, dia menyiapkan sarapan seperti biasa dan membangunkan aku dan Xai setelah semuanya selesai. Aku bersikeras masih ingin tidur, tapi Rati mengabaikan ucapanku. Dia sampai mengancam akan menyiramku dengan air kalau tidak segera bangun dari tempat tidur. “Memangnya aku ini anak sekolahan!” gerutuku seraya berjalan ke dapur. Sudah ada Xai di meja makan dan dia sudah selesai mandi dan memakai seragamnya dengan rapi. Rambutnya basah. “Pagi amat siap-siapnya?” “Sekarang aku enggak harus nungguin Ayah lagi, jadi aku bisa berangkat lebih pagi dan jemput temanku.” “Teman apa pacar?” Sindiranku tidak ditanggapi oleh Xai. Dia lantas menatapku dengan ekspresi memohon. “Aku mau belajar nyetir, Yah. Boleh?” Aku balas mengabaikannya dan Xai ti
Namanya Roya dan aku penasaran seperti apa rasanya berada di atas dirinya. Dan sekarang aku sedang mempertimbangkan apakah harus dia yang jadi cewek pertama yang harus kudekati. Sayang sekali, pertemuan pertama kami tidak berjalan begitu lancar.Usai memberitahu namanya kepadaku, dia lebih banyak diam dan mengikuti pengarahanku untuk mencoba berbagai alat di hari pertamanya. Setelah menyelesaikan serangkaian pelatihan kuberikan, dia langsung berjalan meninggalkanku dengan langkah yang melenggak-lenggok. Pinggulnya bergoyang seiring langkahnya.Setelah kegiatanku hari ini selesai, aku meninggalkan Daimen. Aku pulang lebih cepat karena berencana mengajarkan Xai menyetir sore ini.Kami mengarah ke jalanan kampung yang sepi dan kuserahkan kemudi pada Xai. Aku mengenalkan kepadanya fungsi rem, gas, dan kopling, juga cara mengatur tuas persneling. Tidak butuh waktu lama bagi Xai untuk memahaminya. Mobil melaju dengan tersendat pada mulanya, tetapi perlahan tapi pasti
“Ayah, kenapa diam saja? Enggak suka sama lagunya?”Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Mau bagaimana lagi? Aku cukup kaget saat mendengarkan judul lagu yang diciptakan oleh Xai untukku dan lebih kaget lagi saat mendengar lirik demi lirik yang dia nyanyikan.Wajahku tidak bisa berbohong. Aku telah menunjukkannya dengan terlalu jelas. Aku tidak menyukainya. Namun, untuk menutupi hal itu, aku meninggalkan kursiku untuk mendekati Xai, lalu memeluknya. Tidak terlalu lama, tapi tidak juga terlalu sebentar. Aku berusaha menghargai usahanya sekalipun hasil akhirnya mengusik harga diriku jauh di dalam sana.“Terima kasih banyak, ya, Xai. Lagunya bagus,” ucapku dengan canggung.Kuharap Xai tidak menyadarinya. Namun, Rati jelas-jelas lebih dari sadar apa yang tengah kurasakan saat ini, tetapi dia memilih untuk bungkam.Rati mendorong semangkuk penuh sambal paru, melarang Xai mencomotnya lebih dari satu. Aku menggeleng, lalu mendek