“Tadi bapakmu nanya, kapan Xai dikasih adik.”
Ucapanku membuat Rati langsung menoleh. Wajahnya tiba-tiba merona. “Terus kamu jawab apa?”
“Ya kubilang saja kami sudah berusaha setiap malam, tapi belum berhasil.”
“Orang gila,” seru Rati padaku.
Aku hanya menatapnya. Kenapa jadi aku yang disalahkan? Padahal aku hanya menyampaikan hal yang sebenarnya. Yah, memang beberapa hari kami sempat libur, tapi kalau dihitung sejak kami mulai berhubungan lagi sehabis Rati melahirkan Xai, itu hari-hari kosong tanpa bercinta itu tidak ada apa-apanya.
“Kamu bisa bilang kalau aku sibuk di sekolah, atau kamu keasyikan cari kerja, atau yang lainnya. Enggak usah harus jujur segala kamu bilang usaha tiap malam! Mau ditaruh di mana mukaku ini kalau ketemu Bapak lagi? Pantas saja seharian tadi Bapak enggak mau lihat aku setiap kali bicara. Semua gara-gara kamu rupanya!”
Aku sudah kehilangan minat untuk mend
Kuabaikan rasa sakit di tanganku. Darah di mana-mana tapi itu tidak lagi penting bagiku.Rati menjerit. Hanya Tuhan dan dirinya sendiri yang tahu apa alasan di balik teriakannya yang membahana itu. Dirinya lantas menarik tanganku, membawa aku masuk ke dalam rumah. Dia tidak membiarkanku memberontak dan pergi. Rati meminta Xai mengambilkan kotak obatSetelah mengobati lukaku, Rati terdiam menatapku. Cukup lama dia bungkam, sampai akhirnya dia menepuk kepalaku sekuat tenaga.“Apa-apaan!”“Ibuk!”“Aku sudah tidak tahan lagi menghadapi kamu, Owen. Aku capek!”Tindakannya membuat aku justru berbalik terdiam.“Aku tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk membuatmu kembali waras. Kamu sudah mempermalukan aku di depan semua orang, mempermalukan dirimu sendiri juga.”Aku tidak pernah direndahkan seperti ini seumur hidupku. Dibuang oleh orangtua sendiri rasanya tidak sebanding dengan apa y
Aku bisa merasakan darah dari bibirnya. Rati terluka dan dia sama sekali tidak menyadarinya. Aku terus membungkamnya dengan ciuman dan tidak membiarkan Rati bersuara kembali. Tubuhnya sudah bergetar hebat untuk kesekian kalinya ketika akhirnya aku mencapai puncak kenikmatanku sendiri.“Aku masih belum selesai,” ucapku.Rati yang sudah kulepaskan dari cengkraman tergolek lemas di lantai. Matanya redup, menatapku tak berdaya. Atau lebih tepatnya, dia menatap bukti gairahku yang masih siaga sekalipun baru saja menembaki Rati amunisi jauh ke dalam dirinya. “Kamu sengaja ingin membunuhku?”Aku terkekeh, lalu kuangkat tubuhnya. Dengan Rati di dalam dekapan, aku melangkah ke kamar. Kubanting tubuh Rati ke atas ranjang. Dia diam saja saat aku datang padanya dengan ketegangan yang sama. Saat aku mendorong masuk, aku lupa membungkam Rati lagi sehingga dia mengerang dengan amat keras.“Aku tidak akan membuat segalanya jadi mudah untukmu
“Aku enggak peduli walaupun Bapak minta cucu sepuluh lagi. Aku bukan sapi, kambing, atau jenis hewan perliharaannya yang lain. Aku mau punya anak karena aku yang mau. Bukan atas perintah siapa pun,” ucap Rati dari dalam kamar mandi.Aku yang duduk menungguinya dengan duduk di salah satu kursi yang melingkari meja makan hanya mengiakan. “Jangan lupa, untuk bikin anaknya itu kau masih perlu aku sebagai rekan kerja. Kecuali kau berencana punya anak dengan orang lain.”“Dan aku baru mau punya anak setelah pekerjaanku yang sekarang enggak terlalu padat lagi. Aku mau mengandung anakku dengan tenang. Menikmati setiap detiknya.”Aku diam saja, tak berminat menjawabnya sama sekali.Rati meninggalkan kamar mandi dengan tubuh yang hanya berbalut selembar handuk. Matanya nyalang menatapku penuh ketidaksukaan. “Aku berencana punya anak dari siapa lagi kalau bukan dari kamu, Owen! Dan tolong jangan panggil aku dengan kau-kau be
Aku pulang lebih awal dan menitipkan sepeda motor pada Xai agar dia bisa dipakainya untuk pulang nanti. Xai kebingungan karena saat ini pun masih belum tengah hari. Xai tidak bertanya kenapa aku pulang cepat dan menitipkan sepeda motor padanya. Dia diam saja melihatku berjalan meninggalkan gerbang sekolahnya dan naik ojek pangkalan ke arah rumah.Aku mengurung diriku sendiri di dalam rumah. Tidak menyalakan lampu atau membuka jendela untuk penerangan tambahan. Aku masuk ke kamar dan mencoba beristirahat. Bahuku tidak bengkak, tapi nyerinya masih terasa. Dan aku berencana menangkap basah apa pun yang dilakukan Rati dan Atmi saat mereka kembali.Entah apa yang merasukiku selama mengompres bahu di balik meja resepsionis. Celotehan Gina perihal survei perselingkuhan ternyata paling banyak terjadi di lingkungan tempat kerja membakar diriku dan membutakan mata hatiku yang sudah berusaha abai terhadap hubungan apa pun yang dimiliki oleh Rati dan temannya itu. Aku ingat bahwa
Aku mengurangi kecepatan treadmill dan menyesuaikan langkahku sendiri. Peluh memenuhi dahi dan juga membasahi bagian tubuhku yang lain. Kaus tanpa lengan yang kupakai pun terasa lengket di dada dan punggung.“Cut!”Teriakan itu membuatku langsung menghentikan treadmill dan melompat turun dari atasnya.“Lihat, hasilnya bagus sekali,” seru si juru kamera yang aku lupa namanya. “Ini bisa jadi konten andalan untuk minggu ini.”Pujian itu menyenangkan hati, tapi tidak membuat lelah hilang dalam seketika dari tubuhku. Dengan napas yang terengah-engah, aku mencari tempat terdekat yang bisa kududuki dan pilihannya jatuh kepada sebuah kursi plastik yang dibawa oleh Gina.“Hei, sana ambil sendiri!”Aku yang masih tersengal-sengal, lantas mencipratkan keringat yang baru saja kuseka dari wajah kepada Gina. Cewek itu langsung berteriak marah padaku. “Bau, Owen!”Tingkahnya berhas
Mataku membola. Apa-apaan itu tadi! Apa dia baru saja mengakui bahwa dirinya bercinta dengan dua orang sekaligus di hadapan Bapak barusan? Selain maniak seks, cewek ini rupanya juga tidak waras. “Yang penting jangan sampai overdosis,” ucap Bapak sembari berlalu. “Yuk, Owen. Kamu belum rekaman untuk konten hari ini, kan? Kita ke ruangan tim promosi sekarang, biar aku bisa memberikan arahan langsung pada mereka.” “Bapak duluan saja, Pak. Biar aku tunggu minuman Bapak dan sekalian nanti kubawa ke sana,” kataku beralasan. “Biar nanti dia antar saja langsung atau bisa minta tolong Gina.” “Anu... mungkin ada yang perlu Bapak sampaikan pada dua orang itu, sebelum....” Senyum langsung mengembang di wajah Bapak. “Ah, terima kasih karena sudah mengingatkan. Aku akan katakan langsung pada mereka. Biar mereka bisa bersiap-siap juga. Siapa tahu salah satunya mau mendaftar.” Setelah Bapak pergi dari lobi, Gina langsung mengembuskan napas lega dan me
Setelah melewati malam dengan ketegangan yang tak tersalurkan, aku bangun tidur dengan kepala yang nyeri tak tertahankan. Rati yang mencoba membangunkanku seperti biasanya pun kubentak supaya dia pergi meninggalkanku dan membiarkan aku tidur lebih lama. Namun, keributan yang terjadi di luar akhirnya membuatku tak lagi bisa nyenyak. Tanpa tenaga aku keluar dari kamar, menyeret langkah demi langkah. “Ibuk, sih. Kenapa bikin susunya pakai air panas,” keluh Xai. Rati hanya mengerang kesal, lalu menyingkirkan gelas susu yang masih penuh dari meja makan. “Ibuk lupa. Ini bukan masalah yang harus kamu besar-besarkan, Xai. Ibuk bisa buatkan kamu susu yang lain. Enggak pakai air panas.” “Enggak usah! Aku sudah telat!” “Tapi....” Begitu Xai hendak meninggalkan meja makan, dia menyadari kehadiranku yang berdiri di belakangnya. Aku menahan bahunya, mencengkramnya di sana dengan sedikit tenaga yang tersisa, mendorongnya untuk kembali duduk ke tempatnya semu
Kehidupanku di kampung yang jauh dari keramaian ini semakin lama makin suram. Aku diam di kamar sepanjang waktu. Hanya keluar jika ingin ke kamar mandi atau makan. Pada hari kedua, Gina menghubungiku. Dia bilang, Bapak mencariku. Aku dikira kecewa pada bayaran yang kuterima darinya dan memutuskan untuk melarikan diri. Kujelaskan pada Gina bahwa aku hanya sedang tidak sehat dan dia percaya. Mana mungkin aku berkata jujur padanya bahwa aku dan istriku sedang ribut. Bisa-bisa aku ditertawakan olehnya terus Bapak akan menganggapku tidak profesional.Sudah berbagai cara kulakukan untuk meminta maaf pada Rati, mengelus bahu, memijat betis, bahkan sampai kutawarkan untuk memuaskannya secara oral, tetapi dia tetap saja mengabaikan semua usahaku. Kalau begini caranya, aku tidak punya pilihan selain benar-benar pergi meninggalkannya.Pada hari keempat, telepon genggamku berbunyi. Ternyata Bapak yang menghubungiku. “Aku tidak tahu di mana kau tinggal, jadi tidak bisa membes
“Sebelum magang di Daimen kamu kerja di mana?” Saras menyelipkan rambutnya ke balik daun telinga sebelum menjawabku. “Di SPBU, Pak,” jawabnya tanpa ragu. “Pasti banyak yang langganan beli bahan bakar karena kamu yang melayani.” Saras tersenyum manis kemudian tertawa saja. Dia tidak mengiakan, tapi tidak pula membantah. Dugaanku memang benar. Kecantikannya mengundang banyak pria jadi tertarik dan berusaha melakukan apa pun untuk menarik perhatiannya. Apalagi dirinya memang cukup andal dalam memberikan pelayanan. “Biasanya kalau melayani pembeli di SPBU bilang apa?” Saras tersenyum rikuh, tapi dia menjawab, “Dimulai dari nol, ya, Pak.” Aku balas tersenyum dan kuusap anak rambutnya yang terlepas dari balik daun telinga. Dengan sengaja aku berlama-lama menelusuri rambutnya yang halus dengan ujung jariku. “Silakan, mari kita mulai dari nol,” balasku. Saras diam saja dan kembali mengabaikanku. Dia asyik sendiri padahal aku masih ingi
Aku tiba di indekos menjelang tengah malam dan tidak ada seorang pun yang melihatku datang. Aku langsung masuk dan membanting pintu dari dalam hingga tertutup rapat. Tidak akan kubiarkan seorang pun mengganggu hidupku mulai saat ini. Aku tidak akan segan lagi memberikan balasan langsung di tempat jika ada yang berani mencoba mengusik hidupku. Aku akan memulai menata hidup yang baru di tempat ini dan hal yang pertama yang paling kubutuhkan saat ini adalah tidur. Aku tidak peduli sekalipun seprai kasurnya kusut dan beraroma agak sengit karena bekas dipakai beberapa hari yang lalu dan tak sempat diganti. Aku butuh istirahat setelah serangkaian kejadian tak terduga malam ini dan kuharap kejutan yang datang beruntun ini berhenti sekarang juga jika aku sudah terlelap. Entah sudah berapa lama aku tertidur tapi sepertinya di luar sudah lewat tengah hari. Aku terjaga dengan badan yang terasa jauh lebih segar. Saat aku turun dari ranjang dan memeriksa telepon ge
Hari sudah gelap ketika aku menepikan mobil di pekarangan rumah. Di teras terlihat Xai dan beberapa remaja yang tinggal di sekitar sini sedang bernyanyi sambil memetik gitar. Aku menyapa mereka sebentar lalu masuk ke dalam rumah. Rati sudah menyiapkan makan malam dan aku langsung mengambil piring lalu makan sendirian di meja makan. Rati tidak menyambutku seperti biasanya. Dia berdiam diri di kamar dan aku tidak keberatan sama sekali.Aku melirik Rati sekilas saat mengambil handuk yang tergantung di kamar. Dia tampak sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya. Aku mandi dan menggosok seluruh bagian tubuhku keras-keras seakan ingin meluruhkan dosa dari permukaan kulit meski hal semacam itu mustahil terjadi.Hanya dengan memakai handuk yang terlilit di pinggang, aku kembali ke kamar dan terkejut saat melihat Rati yang tidak lagi sibuk bekerja. Dia sepertinya sudah menungguku dan langsung mengunci pintu dari dalam. Aku terlalu heran dibuatnya sampai-sampai tidak sadar ketika R
Aku terjaga dan tidak ada lagi Roya di atas tubuhku. Atau di sisi mana pun di atas ranjang. Di kamar mandi juga dia tidak ada. Itu berarti dia telah pergi meninggalkan aku sendirian di kamar ini. Aku mengintip layar telepon genggam dan mendapati bahwa sudah lewat tengah malam. Aku tidak tahu pukul berapa Roya menyelinap pergi tapi kuharap dia bisa pulang dengan selamat sampai ke rumahnya. Apa pun yang akan terjadi pada rumah tangganya, aku tidak berhak untuk ikut campur terlalu jauh. Maka dari itu aku memutuskan untuk tidak menghubunginya sampai dia sendiri yang memberiku kabar.Karena rasa lengket di sekujur tubuhku, aku memutuskan untuk membilas tubuh. Tidak ada tanda-tanda bahwa kamar mandi ini terpakai selain bathtub. Itu artinya Roya pulang tanpa membersihkan diri sama sekali. Tidak bisa kubayangkan jika aku jadi Abu, entah apa yang akan kulakukan kepada Roya yang kembali ke rumah dalam keadaan berantakan dan bekas perselingkuhan tampak jelas di setiap jengkal tubuhnya.
Tubuh Roya menggelepar di atas seprai yang kusut. Aku terus memainkan jariku di atas titik sensitifnya serta menggoyangkan pinggul sesekali untuk menggerakkan milikku yang terbenam di dalam liang sempitnya.“Lima belas,” kataku keras-keras.Jariku yang tadinya bermain-main di titik sensitifnya kini kupindahkan ke bawah, mendorong masuk ke dalam liangnya yang menganggur. Awalnya hanya dua jari yang kulesakkan ke dalam, tetapi aku mulai menambah jari ketiga dan keempat pada saat yang hampir bersamaan. Aku menggerakkan empat jariku yang terbenam di liang basahnya beriringan dengan entakkan pinggulku sendiri. Permukaan jariku sudah basah dan terasa lengket karena sudah terjadi percampuran antara cairan milik Roya dan juga benih yang kutumpahkan di dalam dirinya sebanyak dua kali.Empat jariku kuganti posisinya dari yang semula hanya menusuk keluar masuk biasa menjadi menukik dan berusaha merogoh satu titik di dalam liangnya yang kabarnya jauh lebih sensi
Aku menyentak tangan Roya yang sedang ingin berlari menyusul Abu. Kutahan dia agar tidak meninggalkanku begitu saja. Semua mata sudah tertuju kepada kami dan aku tidak punya pilihan selain membawa Roya meninggalkan Daimen, tapi aku harus menunggu sejenak setidaknya sampai si berengsek Abu menghilang.Roya diam saja ketika aku menariknya turun dari Daimen dan membawanya naik ke mobilku. Pandangannya menerawang dan dia menyeka air mata yang baru akan mengalir turun sebelum sempat membasahi pipinya.“Siapa Abu?”Tidak ada jawaban.“Roya, aku tanya sekali lagi. Siapa Abu?”Roya masih terus bungkam, mengatupkan bibirnya rapat-rapat.“Siapa Abu, berengsek!”“Dia suamiku! Apa kamu sebodoh itu untuk menyadarinya! Dia suamiku, sialan!”Jawaban Roya membuatku menjadi terdiam menggantikannya. Kini Roya mulai mengucapkan sumpah serapah yang dia tujukan kepadaku. Lengkap dengan pukulan yang di
Aku bangun lebih siang hari ini dan langsung mandi. Xai dan Rati tentu sudah tidak ada lagi di rumah. Aku memutuskan untuk memakai langsung pakaian olahragaku dan berangkat bekerja setelah selesai sarapan—aku tidak menduga bahwa Rati masih menyisakan makanan untukku setelah apa yang kuucapkan padanya subuh tadi.Sepanjang perjalanan, aku memikirkan akan seperti apa nasib hubunganku bersama Roya setelah ini. Dari apa yang dia katakan sebelum turun dari mobilku, jelas Roya ingin meneruskan. Namun, entah mengapa aku punya firasat bahwa kami tidak akan bertemu lagi setelah ini.Setibanya aku di Daimen, telepon genggamku berbunyi. Panggilan masuk dari Roya.“Aku akan ke Daimen sore ini. Kita tidak bisa lagi menggunakan ruanganmu?” tanya Roya dengan suara berbisik.“Atasanku melarang. Sofaku bahkan diganti dengan yang baru karena warnanya berubah akibat terlalu sering kena keringat dan kamu tahu sendirilah terkena apa lagi,” godaku
Sepanjang perjalanan pulang ke rumahnya, Roya terus saja bungkam. Dia menolak sekalipun aku menanyakan dia ingin makan apa. Kami tidak sempat memesan makan malam karena tidak ada jeda yang cukup untuk memesan makanan. Kami berhubungan badan tanpa henti. Terlebih lagi sesi terakhir yang di luar dugaan karena sejujurnya aku sudah tidak lagi sanggup tetapi aku tidak sudi harga diriku dilukai oleh Roya dengan menganggap aku hanya berada di peringkat tiga besar sekalipun aku telah memberikan begitu banyak kepuasan padanya.Sesi terakhir berlangsung lebih lama dari sesi yang lain setelah digabungkan menjadi satu. Penyebabnya adalah aku telah mencapai puncak lebih banyak dari yang bisa kulakukan dalam satu waktu. Seharusnya kuberikan tubuhku sendiri jeda setidaknya tiga jam sebelum memulai ronde berikutnya, tapi aku terus melakukannya karena ingin membuktikan kepada Roya bahwa aku layak untuk menempati peringat pertama dalam penilaiannya yang sialan itu.Selama melakukannya,
Aku sudah membenahi celana sebelum turun dari mobil, tapi sesampainya di kamar indekos, bahkan sebelum pintu berhasil kututup rapat, Roya sudah menyentak celanaku sampai terlepas lagi. Dia mendorong tubuhku untuk bersandar pada daun pintu dan saat itulah dia mulai berlutut untuk menyerangku sekali lagi. Segala jurus dia lakukan untuk membuatku takluk dan melepaskan benihku di dalam mulutnya. Namun, aku tidak membiarkan hal itu terjadi. Aku mencoba bertahan sekuat tenaga dan tidak membiarkan diriku berada di bawah kendali Roya.Kalaupun aku harus mencapai puncak, aku ingin melakukan di dalam dirinya. Tanpa penghalang.Aku menarik tubuh Roya untuk bangkit dari lantai dan kudorong dia sampai jauh terjerembap di atas kasur. Dengan bagian belakang tubuhnya mengarah ke padaku, Roya langsung menarik kakinya naik ke ranjang dan memosisikan tubuhnya menungging ke arahku. Roya mengundangku untuk datang padanya, tapi aku tidak ingin terburu-buru. Aku berjongkok di hadapan milikny